“Mayla?”
Windraya sontak menjauhkan diri dari Ranum.
“Apa yang kalian lakukan?” Mayla melepaskan genggaman dari gagang koper, lalu berjalan mendekat ke hadapan Ranum. “Dasar tidak tahu diri!” Dia mendorong wanita muda itu cukup kencang, hingga mundur dan menabrak lemari etalase berisi deretan kemeja mahal Windraya.
“Hentikan.” Windraya segera meraih tangan Mayla, yang bermaksud meraih tubuh Ranum. Dia harus mencegah sang istri melakukan tindakan kasar terhadap istri sirinya. “Pergilah, Ranum,” suruh pria itu penuh wibawa.Ranum yang ketakutan, hanya bisa mengangguk. Dia bergegas meninggalkan kamar mewah itu. Ranum sadar sedang dalam masalah besar.“Apa-apaan kamu, Mas?” protes Mayla tak suka. Dia berusaha melepaskan cengkraman Windraya, dari pergelangan tangannya. “Lepaskan aku! Biar kuberi pelajaran pembantu tak tahu malu itu!”“Tenangkan dirimu dulu. Kita harus bicara.” Windraya berusaha tak terpengaruh dengan sikap Mayla. Sebisa mungkin, dia mengendalikan sang istri, agar tak lagi berontak.“Aku lelah, Mas! Aku baru menjalani perjalanan jauh! Bagaimana bisa tenang melihatmu hampir berciuman dengan pembantu sialan itu?” Mayla makin memberontak. Berusaha melepaskan diri dari Windraya yang mendekapnya.“Tapi, aku tidak akan membiarkanmu bertindak kasar.” Windraya terus berusaha menenangkan Mayla, meskipun wanita itu berusaha sekuat tenaga melepaskan diri darinya.Berhubung Mayla sulit dikendalikan, Windraya terpaksa melakukan tindakan yang tak pernah dilakukan. Dia membawa sang istri ke ruang utama kamar, lalu mengempaskannya ke tempat tidur. Pengusaha tampan tiga puluh delapan tahun itu menahan kedua tangan Mayla, yang berada di sisi kiri dan kanan wanita cantik tersebut.“Menyingkir dariku, Mas!” Mayla tak juga menyerah, meskipun Windraya sudah menahan geraknya. “Kamu keterlaluan! Jadi, itu yang kamu lakukan setiap kali aku pergi berlibur?” tudingnya.“Tidak! Jangan bicara sembarangan!” bantah Windraya tegas. “Aku tak pernah mengkhianatimu dengan wanita manapun!”“Kamu bohong! Buktinya kamu berduaan dengan wanita itu. Kalian bahkan hampir berciuman, seandainya tidak kupergoki tadi!”Windraya terdiam. Perlahan, dia melepaskan cengkraman dari kedua pergelangan tangan sang istri. Pengusaha muda dengan kemeja biru langit itu duduk di tepian tempat tidur.Pria tampan dengan tinggi 180 cm itu setengah membungkukkan badan, sambil merekatkan kedua telapak tangan. Dia menggosok-gosokkan perlahan, sebagai pertanda bahwa kegundahan tengah melanda hatinya.“Ada apa, Mas?” tanya Mayla, yang mulai tenang. Melihat sang suami duduk termenung seperti tadi, membuatnya khawatir. Dia tahu, Windraya pasti tengah menghadapi masalah pelik. “Apa ada sesuatu dengan bisnismu?” tanya wanita tiga puluh lima tahun itu.Windraya menggeleng perlahan, lalu menegakkan sikap duduk. “Ini tidak ada hubungannya dengan masalah pekerjaan,” ucap pria tampan berambut klimis itu. Raut wajahnya teramat serius.“Lalu, ada apa?” tanya Mayla lagi, ikut tegang.Windraya tak segera menjawab. Dia menatap lekat sang istri, yang baru kembali dari liburan. “Selama kamu pergi ke Raja Ampat, mama menikahkanku dengan Ranum.”“Apa?” Mayla sontak berdiri. Dia menatap tajam Windraya, seakan hendak menghabisi pria itu tanpa ampun. “Pernikahan macam apa? Kamu masih jadi suamiku, Mas!” protesnya, tak terima.“Itu hanya pernikahan siri,” sahut Windraya, ikut berdiri.“Tanpa izin dariku?” Mayla yang sudah tenang, kembali tersulut amarah. Kali ini, bahkan jauh lebih besar dari sebelumnya. “Pernikahan siri atau apa pun itu, seharusnya tak bisa terlaksana bila tak ada izin dariku!” Nada bicara Mayla mulai tak terkontrol.“Aku sudah membuat perjanjian dengan Ranum. Hari ini, surat perjanjian itu akan disahkan oleh pengacaraku.”“Aku tidak peduli dengan perjanjian atau apa pun, Mas! Kamu sudah berkhianat!” Nada bicara Mayla tak juga terkendali. Wanita itu justru makin histeris.“Mama ingin cucu laki-laki dariku,” ujar Windraya, mengemukakan alasan menikahi Ranum.“Persetan dengan alasanmu, Mas! Aku tetap tidak terima dengan apa yang kamu dan mama lakukan!” Mayla menghentakkan kaki, lalu bergegas keluar kamar. Dia melangkah tergesa-gesa menuju kamar Nindira. Mayla harus meminta penjelasan pada sang ibu mertua.Tanpa mengetuk pintu terlebih dulu, Mayla langsung masuk. Dia berdiri angkuh, sambil melayangkan tatapan penuh amarah kepada Nindira, yang duduk menghadap ke jendela kaca.Brak!
“Apa yang Mama lakukan?” tanya Mayla, tanpa basa-basi.
Nindira yang tengah memandang ke luar, seketika langsung menoleh. “Ah, rupanya kamu sudah pulang.”Bukannya menjawab pertanyaan sang menantu, Nindira justru mengomentari hal lain.
“Apa maksud Mama menikahkan Mas Win dengan wanita lain? Dia masih berstatus sebagai suamiku, Ma!” protes Mayla penuh amarah.Namun, Nindira tak terpengaruh. Wanita paruh baya itu tetap bersikap biasa. “Memangnya kenapa? Aku juga tidak pernah protes dengan apa pun yang kamu lakukan.”“Tapi, Mama sudah ikut campur terlalu jauh dalam pernikahanku dengan Mas Win! Mama tidak berhak mengambil keputusan apa pun! Apalagi, memaksa Mas Win menikahi wanita lain tanpa seizinku!” Mayla begitu berani menentang keputusan sepihak, yang dilakukan Nindira.Namun, Nindira tetap tak terpengaruh. Ibunda Windraya tersebut membalikkan kursi roda, jadi menghadap pada sang menantu. “Begitu, ya?” Wanita paruh baya itu tersenyum sinis. “Windraya adalah putraku,” ucapnya, dingin. “Aku tidak merasa memiliki menantu perempuan. Kamu sibuk dengan urusan pribadi. Berlibur, bersenang-senang, menghamburkan uang yang diberikan putraku secara cuma-cuma. Lalu, timbal balik apa yang kamu berikan pada keluarga ini? Tidak ada. Wanita tidak tahu diri!” hardiknya.“Mama!” Mayla sudah bergerak maju, hendak melakukan protes atas ucapan kasar ibu mertuanya.Namun, gerakan Mayla berhasil dihentikan oleh Windraya. “Jangan bertindak macam-macam, yang hanya akan makin memperkeruh keadaan,” tegurnya pelan.“Mama sudah bertindak di luar batas! Dia juga menghinaku!” bantah Mayla, tak terima.“Siapa yang menghinamu?” sanggah Nindira. “Aku hanya mengatakan kebenaran.”“Apa yang Mama lakukan sudah membuat harga diriku hancur!”“Kalau begitu, berikan aku cucu laki-laki! ” tantang Nindira.“Ma!” Windraya melayangkan protes keras. “Mama sudah tahu seperti apa kondisi Mayla.”“Itulah mengapa Mama menikahkanmu dengan wanita lain. Alasannya jelas karena Mama ingin seorang cucu. Namun, apa yang bisa diberikan istrimu? Dia tak bisa melakukan apa pun, selain menghamburkan uang. Benar-benar tidak berguna!” cerca Nindira gamblang. Tak ada batasan lagi baginya, saat mengomentari sang menantu.“Kamu dengar apa yang mama katakan, Mas? Seperti itulah sikapnya padaku selama ini. Dia tak pernah menghargaiku!”“Apa yang harus kuhargai dari wanita tidak berguna sepertimu?”“Ma! Tolong hentikan,” cegah Windraya tegas. “Aku menghormatimu, tapi aku juga harus menjaga Mayla karena dia adalah istriku. Suka atau tidak, itulah kenyataannya.” Windraya mengalihkan perhatian pada Mayla.“Kalau begitu, beri pengertian pada istrimu. Jika dia tetap banyak bicara, Mama akan mengusirnya dari rumah ini!"Tatapan wanita tua itu begitu tajam dan tak mau dibantah!
“Ma!” Tak biasanya, Windraya meninggikan nada bicara di hadapan Nindira. Namun, situasi yang dihadapinya kali ini berbeda. Sebagai suami yang sangat mencintai pasangan, dia berkewajiban menjaga harga diri sang istri bahkan dari ibunya sekalipun. “Tolong jangan bersikap berlebihan seperti ini!” “Berani sekali kamu bicara dengan nada seperti itu pada Mama,” tegur Nindira, tak suka.“Aku harus bagaimana lagi? Demi bakti serta rasa sayangku terhadap Mama, aku menerima pernikahan dengan Ranum. Akan tetapi, aku tidak akan tinggal diam, jika Mama terus bersikap kasar pada Mayla. Ingat, Ma! Bagaimanapun juga, Mayla adalah istriku. Otomatis, dia sudah menjadi putri di keluarga ini —”“Mama tidak sudi memiliki putri macam dia!” sergah Nindira, menyela ucapan Windraya. “Keputusan Mama sudah bulat dan tidak bisa diganggu siapa pun. Termasuk olehmu, Win! Bila Mayla tidak bisa menerima pernikahan keduamu dengan Ranum, silakan pergi dari rumah ini. Lagi pula, keberadaannya di sini tidak berguna
Windraya segera menggeleng, memberikan bantahan pada ucapan sang istri. "Ini bukan masalah tunduk atau apa pun namanya.""Bila kamu menganggap ini sebagai bakti ... kurasa sudah sangat keterlaluan," protes Mayla lagi, seraya memalingkan muka. Windraya lagi-lagi mengembuskan napas berat dan dalam. Dia harus tetap tenang, agar tidak salah bicara atau bersikap di hadapan Mayla. Sebenarnya, dia tidak suka karena sudah terlalu banyak bicara. Namun, dirinya harus memberikan penjelasan pada wanita itu. "Dengarkan aku, Sayang," ucap Windraya, tenang. "Mama, kamu, dan Widuri. Kalian bertiga merupakan tiga wanita dalam hidupku, yang memiliki tempat tersendiri. Aku memberikan perhatian serta kasih sayang sesuai dengan porsi masing-masing," jelasnya. "Apakah itu berarti kamu lebih menyayangi mama dibanding aku?" tukas Mayla, kembali memasang raut masam. Windraya menggeleng pelan. "Tidak seperti itu," bantahnya."Aku hanya berusaha menjalankan bakti terhadap mama. Beliau sudah berjuang sangat k
Di sisi lain, Windraya baru tiba di rumah tepat jam setengah sembilan malam. Namun, dia mengernyitkan kening mendapati Ranum sudah berdiri di ruang tamu, seakan menyambut kedatangannya. Seperti biasa, wanita muda berkulit sawo matang itu menyembunyikan paras cantiknya dengan menunduk. “Kamu sedang apa di sini?” “Saya menunggu Anda pulang, Pak,” jawab Ranum pelan, tanpa berani menatap langsung suami sirinya. “Bagaimana mama?” “Bu Nindira sudah tidur sejak beberapa saat yang lalu. Itulah kenapa saya menunggu Anda di sini,” jawab Ranum lagi. “Apa Anda sudah makan malam?” tanyanya. “Sudah,” jawab Windraya singkat. Dia melihat sekeliling. Pria itu sudah membaca pesan yang dikirimkan Mayla yang katanya ada urusan kantor. Jadi, tak berharap sang istri datang menyambut kepulangannya. “Aku ingin mandi dulu,” ucap Windraya, seraya berlalu dari hadapan Ranum. “Biar saya siapkan, Pak!” Windraya tertegun. “Boleh,” balasnya. Jujur, dia bahkan tak pernah disiapkan seperti ini oleh is
“Ah, Pak ….” Ranum mendesah pelan, sambil menggelinjangkan tubuh. Dia membuka mata perlahan, menatap Windraya yang tengah memandang dengan sorot aneh. “Lebat sekali,” bisik Windraya, diiringi seringai kecil. “Jangan, Pak ….” desah Ranum lirih. “Kenapa? Aku hanya menyentuhmu seperti ini. Apa kamu takut?” Windraya tak juga menyingkirkan tangan dari area sensitif Ranum yang mulai basah. “Kamu mudah sekali terangsang,” bisik putra sulung Nindira tersebut. Ranum begitu malu. Dia merasa risi atas perlakuan nakal Windraya. Wanita muda berkulit sawo matang tersebut tak bisa berkata-kata. Dia hanya berharap Windraya tak melanjutkan itu. “Aku ingin kamu melakukan perawatan,” ucap Windraya lagi, seraya menarik tangan dari dalam segitiga pengaman Ranum. Dia memainkan telunjuk dan jari tengahnya, yang basah serta lengket selama beberapa saat. Setelah itu, pria tampan tersebut bangkit. Akhirnya, Ranum dapat bernapas lega karena Windr
“Aku harus bagaimana, Mas? Apa menurutmu aku punya pilihan lain?” Kali ini, Mayla membalikkan badan, jadi menghadap sang suami. “Tujuan utama pernikahan kalian adalah demi mendapat keturunan untuk penerus Keluarga Sasmitha. Itu artinya kalian harus tidur bersama. Iya, kan?” Windraya tidak menjawab. Dia hanya menyentuh pangkal hidung, demi menepiskan kegundahan. “Jangan khawatir, Mas. Aku tidak apa-apa,” ucap Mayla, seraya menyentuh lengan Windraya. “Semoga kamu tak lupa dengan perjanjian pernikahan yang sudah disepakati.” “Tentu saja tidak. Surat perjanjian itu sudah disahkan oleh pengacaraku.” “Baguslah. Dengan begitu, aku tak harus takut kamu akan tergoda olehnya atau …. Ah, sudahlah.” Mayla menarik selimut, lalu memejamkan mata. Namun, wanita itu kembali terjaga, setelah mendengar ucapan Windraya. “Aku ingin kamu menemani Ranum, melakuka
Windraya mengembuskan napas pelan, lalu menoleh sekilas pada Mayla. Namun, dia tak mengatakan apa pun. Pengusaha tampan tiga puluh delapan tahun tersebut justru kembali mengarahkan perhatian pada Ranum, yang tampil berbeda dengan rambut tergerai indah.“Mulai sekarang, aku ingin kamu rutin melakukan perawatan kecantikan. Mayla akan menemanimu.”Mayla langsung membelalakan mata, seakan hendak melakukan protes terhadap sang suami. Namun, wanita cantik bertubuh sintal itu sebisa mungkin menahan diri. Dia tak ingin terpancing, meskipun dalam hati teramat kesal.“I-iya, Pak,” sahut Ranum, pelan. “Saya harus melihat keadaan Bu Nindira. Permisi.” Wanita muda itu mengangguk sopan, sebelum berlalu dari hadapan Windraya dan Mayla.
Ranum terdiam merasakan sentuhan lembut di sekujur tubuh. Meskipun malam-malam sebelumnya pernah mendapat perlakuan serupa, tapi tak begitu mengesankan seperti sekarang. Pasalnya, kali ini dia benar-benar telanjang bulat. Ranum dapat merasakan hangat kulit Windraya, yang bergesekan dengan kulitnya.“Pak …,” desah Ranum lirih, bahkan agak parau. Dia tak menyangka Windraya ternyata memiliki hasrat yang begitu besar terhadapnya.“Aku menginginkanmu malam ini,” bisik Windraya, di sela cumbuan mesra yang tak henti dilancarkan terhadap Ranum.“Menginginkan seperti apa?” tanya Ranum, seraya terus memejamkan mata. Sesekali wanita cantik berkulit sawo matang itu melenguh manja, ketika merasakan janggut Windraya yang menggelitik bagian-bagian tertentu tubuhnya. 
Windraya bangkit dari duduk, lalu menghampiri Ranum. “Apa mama mengatakan sesuatu padamu?” tanyanya.“Tentang apa?” Ranum balik bertanya. Malu-malu, dia mengenakan celana dalam di depan Windraya.“Tentang kehamilanmu,” jawab Windraya, singkat.Ranum merapikan pakaian dalam yang sudah dikenakan, lalu meraih piyama. “Bu Nindira hanya bertanya mengenai … um … mengenai yang kita lakukan tadi ….” Ranum tertunduk malu.“Astaga.” Windraya mengeluh pelan. “Kenapa mamaku senang sekali ikut campur, bahkan untuk urusan seperti itu?” Pengusaha tampan tersebut tak habis pikir.Ranum menanggapi dengan senyuman lembut. &ldquo
Ranum terlihat ragu. Dia masih ingat betul seperti apa sikap Ainur, saat terakhir kali mereka bertemu. Terlebih, setelah wanita paruh baya itu membeberkan jati diri Ranum yang sebenarnya. “Kenapa? Ibumu pasti tak akan berpikir macam-macam lagi. Dia sudah mengetahui siapa suamimu. Aku pernah berbicara secara langsung dengannya,” ujar Windraya tenang. “Saya tidak yakin. Ini bukan hanya tentang status sebagai istri, tetapi juga sebagai anak,” ujar Ranum pelan, seraya menundukkan wajah. Melihat bahasa tubuh sang istri yang dirasa aneh, membuat Windraya menautkan alis. “Ada apa?” tanyanya lembut. Bukannya menjawab, Ranum justru terisak pelan. “Kenapa?” tanya pengusaha itu lagi kian penasaran. “Beliau bukan ibu kandung saya, Pak,” jawab Ranum lirih.“Apa?” Windraya menatap tak percaya.Ranum mengangguk. Tak lama, dia menceritakan semua yang Ainur katakan dulu secara terperinci. Membuat Windraya ternganga tak percaya. “Ibu saya seorang pelacur, Pak. Itulah kenyataannya,” ucap Ranum di
Ranum menatap sang suami. “Terserah Anda,” ucapnya sambil berbalik, kemudian melanjutkan langkah. “Tunggu, Ranum!” cegah Windraya. Ranum kembali tertegun. Namun, kali ini tak menoleh, meskipun mendengar langkah Windraya yang mendekat padanya. “Ayolah. Kumohon,” bisik Windraya, seraya menyentuh lembut lengan sang istri. “Saya sudah menjawab tadi,” ucap Ranum dingin. “Bukan itu maksudku,” bantah Windraya, seraya berpindah ke hadapan Ranum. Dia mengambil Elok, lalu menggendong sang putri yang ternyata sudah bangun. Windraya mengecup bayi itu penuh kasih. “Aku harus bagaimana lagi?” tanyanya.Ranum tidak menjawab. Dia justru memalingkan wajah. “Sayang,” ucap Windraya lagi, dengan raut setengah memohon. “Aku sudah menceraikan Mayla, yang dinikahi secara sah. Aku masih mempertahankanmu hingga saat ini karena berharap bisa memiliki ikatan yang lebih baik dan kuat.” “Semudah itu?” Ranum yang dalam beberapa waktu terakhir puasa bicara terhadap Windraya, kali ini bersedia menanggapi ucap
Hari berganti. Namun, sikap Ranum tak juga berubah. Dia masih irit bicara terhadap Windraya. Padahal, sikapnya di hadapan orang lain terlihat biasa.Windraya sendiri akhirnya terbiasa dengan hal itu. Namun, dia tak membiarkan Ranum begitu saja. Windraya tetap mengajaknya berbincang, meskipun seperti tengah berbicara dengan tembok.Walaupun begitu, Windraya tak peduli. Pengusaha tampan tersebut bahkan kerap bercerita tentang masa kecil, remaja, hingga segala hal yang sebelumnya tidak Ranum ketahui. “Aku tahu itu gila. Tapi, teman-temanku jauh lebih gila. Jika ingat mereka, rasanya ingin kembali ke masa di mana tak ada hal lain yang kupikirkan selain pelajaran sekolah,” tutur Windraya, sambil duduk bersandar. Dia menoleh beberapa saat pada sang istri, yang berbaring dalam posisi menyamping dan tentu saja membelakanginya.“Banyak hal yang sudah berubah,” ucap Windraya lagi, seraya mengalihkan perhatian ke arah lain. “Jangankan dari masa sekolah. Dalam tahun ini saja, banyak hal terjadi
Windraya menatap Ranum dengan sorot tak suka. Namun, dia memilih tak banyak bicara. Pria itu mengalihkan perhatian pada Marcell. Sang ajudan berpura-pura sibuk dengan telepon genggamnya. Pengusaha tampan yang kini menyandang status ayah tersebut mengembuskan napas pelan. Dia tersenyum kecil, saat dua orang pelayan datang membawa serta menyajikan makanan yang telah dipesan. “Makan dulu,” ucap Windraya entah ditujukan pada siapa. Ranum yang tengah asyik berbincang dengan Annchi, tak menanggapi. Dia terus berbicara pada gadis kecil itu. Sesekali, suara Bastian terdengar menimpali. Mendengar suara pengusaha yang telah menampung Ranum selama pelariannya, membuat darah dalam tubuh Windraya berdesir lebih kencang dari biasanya. Degub jantung pun jadi tak beraturan. Jika tak sedang menggendong Elok, Windraya mungkin akan langsung merebut telepon genggam yang tengah digunakan video call oleh sang istri. Namun, dalam situasi seperti saat ini, Windraya tak bisa berbuat apa-apa. Dia harus pa
Sontak, ketiga pria di ruang tamu langsung menoleh ke sumber suara. Sosok Ranum muncul sambil menggendong Elok. Dia datang ditemani Celia. Ibu muda itu memandang Windraya, dengan tatapan tak dapat diartikan."Ranum?" Windraya menatap tak percaya. Sebenarnya, dia ingin langsung menghambur dan memeluk wanita itu. Namun, Windraya berusaha menahan diri.Ranum melangkah tenang ke dekat Bastian. "Maafkan saya, Pak. Padahal, saya sudah mengatakan akan bekerja di sini sebagai tanda terima kasih. Namun, saya justru ...." Ranum tak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa tak enak yang menyelimuti hati wanita muda itu."Tidak usah dipikirkan, Mbak. Saya memberikan bantuan tanpa mengharap imbalan apa pun. Saya senang karena Mbak Ranum dan Elok sehat," balas Bastian tulus."Bagaimanapun juga, Mbak Ranum harus kembali kepada suami. Apalagi, Elok sudah terlahir ke dunia. Dia membutuhkan sosok orang tua, yang nantinya akan membimbing dan memberikan segala yang terbaik," ujar Celia menimpali."Terima kasih,
“Apa maksudmu berpisah?” Tatapan Windraya menyiratkan rasa tak mengerti. Dia juga tak suka mendengar ucapan Ranum. “Meskipun pernikahan kita tidak diakui secara hukum negara, tetapi Anda tetap harus menceraikan saya —”“Tidak!” tolak Windraya tegas. “Aku tidak akan pernah melakukan itu!”“Saya ingin berpisah, Pak,” desak Ranum tak kalah tegas. Menghadapi sang istri yang keras kepala, membuat Windraya kembali kehilangan kesabaran. Dia meraih lengan sebelah kanan Ranum, mencengkramnya cukup erat. “Sudah kukatan agar jangan bermain-main denganku, Ranum. Kamu tidak akan menyukainya!”“Saya tidak peduli lagi, Pak,” balas Ranum. “Lebih baik Anda pergi dari sini sekarang juga,” usirnya penuh penekanan.“Tidak tanpamu dan Elok,” tolak Windraya tegas.“Tapi, saya tidak bersedia. Saya akan tetap berada di sini.” “Jangan keras kepala, Ranum. Jangan sampai aku memaksamu —”“Itulah yang biasa Keluarga Sasmitha lakukan. Memaksakan kehendak mereka pada orang lain,” sela Ranum. Dia melepaskan ceng
“Apa maksudmu” Windraya menatap aneh sang istri, yang makin menjaga jarak darinya. “Elok adalah putriku juga. Dia tidak akan ada jika bukan karena —”“Seperti yang Anda dengar tadi, Pak,” sela Ranum cukup tegas, meskipun suaranya tidak terlalu nyaring. “Semua sudah tertera dalam dokumen kelahiran Elok. Dia hanya putri saya. Elok tidak memiliki ayah —”“Ranum!” sergah Windraya, tak kuasa menahan amarah. Ekspresi serta tatapannya teramat tajam, menandakan kemarahan yang tak sepenuhnya terlampiaskan. Dia hanya bisa mengepalkan tangan di samping tubuh. “Kendalikan diri Anda, Pak Windraya,” tegur Celia. “Posisi Anda saat ini tidak menguntungkan, meskipun berhak atas diri Elok.”Windraya mengembuskan napas berat, demi menanggulangi perasaan yang bergejolak dan hampir tak terbendung. Namun, pria itu sadar. Apa yang Celia katakan benar adanya. “Saya ingin bicara berdua dengan Ranum?” Windraya menoleh sekilas pada Celia. “Apa Anda bisa menjamin tidak akan —”“Jangan khawatir. Saya suaminya.
Ranum dan Titin saling pandang, seakan bertanya siapa yang Bastian tugaskan untuk menunjukkan arah toilet khusus tamu. Namun, berhubung tangan Titin dipenuhi busa sabun, artinya Ranum lah yang harus mengambil tugas itu. Ranum mengangguk sopan. “Mari, Pak,” ajaknya, seraya mengarahkan Windraya agar mengikuti. “Permisi, Pak Bas,” ucap Windraya, sebelum mengikuti langkah Ranum menuju salah satu koridor tak jauh dari dapur. Windraya berjalan gagah penuh wibawa. Tatapan pria itu tertuju lurus pada wanita di depannya. Windraya masih bingung. Tak tahu harus mengatakan apa pada sang istri. Akhirnya dia meraih pergelangan Ranum, lalu menarik wanita itu hingga berbalik. Windraya bergerak cepat menyandarkan Ranum ke dinding. “Sejauh inikah kamu melarikan diri?” Tatapan sang pemilik Win’s Aerospace System itu teramat tajam. Menghujam langsung ke jantung Ranum. “Kenapa bersikap begini?” “Toilet ada di ujung koridor, Pak,” ucap Ranum. Dia tak menanggapi apa yang Windraya katakan tadi. “Aku ti
Suara roda troli berderit makin mendekat ke meja makan. Arahnya berasal dari bagian belakang Windraya dan Marcell, yang duduk bersebelahan. “Makanan penutup sudah datang,” ucap Bastian, saat suara troli berhenti di dekatnya. Windraya dan Marcell langsung mengarahkan perhatian secara bersamaan. Seketika, keduanya diam terpaku menatap wanita yang tengah menyediakan makanan untuk Bastian. “Terima kasih, Mbak,” ucap Bastian lagi. Wanita yang tak lain adalah Ranum, mengangguk sopan. Dia tersenyum, lalu berpindah ke dekat Windraya yang terus menatapnya. Namun, Ranum tak peduli. Dia menyajikan makanan tanpa menoleh sedikit pun. Begitu pula saat menyajikan makanan untuk Marcell. Setelah itu, Ranum kembali ke dekat troli yang berada tak jauh dari Bastian. “Permisi, Pak,” ucapnya pelan, seraya kembali mengangguk sopan. Dia berbalik mendorong troli itu keluar dari ruang makan. Ranum menguatkan diri melangkah sambil mendorong troli. Dia berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tidak men