Ranum yang tengah berdiri sambil menghadap Dwiki, sontak menoleh ke arah SUV hitam yang tadi melintas. Saking asyik berbincang, dia tak menyadari ketika mobil mewah tersebut berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. "Pak Win .... "
Dari dalam kendaraan mewah dengan plat nomor unik itu, Windraya menatap Ranum. Sorot pengusaha yang bergerak di bidang manufaktur tersebut tampak lain. Namun, dia tak mengatakan apa pun.Begitu juga dengan Ranum yang merasa tak enak. Wanita muda itu langsung menunduk. Dia bahkan tak berani menatap lagi, hingga SUV hitam tadi kembali melaju gagah meninggalkannya dan Dwiki."Siapa pria itu?" tanya Dwiki."Beliau ... beliau majikan saya, Mas," jawab Ranum, seraya menggigit pelan bibirnya. Ada kegetiran luar biasa, ketika menyebut pria yang merupakan suaminya tersebut sebagai majikan."Kelihatannya sangat galak," ujar Dwiki, menanggapi.Ranum segera menggeleng. "Tidak juga. Ekspresi Pak Win memang sepRanum menghentikan tangis, lalu berdiri. Dia melangkah ke dekat laci, yang berada dekat tempat tidur. Ranum membuka laci sebelah kanan. Dari sana, wanita muda itu mengambil sebuah cincin berlian, yang diberikan Windraya di hari pernikahan mereka. Ranum duduk termenung di tepian tempat tidur, sambil mengamati cincin berlian yang baru diambil dari laci. Perhiasan itu sangat indah dan berkelas. Ranum yakin harganya pasti lumayan jika dijual atau sekadar digadaikan. Namun, sayangnya dia tak memegang sertifikat keaslian perhiasan tersebut. “Bagaimana ini?” Ranum teramat bimbang. Wanita muda itu berpikir beberapa saat, sebelum teringat akan sesuatu. “Juwita.” Satu nama terlontar dari bibirnya. Tanpa pikir panjang, Ranum segera mengambil telepon genggam dari dalam tas. Dia menghubungi orang yang tadi disebut namanya. “Halo. Ini dengan siapa?” tanya Juwita, dari seberang sana. “Hai, Wit. Apa kabar? Ini aku. Ranum.” Ranum berbasa-basi terlebi
Windraya memundurkan satu kursi dekat Nindira. “Duduklah,” bisiknya, sambil berdiri di belakang Ranum yang terlihat kikuk. Setelah berkata demikian, dia kembali ke tempatnya. Sambil melangkah di belakang Ranum, Windraya iseng menyentuh pinggul wanita muda itu. Ranum menelan ludah dalam-dalam, menerima sentuhan nakal Windraya. Namun, dia segera menepiskan perasaannya. Ranum duduk di sebelah Nindira, yang langsung tersenyum. Lain halnya dengan Mayla. Wanita cantik bertubuh sintal itu langsung kehilangan selera makan karena kehadiran Ranum dan Nindira. Namun, Mayla tak berniat pergi dari sana. Dia tidak ingin mengalah. “Kamu pulang jam berapa, Win?” tanya Nindira, sambil menyantap menu yang sudah disajikan dalam piring. “Setelah makan siang,” jawab Windraya, seraya mencuri pandang ke arah Ranum. “Apa kamu dan Ranum pulang bersama?” tanya Nindira lagi. “Tidak juga. Aku datang lebih dulu.” Windraya memasukkan satu suapan, meskipun tiba-tiba rasa makanan yang tengah dinikmatinya jad
"Sudahlah. Bicaramu makin ngawur. Lebih baik kamu tidur saja." Windraya kesal atas ucapan Mayla. "Aku benar-benar paham sekarang," ujar Maryla menanggapi. "Apa yang kamu pahami? Daripada dilanjutkan dan hanya akan berakhir pada pertengkaran, lebih baik sudahi perbincangan ini," pungkas Windraya, seraya membaringkan tubuh dengan posisi membelakangi. Windraya berusaha memejamkan mata. Namun, suara isakan Mayla membuatnya tak bisa tidur. Alhasil, dia membalikkan badan, lalu mendekat dan memeluk sang istri dari belakang. "Kamu benar-benar takut kehilanganku? Apakah ada alasan lain?" tanyanya. "Alasan apa yang kamu inginkan?" Mayla balik bertanya. "Kamu sudah tahu hidupku seperti ini. Sebagai wanita, aku sangat terpukul ketika divonis tak bisa memiliki keturunan. Mama pun tak bisa memahami itu dan lebih memilih cara lain, untuk menuntaskan keinginannya memiliki cucu. Ah, entahlah. Apakah benar-benar demi mendapatkan penerus atau hanya aka
Ranum tak pandai berenang. Dia kesulitan membuat tubuhnya tetap berada di permukaan air. Jika bukan karena Windraya, wanita muda itu pasti sudah tenggelam.“Tenangkan dirimu, Ranum,” ucap Windraya, setelah berhasil menaikkan tubuh sang istri ke tepian kolam. Dia menyandarkannya di dada, sambil menepuk-nepuk punggung bagian atas hingga Ranum batuk-batuk.“Pak ….” Ranum menatap sayu Windraya. Dia tampak sangat ketakutan.“Tidak apa-apa.” Windraya mendekap erat, lalu mencium kening Ranum beberapa kali. “Tidak apa-apa,” ucapnya lagi.“Sa-saya tidak … saya tidak bisa berenang …,” ucap Ranum, terbata.“Dasar bodoh! Kalau k
“Pernikahan?” ulang Juwita, dengan ekspresi tak percaya. “Pernikahan siapa? Kamu dan anak majikan?” Wanita dengan bulu mata palsu itu langsung mengambil botol minuman, lalu menghabiskan setengahnya. “Ceritakan pelan-pelan." Dia sangat antusias. Sikap Juwita berbanding terbalik dengan Ranum yang tampak resah. Dia ragu dengan apa yang dilakukan. “Kenapa? Jangan katakan jika kamu hidup dalam ancaman seseorang atau —” “Pernikahan kontrak,” sela Ranum, yang sekali lagi membuat Juwita seakan tersedak. Wanita muda itu kembali menyedot minuman hingga tak tersisa. “Pernikahan kontrak?” ulang Juwita. Ranum mengangguk, meskipun ada keraguan besar tersirat dari bahasa tubuhnya. “Kita sudah lama berteman dekat. Aku bahkan menganggapmu sebagai saudara.” Dia menggenggam erat tangan Juwita, berharap sahabatnya tersebut dapat merasakan keresahan yang tengah melanda saat ini. “Ran ….” Juwita menatap sendu. Riasan serta penampilan wanita muda itu tak lag
“Aku akan menggunakan uang yang kamu transfer, setelah menyerahkan sertifikat keaslian cincin ini,” ucap Ranum. Juwita tersenyum diiringi anggukan. “Cincinnya aku bawa, ya.” Wanita itu memasukkan perhiasan bertahtakan berlian yang diberikan Ranum, ke dalam dompet. “Ya, sudah. Aku harus pulang sekarang, sebelum suamiku kembali dari kantor.” Ranum beranjak dari duduk, diikuti Juwita. “Apa mau kuantar?” tawar Juwita. Ranum menggeleng. “Tidak usah, Wit. Aku terlalu banyak merepotkanmu," tolaknya. "Terima kasih, ya.” Ranum memeluk erat Juwita. Dia merasa terbantu oleh sahabat lamanya tersebut. “Jangan sungkan menghubungiku jika ada apa-apa. Bila sedang off, aku pasti bisa ditemui kapan saja.” Juwita tertawa pelan. “Mencari uang zaman sekarang.” Dia mengangkat bahu, lalu kembali tertawa. Kedua sahabat itu keluar bersama, sambil berbincang ringan. Juwita bahkan sempat bertanya tentang istri sah Windraya. Dia heran karena Ranum ber
“Ini hari Rabu. Jatah saya Selasa dan Jumat —”“Itu bagi Mayla,” sela Windraya. “Aku memiliki aturan sendiri untukmu,” ucap pria itu, setengah berbisik. “Ta-tapi ….” Ranum menatap Windraya, yang terlihat sudah tak kuasa mengendalikan hasratnya. Windraya tak membiarkan Ranum melanjutkan kalimat yang terjeda. Dia kembali melumat bibir wanita muda itu. Kali ini bahkan lebih bergairah dari sebelumnya. “Anda kenapa, Pak?” Ranum merasa risi dengan sikap Windraya, yang begitu bernafsu ingin mencumbunya. “Memangnya kenapa? Sudah kukatakan tadi. Aku ingin bercinta denganmu.” Windraya mengempaskan tubuh Ranum ke sofa, lalu duduk di sebelahnya. “Kurasa, jadwal itu baru berlaku bulan depan.”“Apa itu atas persetujuan Bu Mayla?” “Sudah kukatakan tadi. Aku memiliki aturan sendiri.”&ldq
[Kamu di mana, Mas?]Windraya terpaku memperhatikan layar ponsel, setelah membaca pesan yang dikirimkan Mayla. “Mau makan sekarang, Pak?” tanya Ranum. Dia muncul dari walk in closet, dengan mengenakan kemeja biru langit milik Windraya. Windraya menoleh, lalu meletakkan telepon genggam di kasur. Dia tak membalas pesan dari Mayla. Pria itu lebih memilih menghampiri Ranum, yang terlihat sangat seksi dengan hanya mengenakan atasan kemeja. “Hm.” Windraya merengkuh pinggang Ranum. Tangannya bergerak nakal meraba paha mulus, lalu meremas pelan pinggul wanita muda itu. “Sayang sekali aku sudah lapar,” ujar pria tampan tersebut, seraya tersenyum kalem. “Rasanya seperti melayang.” Ranum meringis kecil karena merasa konyol. Pasalnya, dia memakai kemeja tanpa mengenakan pakaian dalam. “Aku suka ini.” Windraya menanggapi santai ucapan Ranum. Dia menuntun wanita muda itu keluar kamar. Untuk pertama kali semenjak menikah, mereka bersantap malam berdua. Ranum yang biasanya lebih banyak diam dan