“Kamu pernah inget hari jadimu waktu pacaran nggak?”
Lelaki yang ditanya oleh Padma itu langsung terbahak-bahak mendengar pertanyaan konyol Padma. Padma kesal, tapi tak bisa memaki lelaki bersetelan lengkap tersebut karena dua orang.
Anaknya yang ada di dalam kandungan dan Asa yang ikut tertawa saja melihat lelaki di hadapan mereka tertawa.
“Padma.” Ksatria memanggil nama Padma lamat-lamat. “Aku bahkan nggak inget kapan terakhir kali aku bener-bener pacaran—punya hubungan atas dasar perasaan dan bukan cuma… kebutuhan.”
Tadinya Ksatria ingin mengatakan ‘atas dasar nafsu’, tapi ia memilih menggantinya dengan kata kebutuhan karena tak ingin mencemari Asa. Bisa ditenggelamkan di laut oleh Badai kalau sampai Asa tercemar karenanya.
Hari ini adalah hari ulang tahun Badai dan Padma masih berkutat dengan pakaian apa yang cocok ia pakai untuk hari ini.“Mendingan pakai baju yang mana ya, Yang?” gumam Padma yang ditujukan pada foto mendiang suaminya.Padma tahu kalau seharusnya ia tidak mengajak sebuah foto untuk mendengarkan ocehannya. Tapi ada kalanya ia tak bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal tersebut.“Yang biru atau salem?” Bergantian, Padma menatap gaunnya yang memiliki warna dan model berbeda.Sejak hamil, ia memang lebih sering memakai gaun ketimbang celana—sesuatu yang mungkin tak akan dilakukan Padma ketika tidak hamil karena dulu Padma merasa mengenakan celana jauh lebih praktis.“Salem.” Padma memutus
Tadinya Padma agak ragu meninggalkan rumah Badai karena Ksatria, Yogas, Ipang, Nara, dan Kalu terlihat lebih banyak bermainnya dibanding benar-benar menyiapkan kejutan mereka.Tapi kelima lelaki itu benar-benar meyakinkan Padma kalau mereka bisa menyelesaikan semuanya sebelum Badai pulang, toh masih ada Nara yang paling waras di antara mereka.“Eh ya, berarti Asa panggilnya ‘Adek’ ya,” gumam Padma saat mereka tiba di rumah sakit.Di sepanjang perjalanan tadi, Asa tak henti-hentinya menatap perut Padma dengan antusias. Padma tahu kalau Asa mungkin saja kesepian di rumah itu. Ayahnya sibuk bekerja dan meskipun ada pengasuh atau Padma, mereka tak benar-benar selalu bersamanya.“Mama kemarin-kemarin masih cari nama yang bagus,” gumam
Mereka menjadi playboy tentu saja bukan tanpa alasan. Sesuatu yang dekat dengan perasaan apalagi yang sentimental seperti apa yang mereka lihat saat ini, tentu bukan sesuatu familier.“Ehem!”“Popcorn-nya, Kak! Popcorn-nya!”“Aqua! Aqua! Aqua!”Meski dengan berat hati, Badai akhirnya melepas pelukannya dari Padma dan mundur selangkah untuk melihat bagaimana Asa menatapnya dengan mata berbinar dan kelima lelaki di samping sekitar Padma tengah menahan cengiran lebarnya sambil bersorak norak.“Tadi nyanyinya belum selesai,” celetuk Ipang. “Ayo, kita nyanyi lagi.”Suara Ksatria memandu nyanyian Happy Birthday itu benar-benar tak
“Ponselmu ke-backup kan datanya di iTunes?”“Ke-backup, kenapa?”“Aku udah minta Jack beli yang baru buat kamu, sekarang dia lagi jalan dari iBox ke rumahmu. Mungkin sebentar lagi sampai.”“Hah?”Kali ini Padma benar-benar salut dengan inisiatif Badai. “Kapan kamu minta Jack buat beli ponsel?”“Tadi pas lagi makan.” Badai memamerkan cengirannya.“Udah lama nggak ketemu Jack,” gumam Padma yang mengingat sosok asisten pribadi Badai—laki-laki minim bicara bertubuh tinggi tegap yang lebih mirip dengan para bodyguard di perusahaan ayahnya.“Kenapa? K
“Mbak nggak apa-apa kan nemenin aku hari ini? Kalau capek bilang ya.”“Astaga, ini perasaanku aja atau semua orang di sekitarku berubah jadi paranoid sejak aku hamil ya?”Daiva Kamandaru, adik ipar Padma, tertawa mendengar gerutuan Padma. Hari Sabtu ini mereka memutuskan hangout bersama mumpung Daiva baru pulang dinas dari Taiwan.Tadinya Daiva hanya ingin bertemu Padma di rumahnya karena takut sang kakak ipar kelelahan. Tapi Padma berkeras mengajak Daiva hangout karena mereka sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama.Dulu sebelum Padma menikah dengan Catra pun, keduanya sudah sering jalan bersama. Daiva yang selalu ingin punya kakak perempuan, akhirnya menemukan sosok itu di dalam diri Padma. Lalu kedekatan mereka tentu saja berlanjut hingga sekarang.
“Aku nggak ke rumah kamu hari ini bukan karena ngehindarin kamu ya, Badai.”“Iya, aku tahu.” Badai sangat suka mendengar tawa Padma. “Ini kali ketiga kamu ngomong gitu.”“Habisnya kadang-kadang kamu bisa overthinking juga ternyata.” Padma terkekeh, tapi setelah itu Badai tak mendengar suara apa pun.Namun samar-samar Badai bisa mendengar suara seseorang yang terbatuk dan bersin. “Halo, Padma?” Tapi tak ada jawaban. “Padma?”“Y-ya?” Suara Padma akhirnya kembali menyapa telinga Badai.“Kamu sakit?”“Nggak kok. Udah ya, Dai. Aku mau sarapan dulu.”Sambungan telepon itu terputus setelah Ba
“Padma tidur?”“Iya.” Badai mengerutkan kening. “Kalian beneran masih mau di sini?”“Kan masih libur sampai Selasa.” Nara mengingatkan Badai akan tanggal merah yang memang terdapat di hari Senin dan Selasa nanti. Makanya tanpa sepengetahuan Badai, mereka semua berencana menginap sampai hari Selasa nanti.Jarang-jarang kan mereka tidak punya teman kencan di waktu yang sama.“Lagian kamu bisa ngerawat Padma dengan maksimal selagi Asa bisa main sama kami,” imbuh Kalu sambil mengangkat Asa tinggi-tinggi hingga anak itu memekik girang. “Dan kalau mau masak bisa dibantuin Ipang.”“Aku mau santai,” tolak Ipang dengan malas. “Suruh si BanKsat atau Yogas aja tuh.”
“Kamu masih sendirian? Kan udah kubilang, cari kebahagiaanmu sendiri, Padma. Menangisiku bukan kebahagiaan kamu.”Sentuhan ringan di lengan atasnya membuat Padma tersentak kaget, ia bahkan tak sadar berapa menit yang ia habiskan dengan melamun tanpa menjawab pertanyaan Badai sebelumnya.“Padma?”“E-eh, ya?” Padma kembali mengerjap beberapa kali. Tadi ia memang memimpikan Catra meskipun cuma sebentar.Tak banyak yang ia ingat dari mimpinya dari bagaimana Catra menatapnya sambil berdiri di hadapannya dan mengatakan hal tersebut.Kalau menangisi kepergiannya bukanlah kebahagiaan Padma.“Nggak usah dijawab kalau gitu pertanyaanku.” Badai menangkap Padma yang melamun usai ia menanyakan