“Aku harus bagaimana, Mas? Apa menurutmu aku punya pilihan lain?” Kali ini, Mayla membalikkan badan, jadi menghadap sang suami. “Tujuan utama pernikahan kalian adalah demi mendapat keturunan untuk penerus Keluarga Sasmitha. Itu artinya kalian harus tidur bersama. Iya, kan?”
Windraya tidak menjawab. Dia hanya menyentuh pangkal hidung, demi menepiskan kegundahan.“Jangan khawatir, Mas. Aku tidak apa-apa,” ucap Mayla, seraya menyentuh lengan Windraya. “Semoga kamu tak lupa dengan perjanjian pernikahan yang sudah disepakati.”“Tentu saja tidak. Surat perjanjian itu sudah disahkan oleh pengacaraku.”“Baguslah. Dengan begitu, aku tak harus takut kamu akan tergoda olehnya atau …. Ah, sudahlah.” Mayla menarik selimut, lalu memejamkan mata. Namun, wanita itu kembali terjaga, setelah mendengar ucapan Windraya.“Aku ingin kamu menemani Ranum, melakukaWindraya mengembuskan napas pelan, lalu menoleh sekilas pada Mayla. Namun, dia tak mengatakan apa pun. Pengusaha tampan tiga puluh delapan tahun tersebut justru kembali mengarahkan perhatian pada Ranum, yang tampil berbeda dengan rambut tergerai indah.“Mulai sekarang, aku ingin kamu rutin melakukan perawatan kecantikan. Mayla akan menemanimu.”Mayla langsung membelalakan mata, seakan hendak melakukan protes terhadap sang suami. Namun, wanita cantik bertubuh sintal itu sebisa mungkin menahan diri. Dia tak ingin terpancing, meskipun dalam hati teramat kesal.“I-iya, Pak,” sahut Ranum, pelan. “Saya harus melihat keadaan Bu Nindira. Permisi.” Wanita muda itu mengangguk sopan, sebelum berlalu dari hadapan Windraya dan Mayla.
Ranum terdiam merasakan sentuhan lembut di sekujur tubuh. Meskipun malam-malam sebelumnya pernah mendapat perlakuan serupa, tapi tak begitu mengesankan seperti sekarang. Pasalnya, kali ini dia benar-benar telanjang bulat. Ranum dapat merasakan hangat kulit Windraya, yang bergesekan dengan kulitnya.“Pak …,” desah Ranum lirih, bahkan agak parau. Dia tak menyangka Windraya ternyata memiliki hasrat yang begitu besar terhadapnya.“Aku menginginkanmu malam ini,” bisik Windraya, di sela cumbuan mesra yang tak henti dilancarkan terhadap Ranum.“Menginginkan seperti apa?” tanya Ranum, seraya terus memejamkan mata. Sesekali wanita cantik berkulit sawo matang itu melenguh manja, ketika merasakan janggut Windraya yang menggelitik bagian-bagian tertentu tubuhnya. 
Windraya bangkit dari duduk, lalu menghampiri Ranum. “Apa mama mengatakan sesuatu padamu?” tanyanya.“Tentang apa?” Ranum balik bertanya. Malu-malu, dia mengenakan celana dalam di depan Windraya.“Tentang kehamilanmu,” jawab Windraya, singkat.Ranum merapikan pakaian dalam yang sudah dikenakan, lalu meraih piyama. “Bu Nindira hanya bertanya mengenai … um … mengenai yang kita lakukan tadi ….” Ranum tertunduk malu.“Astaga.” Windraya mengeluh pelan. “Kenapa mamaku senang sekali ikut campur, bahkan untuk urusan seperti itu?” Pengusaha tampan tersebut tak habis pikir.Ranum menanggapi dengan senyuman lembut. &ldquo
Mayla terpaku beberapa saat, menyaksikan sang suami yang tengah asyik berciuman dengan istri sirinya. Wanita cantik bertubuh sintal itu memicingkan mata. Dia heran karena ada sesuatu yang aneh dari seorang Windraya. Dulu, Windraya tak suka mengumbar kemesraan di luar. Dia hanya akan mencium Mayla di kamar. Tempat di mana tak ada yang melihat mereka. Namun, kini Windraya berani mencium Ranum di halaman belakang. Bukan tak mungkin ada orang lain yang menyaksikan, selain Mayla. Merasa tak nyaman karena menyaksikan adegan yang tak kunjung berhenti, Mayla memutuskan mendekati mereka. Dia berdehem pelan. Menyadari kehadiran Mayla, Ranum langsung menjauhkan wajah dari Windraya yang justru masih ingin menikmati bibirnya. Ranum menunduk, merasa tak enak terhadap Mayla. Terlebih, istri sah Windraya tersebut menatap dengan sorot aneh. “Sayang?” Windraya menoleh, sambil menyentuh sudut bibir. “Aku mencarimu, Mas. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan,” ucap Mayla, menahan rasa tak nyaman dal
“Apa kabar, Ran?” Windraya balas menyapa Rania, yang tersenyum manis. “Sangat baik, tapi aku bosan. Jadi, kuputuskan mengajak Mayla berbisnis. Kudengar, kamu sudah memberinya izin.” Tatapan Rania terus tertuju pada Windraya. “Selama itu bersifat positif. Aku akan selalu memberikan dukungan moril serta materil.” “Ah … sungguh mengesankan. Aku akan mencari suami sepertimu, yang sangat pengertian terhadap istri.” Rania tertawa renyah "Asal jangan mengambil suamiku," celetuk Mayla, enteng. Wanita cantik itu melirik sang suami, yang melayangkan tatapan protes padanya. Namun, Mayla bersikap tak peduli. Lagi-lagi, Rania tertawa. “Andai saja kamu mau berbagi,” candanya, yang langsung berbalas tepukan di lengan dari Mayla sebagai tanda protes. Sementara Windraya hanya tersenyum simpul. Dia sadar Mayla masih kesal. Oleh karena itu, Windraya tak menanggapi candaan dua wanita tadi. Terlebih karena dirinya melihat Ranum melintas.
Mayla berdiri dekat tanaman hias cukup tinggi, yang berhasil menyamarkan keberadaannya dalam pencahayaan temaram. Dia mengepalkan tangan, melihat langkah tegap Windraya menuju kamar Ranum. Setelah memberi jarak aman agar tidak ketahuan, Mayla keluar dari tempat persembunyian tadi. Dia mengendap-endap, mengikuti sang suami hingga tiba di depan kamar Ranum. Dari jarak beberapa meter, wanita bertubuh sintal itu terus mengawasi. “Ya, Tuhan. Ini sudah keterlaluan!” gerutu Mayla, pelan tapi penuh penekanan. Dia terus berdiri di sana, menunggu Windraya keluar. Akan tetapi, setelah setengah jam berlalu, pria itu tak kunjung muncul. Pikiran Mayla makin tak karuan. Mayla menghentakkan kaki, sebelum berlalu dari sana. Dia kembali ke kamar, membawa rasa jengkel luar biasa. Mayla terus menggerutu, melampiaskan segala kekesalan atas perlakuan Windraya terhadap dirinya. Hingga malam berlalu dan berganti pagi, Windraya tak juga kembali ke kamar Mayla. Pri
“Apa maksudmu dengan jatah lebih?” tanya Windraya, seraya memicingkan mata. “Seperti yang kamu dengar, Mas. Aku ingin mengubah jadwal yang sudah disepakati,” jawab Mayla, lugas. Windraya tak segera menanggapi. Ditatapnya wanita cantik yang sudah menjadi teman hidup selama dua tahun. Windraya berusaha memahami kecemburuan sang istri karena dirinya terlalu dekat dengan Ranum. “Apa kamu sangat cemburu, Sayang?” tanya pria itu lagi, datar Bukannya menjawab, Mayla justru tersenyum sinis. “Bagaimanapun juga, aku hanya wanita biasa. Rasanya begitu berat melihatmu bermesraan dengan wanita lain.” Windraya menggumam pelan tanpa mengatakan apa pun. Tiba-tiba, ada perasaan berbeda dalam hatinya. Sesuatu yang sulit dijabarkan dengan kata-kata. “Bagaimana, Mas? Kuharap, kamu tidak ada masalah dengan permintaanku tadi,” ucap Mayla lagi, diiringi senyum. Setitik rasa percaya diri kembali muncul, dalam hati wanita dua puluh lima tahun tersebut. Windraya mengangguk samar. “Tak masalah,” ujar
“Apa maksudmu?” tanya Windraya penuh penekanan. “Apa lagi yang tersisa dari saya, Pak?” Lirih, Ranum menjawab pertanyaan sang suami. Windraya tak menjawab. Dia menatap tajam wanita muda di hadapannya. “Saya sudah menyerahkan segalanya untuk keluarga ini. Merelakan status lajang demi memenuhi keinginan Bu Nindira. Saya tak mengerti kenapa pertolongan yang diberikan, justru menjadi penjara tak terlihat yang mengikat hidup dan ….” “Kamu sudah menyetujui bahkan menandatangani perjanjian yang dibuat!” Windraya mencekal kencang kedua lengan Ranum. “Anda pikir saya punya pilihan lain?” sahut Ranum, tiba-tiba berani. “Mana mungkin saya tidak menurut.” “Lalu, apa yang kamu inginkan? Mengakhiri kontrak pernikahan kita?” Tatapan Windraya kian tajam dan tak bersahabat. Dia terlihat sangat berbeda. Ranum tak tahu seperti apa karakter pria itu sebenarnya. Windraya terkadang begitu hangat dan membuat nyaman. Namun, dalam beber