Pagi hari menyelinap pelan, sinar matahari menerobos masuk ke ruang tunggu rumah sakit yang sepi. Setelah semalaman menemani keluarganya, Naya akhirnya menemukan sedikit waktu untuk istirahat dan mengajak Bryan ke kantin rumah sakit untuk sarapan. Keduanya duduk di meja kecil, berusaha menikmati makanan sederhana yang tersedia, namun suasana tetap terasa berat.Bryan menatap Naya yang tampak lelah, namun masih tegar. Di dalam kepalanya, berbagai pikiran berkecamuk. Dia tahu kondisi keuangan bisa menjadi masalah dalam situasi seperti ini. Setelah beberapa saat, Bryan memutuskan untuk membuka pembicaraan.“Kalau kamu butuh bantuan untuk biaya rumah sakit ayahmu, aku bisa bantu,” tawarnya sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. “Tidak perlu takut, untuk masalah ini aku tulus. Aku tidak main-main dengan kemanusiaan.”Naya tersenyum lelah, tetapi dia menggeleng. “Terima kasih, Bryan. Sebenarnya semua biaya perawatan ayah sudah dicover oleh BPJS, jadi aku nggak perlu khawatir soal itu.”Bryan m
Bryan merasa tekadnya semakin kuat begitu mendengar kabar bahwa ayah Naya telah sadar. Meskipun kondisinya masih perlu pemantauan, ini adalah kesempatan yang tidak ingin dia lewatkan. Dia tidak mau lagi menunda apa yang sudah menjadi tujuannya, menikahi Naya.Dalam benak Bryan, semakin cepat mereka menikah, semakin tenang perasaannya. Dia sadar, kondisi ayah Naya yang membaik ini bisa saja bersifat sementara, seperti yang pernah dia dengar tentang terminal lucidity, di mana orang yang kritis tampak membaik hanya sesaat sebelum kondisinya kembali memburuk.Setelah ayah Naya dipindahkan ke ruang perawatan, mereka sempat berbasa basi sejenak saling berkenalan. Tidak lama kemudian dia memutuskan keluar, untuk memberi waktu istirahat kepada ayah Naya, dan juga memberi ruang privasi untuk keluarga itu berkumpul.Bryan keluar tidak sekedar mencari angin atau mencari suasana baru. Baginya kesadaran ayah Naya adalah kesempatan untuk bergerak cepat. Tanpa memberi tahu Naya atau keluarganya, dia
“Menikah?”Bryan menganggukkan kepala dengan tatap mata memohon kepada Naya. Naya melihat ketulusan, kesungguhan, tetapi dia ragu jika menemukan cinta di sana.Masih lekat dalam ingatan Naya, dahulu Bryan pernah begitu mengabaikan dirinya saat dia bersama dengan Queen. Lelaki yang saat ini ingin menikahinya, pernah begitu tergila-gila dengan sahabatnya, dan Naya tidak ingin jika Queen menjadi bayang-bayang dalam pernikahannya kelak. Dia ingin menjaga hubungan baik dengan sahabatnya itu.Ruangan itu seketika dipenuhi keheningan yang tegang. Ibu dan adik-adik Naya saling berpandangan, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Dua adik Naya terlihat patah hati, ternyata sosok yang dikenalkan sebagai teman kerja ternyata ingin menjadi teman hidup.Sementara itu sang ayah, meskipun masih lemah, tersenyum cerah dari tempat tidurnya. Seolah-olah mendengar niat Bryan membuatnya merasa lebih tenang. Putri sulung yang selama ini membantunya menjalankan kewajiban memberi nafkah keluarga akan membangu
Beberapa perawat yang turut datang membantu mempersiapkan ruang perawatan yang sempit itu bisa digunakan untuk prosesi pernikahan Bryan dan Naya. Dokter yang menangani ayah Naya selama ini, dengan setelan putihnya ditemani seorang perawat senior siap menjadi saksi.Bryan tidak ingin membuat Naya merasa dipermainkan, dan saat ini dia juga harus mampu untuk menunjukkan kesungguhan hatinya dengan pernikahan ini. Meskipun terjadi begitu mendadak, meskipun hanya pernikahan siri, tetapi Bryan ingin menunjukkan jika tidak main-main dengan pernikahan ini.Bryan melepas jam tangan mewah yang melingkar di lengan kirinya dan meletakkan di hadapan ustaz yang akan menikahkan mereka. Ya, jam tangan yang berharga ratusan juta itu akan menjadi mas kawin pernikahan mereka.“Bry … itu ….” Meski tidak tahu pasti berapa harga jam tangan milik Bryan, tetapi Naya cukup tahu jika itu adalah jam mahal, bahkan lebih mahal bila dibanding mobil yang selama ini dia banggakan.“Untukmu, kau pantas mendapat ini,”
Papa Bryan memijit pelipisnya lebih keras, rasa pusing di kepalanya semakin terasa berat. "Dosa apa kita, Ma? Punya anak satu saja, tapi sulit sekali diatur," keluhnya dengan nada lelah.Mama Bryan menghela napas panjang, duduk di samping suaminya. "Mungkin kita yang terlalu memanjakannya, Pa. Dari kecil, kita selalu berusaha memberikan apa pun yang dia mau, berharap itu akan membuatnya bahagia." Dia menatap suaminya, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, "Tapi ternyata malah membuat dia jadi seperti ini, selalu mencari kesenangan di luar, tidak pernah serius memikirkan masa depannya."Papa Bryan mengangguk lemah mengiyakan ucapan istrinya. "Aku juga merasa begitu. Kita kasih dia pendidikan terbaik, kesempatan yang banyak, tapi kenapa sekarang dia malah sibuk main perempuan? Bukannya fokus ke perusahaan atau memikirkan masa depannya."Mama Bryan menundukkan kepalanya, meresapi setiap kata suaminya. Bryan, putra semata wayang yang seharusnya menjadi kebanggaan mereka, sering
Setelah pagutan yang cukup lama hingga membuatnya merasa hampir kehabisa oksigen di paru-parunya, Bryan tersenyum puas. Tangan Naya yang tidak lagi mendarat ke pipinya seperti saat di kafe Derrian, menjadi tanda jika perempuan yang sudah dia nikahi secara siri, siap dan bersedia untuk menyerahkan tubuhnya malam ini.Bryan langsung mengangkat tubuh Naya, menggendongnya layaknya koala. Naya yang sudah begitu terlena dengan sentuhan Bryan, seolah enggan melepaskan bibirnya. Sampai akhirnya Bryan merebahkan tubuhnya dengan perlahan di tempat tidur.Pergumulan panas pasangan pengantin baru itu pun dimulai. Dengan ikhlas dan suka rela Naya memasrahkan dirinya kepada Bryan yang telah menjadi suaminya. Pria itu menginvasi setiap jengkal tubuhnya, dengan sentuhan tanganya ataupun dengan cumbuan bibirnya. Naya seolah sudah tidak mampu mengendalikan dirinya, dia mendesah, melenguh, bahkan sampai memekik tertahan saat kenikmatan itu datang menerjang.Sementara itu, Bryan seperti anak kecil yang m
Setelah panggilan dari Queen berakhir, pikiran Naya terus berputar. Dia merasa ada yang mengganjal, sesuatu yang tak bisa dia abaikan. Meski Queen tidak secara langsung menyinggung soal hutang, Naya tak bisa menepis perasaan bersalah yang menggelayuti hatinya.Mungkin sebenarnya Queen ingin menagih hutang itu, tapi merasa sungkan karena mendengar kabar tentang ayah Naya yang kesehatannya sempat menurun lagi. Naya tahu bahwa Queen adalah sahabat yang baik, yang selalu mendahulukan perasaan orang lain. Tetapi itulah yang membuat Naya merasa semakin berat, seolah hutang itu kini menghantui pikirannya.Sirkel pertemanan Naya memang tidak berada di kalangan orang-orang super kaya, tapi mereka bukan juga dari keluarga miskin. Untuk kehidupan sehari-hari mereka sudah cukup, tetapi dana darurat atau investasi sering kali menjadi tantangan besar. Ketika salah satu dari mereka sakit atau butuh dana besar, mereka hanya bisa mengandalkan satu sama lain atau berdoa semoga semuanya segera membaik.
Ageng terkejut saat melihat ada dana masuk ke rekening perbankannya. Yang lebih mengejutkan lagi adalah itu dari Bryan, dia merasa tidak punya hutang piutang atau keperluan keuangan lainnya dengan sahabatnya itu.Agar mencoba menghubungi Bryan ingin menanyakan maksud dan tujuan transfer dana sebesar lima puluh juta rupiah tersebut. Tetapi Ternyata nomor dalam keadaan tidak aktif. Mungkin nanti, dia akan bertanya langsung kepada Bryan saat mereka bertemu, untuk saat ini dia ingin menemani sang istri, sambil mengusap lembut perut yang menjadi tempat berlindung putrinya saat ini."Kenapa?"Menggelengkan kepala, "Nggak tahu tuh Bryan transfer uang lima puluh juta tanpa memberi penjelasan apapun.""Dana kaget mungkin."Ageng tertawa mendengar celetukan Queen, lalu menoleh ke arah istrinya yang sedang duduk santai di sofa, mengusap lembut perutnya yang semakin membesar. Wajah Queen memancarkan kebahagiaan, meskipun kadang masih ada rasa cemas tentang kehamilannya. Namun, setiap kali Ageng b
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l