“Kamu sudah kehilangan kepercayaan padaku.” Windraya mengembuskan napas pelan, kemudian berlalu dari hadapan Mayla yang masih berdiri terpaku. Windraya melangkah gagah menuju dapur. Tenggorokannya terasa begitu kering. Dia tak terbiasa berselisih dengan Mayla. Pengusaha tampan itu selalu membiarkan sang istri semaunya, asalkan dalam batas wajar. Ya. Windraya belum tahu Mayla menjalin hubungan terlarang dengan pria lain, yang berusia beberapa tahun lebih muda darinya. Entah apa yang akan terjadi, andai putra sulung Nindira tersebut mengetahui kebusukan sang istri selama ini. Windraya menghentikan langkah, melihat Ranum tengah berdiri termenung sambil menyandarkan sebagian tubuh pada counter kitchen. Pria tampan berperawakan tinggi tegap itu mengembuskan napas berat. Ada rasa bersalah dalam dirinya, atas apa yang dilakukan tadi terhadap Ranum. “Sedang apa?” tanya Windraya, yang berdiri sambil menyandarkan lengan kiri ke lawang pintu. Tatapan ppengusaha dalam bidang manufaktur itu
Sekali lagi, Windraya memperlihatkan sesuatu yang tak biasa. Setelah adegan di halaman belakang, kali ini dia mencium Ranum di dapur. Pria itu seakan tak dapat mengendalikan hasrat, hingga berani melakukan tindakan seperti itu di mana saja dirinya inginkan. “Sudah, Pak. Nanti ada yang melihat kita.” Ranum berusaha menghindar dari kenakalan sang suami, meskipun usahanya tidak berhasil. Windraya tetap menggoda dengan cara lain. Dia baru berhenti, saat ada seorang ART masuk ke sana. Pengusaha tampan itu langsung bersikap biasa. Memperlihatkan wibawa yang selalu jadi ciri khasnya. “Maaf, Pak,” ucap sang ART, tak enak. Dia langsung pada pekerjaan, meskipun terlihat tak begitu nyaman. Windraya hanya menggumam pelan. Perhatiannya kembali tertuju pada Ranum, yang salah tingkah karena kepergok tengah bermesraan oleh orang lain. “Kapan kamu pulang?” tanya pria itu, setelah membuang botol kosong ke tempat sampah. “Sesuai izin dari Anda dan
“Kenapa? Apanya yang tapi?” “Aku sengaja cuti untuk menemani Ibu —” “Ah, tak masalah.” Ainur mengibaskan tangan di depan wajah. “Lagi pula, kamu sudah menghabiskan waktu bekerja sebulan penuh. Apa salahnya meluangkan satu hari untuk jalan-jalan? Nak Dwiki tidak keberatan. Seharusnya, kamu senang.” Wanita paruh baya dengan daster motif batik itu berusaha membujuk Ranum. Namun, Ranum tetap terlihat keberatan. “Tak apa-apa kalau Ranum tidak bersedia. Jangan dipaksa, Bu,” ujar Dwiki berkomentar. Dia merasa tak enak, melihat bahasa tubuh yang diperlihatkan Ranum. Namun, Ainur segera menggeleng. “Ranum pasti hanya malu. Maklum, Nak Dwiki. Putri saya belum pernah pacaran atau sekadar dekat dengan laki-laki.” Dia berusaha menjelaskan. “Wah, gadis yang sangat langka untuk zaman sekarang. Apalagi, Ranum sangat cantik. Pasti banyak laki-laki yang menyukainya.” Dwiki terdengar sangat berhati-hati dalam bicara. Ainur tertawa. Ibu dua anak itu terlihat jelas tengah berusaha mencairkan su
“Mas Dwiki?” Ranum menautkan alis, mendapati Dwiki yang menghentikan motor dekat trotoar. “Dari dan mau ke mana?” tanyanya. “Kebetulan saja lewat daerah sini,” jawab Dwiki enteng, seraya melipat kedua tangan di atas helm yang diletakkan di depan tubuh. “Mau ke mana? Mari kuantar.” Pria itu memberi isyarat, agar Ranum naik ke motor retro miliknya. Ranum menggeleng. “Tidak usah, Mas. Saya bisa naik bus,” tolaknya, halus. “Tidak apa-apa, Ran. Aku hanya mengantar, bukan mengajak jalan-jalan,” gurau Dwiki. “Jarak dari sini ke Green Golf Mansion hanya beberapa menit. Apalagi kalau naik motor.” “Tidak usah, Mas. Nanti merepotkan,” tolak Ranum lagi. “Aku yang menawarkan. Itu artinya, tidak merepotkan sama sekali,” balas Dwiki, tetap membujuk. Ranum terdiam sejenak. Dia tak tahu harus menolak dengan cara apa lagi. Pria di hadapannya itu teramat gigih. Entah apa yang melatarbelakangi Dwiki begitu ingin dekat dengannya. “Memangnya, Mas Dwiki tidak punya pacar? Nanti bisa bahaya kalau
Ranum yang tengah berdiri sambil menghadap Dwiki, sontak menoleh ke arah SUV hitam yang tadi melintas. Saking asyik berbincang, dia tak menyadari ketika mobil mewah tersebut berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. "Pak Win .... "Dari dalam kendaraan mewah dengan plat nomor unik itu, Windraya menatap Ranum. Sorot pengusaha yang bergerak di bidang manufaktur tersebut tampak lain. Namun, dia tak mengatakan apa pun. Begitu juga dengan Ranum yang merasa tak enak. Wanita muda itu langsung menunduk. Dia bahkan tak berani menatap lagi, hingga SUV hitam tadi kembali melaju gagah meninggalkannya dan Dwiki. "Siapa pria itu?" tanya Dwiki. "Beliau ... beliau majikan saya, Mas," jawab Ranum, seraya menggigit pelan bibirnya. Ada kegetiran luar biasa, ketika menyebut pria yang merupakan suaminya tersebut sebagai majikan. "Kelihatannya sangat galak," ujar Dwiki, menanggapi. Ranum segera menggeleng. "Tidak juga. Ekspresi Pak Win memang sep
Ranum menghentikan tangis, lalu berdiri. Dia melangkah ke dekat laci, yang berada dekat tempat tidur. Ranum membuka laci sebelah kanan. Dari sana, wanita muda itu mengambil sebuah cincin berlian, yang diberikan Windraya di hari pernikahan mereka. Ranum duduk termenung di tepian tempat tidur, sambil mengamati cincin berlian yang baru diambil dari laci. Perhiasan itu sangat indah dan berkelas. Ranum yakin harganya pasti lumayan jika dijual atau sekadar digadaikan. Namun, sayangnya dia tak memegang sertifikat keaslian perhiasan tersebut. “Bagaimana ini?” Ranum teramat bimbang. Wanita muda itu berpikir beberapa saat, sebelum teringat akan sesuatu. “Juwita.” Satu nama terlontar dari bibirnya. Tanpa pikir panjang, Ranum segera mengambil telepon genggam dari dalam tas. Dia menghubungi orang yang tadi disebut namanya. “Halo. Ini dengan siapa?” tanya Juwita, dari seberang sana. “Hai, Wit. Apa kabar? Ini aku. Ranum.” Ranum berbasa-basi terlebi
Windraya memundurkan satu kursi dekat Nindira. “Duduklah,” bisiknya, sambil berdiri di belakang Ranum yang terlihat kikuk. Setelah berkata demikian, dia kembali ke tempatnya. Sambil melangkah di belakang Ranum, Windraya iseng menyentuh pinggul wanita muda itu. Ranum menelan ludah dalam-dalam, menerima sentuhan nakal Windraya. Namun, dia segera menepiskan perasaannya. Ranum duduk di sebelah Nindira, yang langsung tersenyum. Lain halnya dengan Mayla. Wanita cantik bertubuh sintal itu langsung kehilangan selera makan karena kehadiran Ranum dan Nindira. Namun, Mayla tak berniat pergi dari sana. Dia tidak ingin mengalah. “Kamu pulang jam berapa, Win?” tanya Nindira, sambil menyantap menu yang sudah disajikan dalam piring. “Setelah makan siang,” jawab Windraya, seraya mencuri pandang ke arah Ranum. “Apa kamu dan Ranum pulang bersama?” tanya Nindira lagi. “Tidak juga. Aku datang lebih dulu.” Windraya memasukkan satu suapan, meskipun tiba-tiba rasa makanan yang tengah dinikmatinya jad
"Sudahlah. Bicaramu makin ngawur. Lebih baik kamu tidur saja." Windraya kesal atas ucapan Mayla. "Aku benar-benar paham sekarang," ujar Maryla menanggapi. "Apa yang kamu pahami? Daripada dilanjutkan dan hanya akan berakhir pada pertengkaran, lebih baik sudahi perbincangan ini," pungkas Windraya, seraya membaringkan tubuh dengan posisi membelakangi. Windraya berusaha memejamkan mata. Namun, suara isakan Mayla membuatnya tak bisa tidur. Alhasil, dia membalikkan badan, lalu mendekat dan memeluk sang istri dari belakang. "Kamu benar-benar takut kehilanganku? Apakah ada alasan lain?" tanyanya. "Alasan apa yang kamu inginkan?" Mayla balik bertanya. "Kamu sudah tahu hidupku seperti ini. Sebagai wanita, aku sangat terpukul ketika divonis tak bisa memiliki keturunan. Mama pun tak bisa memahami itu dan lebih memilih cara lain, untuk menuntaskan keinginannya memiliki cucu. Ah, entahlah. Apakah benar-benar demi mendapatkan penerus atau hanya aka