"Sudahlah. Bicaramu makin ngawur. Lebih baik kamu tidur saja." Windraya kesal atas ucapan Mayla.
"Aku benar-benar paham sekarang," ujar Maryla menanggapi.
"Apa yang kamu pahami? Daripada dilanjutkan dan hanya akan berakhir pada pertengkaran, lebih baik sudahi perbincangan ini," pungkas Windraya, seraya membaringkan tubuh dengan posisi membelakangi.Windraya berusaha memejamkan mata. Namun, suara isakan Mayla membuatnya tak bisa tidur. Alhasil, dia membalikkan badan, lalu mendekat dan memeluk sang istri dari belakang. "Kamu benar-benar takut kehilanganku? Apakah ada alasan lain?" tanyanya."Alasan apa yang kamu inginkan?" Mayla balik bertanya. "Kamu sudah tahu hidupku seperti ini. Sebagai wanita, aku sangat terpukul ketika divonis tak bisa memiliki keturunan. Mama pun tak bisa memahami itu dan lebih memilih cara lain, untuk menuntaskan keinginannya memiliki cucu. Ah, entahlah. Apakah benar-benar demi mendapatkan penerus atau hanya akaRanum tak pandai berenang. Dia kesulitan membuat tubuhnya tetap berada di permukaan air. Jika bukan karena Windraya, wanita muda itu pasti sudah tenggelam.“Tenangkan dirimu, Ranum,” ucap Windraya, setelah berhasil menaikkan tubuh sang istri ke tepian kolam. Dia menyandarkannya di dada, sambil menepuk-nepuk punggung bagian atas hingga Ranum batuk-batuk.“Pak ….” Ranum menatap sayu Windraya. Dia tampak sangat ketakutan.“Tidak apa-apa.” Windraya mendekap erat, lalu mencium kening Ranum beberapa kali. “Tidak apa-apa,” ucapnya lagi.“Sa-saya tidak … saya tidak bisa berenang …,” ucap Ranum, terbata.“Dasar bodoh! Kalau k
“Pernikahan?” ulang Juwita, dengan ekspresi tak percaya. “Pernikahan siapa? Kamu dan anak majikan?” Wanita dengan bulu mata palsu itu langsung mengambil botol minuman, lalu menghabiskan setengahnya. “Ceritakan pelan-pelan." Dia sangat antusias. Sikap Juwita berbanding terbalik dengan Ranum yang tampak resah. Dia ragu dengan apa yang dilakukan. “Kenapa? Jangan katakan jika kamu hidup dalam ancaman seseorang atau —” “Pernikahan kontrak,” sela Ranum, yang sekali lagi membuat Juwita seakan tersedak. Wanita muda itu kembali menyedot minuman hingga tak tersisa. “Pernikahan kontrak?” ulang Juwita. Ranum mengangguk, meskipun ada keraguan besar tersirat dari bahasa tubuhnya. “Kita sudah lama berteman dekat. Aku bahkan menganggapmu sebagai saudara.” Dia menggenggam erat tangan Juwita, berharap sahabatnya tersebut dapat merasakan keresahan yang tengah melanda saat ini. “Ran ….” Juwita menatap sendu. Riasan serta penampilan wanita muda itu tak lag
“Aku akan menggunakan uang yang kamu transfer, setelah menyerahkan sertifikat keaslian cincin ini,” ucap Ranum. Juwita tersenyum diiringi anggukan. “Cincinnya aku bawa, ya.” Wanita itu memasukkan perhiasan bertahtakan berlian yang diberikan Ranum, ke dalam dompet. “Ya, sudah. Aku harus pulang sekarang, sebelum suamiku kembali dari kantor.” Ranum beranjak dari duduk, diikuti Juwita. “Apa mau kuantar?” tawar Juwita. Ranum menggeleng. “Tidak usah, Wit. Aku terlalu banyak merepotkanmu," tolaknya. "Terima kasih, ya.” Ranum memeluk erat Juwita. Dia merasa terbantu oleh sahabat lamanya tersebut. “Jangan sungkan menghubungiku jika ada apa-apa. Bila sedang off, aku pasti bisa ditemui kapan saja.” Juwita tertawa pelan. “Mencari uang zaman sekarang.” Dia mengangkat bahu, lalu kembali tertawa. Kedua sahabat itu keluar bersama, sambil berbincang ringan. Juwita bahkan sempat bertanya tentang istri sah Windraya. Dia heran karena Ranum ber
“Ini hari Rabu. Jatah saya Selasa dan Jumat —”“Itu bagi Mayla,” sela Windraya. “Aku memiliki aturan sendiri untukmu,” ucap pria itu, setengah berbisik. “Ta-tapi ….” Ranum menatap Windraya, yang terlihat sudah tak kuasa mengendalikan hasratnya. Windraya tak membiarkan Ranum melanjutkan kalimat yang terjeda. Dia kembali melumat bibir wanita muda itu. Kali ini bahkan lebih bergairah dari sebelumnya. “Anda kenapa, Pak?” Ranum merasa risi dengan sikap Windraya, yang begitu bernafsu ingin mencumbunya. “Memangnya kenapa? Sudah kukatakan tadi. Aku ingin bercinta denganmu.” Windraya mengempaskan tubuh Ranum ke sofa, lalu duduk di sebelahnya. “Kurasa, jadwal itu baru berlaku bulan depan.”“Apa itu atas persetujuan Bu Mayla?” “Sudah kukatakan tadi. Aku memiliki aturan sendiri.”&ldq
[Kamu di mana, Mas?]Windraya terpaku memperhatikan layar ponsel, setelah membaca pesan yang dikirimkan Mayla. “Mau makan sekarang, Pak?” tanya Ranum. Dia muncul dari walk in closet, dengan mengenakan kemeja biru langit milik Windraya. Windraya menoleh, lalu meletakkan telepon genggam di kasur. Dia tak membalas pesan dari Mayla. Pria itu lebih memilih menghampiri Ranum, yang terlihat sangat seksi dengan hanya mengenakan atasan kemeja. “Hm.” Windraya merengkuh pinggang Ranum. Tangannya bergerak nakal meraba paha mulus, lalu meremas pelan pinggul wanita muda itu. “Sayang sekali aku sudah lapar,” ujar pria tampan tersebut, seraya tersenyum kalem. “Rasanya seperti melayang.” Ranum meringis kecil karena merasa konyol. Pasalnya, dia memakai kemeja tanpa mengenakan pakaian dalam. “Aku suka ini.” Windraya menanggapi santai ucapan Ranum. Dia menuntun wanita muda itu keluar kamar. Untuk pertama kali semenjak menikah, mereka bersantap malam berdua. Ranum yang biasanya lebih banyak diam dan
Windraya mengajak Mayla duduk bersama di ruang bersantai. Lagi-lagi, pria itu harus berusaha menenangkan sang istri, yang terganggu oleh kedekatannya dengan Ranum. Bosan dan lelah. Windraya sebenarnya tak ingin menjelaskan apa pun. Dia hanya memberi sedikit jarak, antara Mayla dengan sang istri kedua. Beberapa saat berlalu, tak ada perbincangan apa pun. Pasalnya, Windraya tak tahu harus berkata apa. Dia merasa tak ada yang salah. "Apa yang kamu lakukan kemarin malam dengan wanita itu, sampai-sampai kalian berdua basah kuyup?" Akhirnya, Mayla mengalah. Dia membuka perbincangan lebih dulu. "Tidak ada," jawab Windraya, singkat. "Tidak mungkin!" sanggah Mayla, tak percaya. Wanita itu menatap tajam sang suami, yang dinilai telah bersikap bohong. Namun, Windraya tak terpengaruh. Dia sudah terbiasa dihadapkan pada situasi penuh tekanan tinggi. Pria itu tetap tenang. Windraya hanya ingin segera pulang, untuk memberitahukan kabar ke
Mayla terpaku beberapa saat. Tiba-tiba, tubuh indahnya terasa begitu lemas seakan tak bertenaga. Mendengar hasil tes Ranum yang menunjukkan positif hamil, membuat harga diri Mayla kian jatuh ke dasar bumi."Pembantu sialan itu hamil dalam waktu secepat ini," gumam Mayla, sambil berjalan meninggalkan tempatnya menguping tadi. Dia memilih pergi ke kamar untuk menenangkan diri.Akan tetapi, apa pun yang Mayla lakukan terasa salah dan tak bisa membuat ganjalan besar dalam dada menghilang sepenuhnya. Dia gelisah. Wanita yang memiliki perawakan sedikit lebih tinggi dibandng Ranum tersebut, berjalan mondar-mandir.Akhirnya, Mayla mengambil telepon genggam, lalu menghubungi Rania. Hanya itulah cara yang dirasa paling efektif, untuk menghilangkan suntuk di rumah mewah sang suami.
Ranum langsung menerima sertifikat yang diberikan Windraya, lalu membaca dengan saksama. “Bolehkah saya menyimpan sertifikat ini?” tanyanya. “Untuk apa?” Windraya balik bertanya. “Bukan untuk apa-apa ….” Ranum berdehem pelan, seraya mengembalikan benda itu pada sang suami. “Anda saja yang simpan. Lagi pula, saya agak pelupa,” ujarnya, diiringi senyum.“Tidak apa-apa. Simpan saja. Bukankah itu milikmu?”Ranum kembali tersenyum. “Ya, sudah. Kamu simpan itu baik-baik. Sekarang, kita temui mama.” Windraya mengajak Ranum keluar dari ruang kerja. Mereka melangkah bersama menuju kamar Nindira. Selama beberapa saat, mereka berada di kamar sang nyonya besar. Memastikan kabar bahagia atas kehamilan Ranum, meskipun usianya masih terbilang muda. “Mulai sekarang, Mama ingin kamu lebih perhatian pada Ranum. Tugaskan seseorang untuk jadi asisten pribadi yang akan melayaninya. Jangan lupa dengan asupan gizi yang dia butuhkan, selama menjalani kehamilan,” pesan Nindira, pada Windraya.Setelah itu