“Pernikahan?” ulang Juwita, dengan ekspresi tak percaya. “Pernikahan siapa? Kamu dan anak majikan?” Wanita dengan bulu mata palsu itu langsung mengambil botol minuman, lalu menghabiskan setengahnya. “Ceritakan pelan-pelan." Dia sangat antusias.
Sikap Juwita berbanding terbalik dengan Ranum yang tampak resah. Dia ragu dengan apa yang dilakukan.“Kenapa? Jangan katakan jika kamu hidup dalam ancaman seseorang atau —”“Pernikahan kontrak,” sela Ranum, yang sekali lagi membuat Juwita seakan tersedak. Wanita muda itu kembali menyedot minuman hingga tak tersisa.“Pernikahan kontrak?” ulang Juwita.Ranum mengangguk, meskipun ada keraguan besar tersirat dari bahasa tubuhnya. “Kita sudah lama berteman dekat. Aku bahkan menganggapmu sebagai saudara.” Dia menggenggam erat tangan Juwita, berharap sahabatnya tersebut dapat merasakan keresahan yang tengah melanda saat ini.“Ran ….” Juwita menatap sendu. Riasan serta penampilan wanita muda itu tak lag“Aku akan menggunakan uang yang kamu transfer, setelah menyerahkan sertifikat keaslian cincin ini,” ucap Ranum. Juwita tersenyum diiringi anggukan. “Cincinnya aku bawa, ya.” Wanita itu memasukkan perhiasan bertahtakan berlian yang diberikan Ranum, ke dalam dompet. “Ya, sudah. Aku harus pulang sekarang, sebelum suamiku kembali dari kantor.” Ranum beranjak dari duduk, diikuti Juwita. “Apa mau kuantar?” tawar Juwita. Ranum menggeleng. “Tidak usah, Wit. Aku terlalu banyak merepotkanmu," tolaknya. "Terima kasih, ya.” Ranum memeluk erat Juwita. Dia merasa terbantu oleh sahabat lamanya tersebut. “Jangan sungkan menghubungiku jika ada apa-apa. Bila sedang off, aku pasti bisa ditemui kapan saja.” Juwita tertawa pelan. “Mencari uang zaman sekarang.” Dia mengangkat bahu, lalu kembali tertawa. Kedua sahabat itu keluar bersama, sambil berbincang ringan. Juwita bahkan sempat bertanya tentang istri sah Windraya. Dia heran karena Ranum ber
“Ini hari Rabu. Jatah saya Selasa dan Jumat —”“Itu bagi Mayla,” sela Windraya. “Aku memiliki aturan sendiri untukmu,” ucap pria itu, setengah berbisik. “Ta-tapi ….” Ranum menatap Windraya, yang terlihat sudah tak kuasa mengendalikan hasratnya. Windraya tak membiarkan Ranum melanjutkan kalimat yang terjeda. Dia kembali melumat bibir wanita muda itu. Kali ini bahkan lebih bergairah dari sebelumnya. “Anda kenapa, Pak?” Ranum merasa risi dengan sikap Windraya, yang begitu bernafsu ingin mencumbunya. “Memangnya kenapa? Sudah kukatakan tadi. Aku ingin bercinta denganmu.” Windraya mengempaskan tubuh Ranum ke sofa, lalu duduk di sebelahnya. “Kurasa, jadwal itu baru berlaku bulan depan.”“Apa itu atas persetujuan Bu Mayla?” “Sudah kukatakan tadi. Aku memiliki aturan sendiri.”&ldq
[Kamu di mana, Mas?]Windraya terpaku memperhatikan layar ponsel, setelah membaca pesan yang dikirimkan Mayla. “Mau makan sekarang, Pak?” tanya Ranum. Dia muncul dari walk in closet, dengan mengenakan kemeja biru langit milik Windraya. Windraya menoleh, lalu meletakkan telepon genggam di kasur. Dia tak membalas pesan dari Mayla. Pria itu lebih memilih menghampiri Ranum, yang terlihat sangat seksi dengan hanya mengenakan atasan kemeja. “Hm.” Windraya merengkuh pinggang Ranum. Tangannya bergerak nakal meraba paha mulus, lalu meremas pelan pinggul wanita muda itu. “Sayang sekali aku sudah lapar,” ujar pria tampan tersebut, seraya tersenyum kalem. “Rasanya seperti melayang.” Ranum meringis kecil karena merasa konyol. Pasalnya, dia memakai kemeja tanpa mengenakan pakaian dalam. “Aku suka ini.” Windraya menanggapi santai ucapan Ranum. Dia menuntun wanita muda itu keluar kamar. Untuk pertama kali semenjak menikah, mereka bersantap malam berdua. Ranum yang biasanya lebih banyak diam dan
Windraya mengajak Mayla duduk bersama di ruang bersantai. Lagi-lagi, pria itu harus berusaha menenangkan sang istri, yang terganggu oleh kedekatannya dengan Ranum. Bosan dan lelah. Windraya sebenarnya tak ingin menjelaskan apa pun. Dia hanya memberi sedikit jarak, antara Mayla dengan sang istri kedua. Beberapa saat berlalu, tak ada perbincangan apa pun. Pasalnya, Windraya tak tahu harus berkata apa. Dia merasa tak ada yang salah. "Apa yang kamu lakukan kemarin malam dengan wanita itu, sampai-sampai kalian berdua basah kuyup?" Akhirnya, Mayla mengalah. Dia membuka perbincangan lebih dulu. "Tidak ada," jawab Windraya, singkat. "Tidak mungkin!" sanggah Mayla, tak percaya. Wanita itu menatap tajam sang suami, yang dinilai telah bersikap bohong. Namun, Windraya tak terpengaruh. Dia sudah terbiasa dihadapkan pada situasi penuh tekanan tinggi. Pria itu tetap tenang. Windraya hanya ingin segera pulang, untuk memberitahukan kabar ke
Mayla terpaku beberapa saat. Tiba-tiba, tubuh indahnya terasa begitu lemas seakan tak bertenaga. Mendengar hasil tes Ranum yang menunjukkan positif hamil, membuat harga diri Mayla kian jatuh ke dasar bumi."Pembantu sialan itu hamil dalam waktu secepat ini," gumam Mayla, sambil berjalan meninggalkan tempatnya menguping tadi. Dia memilih pergi ke kamar untuk menenangkan diri.Akan tetapi, apa pun yang Mayla lakukan terasa salah dan tak bisa membuat ganjalan besar dalam dada menghilang sepenuhnya. Dia gelisah. Wanita yang memiliki perawakan sedikit lebih tinggi dibandng Ranum tersebut, berjalan mondar-mandir.Akhirnya, Mayla mengambil telepon genggam, lalu menghubungi Rania. Hanya itulah cara yang dirasa paling efektif, untuk menghilangkan suntuk di rumah mewah sang suami.
Ranum langsung menerima sertifikat yang diberikan Windraya, lalu membaca dengan saksama. “Bolehkah saya menyimpan sertifikat ini?” tanyanya. “Untuk apa?” Windraya balik bertanya. “Bukan untuk apa-apa ….” Ranum berdehem pelan, seraya mengembalikan benda itu pada sang suami. “Anda saja yang simpan. Lagi pula, saya agak pelupa,” ujarnya, diiringi senyum.“Tidak apa-apa. Simpan saja. Bukankah itu milikmu?”Ranum kembali tersenyum. “Ya, sudah. Kamu simpan itu baik-baik. Sekarang, kita temui mama.” Windraya mengajak Ranum keluar dari ruang kerja. Mereka melangkah bersama menuju kamar Nindira. Selama beberapa saat, mereka berada di kamar sang nyonya besar. Memastikan kabar bahagia atas kehamilan Ranum, meskipun usianya masih terbilang muda. “Mulai sekarang, Mama ingin kamu lebih perhatian pada Ranum. Tugaskan seseorang untuk jadi asisten pribadi yang akan melayaninya. Jangan lupa dengan asupan gizi yang dia butuhkan, selama menjalani kehamilan,” pesan Nindira, pada Windraya.Setelah itu
Ranum menyuruh sang sopir menunggu selagi dirinya menemui Juwita, lalu melihat sekeliling. Dia memastikan tak ada yang mencurigakan. “Hai!” sapa Juwita, saat melihat kehadiran Ranum. “Hai!” balas Ranum. Dia segera duduk di hadapan Juwita, yang sudah menunggu sejak beberapa saat lalu. “Maaf terlambat. Pak Win ada di rumah. Jadi, aku harus meminta izinnya terlebih dulu.” Juwita tersenyum hangat. “Hm. Istri yang baik,” godanya. “Aku juga baru datang. Tapi, aku sudah memesan bakso untuk kita.” Ranum mengangguk. “Terima kasih, Wit.” Ranum tak langsung bicara karena pelayan datang menghidangkan dua mangkuk bakso. Namun, tiba-tiba dia tak berselera melihat makanan kesukaannya tersebut. “Bagaimana kamu bisa mendapatkan sertifikat itu dalam waktu sehari? Apakah Pak Win memberikannya secara cuma-cuma atau ….” Juwita yang tengah menuangkan saus ke dalam mangkuk, menatap aneh. Dia kembali menggoda sahabatnya. “Atau apa?” Ranum se
“Mati aku!” ucap Ranum dalam hati. “Kenapa?” Windraya memicingkan mata, menatap Ranum penuh selidik. “Apa ada masalah?” tanyanya. Nada bicara pria itu pun terdengar lain. Ranum menggeleng, meyakinkan bahwa tak ada apa pun yang disembunyikan. “Saya … saya tidak enak badan, Pak. Sejak tadi, kepala terasa pusing dan agak mual. Mungkin pengaruh dari multivitamin yang dokter berikan atau ---” “Aku rasa bukan,” bantah Windraya. “Itu hanya vitamin. Lagi pula, kamu membutuhkannya sekarang, selagi menjalani masa kehamilan.” Ranum mengangguk pelan. Dia berusaha terlihat biasa di hadapan Windraya. Namun, Ranum bukan seseorang yang ahli dalam bersandiwara. Terlebih berbohong. “Jadi? Bagaimana?” Windraya tak melepaskan tatapan dari sang istri. “Jangan membuang waktuku, Ranum.” “Pak, saya ….” Ranum tak tahu harus berkata apa. Dia belum menyiapkan penjelasan, yang akan diberikan pada Windraya. “Apakah Pak Wawan mengatakan sesuatu?” tan
Ranum terlihat ragu. Dia masih ingat betul seperti apa sikap Ainur, saat terakhir kali mereka bertemu. Terlebih, setelah wanita paruh baya itu membeberkan jati diri Ranum yang sebenarnya. “Kenapa? Ibumu pasti tak akan berpikir macam-macam lagi. Dia sudah mengetahui siapa suamimu. Aku pernah berbicara secara langsung dengannya,” ujar Windraya tenang. “Saya tidak yakin. Ini bukan hanya tentang status sebagai istri, tetapi juga sebagai anak,” ujar Ranum pelan, seraya menundukkan wajah. Melihat bahasa tubuh sang istri yang dirasa aneh, membuat Windraya menautkan alis. “Ada apa?” tanyanya lembut. Bukannya menjawab, Ranum justru terisak pelan. “Kenapa?” tanya pengusaha itu lagi kian penasaran. “Beliau bukan ibu kandung saya, Pak,” jawab Ranum lirih.“Apa?” Windraya menatap tak percaya.Ranum mengangguk. Tak lama, dia menceritakan semua yang Ainur katakan dulu secara terperinci. Membuat Windraya ternganga tak percaya. “Ibu saya seorang pelacur, Pak. Itulah kenyataannya,” ucap Ranum di
Ranum menatap sang suami. “Terserah Anda,” ucapnya sambil berbalik, kemudian melanjutkan langkah. “Tunggu, Ranum!” cegah Windraya. Ranum kembali tertegun. Namun, kali ini tak menoleh, meskipun mendengar langkah Windraya yang mendekat padanya. “Ayolah. Kumohon,” bisik Windraya, seraya menyentuh lembut lengan sang istri. “Saya sudah menjawab tadi,” ucap Ranum dingin. “Bukan itu maksudku,” bantah Windraya, seraya berpindah ke hadapan Ranum. Dia mengambil Elok, lalu menggendong sang putri yang ternyata sudah bangun. Windraya mengecup bayi itu penuh kasih. “Aku harus bagaimana lagi?” tanyanya.Ranum tidak menjawab. Dia justru memalingkan wajah. “Sayang,” ucap Windraya lagi, dengan raut setengah memohon. “Aku sudah menceraikan Mayla, yang dinikahi secara sah. Aku masih mempertahankanmu hingga saat ini karena berharap bisa memiliki ikatan yang lebih baik dan kuat.” “Semudah itu?” Ranum yang dalam beberapa waktu terakhir puasa bicara terhadap Windraya, kali ini bersedia menanggapi ucap
Hari berganti. Namun, sikap Ranum tak juga berubah. Dia masih irit bicara terhadap Windraya. Padahal, sikapnya di hadapan orang lain terlihat biasa.Windraya sendiri akhirnya terbiasa dengan hal itu. Namun, dia tak membiarkan Ranum begitu saja. Windraya tetap mengajaknya berbincang, meskipun seperti tengah berbicara dengan tembok.Walaupun begitu, Windraya tak peduli. Pengusaha tampan tersebut bahkan kerap bercerita tentang masa kecil, remaja, hingga segala hal yang sebelumnya tidak Ranum ketahui. “Aku tahu itu gila. Tapi, teman-temanku jauh lebih gila. Jika ingat mereka, rasanya ingin kembali ke masa di mana tak ada hal lain yang kupikirkan selain pelajaran sekolah,” tutur Windraya, sambil duduk bersandar. Dia menoleh beberapa saat pada sang istri, yang berbaring dalam posisi menyamping dan tentu saja membelakanginya.“Banyak hal yang sudah berubah,” ucap Windraya lagi, seraya mengalihkan perhatian ke arah lain. “Jangankan dari masa sekolah. Dalam tahun ini saja, banyak hal terjadi
Windraya menatap Ranum dengan sorot tak suka. Namun, dia memilih tak banyak bicara. Pria itu mengalihkan perhatian pada Marcell. Sang ajudan berpura-pura sibuk dengan telepon genggamnya. Pengusaha tampan yang kini menyandang status ayah tersebut mengembuskan napas pelan. Dia tersenyum kecil, saat dua orang pelayan datang membawa serta menyajikan makanan yang telah dipesan. “Makan dulu,” ucap Windraya entah ditujukan pada siapa. Ranum yang tengah asyik berbincang dengan Annchi, tak menanggapi. Dia terus berbicara pada gadis kecil itu. Sesekali, suara Bastian terdengar menimpali. Mendengar suara pengusaha yang telah menampung Ranum selama pelariannya, membuat darah dalam tubuh Windraya berdesir lebih kencang dari biasanya. Degub jantung pun jadi tak beraturan. Jika tak sedang menggendong Elok, Windraya mungkin akan langsung merebut telepon genggam yang tengah digunakan video call oleh sang istri. Namun, dalam situasi seperti saat ini, Windraya tak bisa berbuat apa-apa. Dia harus pa
Sontak, ketiga pria di ruang tamu langsung menoleh ke sumber suara. Sosok Ranum muncul sambil menggendong Elok. Dia datang ditemani Celia. Ibu muda itu memandang Windraya, dengan tatapan tak dapat diartikan."Ranum?" Windraya menatap tak percaya. Sebenarnya, dia ingin langsung menghambur dan memeluk wanita itu. Namun, Windraya berusaha menahan diri.Ranum melangkah tenang ke dekat Bastian. "Maafkan saya, Pak. Padahal, saya sudah mengatakan akan bekerja di sini sebagai tanda terima kasih. Namun, saya justru ...." Ranum tak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa tak enak yang menyelimuti hati wanita muda itu."Tidak usah dipikirkan, Mbak. Saya memberikan bantuan tanpa mengharap imbalan apa pun. Saya senang karena Mbak Ranum dan Elok sehat," balas Bastian tulus."Bagaimanapun juga, Mbak Ranum harus kembali kepada suami. Apalagi, Elok sudah terlahir ke dunia. Dia membutuhkan sosok orang tua, yang nantinya akan membimbing dan memberikan segala yang terbaik," ujar Celia menimpali."Terima kasih,
“Apa maksudmu berpisah?” Tatapan Windraya menyiratkan rasa tak mengerti. Dia juga tak suka mendengar ucapan Ranum. “Meskipun pernikahan kita tidak diakui secara hukum negara, tetapi Anda tetap harus menceraikan saya —”“Tidak!” tolak Windraya tegas. “Aku tidak akan pernah melakukan itu!”“Saya ingin berpisah, Pak,” desak Ranum tak kalah tegas. Menghadapi sang istri yang keras kepala, membuat Windraya kembali kehilangan kesabaran. Dia meraih lengan sebelah kanan Ranum, mencengkramnya cukup erat. “Sudah kukatan agar jangan bermain-main denganku, Ranum. Kamu tidak akan menyukainya!”“Saya tidak peduli lagi, Pak,” balas Ranum. “Lebih baik Anda pergi dari sini sekarang juga,” usirnya penuh penekanan.“Tidak tanpamu dan Elok,” tolak Windraya tegas.“Tapi, saya tidak bersedia. Saya akan tetap berada di sini.” “Jangan keras kepala, Ranum. Jangan sampai aku memaksamu —”“Itulah yang biasa Keluarga Sasmitha lakukan. Memaksakan kehendak mereka pada orang lain,” sela Ranum. Dia melepaskan ceng
“Apa maksudmu” Windraya menatap aneh sang istri, yang makin menjaga jarak darinya. “Elok adalah putriku juga. Dia tidak akan ada jika bukan karena —”“Seperti yang Anda dengar tadi, Pak,” sela Ranum cukup tegas, meskipun suaranya tidak terlalu nyaring. “Semua sudah tertera dalam dokumen kelahiran Elok. Dia hanya putri saya. Elok tidak memiliki ayah —”“Ranum!” sergah Windraya, tak kuasa menahan amarah. Ekspresi serta tatapannya teramat tajam, menandakan kemarahan yang tak sepenuhnya terlampiaskan. Dia hanya bisa mengepalkan tangan di samping tubuh. “Kendalikan diri Anda, Pak Windraya,” tegur Celia. “Posisi Anda saat ini tidak menguntungkan, meskipun berhak atas diri Elok.”Windraya mengembuskan napas berat, demi menanggulangi perasaan yang bergejolak dan hampir tak terbendung. Namun, pria itu sadar. Apa yang Celia katakan benar adanya. “Saya ingin bicara berdua dengan Ranum?” Windraya menoleh sekilas pada Celia. “Apa Anda bisa menjamin tidak akan —”“Jangan khawatir. Saya suaminya.
Ranum dan Titin saling pandang, seakan bertanya siapa yang Bastian tugaskan untuk menunjukkan arah toilet khusus tamu. Namun, berhubung tangan Titin dipenuhi busa sabun, artinya Ranum lah yang harus mengambil tugas itu. Ranum mengangguk sopan. “Mari, Pak,” ajaknya, seraya mengarahkan Windraya agar mengikuti. “Permisi, Pak Bas,” ucap Windraya, sebelum mengikuti langkah Ranum menuju salah satu koridor tak jauh dari dapur. Windraya berjalan gagah penuh wibawa. Tatapan pria itu tertuju lurus pada wanita di depannya. Windraya masih bingung. Tak tahu harus mengatakan apa pada sang istri. Akhirnya dia meraih pergelangan Ranum, lalu menarik wanita itu hingga berbalik. Windraya bergerak cepat menyandarkan Ranum ke dinding. “Sejauh inikah kamu melarikan diri?” Tatapan sang pemilik Win’s Aerospace System itu teramat tajam. Menghujam langsung ke jantung Ranum. “Kenapa bersikap begini?” “Toilet ada di ujung koridor, Pak,” ucap Ranum. Dia tak menanggapi apa yang Windraya katakan tadi. “Aku ti
Suara roda troli berderit makin mendekat ke meja makan. Arahnya berasal dari bagian belakang Windraya dan Marcell, yang duduk bersebelahan. “Makanan penutup sudah datang,” ucap Bastian, saat suara troli berhenti di dekatnya. Windraya dan Marcell langsung mengarahkan perhatian secara bersamaan. Seketika, keduanya diam terpaku menatap wanita yang tengah menyediakan makanan untuk Bastian. “Terima kasih, Mbak,” ucap Bastian lagi. Wanita yang tak lain adalah Ranum, mengangguk sopan. Dia tersenyum, lalu berpindah ke dekat Windraya yang terus menatapnya. Namun, Ranum tak peduli. Dia menyajikan makanan tanpa menoleh sedikit pun. Begitu pula saat menyajikan makanan untuk Marcell. Setelah itu, Ranum kembali ke dekat troli yang berada tak jauh dari Bastian. “Permisi, Pak,” ucapnya pelan, seraya kembali mengangguk sopan. Dia berbalik mendorong troli itu keluar dari ruang makan. Ranum menguatkan diri melangkah sambil mendorong troli. Dia berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tidak men