Share

Walk In Closet

Ranum sendiri bagai patung karena bingung harus bagaimana. 

Diremasnya kain yang ada di dekatnya.

"Ahh...." Tanpa sadar, Ranum mendesah.

Namun, pertautan manis tadi terus berlangsung, sampai Windraya tiba-tiba mengakhirinya.

Pria tampan penuh kharisma itu mengembuskan napas pelan, lalu memalingkan muka. “Aku tidak bisa.”

Disambarnya T-Shirt dari ujung tempat tidur dan mengenakannya.

“Tidurlah. Aku masih punya pekerjaan.” Setelah berkata demikian, suami Ranum itu berlalu keluar kamar, tanpa menoleh sedetik pun.

Di sisi lain, Ranum yang masih duduk bersimpuh di tempat tidur, hanya mengulum bibir.

Tak bisa dipercaya, dia baru saja berciuman dengan Windraya.

Wanita muda berambut panjang itu menggigit pelan bibir bawahnya. “Ya, Tuhan,” ucap Ranum lirih.

Windraya meninggalkannya seorang diri, setelah memberikan sentuhan lembut di bibir, yang merupakan ciuman pertama bagi wanita muda itu.

Ada rasa lega di hati Ranum karena Windraya tak menyentuhnya lebih jauh. Namun, bila dirinya dituntut untuk hamil, tentu saja mereka harus melakukan hubungan suami istri.

Lalu, apa yang akan terjadi andai Mayla kembali dan mengetahui pernikahan siri sang suami dengan wanita lain?

**********

Kring!

Suara alarm kencang membuat Ranum terjaga dari tidur lelapnya. Ini adalah pertama kali dalam hidup wanita muda itu, menghabiskan malam di kamar dengan kasur empuk nan nyaman.

Ranum menoleh ke sisi sebelah kanan kasur berukuran besar itu. Dia dapat memastikan bahwa Windraya tak tidur bersamanya, berhubung bantal masih terlihat rapi. Ranum hanya tersenyum kecil karena memahami posisi Windraya yang sangat mencintai Mayla, meskipun wanita itu kerap meninggalkan suaminya untuk berlibur seorang diri.

“Ini jauh lebih baik. Semoga dalam jangka waktu yang ditentukan, Pak Windraya tidak menyentuh apalagi sampai menghamiliku,” gumam Ranum. Dia lupa harus mengembalikan setengah dari uang seratus juta, andai tak segera hamil.

“Kenapa orang kaya selalu berpikir di atas normal?” pikir Ranum, seraya turun dari tempat tidur. Walaupun sudah menjadi istri siri Windraya, tetapi dia tetap harus menjalankan tugas sebagai perawat Nindira.

Nindira adalah wanita berwatak keras. Beberapa perawat yang sengaja disewa oleh Windraya, tak mampu bertahan lama menghadapinya. Berbeda dengan Ranum. Meskipun tidak memiliki predikat sebagai perawat profesional, tetapi dia bisa menaklukan Nindira dan membuat ibunda Windraya tersebut merasa nyaman.

“Maaf terlambat, Bu,” ucap Ranum, sopan. Dia segera menghampiri Nindira yang masih terbaring di tempat tidur.

“Tidak apa-apa,” balas Nindira, diiringi senyum kecil. Wanita itu memperhatikan Ranum dengan sorot aneh.

“Aku akan mencari perawat lain,” ucapnya.

“Kenapa?”

“Aku ingin kamu fokus melayani Windraya,” sahut Nindira. Dia membiarkan Ranum mengganti pampers, lalu membersihkan area sensitifnya tanpa canggung. Ranum sudah sangat cekatan melakukan pekerjaan itu.

“Jangan tersinggung. Aku hanya tidak mau kamu merasa terbebani. Lagi pula, sekarang kamu sudah jadi istri Windraya,” ucap Nindira lagi.

Ranum tersenyum lembut, seraya menggeleng pelan. “Saya senang bisa merawat Anda, Bu,” ucapnya.

“Memangnya kamu tidak kerepotan membagi waktu, antara merawatku dan melayani Windraya? Dia juga harus kamu perhatikan dengan baik. Ingat, ada misi dalam pernikahan kalian,” ujar Nindira, kembali mengingatkan Ranum akan perjanjian pernikahan yang telah disepakati.

Ranum terdiam sejenak, lalu kembali menggeleng. “Jangan khawatir, Bu. Saya sudah terbiasa menyibukan diri,” ucapnya, seraya melanjutkan pekerjaan.

Beberapa saat berlalu, Nindira sudah berganti pakaian. Dia telah berpindah ke kursi roda.

“Jika kamu bisa memberikanku cucu laki-laki, maka aku akan menjadikanmu sebagai istri sah Windraya,” ucap Nindira begitu yakin.

“Maksud Anda?” Ranum menghentikan sejenak pekerjaannya, lalu menatap Nindira dengan sorot tak mengerti.

“Seperti yang kamu dengar tadi.”

“Tapi, itu sangat tidak adil bagi Bu Mayla,” ucap Ranum, tak enak.

Namun, Nindira justru tersenyum puas. “Aku tidak peduli. Lagi pula, pernikahannya dengan Windraya tak memberikan dampak positif. Mayla hanya wanita bodoh dan serakah. Seharusnya, aku bersikap tegas sejak dulu.”

“Lalu, bagaimana jika saya tidak bisa memberikan Anda cucu laki-laki?” tanya Ranum, ragu.

Nindira kembali tersenyum. “Jangan berandai-andai, Ranum. Fokus saja pada tugasmu.”

Ranum terdiam. Dia tak ingin menanggapi lagi ucapan Nindira. Wanita muda itu memilih ke kamar mandi, membuang air bekas membersihkan tubuh ibu mertuanya.

Sesaat kemudian, Ranum keluar dari sana bersamaan dengan Windraya yang masuk ke kamar.

“Selamat pagi, Ma,” sapa Windraya. “Hari ini aku ada rapat penting sampai sore.”

“Selamat pagi, Win,” balas Nindira hangat. “Jam berapa kamu akan pulang?” tanyanya.

“Kuusahakan sebelum makan malam,” jawab Windraya, seraya menoleh sekilas pada Ranum yang berdiri dengan wajah tertunduk. “Mayla memintaku menjemputnya ke bandara, tapi aku tidak bisa.”

“Biarkan saja dia pulang naik taksi,” ujar Nindira menanggapi.

“Ayolah, Ma. Mayla adalah istri sahku. Mama harus ingat itu,” protes Windraya. Dia tak ingin berdebat tentang Mayla di hadapan Ranum. Pria itu memilih langsung mengecup kening sang ibunda, lalu pamit untuk bersiap-siap.

Sepeninggal Windraya, Nindira segera mengalihkan perhatian pada Ranum. “Kenapa masih di sini? Bantu putraku bersiap-siap,” tegurnya.

Ranum yang masih berdiri kikuk, makin gugup mendengar perintah demikian. Wanita muda itu mengangguk ragu, lalu bergegas keluar mengikuti Windraya ke kamarnya.

“Pak,” panggil Ranum pelan, saat Windraya hendak membuka pintu.

Windraya tertegun, lalu menoleh. “Ada apa?” tanyanya.

“Saya disuruh membantu Anda bersiap-siap,” jawab Ranum polos.

“Aku bisa melakukannya sendiri.”

“Tapi, Bu Nindira nanti pasti bertanya macam-macam.”

“Astaga.” Windraya mengeluh pelan. Mau tak mau, dia mempersilakan Ranum masuk ke kamar yang ditempatinya bersama Mayla.

Windraya melangkah gagah masuk ke walk in closet. Di sana, dirinya berganti pakaian dengan kemeja formal. Tepat saat hendak memilih dasi, pria itu terpaku beberapa saat. Sejujurnya, dia tak berbakat mencocokkan dasi dengan kemeja.

“Biar saya bantu, Pak,” ucap Ranum, yang sedari tadi hanya berdiri memperhatikan apa yang suami sirinya lakukan.

Windraya tidak menyahut. Namun, dia mempersilakan Ranum membantu. Pria itu bahkan tak menolak, saat Ranum memasangkan dasi untuknya.

Windraya memperhatikan istri sirinya dengan tatapan tak dapat diartikan. Dari jarak cukup dekat, dia dapat menikmati kecantikan alami wanita muda itu.

“Apa lulusan terakhirmu?” tanya Windraya, setelah keheningan bertahta beberapa saat.

“SMK, Pak,” jawab Ranum pelan, sambil terus fokus pada dasi yang sedang dipasangnya. Dia tak berani melawan tatapan Windraya.

“SMK?”

“Ya. Jurusan Tata Boga.”

“Tapi, kamu piawai merawat mama.”

Ranum tersenyum, seraya merapikan kerah kemeja Windraya. “Saya merawat mendiang bapak yang sakit stroke, hingga beliau tiada.”

“Kamu juga pasti pandai memasak.”

Ranum kembali tersenyum. Kali ini, dia memberanikan diri membalas tatapan Windraya.

Entah mengapa, pria tampan itu mendekatkan wajah.

Ranum sendiri terdiam.

Hanya saja, saat mereka hampir berciuman ....

“Apa-apaan ini?”

Mayla -- istri pertama Windraya-- datang dan menatap keduanya tajam!

Deg!

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Najwa Aini
degg.. Aku ikut berdebar222
goodnovel comment avatar
AkiraYuki
nah lhooo, ketauan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status