Semua Bab Cinta Satu Malam dengan Berondong: Bab 121 - Bab 130

230 Bab

Kata-Kata Terakhir yang Tidak Diketahuinya

Padma melangkah keluar dari mobilnya dengan gamang. Rasanya seperti mimpi ketika tiba harinya ia pergi ke dokter kandungannya dan… sendirian.Dulu Padma hanya sempat pergi dengan Catra sekali, tak lama setelah hasil dari testpack menyatakan kalau Padma positif hamil. Setelahnya, Catra pergi dan kini ia sendirian.“Saya tunggu di parkiran ya, Bu,” ucap sopir yang mengantar Padma. “Nanti kalau udah mau selesai, Ibu kabarin saya aja jadi saya standby di depan lobi.”“Iya, Pak. Saya mungkin agak lama karena harus antre. Nanti Bapak bisa minum sama makan dulu ya.”“Siap, Bu.”Padma melangkah menuju koridor yang sudah ia hafal meskipun baru sekali mengunjunginya. Benar saja, antreannya agak ramai.Padma sudah menduganya karena dokter ini cukup dikenal banyak orang, jadi ia mengeluarkan buku dari tasnya dan mulai membaca setelah mendapat nomor antrean.Ia mencoba menahan diri untuk tidak melihat ke sekitar di mana ada beberapa pasangan yang juga tengah mengantre. Seandainya Catra di sini, le
Baca selengkapnya

Keluarga yang Tidak Pernah Dimiliki Asa

“Asa kenapa?”Lita menggeleng. “Saya juga nggak tahu, Bu. Tapi dari kemarin emang Den Asa agak lebih banyak melamun. Saya ajak ngomong pun nggak diperhatiin.”“Apa karena saya nggak ke sini?” Padma memang harusnya ke rumah Badai kemarin, tapi ia mengatakan pada Asa kalau kemarin ia tidak bisa datang dan Asa terlihat mengerti.Padma memang tidak memberi tahu Badai, Asa, atau siapa pun mengenai jadwalnya bertemu dokter kemarin.Untuk kali ini saja ia memilih menutupnya dari siapa pun, kecuali ibu mertuanya yang memang sudah lebih dulu tahu jadwalnya karena beliau dan ibunya lah yang merekomendasikan dokter tersebut.“Bisa jadi sih, Bu. Tapi pas paginya Den Asa belum begini kok.”“Hm….” Padma menaruh tasnya di sofa ruang tengah. “Coba saya tanya dulu kali ya.”“Boleh, Bu. Saya buat minuman dulu buat Ibu ya.”Sebelum Padma mencegah Lita, perempuan itu sudah lebih dulu bergegas ke dapur. Padahal Padma bisa minum nanti saja. Tapi daripada mempermasalahkan hal itu, Padma memilih mendekati As
Baca selengkapnya

Biarkan Mata yang Bicara

“Kupikir kamu nggak pernah mau keluar bareng aku.”“Eh?” Jujur saja, Padma tidak menyangka kalau Badai akan mengatakan hal tersebut. “Kok kamu bisa mikir begitu?”Badai mengedikkan bahunya. “Aku tahu kamu selalu berhati-hati sejak kita… nggak bersama lagi.”Padma melirik ke arah Asa yang masih asyik dengan buku barunya. Buku itu memiliki teknologi AR di mana dengan aplikasi yang sudah diunduh di ponsel Badai, Asa bisa melihat tampilan 4D dari halaman buku yang ia scandengan aplikasi bawaan dari buku tersebut.Jadilah Asa tidak memperhatikan Badai dan Padma lagi.“Yah… kamu nggak sepenuhnya salah sih.” Padma meringis. “Aku tahu seharusnya aku nggak dengerin apa kata orang. Tapi tetep aja akan ada saatnya kamu dengerin kata-kata mereka dan kepikiran kan?”“Iya.” Badai pun mengalaminya. Sejak ia menikah dengan Anastasya hingga kini hanya hidup berdua dengan Asa, Badai sudah berkali-kali mengalaminya.“Asa yang minta kita makan siang bareng.” Padma mengatakan yang sejujurnya pada Badai. “
Baca selengkapnya

Senja Bersamamu

Dulu Padma dikenal sebagai sosok yang tak kenal dengan kata ragu. Padma adalah perempuan yang selalu tahu apa yang ia inginkan, sekolah apa yang akan ia masuki, jurusan kuliah apa yang ia incar, dan sebagainya.Tidak pernah ada yang menyetir semua keputusannya sampai kemudian ia disadarkan bahwa tidak semua keputusan yang ia buat berakhir sesuai rencananya.Seperti mengenai Badai dan Anastasya, misalnya.Sejak saat itu, diam-diam setitik keraguan terkadang muncul di benaknya. Apalagi jika berhubungan dengan Badai.“Padma?”“Aku ikut kalian aja.” Padma akhirnya memutuskan. Ketika ia melihat Asa, Padma selalu teringat tatapannya dan bagaimana kesepiannya Asa selama ini.Kalau ia bisa meredakan sedikit saja kesepiannya, kenapa tidak?Tanpa disadari, Padma mengusap perutnya dengan pelan. Akankah nanti anaknya merasakan kesepian seperti Asa?Badai tak bertanya lagi pada Padma dan memfokuskan dirinya pada sisa pekerjaannya. Sementara itu, Padma mendekat pada Asa dan ikut membaca buku kedua
Baca selengkapnya

Kadang Kita Memang menjadi Orang yang Egois

“Berempat,” ulang Badai tanpa sadar selama beberapa kali.Badai bersyukur saat ini ia sendirian di lift yang akan mengantarnya ke lantai di mana ruangannya berada.Senyum tak bisa ia sembunyikan dari wajahnya ketika mengingat kembali momen kemarin, di mana ia, Asa, dan Padma naik wahana bianglala bertiga dan melihat senja di Jakarta bersama.Setelah naik bianglala untuk dua kali atas permintaan Asa, mereka makan malam bersama dan Badai mengantar Padma pulang.Perempuan itu terlihat senang meskipun agak kelelahan. Maka dari itu Badai meminta Padma untuk istirahat saja di rumah dan ia bisa bertemu Asa lagi besok.“Pak Badai,” panggil sekretaris yang hampir ia lewati begitu saja setelah menyapanya dengan senyum dan anggukan seperti biasa. “Ada tamu buat Bapak. Tadi beliau minta nunggu di dalam ruangan Bapak.”“Siapa?” Badai tak merasa punya janji temu di kantor hari ini.“Ibu mertua Pak Badai.”Satu alis Badai langsung menukik tajam mendengar jawaban sekretarisnya. Senyum pun langsung lu
Baca selengkapnya

Setiap Detik Bersamamu

“Ketemu hari ini?“Iya, kalau kamu bisa,” tambah Badai.Padma berpikir sebentar, tatapannya tertuju pada laporan keuangan bisnis katering makanan sehat yang dijalani ibunya untuk mengisi kegiatan sejak lima tahun yang lalu. “Boleh deh. Mau kapan? Jam makan siang?”“Kalau habis pulang kerja, gimana?” tawar Badai. “Kalau jam makan siang takutnya diburu-buru waktu.”“Hm… boleh.”“Tempatnya kamu yang tentuin ya. Aku oke di mana pun kamu mau.”“Oke, nanti aku kabarin kamu di mananya ya.”“Iya. Kabarin aja.”Setelah sepakat, Badai mengakhiri panggilan tersebut dan membuat melepas kacamata baca yang ia pakai. Sehari-harinya kalau sedang tak bersama Asa, Padma memang membantu ibunya mengurus katering miliknya, karena lama-lama Padma tak tahan juga kalau tidak punya kegiatan.Ibunya setuju karena Padma berjanji ia akan mengerjakan pekerjaannya dari rumah dan hanya mengerjakan apa yang ibunya minta.“Siapa?”Padma terkejut hingga tak sengaja menjatuhkan ponselnya yang tadi masih menempel di tel
Baca selengkapnya

Bersamamu, Semua Jadi Lebih Indah

“Kamu ngidam apa lagi?”Padma tertawa mendengar pertanyaan yang dilontarkan dengan begitu serius oleh Badai. Mereka baru selesai makan dan Badai sengaja tak langsung mengajak Padma keluar karena ingin Padma beristirahat dulu.Tadi sebelum bertemu dengannya, Padma menghabiskan waktunya untuk berkeliling Ranch Market. Pastilah perempuan itu lelah dan Badai tak mau Padma semakin kelelahan.“Belum kok.” Padma menjawab dengan ragu.“Kamu nggak pernah ngidam tengah malem emangnya?” tanya Badai lagi dengan penasaran. “Dulu Shua pas hamil dia ngidamnya aneh-aneh.”“Belum pernah sih ngidam malem-malem.” Padma jadi terkekeh karena mendengar nama Shua disebut. “Emang kamu pernah disuruh sama Shua beliin sesuatu?”“Pernah. Disuruh beliin bakpia dari Jogja padahal waktu itu aku lagi dinas ke Surabaya. Nggak nyambung emang ngidamnya dia.”Padma tergelak mendengar jawaban Badai. Ia tahu kalau saat hamil Janar dulu, Shua termasuk orang yang ngidamnya aneh-aneh.Padma sendiri pernah harus menemani Shu
Baca selengkapnya

Jauh di Mata, Dekat di Doa

“Hari ini Mama Padma nggak ke rumah Asa dulu, nggak apa-apa kan?”Padma sudah cemas dengan respons Asa sejak berpikir kalau hari Sabtu ini ia tidak akan main dengan anak itu. Tapi senyum dan anggukan Asa langsung menenangkan Padma yang sebelumnya harap-harap cemas.Asa memang tidak pernah memaksa atau sampai tantrum jika tidak bertemu dengan Padma di hari yang mereka sepakati. Padma tentu saja bangga pada sifat Asa yang satu itu. Tapi ada kalanya ia berpikir kalau Asa mungkin bersikap lebih dewasa dibanding usianya saat ini.“Besok kita main lagi ya. Mama Padma kemarin beliin buku sama mainan buat Asa, besok Mama bawain.”Asa sudah melonjak kegirangan dan lari dari hadapan ponsel Badai di mana mereka tengah video call. Padma tergelak melihat reaksi Asa yang selalu senang jika dibelikan buku olehnya.“Asa lagi sibuk lari-larian tuh di kamarnya.” Kali ini wajah Badai yang muncul di layar ponsel Padma. “Kamu jadi investor rak mainannya Asa bareng temen-temenku.”“Nggak apa-apalah, aku se
Baca selengkapnya

Bukan Hal yang Mudah, Tapi Dia Bisa

“Piknik?”“Iya, minggu depan, di rumahku,” kata Mili dengan antusias. “Biar suamiku kesampaian bikin pameran tanaman hiasnya itu.”Sarkasme dalam kalimat terakhir Mili membuat Badai tertawa. Dari sambungan telepon itu, Badai juga bisa mendengar samar-samar tawa Padma dan Shua.“Boleh. Tenang aja, Asa nggak suka metikin daun buat dijadiin mainan kok.”“Bagus, aku tahu Asa anak yang baik dan bisa berteman dengan tanaman hias Arsa.”Kali ini Badai yang tertawa dan Mili pun menyudahi panggilan tersebut. Badai yang baru saja menyiapkan makan siang untuknya dan Asa, memasukkan kembali ponselnya ke saku dan membawa nampan berisi makanannya dengan Asa ke ruang tengah.Di sana, Asa masih asyik dengan buku dongeng yang dibelikan Padma. Di sampingnya, ada Play Doh yang dibentuk Asa menjadi berbagai macam buah-buahan.“Ayo, Nak, makan dulu,” ajak Badai yang langsung dituruti Asa.Duduk berdampingan di karpet, Badai membantu Asa makan terlebih dahulu sampai anaknya memberi isyarat dengan tangannya
Baca selengkapnya

Arti dari Angka 69

Padma menenteng tote bag berisi camilan yang ia beli di bakery dekat rumahnya dan buku serta mainan yang ia beli online untuk Asa, sambil berpikir akan main apa hari ini dengan Asa.Langkahnya terhenti saat melihat Badai tengah berjongkok di depan terasnya. Lebih tepatnya di hadapan beberapa pot berisi tanaman hias yang tengah digandrungi banyak orang saat ini.Sepertinya Badai tidak mendengar langkah Padma karena lelaki itu masih sibuk bersiul sambil menyemprot deretan-deretan potnya. Pemandangan Badai yang terlihat sangat domestik tersebut tentu saja membuat Padma tersenyum.Rasanya baru kali ini ia melihat Badai tengah sibuk dengan tanaman di rumahnya.“Baru kali ini aku liat kamu ngurusin tanaman.”Badai yang tengah fokus, menoleh dan terkejut karena wajah Padma rasanya begitu dekat. Perempuan itu menunduk dengan tangan yang bertumpu di lutut hingga wajahnya sejajar dengan Badai.Badai mencelat ke belakang dan hal itu langsung memancing tawa Padma. “Apa sih? Kok kaget banget?”“Ki
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1112131415
...
23
DMCA.com Protection Status