“Apa maksudmu?” tanya Windraya penuh penekanan. “Apa lagi yang tersisa dari saya, Pak?” Lirih, Ranum menjawab pertanyaan sang suami. Windraya tak menjawab. Dia menatap tajam wanita muda di hadapannya. “Saya sudah menyerahkan segalanya untuk keluarga ini. Merelakan status lajang demi memenuhi keinginan Bu Nindira. Saya tak mengerti kenapa pertolongan yang diberikan, justru menjadi penjara tak terlihat yang mengikat hidup dan ….” “Kamu sudah menyetujui bahkan menandatangani perjanjian yang dibuat!” Windraya mencekal kencang kedua lengan Ranum. “Anda pikir saya punya pilihan lain?” sahut Ranum, tiba-tiba berani. “Mana mungkin saya tidak menurut.” “Lalu, apa yang kamu inginkan? Mengakhiri kontrak pernikahan kita?” Tatapan Windraya kian tajam dan tak bersahabat. Dia terlihat sangat berbeda. Ranum tak tahu seperti apa karakter pria itu sebenarnya. Windraya terkadang begitu hangat dan membuat nyaman. Namun, dalam beber
“Apa?” Mayla mengepalkan tangan. Tanpa menunggu jawaban, dia melangkah tergesa-gesa bahkan sampai menyenggol pundak Ranum. Namun, Mayla tak peduli. Dia justru makin mempercepat laju kaki menuju kamar wanita muda itu.Sementara Ranum hanya berdiri memperhatikan, hingga istri sah Windraya tersebut tak terlihat lagi. Dia membalikkan badan, melanjutkan langkah menuju dapur. Setelah tiba di sana, Ranum meneguk air putih dari gelas tinggi yang sengaja diisi penuh. Ranum berpikir dirinya bukan lagi pembantu di Keluarga Sasmitha. Dia adalah istri Windraya, meskipun hanya melalui pernikahan siri. Namun, berarti tidak memiliki hak sebagai seorang nyonya rumah.Pikiran itu muncul dari rasa kecewa, atas sikap Mayla yang dinilai seenaknya. Ranum juga kesal karena Windraya begitu mudah menyetujui permintaan wanita itu, padahal Ranum sudah membuat dia beruntung dengan jadi yang pertama."Apakah uang seratus juta sebanding dengan keperawananku?” pikir Ranum. “Seharusnya aku membahagiakan suami yang
“Kamu sudah kehilangan kepercayaan padaku.” Windraya mengembuskan napas pelan, kemudian berlalu dari hadapan Mayla yang masih berdiri terpaku. Windraya melangkah gagah menuju dapur. Tenggorokannya terasa begitu kering. Dia tak terbiasa berselisih dengan Mayla. Pengusaha tampan itu selalu membiarkan sang istri semaunya, asalkan dalam batas wajar. Ya. Windraya belum tahu Mayla menjalin hubungan terlarang dengan pria lain, yang berusia beberapa tahun lebih muda darinya. Entah apa yang akan terjadi, andai putra sulung Nindira tersebut mengetahui kebusukan sang istri selama ini. Windraya menghentikan langkah, melihat Ranum tengah berdiri termenung sambil menyandarkan sebagian tubuh pada counter kitchen. Pria tampan berperawakan tinggi tegap itu mengembuskan napas berat. Ada rasa bersalah dalam dirinya, atas apa yang dilakukan tadi terhadap Ranum. “Sedang apa?” tanya Windraya, yang berdiri sambil menyandarkan lengan kiri ke lawang pintu. Tatapan ppengusaha dalam bidang manufaktur itu
Sekali lagi, Windraya memperlihatkan sesuatu yang tak biasa. Setelah adegan di halaman belakang, kali ini dia mencium Ranum di dapur. Pria itu seakan tak dapat mengendalikan hasrat, hingga berani melakukan tindakan seperti itu di mana saja dirinya inginkan. “Sudah, Pak. Nanti ada yang melihat kita.” Ranum berusaha menghindar dari kenakalan sang suami, meskipun usahanya tidak berhasil. Windraya tetap menggoda dengan cara lain. Dia baru berhenti, saat ada seorang ART masuk ke sana. Pengusaha tampan itu langsung bersikap biasa. Memperlihatkan wibawa yang selalu jadi ciri khasnya. “Maaf, Pak,” ucap sang ART, tak enak. Dia langsung pada pekerjaan, meskipun terlihat tak begitu nyaman. Windraya hanya menggumam pelan. Perhatiannya kembali tertuju pada Ranum, yang salah tingkah karena kepergok tengah bermesraan oleh orang lain. “Kapan kamu pulang?” tanya pria itu, setelah membuang botol kosong ke tempat sampah. “Sesuai izin dari Anda dan
“Kenapa? Apanya yang tapi?” “Aku sengaja cuti untuk menemani Ibu —” “Ah, tak masalah.” Ainur mengibaskan tangan di depan wajah. “Lagi pula, kamu sudah menghabiskan waktu bekerja sebulan penuh. Apa salahnya meluangkan satu hari untuk jalan-jalan? Nak Dwiki tidak keberatan. Seharusnya, kamu senang.” Wanita paruh baya dengan daster motif batik itu berusaha membujuk Ranum. Namun, Ranum tetap terlihat keberatan. “Tak apa-apa kalau Ranum tidak bersedia. Jangan dipaksa, Bu,” ujar Dwiki berkomentar. Dia merasa tak enak, melihat bahasa tubuh yang diperlihatkan Ranum. Namun, Ainur segera menggeleng. “Ranum pasti hanya malu. Maklum, Nak Dwiki. Putri saya belum pernah pacaran atau sekadar dekat dengan laki-laki.” Dia berusaha menjelaskan. “Wah, gadis yang sangat langka untuk zaman sekarang. Apalagi, Ranum sangat cantik. Pasti banyak laki-laki yang menyukainya.” Dwiki terdengar sangat berhati-hati dalam bicara. Ainur tertawa. Ibu dua anak itu terlihat jelas tengah berusaha mencairkan su
“Mas Dwiki?” Ranum menautkan alis, mendapati Dwiki yang menghentikan motor dekat trotoar. “Dari dan mau ke mana?” tanyanya. “Kebetulan saja lewat daerah sini,” jawab Dwiki enteng, seraya melipat kedua tangan di atas helm yang diletakkan di depan tubuh. “Mau ke mana? Mari kuantar.” Pria itu memberi isyarat, agar Ranum naik ke motor retro miliknya. Ranum menggeleng. “Tidak usah, Mas. Saya bisa naik bus,” tolaknya, halus. “Tidak apa-apa, Ran. Aku hanya mengantar, bukan mengajak jalan-jalan,” gurau Dwiki. “Jarak dari sini ke Green Golf Mansion hanya beberapa menit. Apalagi kalau naik motor.” “Tidak usah, Mas. Nanti merepotkan,” tolak Ranum lagi. “Aku yang menawarkan. Itu artinya, tidak merepotkan sama sekali,” balas Dwiki, tetap membujuk. Ranum terdiam sejenak. Dia tak tahu harus menolak dengan cara apa lagi. Pria di hadapannya itu teramat gigih. Entah apa yang melatarbelakangi Dwiki begitu ingin dekat dengannya. “Memangnya, Mas Dwiki tidak punya pacar? Nanti bisa bahaya kalau
Ranum yang tengah berdiri sambil menghadap Dwiki, sontak menoleh ke arah SUV hitam yang tadi melintas. Saking asyik berbincang, dia tak menyadari ketika mobil mewah tersebut berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. "Pak Win .... "Dari dalam kendaraan mewah dengan plat nomor unik itu, Windraya menatap Ranum. Sorot pengusaha yang bergerak di bidang manufaktur tersebut tampak lain. Namun, dia tak mengatakan apa pun. Begitu juga dengan Ranum yang merasa tak enak. Wanita muda itu langsung menunduk. Dia bahkan tak berani menatap lagi, hingga SUV hitam tadi kembali melaju gagah meninggalkannya dan Dwiki. "Siapa pria itu?" tanya Dwiki. "Beliau ... beliau majikan saya, Mas," jawab Ranum, seraya menggigit pelan bibirnya. Ada kegetiran luar biasa, ketika menyebut pria yang merupakan suaminya tersebut sebagai majikan. "Kelihatannya sangat galak," ujar Dwiki, menanggapi. Ranum segera menggeleng. "Tidak juga. Ekspresi Pak Win memang sep
Ranum menghentikan tangis, lalu berdiri. Dia melangkah ke dekat laci, yang berada dekat tempat tidur. Ranum membuka laci sebelah kanan. Dari sana, wanita muda itu mengambil sebuah cincin berlian, yang diberikan Windraya di hari pernikahan mereka. Ranum duduk termenung di tepian tempat tidur, sambil mengamati cincin berlian yang baru diambil dari laci. Perhiasan itu sangat indah dan berkelas. Ranum yakin harganya pasti lumayan jika dijual atau sekadar digadaikan. Namun, sayangnya dia tak memegang sertifikat keaslian perhiasan tersebut. “Bagaimana ini?” Ranum teramat bimbang. Wanita muda itu berpikir beberapa saat, sebelum teringat akan sesuatu. “Juwita.” Satu nama terlontar dari bibirnya. Tanpa pikir panjang, Ranum segera mengambil telepon genggam dari dalam tas. Dia menghubungi orang yang tadi disebut namanya. “Halo. Ini dengan siapa?” tanya Juwita, dari seberang sana. “Hai, Wit. Apa kabar? Ini aku. Ranum.” Ranum berbasa-basi terlebi