“Wah, Papa nggak diajak main sama Asa juga nih?”
Asa dan Padma menoleh bersamaan ke arah Badai yang sudah segar sehabis mandi dan berganti pakaian dengan kaos oblong dan celana selutut.
Padma pikir Asa akan mengajak Badai untuk bermain bersama mereka. Tapi di luar dugaan Padma, Asa malah menggeleng sembari mendekatkan diri pada Padma.
“Kok gitu?” Badai mulai mengerucutkan bibirnya dan duduk di hadapan mereka berdua.
Ekspresi Badai saat ini mengingatkan Padma saat dulu Badai sering merajuk padanya karena ia kerap kali kalah berdebat dengannya.
“Soalnya kamu bocorin rahasia Asa ke aku, jadi Asa nggak mau main dulu sama kamu hari ini,” jelas Padma sambil menahan tawanya.
Badai langsung menatap Padma deng
Pagi itu Padma terbangun karena tiga hal.Pertama, sinar matahari yang menelusup masuk lewat celah tirai yang belum sepenuhnya terbuka.Kedua, tangannya yang kebas karena ternyata semalaman ia jadikan bantal untuk Asa.Ketiga, karena seseorang tengah menatapnya dengan intens seakan-akan ia adalah artefak yang dipajang di museum.“Badai?” Padma terbelalak kaget ketika sadar siapa yang tengah duduk di kursi yang ada di samping ranjang dan sedari tadi menatapnya.Tergesa-gesa, Padma bangkit untuk duduk dan buru-buru mengusap wajahnya serta merapikan rambutnya.“Jam berapa sekarang?” tanya Padma dengan panik.Badai yang tengah menatapnya
“Hari ini aku mau piknik,” kata Padma sambil memakai pakaiannya, flutter sleeve midi dress berwarna abu-abu muda dengan pleat skirt yang ikut mengayun setiap ia bergerak.“Katanya sih bareng sama keluarganya Shua, Badai, Arsa-Mili, dan aku.” Padma memakai gelang yang tadi ia lepas karena tak ingin terlalu sering kena sabun saat mandi.Usai berdandan dengan sangat minimalis—hanya dengan bedak tabur dan lipgloss yang warnanya akan menyesuaikan suhu tubuhnya, Padma berpaling ke arah nakas di mana ada foto Catra di sana.“Aku pergi dulu ya, Yang.”Padma tersenyum, lalu mendekat ke arah nakas dan mengusap pelan bingkai foto suaminya tersebut.Padma tahu seandainya Ca
“Ikuti aja apa kata hatimu.”Kalimat terakhir yang diucapkan Mili sebelum ART-nya memberi tahu kalau Badai dan Asa sudah tiba di rumahnya, membuat Padma tiba-tiba merasakan kepanikan yang tak jelas asal muasalnya.“Hai!”Suara bariton itu membuat Padma mau tak mau menoleh, untuk mendapati Badai dengan kaos dan celana jeansyang membuat penampilannya sangat kasual dibanding yang biasa dilihat Padma, tengah berjalan ke arahnya.Di bahu Badai, ada Asa yang didudukkannya di bahu dan tengah merenggangkan tangannya seperti tengah berkhayal kalau ia sedang terbang.“Hai,” balas Padma yang berdiri dari duduknya. Padma sedikit mendongak untuk menatap Asa. “Halo, Asa!”Asa langsung
Sebagai manusia, kita terbiasa mengingat rasa dan menyimpannya dalam memori.Meskipun kita sudah lama tak merasakannya lagi, ada kalanya ketika kita kembali diberi kesempatan, kita akan tahu kalau yang sekarang kita rasakan dengan yang dulu masihlah sama.Begitulah kira-kira yang terjadi pada Badai saat ini. Ketika bibirnya bisa kembali merasakan bagaimana manisnya bibir Padma, rasanya ia seperti ditarik ke masa lalu karena rasanya masih sama.Bibir Padma masih semanis dan selembut yang terakhir kali ia ingat.Tapi secepat itu ia merasakannya, secepat itu juga keduanya langsung mundur dikarenakan klakson dari mobil di belakang mereka.Beruntung Badai masih bisa mengendalikan dirinya dengan menginjak pedal gas sewajarnya. Kalau ia
“Kamu pernah inget hari jadimu waktu pacaran nggak?”Lelaki yang ditanya oleh Padma itu langsung terbahak-bahak mendengar pertanyaan konyol Padma. Padma kesal, tapi tak bisa memaki lelaki bersetelan lengkap tersebut karena dua orang.Anaknya yang ada di dalam kandungan dan Asa yang ikut tertawa saja melihat lelaki di hadapan mereka tertawa.“Padma.” Ksatria memanggil nama Padma lamat-lamat. “Aku bahkan nggak inget kapan terakhir kali aku bener-bener pacaran—punya hubungan atas dasar perasaan dan bukan cuma… kebutuhan.”Tadinya Ksatria ingin mengatakan ‘atas dasar nafsu’, tapi ia memilih menggantinya dengan kata kebutuhan karena tak ingin mencemari Asa. Bisa ditenggelamkan di laut oleh Badai kalau sampai Asa tercemar karenanya.
Hari ini adalah hari ulang tahun Badai dan Padma masih berkutat dengan pakaian apa yang cocok ia pakai untuk hari ini.“Mendingan pakai baju yang mana ya, Yang?” gumam Padma yang ditujukan pada foto mendiang suaminya.Padma tahu kalau seharusnya ia tidak mengajak sebuah foto untuk mendengarkan ocehannya. Tapi ada kalanya ia tak bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal tersebut.“Yang biru atau salem?” Bergantian, Padma menatap gaunnya yang memiliki warna dan model berbeda.Sejak hamil, ia memang lebih sering memakai gaun ketimbang celana—sesuatu yang mungkin tak akan dilakukan Padma ketika tidak hamil karena dulu Padma merasa mengenakan celana jauh lebih praktis.“Salem.” Padma memutus
Tadinya Padma agak ragu meninggalkan rumah Badai karena Ksatria, Yogas, Ipang, Nara, dan Kalu terlihat lebih banyak bermainnya dibanding benar-benar menyiapkan kejutan mereka.Tapi kelima lelaki itu benar-benar meyakinkan Padma kalau mereka bisa menyelesaikan semuanya sebelum Badai pulang, toh masih ada Nara yang paling waras di antara mereka.“Eh ya, berarti Asa panggilnya ‘Adek’ ya,” gumam Padma saat mereka tiba di rumah sakit.Di sepanjang perjalanan tadi, Asa tak henti-hentinya menatap perut Padma dengan antusias. Padma tahu kalau Asa mungkin saja kesepian di rumah itu. Ayahnya sibuk bekerja dan meskipun ada pengasuh atau Padma, mereka tak benar-benar selalu bersamanya.“Mama kemarin-kemarin masih cari nama yang bagus,” gumam
Mereka menjadi playboy tentu saja bukan tanpa alasan. Sesuatu yang dekat dengan perasaan apalagi yang sentimental seperti apa yang mereka lihat saat ini, tentu bukan sesuatu familier.“Ehem!”“Popcorn-nya, Kak! Popcorn-nya!”“Aqua! Aqua! Aqua!”Meski dengan berat hati, Badai akhirnya melepas pelukannya dari Padma dan mundur selangkah untuk melihat bagaimana Asa menatapnya dengan mata berbinar dan kelima lelaki di samping sekitar Padma tengah menahan cengiran lebarnya sambil bersorak norak.“Tadi nyanyinya belum selesai,” celetuk Ipang. “Ayo, kita nyanyi lagi.”Suara Ksatria memandu nyanyian Happy Birthday itu benar-benar tak
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec