Papa Bryan memijit pelipisnya lebih keras, rasa pusing di kepalanya semakin terasa berat. "Dosa apa kita, Ma? Punya anak satu saja, tapi sulit sekali diatur," keluhnya dengan nada lelah.Mama Bryan menghela napas panjang, duduk di samping suaminya. "Mungkin kita yang terlalu memanjakannya, Pa. Dari kecil, kita selalu berusaha memberikan apa pun yang dia mau, berharap itu akan membuatnya bahagia." Dia menatap suaminya, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, "Tapi ternyata malah membuat dia jadi seperti ini, selalu mencari kesenangan di luar, tidak pernah serius memikirkan masa depannya."Papa Bryan mengangguk lemah mengiyakan ucapan istrinya. "Aku juga merasa begitu. Kita kasih dia pendidikan terbaik, kesempatan yang banyak, tapi kenapa sekarang dia malah sibuk main perempuan? Bukannya fokus ke perusahaan atau memikirkan masa depannya."Mama Bryan menundukkan kepalanya, meresapi setiap kata suaminya. Bryan, putra semata wayang yang seharusnya menjadi kebanggaan mereka, sering
Baca selengkapnya