Ranum terbelalak tak percaya, mendengar ucapan Nindira. Tangannya gemetaran, bahkan hampir menjatuhkan tas tadi. “Maksud Ibu, saya menikah dengan Pak Win? Lalu, bagaimana dengan Bu Mayla?”
“Kamu akan menjadi istri kedua Windraya. Kuharap, dari pernikahan ini bisa menghasilkan cucu laki-laki, yang nantinya akan jadi penerus Keluarga Sasmitha,” jelas Nindira lugas.“A-apa? Cu-cucu?” ulang Ranum terbata.“Ya. Cucu laki-laki,” tegas Nindira lagi.“Ta-tapi, Bu ….” Ranum berusaha menolak. Namun, dia sadar sangat membutuhkan uang seratus juta itu.“Cepat pergi dan berikan uang itu pada ibumu. Setelah selesai, segeralah kembali karena aku sudah menyiapkan segala hal untuk prosesi pernikahanmu dengan Windraya,” potong sang nyonya.Ranum sendiri diam terpaku. Begitu juga dengan Windraya, yang tak mengatakan apa pun. Pria itu seperti enggan berkomentar.“Apa lagi yang kamu tunggu, Ranum?” Suara Nindira menyadarkan wanita muda itu.Ranum mengangguk ragu, kemudian membalikkan badan.Dia tak memiliki pilihan, selain menerima persyaratan yang diajukan Nindira. Ranum melangkah gontai, membawa uang tunai yang akan ditukar dengan status lajangnya.
Sepeninggal Ranum, Windraya menghampiri Nindira.Wanita paruh baya itu terkenal tegas, bahkan tak jarang seperti seorang diktator.
Kecelakaan fatal yang merenggut kedua kakinya pun tak mampu membuat keangkuhan wanita itu sirna.
“Sebenarnya, apa yang Mama pikirkan, dengan melakukan tindakan konyol seperti ini?”“Pernikahanmu dengan Malya, jauh lebih konyol,” sahut Nindira. “Kamu sudah keliru, dengan menikahi wanita tidak berguna seperti dia. Apa yang bisa dilakukan istrimu, selain pergi berlibur dan menghabiskan uang?”
“Mayla sengaja melakukan itu, demi menghindari pertengkaran dengan Mama yang selalu menganggapnya sebagai musuh.”“Teruslah membela istrimu yang tak tahu diri itu, Win. Suatu saat nanti kamu akan sadar, bahwa apa yang Mama lakukan ini bukan sesuatu yang keliru. Mama hanya ingin menyelamatkan keturunan Keluarga Sasmitha.”“Ya. Dan Mama tak mempermasalahkan siapa yang Widuri nikahi.”“Adikmu memilih putra seorang pengusaha ternama. Dia tidak membawa orang tak jelas ke rumah ini,” sanggah Nindira tegas.Windraya mengembuskan napas pelan. Dia sadar tak ada gunanya berdebat dengan sang ibunda, yang sangat keras kepala. “Memangnya, Mama tahu asal-usul wanita muda itu? Dia bahkan hanya pelayan di rumah ini. Bukankah yang Mama lakukan jauh lebih konyol?” Pengusaha tampan tersebut menyunggingkan senyum tipis, menanggapi keputusan gila Nindira.“Ranum sudah merawat Mama sejak lama. Dia gadis lugu dan akan jadi istri yang patuh padamu. Itulah kenapa Mama memilihnya. Siapa tahu, dia bisa memberikanmu anak. Setelah itu, kamu bebas melanjutkan pernikahan atau menceraikannya. Pilihan ada di tanganmu.”“Aku bisa mengadopsi anak dari panti asuhan —”“Mama tidak mau! Mama ingin anak yang mewarisi langsung darah Sasmitha.” tegas Nindira. “Anak yang tidak bisa diberikan istrimu. Sungguh tidak berguna!” Nindira mendengkus pelan, lalu menatap lekat putra sulungnya. “Kemarilah.”Windraya menurunkan tubuh di hadapan sang ibunda, yang langsung membelai lembut rambut gelapnya.“Mama sangat menyayangimu dan Widuri. Kalian berdua adalah penyemangat dalam segala keadaan. Tak ada yang ingin Mama persembahkan, selain kebahagiaan. Itulah pencapaian terbesar bagi Mama.”“Ini yang tidak kusukai, yaitu tak bisa membuat Mama kecewa.” Meskipun terpaksa, Windraya akhirnya setuju mengikuti kemauan sang ibunda. “Bisakah kita tunggu Mayla pulang dulu, baru melangsungkan pernikahan?”“Tidak usah,” tolak Nindira tegas. “Dengan atau tanpa izin darinya, pernikahanmu dan Ranum akan tetap dilangsungkan.”“Tapi, Ma ….”Nindira menggeleng tegas.Keputusan wanita itu bulat.
Sekitar pukul tujuh malam, prosesi pernikahan Windraya dengan Ranum bahkan dilangsungkan.Acara tersebut dihadiri oleh Nindira, pengacara, serta seorang ajudan kepercayaan Windraya. Semua berlangsung secara cepat, berhubung itu hanya pernikahan siri.
Ranum tak bisa berbuat banyak. Jangankan menolak, dia bahkan tidak memberitahu sang ibunda tentang pernikahan itu karena yakin tak akan mendapat restu.Sekitar pukul delapan malam, prosesi ijab kabul selesai. Nindira langsung ke kamar untuk beristirahat.“Selamat, Pak Win,” ucap pengacara pribadi Windraya.“Kita akan bicara besok,” balas Windraya.“Saya tunggu di kantor.” Pengacara itu langsung berpamitan. Begitu juga dengan ajudan kepercayaan Windraya.Sementara itu, Ranum duduk seorang diri di kamar yang sudah disiapkan untuknya. Dia tak lagi tidur di kamar pembantu, tapi di kamar yang begitu luas dan mewah.Meski demikian, Ranum tak bahagia. Wanita muda tersebut justru takut. Terlebih, saat Windraya masuk ke sana.
Ranum tidak terlalu mengenal pria itu, meskipun bertemu dengannya setiap hari. Windraya merupakan pria yang jarang berbasa-basi.
“Siapa nama lengkapmu?” tanya Windraya datar. Mendengar nada bicaranya saja, berhasil membuat Ranum merasa terintimidasi.“Ranum Atmariani.”Wanita muda itu tak berani menatap langsung dan ebih memilih menundukkan wajah.
Paras cantiknya disembunyikan dari "sang suami" yang kini menatapnya penuh selidik.
“Berapa usiamu?”“22 tahun, Pak,” jawab Ranum. “Saya anak sulung dari dua bersaudara. Adik saya masih duduk di bangku SMA,” terangnya.
Windraya menggumam pelan, diiringi tatapan aneh.Entah apa yang tengah dicari dari sosok wanita muda di hadapannya. Sesaat kemudian, pengusaha tampan tiga puluh delapan tahun itu melangkah ke dekat meja kecil sebelah tempat tidur. Dari sana, dia mengambil sebuah map kertas. “Baca ini baik-baik,” suruhnya, seraya menyodorkan map tadi.
Ranum yang sejak awal menunduk, akhirnya mengangkat wajah. Ragu, dia menerima map kertas dari pria yang telah menjadi suaminya, meskipun hanya lewat pernikahan siri. “Apa ini, Pak?” tanya Ranum pelan.“Itu adalah surat perjanjian pernikahan kita. Baca saja dulu lebih detail, agar aku tidak perlu menjelaskan. Kecuali, bila ada hal yang tidak kamu mengerti,” jawab Windraya penuh wibawa.Ranum mengangguk pelan, lalu membuka map itu dan mulai membaca. Di sana, tertera jelas perjanjian pernikahan yang dilangsungkan antara dirinya dengan Windraya. Ranum terus membaca tiap baris isi perjanjian tadi, sampai menemukan satu paragraf yang membuat jantungnya seketika berhenti berdetak. “Bapak ingin anak dari saya?” tanyanya memastikan.“Bukan aku, melainkan Mama,” jawab Windraya datar. Dia duduk penuh wibawa di sofa dekat jendela. “Beliau ingin cucu laki-laki dari pernikahan ini,” jelasnya tenang.Ranum terdiam sejenak, setelah mendengar penjelasan Windraya. “Lalu, apa yang harus saya lakukan seandainya benar-benar hamil? Maksud saya, setelah bayi itu lahir dan ….” Wanita muda tersebut tak mampu berkata-kata. Dia hanya menatap sayu Windraya, yang terlihat sangat berkuasa.“Kamu sudah membaca seluruh isi perjanjian itu?” tanya Windraya, dengan tatapan yang membuat Ranum kembali merasa terintimidasi.Ranum mengangguk pelan.“Di sana tertera jelas. Kita akan bercerai, setelah kamu melahirkan bayi laki-laki untukku. Selain itu, kamu tidak berhak atas bayi tersebut karena dia akan menjadi anakku dan Mayla.”Tatapan Ranum kian sayu. “Ta--tapi?”
“Kenapa? Kamu tidak setuju?” Ranum tak segera menjawab. Dia sibuk menetralkan perasaan berkecamuk dalam dada, yang membuatnya tak bisa berpikir jernih. Entah takdir apa yang digariskan Tuhan, sehingga harus berada dalam situasi pelik seperti saat ini. “Bagaimana bila saya tak kunjung hamil?” tanyanya, setelah terdiam beberapa saat. “Kamu punya waktu selama satu tahun. Jika dalam rentang waktu tersebut tak ada tanda-tanda kehamilan, aku akan melepaskanmu,” jawab Windraya penuh wibawa. Ranum kembali terdiam. Sesekali, wanita muda berambut panjang itu menunduk. Memainkan ujung kebaya yang belum sempat diganti. “Lalu, bagaimana dengan uang seratus juta yang Bu Nindira berikan? Apakah saya harus mengembalikannya?” “Kau bisa mengemblikan setengahnya,” sahut Windraya, dengan nada bicara tidak berubah. Ranum mengembuskan napas pelan sambil terus menunduk, saat mendengar langkah kaki mendekat. Gemuruh dalam dada kian hebat, menyadari Windraya berdiri di hadapannya. Ini adalah kali pertam
Ranum sendiri bagai patung karena bingung harus bagaimana. Diremasnya kain yang ada di dekatnya. "Ahh...." Tanpa sadar, Ranum mendesah.Namun, pertautan manis tadi terus berlangsung, sampai Windraya tiba-tiba mengakhirinya.Pria tampan penuh kharisma itu mengembuskan napas pelan, lalu memalingkan muka. “Aku tidak bisa.”Disambarnya T-Shirt dari ujung tempat tidur dan mengenakannya.“Tidurlah. Aku masih punya pekerjaan.” Setelah berkata demikian, suami Ranum itu berlalu keluar kamar, tanpa menoleh sedetik pun.Di sisi lain, Ranum yang masih duduk bersimpuh di tempat tidur, hanya mengulum bibir.Tak bisa dipercaya, dia baru saja berciuman dengan Windraya.Wanita muda berambut panjang itu menggigit pelan bibir bawahnya. “Ya, Tuhan,” ucap Ranum lirih.Windraya meninggalkannya seorang diri, setelah memberikan sentuhan lembut di bibir, yang merupakan ciuman pertama bagi wanita muda itu.Ada rasa lega di hati Ranum karena Windraya tak menyentuhnya lebih jauh. Namun, bila dirinya dituntut u
“Mayla?” Windraya sontak menjauhkan diri dari Ranum. “Apa yang kalian lakukan?” Mayla melepaskan genggaman dari gagang koper, lalu berjalan mendekat ke hadapan Ranum. “Dasar tidak tahu diri!” Dia mendorong wanita muda itu cukup kencang, hingga mundur dan menabrak lemari etalase berisi deretan kemeja mahal Windraya. “Hentikan.” Windraya segera meraih tangan Mayla, yang bermaksud meraih tubuh Ranum. Dia harus mencegah sang istri melakukan tindakan kasar terhadap istri sirinya. “Pergilah, Ranum,” suruh pria itu penuh wibawa. Ranum yang ketakutan, hanya bisa mengangguk. Dia bergegas meninggalkan kamar mewah itu. Ranum sadar sedang dalam masalah besar. “Apa-apaan kamu, Mas?” protes Mayla tak suka. Dia berusaha melepaskan cengkraman Windraya, dari pergelangan tangannya. “Lepaskan aku! Biar kuberi pelajaran pembantu tak tahu malu itu!” “Tenangkan dirimu dulu. Kita harus bicara.” Windraya berusaha tak terpengaruh dengan sikap Mayla. Sebisa mungkin, dia mengendalikan sang istri, agar tak
“Ma!” Tak biasanya, Windraya meninggikan nada bicara di hadapan Nindira. Namun, situasi yang dihadapinya kali ini berbeda. Sebagai suami yang sangat mencintai pasangan, dia berkewajiban menjaga harga diri sang istri bahkan dari ibunya sekalipun. “Tolong jangan bersikap berlebihan seperti ini!” “Berani sekali kamu bicara dengan nada seperti itu pada Mama,” tegur Nindira, tak suka.“Aku harus bagaimana lagi? Demi bakti serta rasa sayangku terhadap Mama, aku menerima pernikahan dengan Ranum. Akan tetapi, aku tidak akan tinggal diam, jika Mama terus bersikap kasar pada Mayla. Ingat, Ma! Bagaimanapun juga, Mayla adalah istriku. Otomatis, dia sudah menjadi putri di keluarga ini —”“Mama tidak sudi memiliki putri macam dia!” sergah Nindira, menyela ucapan Windraya. “Keputusan Mama sudah bulat dan tidak bisa diganggu siapa pun. Termasuk olehmu, Win! Bila Mayla tidak bisa menerima pernikahan keduamu dengan Ranum, silakan pergi dari rumah ini. Lagi pula, keberadaannya di sini tidak berguna
Windraya segera menggeleng, memberikan bantahan pada ucapan sang istri. "Ini bukan masalah tunduk atau apa pun namanya.""Bila kamu menganggap ini sebagai bakti ... kurasa sudah sangat keterlaluan," protes Mayla lagi, seraya memalingkan muka. Windraya lagi-lagi mengembuskan napas berat dan dalam. Dia harus tetap tenang, agar tidak salah bicara atau bersikap di hadapan Mayla. Sebenarnya, dia tidak suka karena sudah terlalu banyak bicara. Namun, dirinya harus memberikan penjelasan pada wanita itu. "Dengarkan aku, Sayang," ucap Windraya, tenang. "Mama, kamu, dan Widuri. Kalian bertiga merupakan tiga wanita dalam hidupku, yang memiliki tempat tersendiri. Aku memberikan perhatian serta kasih sayang sesuai dengan porsi masing-masing," jelasnya. "Apakah itu berarti kamu lebih menyayangi mama dibanding aku?" tukas Mayla, kembali memasang raut masam. Windraya menggeleng pelan. "Tidak seperti itu," bantahnya."Aku hanya berusaha menjalankan bakti terhadap mama. Beliau sudah berjuang sangat k
Di sisi lain, Windraya baru tiba di rumah tepat jam setengah sembilan malam. Namun, dia mengernyitkan kening mendapati Ranum sudah berdiri di ruang tamu, seakan menyambut kedatangannya. Seperti biasa, wanita muda berkulit sawo matang itu menyembunyikan paras cantiknya dengan menunduk. “Kamu sedang apa di sini?” “Saya menunggu Anda pulang, Pak,” jawab Ranum pelan, tanpa berani menatap langsung suami sirinya. “Bagaimana mama?” “Bu Nindira sudah tidur sejak beberapa saat yang lalu. Itulah kenapa saya menunggu Anda di sini,” jawab Ranum lagi. “Apa Anda sudah makan malam?” tanyanya. “Sudah,” jawab Windraya singkat. Dia melihat sekeliling. Pria itu sudah membaca pesan yang dikirimkan Mayla yang katanya ada urusan kantor. Jadi, tak berharap sang istri datang menyambut kepulangannya. “Aku ingin mandi dulu,” ucap Windraya, seraya berlalu dari hadapan Ranum. “Biar saya siapkan, Pak!” Windraya tertegun. “Boleh,” balasnya. Jujur, dia bahkan tak pernah disiapkan seperti ini oleh is
“Ah, Pak ….” Ranum mendesah pelan, sambil menggelinjangkan tubuh. Dia membuka mata perlahan, menatap Windraya yang tengah memandang dengan sorot aneh. “Lebat sekali,” bisik Windraya, diiringi seringai kecil. “Jangan, Pak ….” desah Ranum lirih. “Kenapa? Aku hanya menyentuhmu seperti ini. Apa kamu takut?” Windraya tak juga menyingkirkan tangan dari area sensitif Ranum yang mulai basah. “Kamu mudah sekali terangsang,” bisik putra sulung Nindira tersebut. Ranum begitu malu. Dia merasa risi atas perlakuan nakal Windraya. Wanita muda berkulit sawo matang tersebut tak bisa berkata-kata. Dia hanya berharap Windraya tak melanjutkan itu. “Aku ingin kamu melakukan perawatan,” ucap Windraya lagi, seraya menarik tangan dari dalam segitiga pengaman Ranum. Dia memainkan telunjuk dan jari tengahnya, yang basah serta lengket selama beberapa saat. Setelah itu, pria tampan tersebut bangkit. Akhirnya, Ranum dapat bernapas lega karena Windr
“Aku harus bagaimana, Mas? Apa menurutmu aku punya pilihan lain?” Kali ini, Mayla membalikkan badan, jadi menghadap sang suami. “Tujuan utama pernikahan kalian adalah demi mendapat keturunan untuk penerus Keluarga Sasmitha. Itu artinya kalian harus tidur bersama. Iya, kan?” Windraya tidak menjawab. Dia hanya menyentuh pangkal hidung, demi menepiskan kegundahan. “Jangan khawatir, Mas. Aku tidak apa-apa,” ucap Mayla, seraya menyentuh lengan Windraya. “Semoga kamu tak lupa dengan perjanjian pernikahan yang sudah disepakati.” “Tentu saja tidak. Surat perjanjian itu sudah disahkan oleh pengacaraku.” “Baguslah. Dengan begitu, aku tak harus takut kamu akan tergoda olehnya atau …. Ah, sudahlah.” Mayla menarik selimut, lalu memejamkan mata. Namun, wanita itu kembali terjaga, setelah mendengar ucapan Windraya. “Aku ingin kamu menemani Ranum, melakuka