“Tumben kamu telat, Ranum. Memang, kamu dari mana saja, Nak?”
Ranum yang baru saja masuk ke kamar sang nyonya, sontak menunduk dan memilin jari.
“Maaf, Bu. Tadi, ada telepon dari ibu saya,” jawabnya, menjelaskan.
Gadis 22 tahun itu berdebar kencang, mengira dirinya dalam masalah.
Sungguh, dia sudah terlalu lelah jika ada masalah lain di kerjaanya. Padahal, telepon ibunya tadi sudah meruntuhkan semangat gadis itu.
Namun, ternyata dia salah.
Nyonya Nindira yang masih duduk di kursi rodanya itu, justru mengembuskan napas pelan. “Ada apa? Apa ada masalah dengan ibumu?” tanyanya lagi.
Ranum yang awalnya menunduk, segera mengangkat wajah. “Saya … saya ingin bicara sesuatu dengan Anda, Bu,” ucapnya ragu.“Tentang apa?”
“Ibu saya sedang menghadapi masalah keuangan,” jawab Ranum pelan dan sopan. “Sepulang sekolah, adik saya menabrak seseorang. Korbannya mengalami luka berat, bahkan sampai harus dioperasi. Sebagai bukti pertanggungjawaban, ibu saya bersedia membiayai seluruh biaya operasi pendarahan otak yang dialami orang itu. Dia tidak tahu jika jumlahnya sangat besar,” jelas wanita muda, dengan rambut kepang samping itu.“Astaga.” Nindira kembali mengembuskan napas pelan. “Berapa usia adikmu?” tanyanya.“17 tahun, Bu,” jawab Ranum, tetap dengan sikap yang teramat sopan.“Muda sekali! Lalu, berapa biaya yang dibutuhkan?”“Total keseluruhan biaya adalah sekitar 80 juta. Mungkin bisa lebih besar, andai ada tindakan lain. Saya tidak tahu harus mencari ke mana uang sebanyak itu.”Mata indah Ranum mulai berkaca-kaca, membayangkan kesulitan serta beban berat yang dihadapi keluarganya.
Sebagai anak sulung, dia merasa bertanggung jawab membantu meringankan kesulitan sang ibunda, yang merupakan seorang janda.
Di sisi lain, Nindira menggumam pelan.Hanya saja, wanita paruh baya itu tiba-tiba menyungingkan senyum kecil. “Aku akan memberikanmu 100 juta. Bagaimana?” tawarnya.
“Se--seratus juta? Benarkah, Bu?” Ranum segera menyeka air mata yang menetes di pipi.Untuk sesaat, wanita muda itu merasa bahagia. Namun, raut wajahnya tiba-tiba kembali berubah sendu. “Tapi, bagaimana saya bisa mengembalikan uang sebanyak itu? Entah harus bekerja berapa lama di sini,” pikirnya ragu.
Nindira kembali tersenyum kecil.Memutar kursi roda, kini dia menghadap pada Ranum. “Jangan khawatir. Aku memberikan uang itu tanpa berharap dikembalikan. Namun, tentu saja dengan satu syarat,” ujarnya tenang.
“Syarat?” ulang Ranum agak ragu. “Apa syaratnya?” Wanita muda itu menatap gugup sang nyonya besar.Lain halnya dengan Nindira yang tetap terlihat tenang. “Akan kuberitahu besok, setelah kusiapkan uang sebesar seratus juta untukmu,” sahut wanita paruh baya tersebut, diiringi senyum kecil. Dia kembali membalikkan kursi roda, jadi menghadap ke jendela kaca.Ketenangan Nindira berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Ranum.Wanita muda itu tak sabar menunggu hingga esok datang. Pikiran si pemilik rambut panjang tersebut makin tak menentu. Terlebih, setelah mendengar curahan hati ibunya yang mengatakan harus segera melunasi biaya operasi.
“Aku akan mengusahakan uang itu, Bu. Mudah-mudahan Bu Nindira benar-benar memberi pinjaman. Ibu tenang saja, ya. Jangan banyak pikiran. Nanti malah sakit,” ucap Ranum keesokan harinya, saat berbicara di telepon dengan sang ibunda. Setelah berbasa-basi sebentar, dia mengakhiri perbincangan. Ranum bergegas menuju ke kamar Nindira.Ternyata, di dalam kamar tak hanya ada Nindira. Di sofa sudut ruangan, tampak seorang pria tampan tengah duduk penuh wibawa, dengan tatapan dingin tertuju pada Ranum yang terlihat kikuk.Dia adalah Windraya Sasmitha, putra sulung Nindira yang berprofesi sebagai pengusaha.
Entah mengapa, sejak awal pria itu selalu bersikap dingin padanya.
“Bagaimana, Ranum?” tanya Nindira mendadak, menyadarkan Ranum dari lamunan, “Apa ibumu sudah menghubungi?”“Sudah, Bu. Beliau diberi waktu hingga sore ini, untuk melunasi seluruh biaya operasi dan lain-lain,” jawab Ranum resah.“Oh, baiklah.” Nindira mengalihkan perhatian pada sang anak, yang belum mengubah posisi duduk. “Bagaimana, Win?” tanyanya.“Mama tahu aku tidak suka dengan permainan seperti ini,” sahut Windraya datar.Pria tampan dengan rambut tersisir rapi ke belakang itu menunjukkan raut tak bersahabat. Membuat Ranum berpikir negatif.
“Saya rela bekerja di sini tanpa dibayar hingga bisa melunasi uang pinjaman itu, Pak.” Ranum sebenarnya tidak mengerti percakapan antara ibu dan anak di depannya. Namun, dia memberanikan diri demi biaya pengobatan.“Aku tidak bicara denganmu!” Windraya, menanggapi dingin ucapan Ranum. “Lagi pula, ini bukan tentang uang seratus juta.”Pria berkemeja putih tersebut beranjak dari sofa, lalu mendekat pada Nindira. “Mama boleh memberikan pinjaman pada gadis itu, tapi tanpa ada persyaratan macam-macam,” tegasnya.
“Bukankah kita sudah membahas ini semalam, Nak?” Nindira menatap lembut sang anak.
“Mama sudah tahu jawabanku,” tegas Windraya.“Kamu lihat sendiri seperti apa kenyataannya saat ini.”“Aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu, Ma,” tegas Windraya. “Apa pun yang terjadi pada pernikahanku dengan Mayla, bukanlah urusan Mama. Jadi, tolong jangan ikut campur,” tegasnya lagi, dengan nada teramat serius.“Ayolah, Win. Ini sudah hampir dua tahun,” bujuk Nindira, tak patah arang.“Sudah kukatakan bahwa itu bukan urusan Mama,” tegas Windraya lagi. “Cukup untuk pembicaraan ini.” Dia membalikkan badan, bermaksud melangkah ke dekat pintu.“Mama hanya ingin kamu bahagia, Win,” ucap Nindira lagi, menghentikan gerak sang putra yang sudah akan membuka pintu.Windraya menoleh, lalu mengembuskan napas berat dan dalam. Dia menggeleng pelan.“Usia Mama makin tua dan terlihat sangat menyedihkan seperti ini. Tadinya, Mama berpikir bahwa Mayla bisa diandalkan. Namun, kenyataan tak sesuai harapan. Istrimu lebih peduli pada diri sendiri. Apa lagi yang wanita itu lakukan selain pergi berlibur demi menyenangkan dan … apa katanya? Menjaga kewarasan.” Nindira tersenyum kecut, lalu mengalihkan perhatian pada Ranum, yang berdiri dengan raut tak nyaman karena menyaksikan perselisihan ibu dan anak itu.Meskipun paham dengan apa yang tengah dipermasalahkan mereka, tetapi Ranum tak memiliki wewenang untuk menyimak secara langsung.“Ambilkan tas itu,” suruh Nindira, sambil mengarahkan pandangan sekilas pada tas jinjing di kasur.Ranum mengangguk ragu. Dia melakukan apa yang Nindira perintahkan.“Bukalah,” suruh Nindira lagi.Ranum kembali menuruti apa yang wanita itu katakan. Seketika, jantungnya seperti berhenti berdetak, melihat uang dalam jumlah sangat banyak dalam tas tadi. Dia jadi gemetaran karenanya.“Uang itu berjumlah 100 juta. Kamu tidak perlu mengembalikannya. Namun, ada syarat yang harus kamu lakukan, yaitu menikah dengan Windraya.”Deg!
"Me--menikah?"
Ranum terbelalak tak percaya, mendengar ucapan Nindira. Tangannya gemetaran, bahkan hampir menjatuhkan tas tadi. “Maksud Ibu, saya menikah dengan Pak Win? Lalu, bagaimana dengan Bu Mayla?” “Kamu akan menjadi istri kedua Windraya. Kuharap, dari pernikahan ini bisa menghasilkan cucu laki-laki, yang nantinya akan jadi penerus Keluarga Sasmitha,” jelas Nindira lugas. “A-apa? Cu-cucu?” ulang Ranum terbata. “Ya. Cucu laki-laki,” tegas Nindira lagi. “Ta-tapi, Bu ….” Ranum berusaha menolak. Namun, dia sadar sangat membutuhkan uang seratus juta itu. “Cepat pergi dan berikan uang itu pada ibumu. Setelah selesai, segeralah kembali karena aku sudah menyiapkan segala hal untuk prosesi pernikahanmu dengan Windraya,” potong sang nyonya.Ranum sendiri diam terpaku. Begitu juga dengan Windraya, yang tak mengatakan apa pun. Pria itu seperti enggan berkomentar. “Apa lagi yang kamu tunggu, Ranum?” Suara Nindira menyadarkan wanita muda itu.Ranum mengangguk ragu, kemudian membalikkan badan. Dia tak
“Kenapa? Kamu tidak setuju?” Ranum tak segera menjawab. Dia sibuk menetralkan perasaan berkecamuk dalam dada, yang membuatnya tak bisa berpikir jernih. Entah takdir apa yang digariskan Tuhan, sehingga harus berada dalam situasi pelik seperti saat ini. “Bagaimana bila saya tak kunjung hamil?” tanyanya, setelah terdiam beberapa saat. “Kamu punya waktu selama satu tahun. Jika dalam rentang waktu tersebut tak ada tanda-tanda kehamilan, aku akan melepaskanmu,” jawab Windraya penuh wibawa. Ranum kembali terdiam. Sesekali, wanita muda berambut panjang itu menunduk. Memainkan ujung kebaya yang belum sempat diganti. “Lalu, bagaimana dengan uang seratus juta yang Bu Nindira berikan? Apakah saya harus mengembalikannya?” “Kau bisa mengemblikan setengahnya,” sahut Windraya, dengan nada bicara tidak berubah. Ranum mengembuskan napas pelan sambil terus menunduk, saat mendengar langkah kaki mendekat. Gemuruh dalam dada kian hebat, menyadari Windraya berdiri di hadapannya. Ini adalah kali pertam
Ranum sendiri bagai patung karena bingung harus bagaimana. Diremasnya kain yang ada di dekatnya. "Ahh...." Tanpa sadar, Ranum mendesah.Namun, pertautan manis tadi terus berlangsung, sampai Windraya tiba-tiba mengakhirinya.Pria tampan penuh kharisma itu mengembuskan napas pelan, lalu memalingkan muka. “Aku tidak bisa.”Disambarnya T-Shirt dari ujung tempat tidur dan mengenakannya.“Tidurlah. Aku masih punya pekerjaan.” Setelah berkata demikian, suami Ranum itu berlalu keluar kamar, tanpa menoleh sedetik pun.Di sisi lain, Ranum yang masih duduk bersimpuh di tempat tidur, hanya mengulum bibir.Tak bisa dipercaya, dia baru saja berciuman dengan Windraya.Wanita muda berambut panjang itu menggigit pelan bibir bawahnya. “Ya, Tuhan,” ucap Ranum lirih.Windraya meninggalkannya seorang diri, setelah memberikan sentuhan lembut di bibir, yang merupakan ciuman pertama bagi wanita muda itu.Ada rasa lega di hati Ranum karena Windraya tak menyentuhnya lebih jauh. Namun, bila dirinya dituntut u
“Mayla?” Windraya sontak menjauhkan diri dari Ranum. “Apa yang kalian lakukan?” Mayla melepaskan genggaman dari gagang koper, lalu berjalan mendekat ke hadapan Ranum. “Dasar tidak tahu diri!” Dia mendorong wanita muda itu cukup kencang, hingga mundur dan menabrak lemari etalase berisi deretan kemeja mahal Windraya. “Hentikan.” Windraya segera meraih tangan Mayla, yang bermaksud meraih tubuh Ranum. Dia harus mencegah sang istri melakukan tindakan kasar terhadap istri sirinya. “Pergilah, Ranum,” suruh pria itu penuh wibawa. Ranum yang ketakutan, hanya bisa mengangguk. Dia bergegas meninggalkan kamar mewah itu. Ranum sadar sedang dalam masalah besar. “Apa-apaan kamu, Mas?” protes Mayla tak suka. Dia berusaha melepaskan cengkraman Windraya, dari pergelangan tangannya. “Lepaskan aku! Biar kuberi pelajaran pembantu tak tahu malu itu!” “Tenangkan dirimu dulu. Kita harus bicara.” Windraya berusaha tak terpengaruh dengan sikap Mayla. Sebisa mungkin, dia mengendalikan sang istri, agar tak
“Ma!” Tak biasanya, Windraya meninggikan nada bicara di hadapan Nindira. Namun, situasi yang dihadapinya kali ini berbeda. Sebagai suami yang sangat mencintai pasangan, dia berkewajiban menjaga harga diri sang istri bahkan dari ibunya sekalipun. “Tolong jangan bersikap berlebihan seperti ini!” “Berani sekali kamu bicara dengan nada seperti itu pada Mama,” tegur Nindira, tak suka.“Aku harus bagaimana lagi? Demi bakti serta rasa sayangku terhadap Mama, aku menerima pernikahan dengan Ranum. Akan tetapi, aku tidak akan tinggal diam, jika Mama terus bersikap kasar pada Mayla. Ingat, Ma! Bagaimanapun juga, Mayla adalah istriku. Otomatis, dia sudah menjadi putri di keluarga ini —”“Mama tidak sudi memiliki putri macam dia!” sergah Nindira, menyela ucapan Windraya. “Keputusan Mama sudah bulat dan tidak bisa diganggu siapa pun. Termasuk olehmu, Win! Bila Mayla tidak bisa menerima pernikahan keduamu dengan Ranum, silakan pergi dari rumah ini. Lagi pula, keberadaannya di sini tidak berguna
Windraya segera menggeleng, memberikan bantahan pada ucapan sang istri. "Ini bukan masalah tunduk atau apa pun namanya.""Bila kamu menganggap ini sebagai bakti ... kurasa sudah sangat keterlaluan," protes Mayla lagi, seraya memalingkan muka. Windraya lagi-lagi mengembuskan napas berat dan dalam. Dia harus tetap tenang, agar tidak salah bicara atau bersikap di hadapan Mayla. Sebenarnya, dia tidak suka karena sudah terlalu banyak bicara. Namun, dirinya harus memberikan penjelasan pada wanita itu. "Dengarkan aku, Sayang," ucap Windraya, tenang. "Mama, kamu, dan Widuri. Kalian bertiga merupakan tiga wanita dalam hidupku, yang memiliki tempat tersendiri. Aku memberikan perhatian serta kasih sayang sesuai dengan porsi masing-masing," jelasnya. "Apakah itu berarti kamu lebih menyayangi mama dibanding aku?" tukas Mayla, kembali memasang raut masam. Windraya menggeleng pelan. "Tidak seperti itu," bantahnya."Aku hanya berusaha menjalankan bakti terhadap mama. Beliau sudah berjuang sangat k
Di sisi lain, Windraya baru tiba di rumah tepat jam setengah sembilan malam. Namun, dia mengernyitkan kening mendapati Ranum sudah berdiri di ruang tamu, seakan menyambut kedatangannya. Seperti biasa, wanita muda berkulit sawo matang itu menyembunyikan paras cantiknya dengan menunduk. “Kamu sedang apa di sini?” “Saya menunggu Anda pulang, Pak,” jawab Ranum pelan, tanpa berani menatap langsung suami sirinya. “Bagaimana mama?” “Bu Nindira sudah tidur sejak beberapa saat yang lalu. Itulah kenapa saya menunggu Anda di sini,” jawab Ranum lagi. “Apa Anda sudah makan malam?” tanyanya. “Sudah,” jawab Windraya singkat. Dia melihat sekeliling. Pria itu sudah membaca pesan yang dikirimkan Mayla yang katanya ada urusan kantor. Jadi, tak berharap sang istri datang menyambut kepulangannya. “Aku ingin mandi dulu,” ucap Windraya, seraya berlalu dari hadapan Ranum. “Biar saya siapkan, Pak!” Windraya tertegun. “Boleh,” balasnya. Jujur, dia bahkan tak pernah disiapkan seperti ini oleh is
“Ah, Pak ….” Ranum mendesah pelan, sambil menggelinjangkan tubuh. Dia membuka mata perlahan, menatap Windraya yang tengah memandang dengan sorot aneh. “Lebat sekali,” bisik Windraya, diiringi seringai kecil. “Jangan, Pak ….” desah Ranum lirih. “Kenapa? Aku hanya menyentuhmu seperti ini. Apa kamu takut?” Windraya tak juga menyingkirkan tangan dari area sensitif Ranum yang mulai basah. “Kamu mudah sekali terangsang,” bisik putra sulung Nindira tersebut. Ranum begitu malu. Dia merasa risi atas perlakuan nakal Windraya. Wanita muda berkulit sawo matang tersebut tak bisa berkata-kata. Dia hanya berharap Windraya tak melanjutkan itu. “Aku ingin kamu melakukan perawatan,” ucap Windraya lagi, seraya menarik tangan dari dalam segitiga pengaman Ranum. Dia memainkan telunjuk dan jari tengahnya, yang basah serta lengket selama beberapa saat. Setelah itu, pria tampan tersebut bangkit. Akhirnya, Ranum dapat bernapas lega karena Windr