“Kamu ngidam apa lagi?”Padma tertawa mendengar pertanyaan yang dilontarkan dengan begitu serius oleh Badai. Mereka baru selesai makan dan Badai sengaja tak langsung mengajak Padma keluar karena ingin Padma beristirahat dulu.Tadi sebelum bertemu dengannya, Padma menghabiskan waktunya untuk berkeliling Ranch Market. Pastilah perempuan itu lelah dan Badai tak mau Padma semakin kelelahan.“Belum kok.” Padma menjawab dengan ragu.“Kamu nggak pernah ngidam tengah malem emangnya?” tanya Badai lagi dengan penasaran. “Dulu Shua pas hamil dia ngidamnya aneh-aneh.”“Belum pernah sih ngidam malem-malem.” Padma jadi terkekeh karena mendengar nama Shua disebut. “Emang kamu pernah disuruh sama Shua beliin sesuatu?”“Pernah. Disuruh beliin bakpia dari Jogja padahal waktu itu aku lagi dinas ke Surabaya. Nggak nyambung emang ngidamnya dia.”Padma tergelak mendengar jawaban Badai. Ia tahu kalau saat hamil Janar dulu, Shua termasuk orang yang ngidamnya aneh-aneh.Padma sendiri pernah harus menemani Shu
“Hari ini Mama Padma nggak ke rumah Asa dulu, nggak apa-apa kan?”Padma sudah cemas dengan respons Asa sejak berpikir kalau hari Sabtu ini ia tidak akan main dengan anak itu. Tapi senyum dan anggukan Asa langsung menenangkan Padma yang sebelumnya harap-harap cemas.Asa memang tidak pernah memaksa atau sampai tantrum jika tidak bertemu dengan Padma di hari yang mereka sepakati. Padma tentu saja bangga pada sifat Asa yang satu itu. Tapi ada kalanya ia berpikir kalau Asa mungkin bersikap lebih dewasa dibanding usianya saat ini.“Besok kita main lagi ya. Mama Padma kemarin beliin buku sama mainan buat Asa, besok Mama bawain.”Asa sudah melonjak kegirangan dan lari dari hadapan ponsel Badai di mana mereka tengah video call. Padma tergelak melihat reaksi Asa yang selalu senang jika dibelikan buku olehnya.“Asa lagi sibuk lari-larian tuh di kamarnya.” Kali ini wajah Badai yang muncul di layar ponsel Padma. “Kamu jadi investor rak mainannya Asa bareng temen-temenku.”“Nggak apa-apalah, aku se
“Piknik?”“Iya, minggu depan, di rumahku,” kata Mili dengan antusias. “Biar suamiku kesampaian bikin pameran tanaman hiasnya itu.”Sarkasme dalam kalimat terakhir Mili membuat Badai tertawa. Dari sambungan telepon itu, Badai juga bisa mendengar samar-samar tawa Padma dan Shua.“Boleh. Tenang aja, Asa nggak suka metikin daun buat dijadiin mainan kok.”“Bagus, aku tahu Asa anak yang baik dan bisa berteman dengan tanaman hias Arsa.”Kali ini Badai yang tertawa dan Mili pun menyudahi panggilan tersebut. Badai yang baru saja menyiapkan makan siang untuknya dan Asa, memasukkan kembali ponselnya ke saku dan membawa nampan berisi makanannya dengan Asa ke ruang tengah.Di sana, Asa masih asyik dengan buku dongeng yang dibelikan Padma. Di sampingnya, ada Play Doh yang dibentuk Asa menjadi berbagai macam buah-buahan.“Ayo, Nak, makan dulu,” ajak Badai yang langsung dituruti Asa.Duduk berdampingan di karpet, Badai membantu Asa makan terlebih dahulu sampai anaknya memberi isyarat dengan tangannya
Padma menenteng tote bag berisi camilan yang ia beli di bakery dekat rumahnya dan buku serta mainan yang ia beli online untuk Asa, sambil berpikir akan main apa hari ini dengan Asa.Langkahnya terhenti saat melihat Badai tengah berjongkok di depan terasnya. Lebih tepatnya di hadapan beberapa pot berisi tanaman hias yang tengah digandrungi banyak orang saat ini.Sepertinya Badai tidak mendengar langkah Padma karena lelaki itu masih sibuk bersiul sambil menyemprot deretan-deretan potnya. Pemandangan Badai yang terlihat sangat domestik tersebut tentu saja membuat Padma tersenyum.Rasanya baru kali ini ia melihat Badai tengah sibuk dengan tanaman di rumahnya.“Baru kali ini aku liat kamu ngurusin tanaman.”Badai yang tengah fokus, menoleh dan terkejut karena wajah Padma rasanya begitu dekat. Perempuan itu menunduk dengan tangan yang bertumpu di lutut hingga wajahnya sejajar dengan Badai.Badai mencelat ke belakang dan hal itu langsung memancing tawa Padma. “Apa sih? Kok kaget banget?”“Ki
“Wah, Papa nggak diajak main sama Asa juga nih?”Asa dan Padma menoleh bersamaan ke arah Badai yang sudah segar sehabis mandi dan berganti pakaian dengan kaos oblong dan celana selutut.Padma pikir Asa akan mengajak Badai untuk bermain bersama mereka. Tapi di luar dugaan Padma, Asa malah menggeleng sembari mendekatkan diri pada Padma.“Kok gitu?” Badai mulai mengerucutkan bibirnya dan duduk di hadapan mereka berdua.Ekspresi Badai saat ini mengingatkan Padma saat dulu Badai sering merajuk padanya karena ia kerap kali kalah berdebat dengannya.“Soalnya kamu bocorin rahasia Asa ke aku, jadi Asa nggak mau main dulu sama kamu hari ini,” jelas Padma sambil menahan tawanya.Badai langsung menatap Padma deng
Pagi itu Padma terbangun karena tiga hal.Pertama, sinar matahari yang menelusup masuk lewat celah tirai yang belum sepenuhnya terbuka.Kedua, tangannya yang kebas karena ternyata semalaman ia jadikan bantal untuk Asa.Ketiga, karena seseorang tengah menatapnya dengan intens seakan-akan ia adalah artefak yang dipajang di museum.“Badai?” Padma terbelalak kaget ketika sadar siapa yang tengah duduk di kursi yang ada di samping ranjang dan sedari tadi menatapnya.Tergesa-gesa, Padma bangkit untuk duduk dan buru-buru mengusap wajahnya serta merapikan rambutnya.“Jam berapa sekarang?” tanya Padma dengan panik.Badai yang tengah menatapnya
“Hari ini aku mau piknik,” kata Padma sambil memakai pakaiannya, flutter sleeve midi dress berwarna abu-abu muda dengan pleat skirt yang ikut mengayun setiap ia bergerak.“Katanya sih bareng sama keluarganya Shua, Badai, Arsa-Mili, dan aku.” Padma memakai gelang yang tadi ia lepas karena tak ingin terlalu sering kena sabun saat mandi.Usai berdandan dengan sangat minimalis—hanya dengan bedak tabur dan lipgloss yang warnanya akan menyesuaikan suhu tubuhnya, Padma berpaling ke arah nakas di mana ada foto Catra di sana.“Aku pergi dulu ya, Yang.”Padma tersenyum, lalu mendekat ke arah nakas dan mengusap pelan bingkai foto suaminya tersebut.Padma tahu seandainya Ca
“Ikuti aja apa kata hatimu.”Kalimat terakhir yang diucapkan Mili sebelum ART-nya memberi tahu kalau Badai dan Asa sudah tiba di rumahnya, membuat Padma tiba-tiba merasakan kepanikan yang tak jelas asal muasalnya.“Hai!”Suara bariton itu membuat Padma mau tak mau menoleh, untuk mendapati Badai dengan kaos dan celana jeansyang membuat penampilannya sangat kasual dibanding yang biasa dilihat Padma, tengah berjalan ke arahnya.Di bahu Badai, ada Asa yang didudukkannya di bahu dan tengah merenggangkan tangannya seperti tengah berkhayal kalau ia sedang terbang.“Hai,” balas Padma yang berdiri dari duduknya. Padma sedikit mendongak untuk menatap Asa. “Halo, Asa!”Asa langsung