“Mayla?”
Windraya sontak menjauhkan diri dari Ranum.
“Apa yang kalian lakukan?” Mayla melepaskan genggaman dari gagang koper, lalu berjalan mendekat ke hadapan Ranum. “Dasar tidak tahu diri!” Dia mendorong wanita muda itu cukup kencang, hingga mundur dan menabrak lemari etalase berisi deretan kemeja mahal Windraya.
“Hentikan.” Windraya segera meraih tangan Mayla, yang bermaksud meraih tubuh Ranum. Dia harus mencegah sang istri melakukan tindakan kasar terhadap istri sirinya. “Pergilah, Ranum,” suruh pria itu penuh wibawa.Ranum yang ketakutan, hanya bisa mengangguk. Dia bergegas meninggalkan kamar mewah itu. Ranum sadar sedang dalam masalah besar.“Apa-apaan kamu, Mas?” protes Mayla tak suka. Dia berusaha melepaskan cengkraman Windraya, dari pergelangan tangannya. “Lepaskan aku! Biar kuberi pelajaran pembantu tak tahu malu itu!”“Tenangkan dirimu dulu. Kita harus bicara.” Windraya berusaha tak terpengaruh dengan sikap Mayla. Sebisa mungkin, dia mengendalikan sang istri, agar tak lagi berontak.“Aku lelah, Mas! Aku baru menjalani perjalanan jauh! Bagaimana bisa tenang melihatmu hampir berciuman dengan pembantu sialan itu?” Mayla makin memberontak. Berusaha melepaskan diri dari Windraya yang mendekapnya.“Tapi, aku tidak akan membiarkanmu bertindak kasar.” Windraya terus berusaha menenangkan Mayla, meskipun wanita itu berusaha sekuat tenaga melepaskan diri darinya.Berhubung Mayla sulit dikendalikan, Windraya terpaksa melakukan tindakan yang tak pernah dilakukan. Dia membawa sang istri ke ruang utama kamar, lalu mengempaskannya ke tempat tidur. Pengusaha tampan tiga puluh delapan tahun itu menahan kedua tangan Mayla, yang berada di sisi kiri dan kanan wanita cantik tersebut.“Menyingkir dariku, Mas!” Mayla tak juga menyerah, meskipun Windraya sudah menahan geraknya. “Kamu keterlaluan! Jadi, itu yang kamu lakukan setiap kali aku pergi berlibur?” tudingnya.“Tidak! Jangan bicara sembarangan!” bantah Windraya tegas. “Aku tak pernah mengkhianatimu dengan wanita manapun!”“Kamu bohong! Buktinya kamu berduaan dengan wanita itu. Kalian bahkan hampir berciuman, seandainya tidak kupergoki tadi!”Windraya terdiam. Perlahan, dia melepaskan cengkraman dari kedua pergelangan tangan sang istri. Pengusaha muda dengan kemeja biru langit itu duduk di tepian tempat tidur.Pria tampan dengan tinggi 180 cm itu setengah membungkukkan badan, sambil merekatkan kedua telapak tangan. Dia menggosok-gosokkan perlahan, sebagai pertanda bahwa kegundahan tengah melanda hatinya.“Ada apa, Mas?” tanya Mayla, yang mulai tenang. Melihat sang suami duduk termenung seperti tadi, membuatnya khawatir. Dia tahu, Windraya pasti tengah menghadapi masalah pelik. “Apa ada sesuatu dengan bisnismu?” tanya wanita tiga puluh lima tahun itu.Windraya menggeleng perlahan, lalu menegakkan sikap duduk. “Ini tidak ada hubungannya dengan masalah pekerjaan,” ucap pria tampan berambut klimis itu. Raut wajahnya teramat serius.“Lalu, ada apa?” tanya Mayla lagi, ikut tegang.Windraya tak segera menjawab. Dia menatap lekat sang istri, yang baru kembali dari liburan. “Selama kamu pergi ke Raja Ampat, mama menikahkanku dengan Ranum.”“Apa?” Mayla sontak berdiri. Dia menatap tajam Windraya, seakan hendak menghabisi pria itu tanpa ampun. “Pernikahan macam apa? Kamu masih jadi suamiku, Mas!” protesnya, tak terima.“Itu hanya pernikahan siri,” sahut Windraya, ikut berdiri.“Tanpa izin dariku?” Mayla yang sudah tenang, kembali tersulut amarah. Kali ini, bahkan jauh lebih besar dari sebelumnya. “Pernikahan siri atau apa pun itu, seharusnya tak bisa terlaksana bila tak ada izin dariku!” Nada bicara Mayla mulai tak terkontrol.“Aku sudah membuat perjanjian dengan Ranum. Hari ini, surat perjanjian itu akan disahkan oleh pengacaraku.”“Aku tidak peduli dengan perjanjian atau apa pun, Mas! Kamu sudah berkhianat!” Nada bicara Mayla tak juga terkendali. Wanita itu justru makin histeris.“Mama ingin cucu laki-laki dariku,” ujar Windraya, mengemukakan alasan menikahi Ranum.“Persetan dengan alasanmu, Mas! Aku tetap tidak terima dengan apa yang kamu dan mama lakukan!” Mayla menghentakkan kaki, lalu bergegas keluar kamar. Dia melangkah tergesa-gesa menuju kamar Nindira. Mayla harus meminta penjelasan pada sang ibu mertua.Tanpa mengetuk pintu terlebih dulu, Mayla langsung masuk. Dia berdiri angkuh, sambil melayangkan tatapan penuh amarah kepada Nindira, yang duduk menghadap ke jendela kaca.Brak!
“Apa yang Mama lakukan?” tanya Mayla, tanpa basa-basi.
Nindira yang tengah memandang ke luar, seketika langsung menoleh. “Ah, rupanya kamu sudah pulang.”Bukannya menjawab pertanyaan sang menantu, Nindira justru mengomentari hal lain.
“Apa maksud Mama menikahkan Mas Win dengan wanita lain? Dia masih berstatus sebagai suamiku, Ma!” protes Mayla penuh amarah.Namun, Nindira tak terpengaruh. Wanita paruh baya itu tetap bersikap biasa. “Memangnya kenapa? Aku juga tidak pernah protes dengan apa pun yang kamu lakukan.”“Tapi, Mama sudah ikut campur terlalu jauh dalam pernikahanku dengan Mas Win! Mama tidak berhak mengambil keputusan apa pun! Apalagi, memaksa Mas Win menikahi wanita lain tanpa seizinku!” Mayla begitu berani menentang keputusan sepihak, yang dilakukan Nindira.Namun, Nindira tetap tak terpengaruh. Ibunda Windraya tersebut membalikkan kursi roda, jadi menghadap pada sang menantu. “Begitu, ya?” Wanita paruh baya itu tersenyum sinis. “Windraya adalah putraku,” ucapnya, dingin. “Aku tidak merasa memiliki menantu perempuan. Kamu sibuk dengan urusan pribadi. Berlibur, bersenang-senang, menghamburkan uang yang diberikan putraku secara cuma-cuma. Lalu, timbal balik apa yang kamu berikan pada keluarga ini? Tidak ada. Wanita tidak tahu diri!” hardiknya.“Mama!” Mayla sudah bergerak maju, hendak melakukan protes atas ucapan kasar ibu mertuanya.Namun, gerakan Mayla berhasil dihentikan oleh Windraya. “Jangan bertindak macam-macam, yang hanya akan makin memperkeruh keadaan,” tegurnya pelan.“Mama sudah bertindak di luar batas! Dia juga menghinaku!” bantah Mayla, tak terima.“Siapa yang menghinamu?” sanggah Nindira. “Aku hanya mengatakan kebenaran.”“Apa yang Mama lakukan sudah membuat harga diriku hancur!”“Kalau begitu, berikan aku cucu laki-laki! ” tantang Nindira.“Ma!” Windraya melayangkan protes keras. “Mama sudah tahu seperti apa kondisi Mayla.”“Itulah mengapa Mama menikahkanmu dengan wanita lain. Alasannya jelas karena Mama ingin seorang cucu. Namun, apa yang bisa diberikan istrimu? Dia tak bisa melakukan apa pun, selain menghamburkan uang. Benar-benar tidak berguna!” cerca Nindira gamblang. Tak ada batasan lagi baginya, saat mengomentari sang menantu.“Kamu dengar apa yang mama katakan, Mas? Seperti itulah sikapnya padaku selama ini. Dia tak pernah menghargaiku!”“Apa yang harus kuhargai dari wanita tidak berguna sepertimu?”“Ma! Tolong hentikan,” cegah Windraya tegas. “Aku menghormatimu, tapi aku juga harus menjaga Mayla karena dia adalah istriku. Suka atau tidak, itulah kenyataannya.” Windraya mengalihkan perhatian pada Mayla.“Kalau begitu, beri pengertian pada istrimu. Jika dia tetap banyak bicara, Mama akan mengusirnya dari rumah ini!"Tatapan wanita tua itu begitu tajam dan tak mau dibantah!
“Ma!” Tak biasanya, Windraya meninggikan nada bicara di hadapan Nindira. Namun, situasi yang dihadapinya kali ini berbeda. Sebagai suami yang sangat mencintai pasangan, dia berkewajiban menjaga harga diri sang istri bahkan dari ibunya sekalipun. “Tolong jangan bersikap berlebihan seperti ini!” “Berani sekali kamu bicara dengan nada seperti itu pada Mama,” tegur Nindira, tak suka.“Aku harus bagaimana lagi? Demi bakti serta rasa sayangku terhadap Mama, aku menerima pernikahan dengan Ranum. Akan tetapi, aku tidak akan tinggal diam, jika Mama terus bersikap kasar pada Mayla. Ingat, Ma! Bagaimanapun juga, Mayla adalah istriku. Otomatis, dia sudah menjadi putri di keluarga ini —”“Mama tidak sudi memiliki putri macam dia!” sergah Nindira, menyela ucapan Windraya. “Keputusan Mama sudah bulat dan tidak bisa diganggu siapa pun. Termasuk olehmu, Win! Bila Mayla tidak bisa menerima pernikahan keduamu dengan Ranum, silakan pergi dari rumah ini. Lagi pula, keberadaannya di sini tidak berguna
Windraya segera menggeleng, memberikan bantahan pada ucapan sang istri. "Ini bukan masalah tunduk atau apa pun namanya.""Bila kamu menganggap ini sebagai bakti ... kurasa sudah sangat keterlaluan," protes Mayla lagi, seraya memalingkan muka. Windraya lagi-lagi mengembuskan napas berat dan dalam. Dia harus tetap tenang, agar tidak salah bicara atau bersikap di hadapan Mayla. Sebenarnya, dia tidak suka karena sudah terlalu banyak bicara. Namun, dirinya harus memberikan penjelasan pada wanita itu. "Dengarkan aku, Sayang," ucap Windraya, tenang. "Mama, kamu, dan Widuri. Kalian bertiga merupakan tiga wanita dalam hidupku, yang memiliki tempat tersendiri. Aku memberikan perhatian serta kasih sayang sesuai dengan porsi masing-masing," jelasnya. "Apakah itu berarti kamu lebih menyayangi mama dibanding aku?" tukas Mayla, kembali memasang raut masam. Windraya menggeleng pelan. "Tidak seperti itu," bantahnya."Aku hanya berusaha menjalankan bakti terhadap mama. Beliau sudah berjuang sangat k
Di sisi lain, Windraya baru tiba di rumah tepat jam setengah sembilan malam. Namun, dia mengernyitkan kening mendapati Ranum sudah berdiri di ruang tamu, seakan menyambut kedatangannya. Seperti biasa, wanita muda berkulit sawo matang itu menyembunyikan paras cantiknya dengan menunduk. “Kamu sedang apa di sini?” “Saya menunggu Anda pulang, Pak,” jawab Ranum pelan, tanpa berani menatap langsung suami sirinya. “Bagaimana mama?” “Bu Nindira sudah tidur sejak beberapa saat yang lalu. Itulah kenapa saya menunggu Anda di sini,” jawab Ranum lagi. “Apa Anda sudah makan malam?” tanyanya. “Sudah,” jawab Windraya singkat. Dia melihat sekeliling. Pria itu sudah membaca pesan yang dikirimkan Mayla yang katanya ada urusan kantor. Jadi, tak berharap sang istri datang menyambut kepulangannya. “Aku ingin mandi dulu,” ucap Windraya, seraya berlalu dari hadapan Ranum. “Biar saya siapkan, Pak!” Windraya tertegun. “Boleh,” balasnya. Jujur, dia bahkan tak pernah disiapkan seperti ini oleh is
“Ah, Pak ….” Ranum mendesah pelan, sambil menggelinjangkan tubuh. Dia membuka mata perlahan, menatap Windraya yang tengah memandang dengan sorot aneh. “Lebat sekali,” bisik Windraya, diiringi seringai kecil. “Jangan, Pak ….” desah Ranum lirih. “Kenapa? Aku hanya menyentuhmu seperti ini. Apa kamu takut?” Windraya tak juga menyingkirkan tangan dari area sensitif Ranum yang mulai basah. “Kamu mudah sekali terangsang,” bisik putra sulung Nindira tersebut. Ranum begitu malu. Dia merasa risi atas perlakuan nakal Windraya. Wanita muda berkulit sawo matang tersebut tak bisa berkata-kata. Dia hanya berharap Windraya tak melanjutkan itu. “Aku ingin kamu melakukan perawatan,” ucap Windraya lagi, seraya menarik tangan dari dalam segitiga pengaman Ranum. Dia memainkan telunjuk dan jari tengahnya, yang basah serta lengket selama beberapa saat. Setelah itu, pria tampan tersebut bangkit. Akhirnya, Ranum dapat bernapas lega karena Windr
“Aku harus bagaimana, Mas? Apa menurutmu aku punya pilihan lain?” Kali ini, Mayla membalikkan badan, jadi menghadap sang suami. “Tujuan utama pernikahan kalian adalah demi mendapat keturunan untuk penerus Keluarga Sasmitha. Itu artinya kalian harus tidur bersama. Iya, kan?” Windraya tidak menjawab. Dia hanya menyentuh pangkal hidung, demi menepiskan kegundahan. “Jangan khawatir, Mas. Aku tidak apa-apa,” ucap Mayla, seraya menyentuh lengan Windraya. “Semoga kamu tak lupa dengan perjanjian pernikahan yang sudah disepakati.” “Tentu saja tidak. Surat perjanjian itu sudah disahkan oleh pengacaraku.” “Baguslah. Dengan begitu, aku tak harus takut kamu akan tergoda olehnya atau …. Ah, sudahlah.” Mayla menarik selimut, lalu memejamkan mata. Namun, wanita itu kembali terjaga, setelah mendengar ucapan Windraya. “Aku ingin kamu menemani Ranum, melakuka
Windraya mengembuskan napas pelan, lalu menoleh sekilas pada Mayla. Namun, dia tak mengatakan apa pun. Pengusaha tampan tiga puluh delapan tahun tersebut justru kembali mengarahkan perhatian pada Ranum, yang tampil berbeda dengan rambut tergerai indah.“Mulai sekarang, aku ingin kamu rutin melakukan perawatan kecantikan. Mayla akan menemanimu.”Mayla langsung membelalakan mata, seakan hendak melakukan protes terhadap sang suami. Namun, wanita cantik bertubuh sintal itu sebisa mungkin menahan diri. Dia tak ingin terpancing, meskipun dalam hati teramat kesal.“I-iya, Pak,” sahut Ranum, pelan. “Saya harus melihat keadaan Bu Nindira. Permisi.” Wanita muda itu mengangguk sopan, sebelum berlalu dari hadapan Windraya dan Mayla.
Ranum terdiam merasakan sentuhan lembut di sekujur tubuh. Meskipun malam-malam sebelumnya pernah mendapat perlakuan serupa, tapi tak begitu mengesankan seperti sekarang. Pasalnya, kali ini dia benar-benar telanjang bulat. Ranum dapat merasakan hangat kulit Windraya, yang bergesekan dengan kulitnya.“Pak …,” desah Ranum lirih, bahkan agak parau. Dia tak menyangka Windraya ternyata memiliki hasrat yang begitu besar terhadapnya.“Aku menginginkanmu malam ini,” bisik Windraya, di sela cumbuan mesra yang tak henti dilancarkan terhadap Ranum.“Menginginkan seperti apa?” tanya Ranum, seraya terus memejamkan mata. Sesekali wanita cantik berkulit sawo matang itu melenguh manja, ketika merasakan janggut Windraya yang menggelitik bagian-bagian tertentu tubuhnya. 
Windraya bangkit dari duduk, lalu menghampiri Ranum. “Apa mama mengatakan sesuatu padamu?” tanyanya.“Tentang apa?” Ranum balik bertanya. Malu-malu, dia mengenakan celana dalam di depan Windraya.“Tentang kehamilanmu,” jawab Windraya, singkat.Ranum merapikan pakaian dalam yang sudah dikenakan, lalu meraih piyama. “Bu Nindira hanya bertanya mengenai … um … mengenai yang kita lakukan tadi ….” Ranum tertunduk malu.“Astaga.” Windraya mengeluh pelan. “Kenapa mamaku senang sekali ikut campur, bahkan untuk urusan seperti itu?” Pengusaha tampan tersebut tak habis pikir.Ranum menanggapi dengan senyuman lembut. &ldquo