“Ponselmu ke-backup kan datanya di iTunes?”
“Ke-backup, kenapa?”
“Aku udah minta Jack beli yang baru buat kamu, sekarang dia lagi jalan dari iBox ke rumahmu. Mungkin sebentar lagi sampai.”
“Hah?”
Kali ini Padma benar-benar salut dengan inisiatif Badai. “Kapan kamu minta Jack buat beli ponsel?”
“Tadi pas lagi makan.” Badai memamerkan cengirannya.
“Udah lama nggak ketemu Jack,” gumam Padma yang mengingat sosok asisten pribadi Badai—laki-laki minim bicara bertubuh tinggi tegap yang lebih mirip dengan para bodyguard di perusahaan ayahnya.
“Kenapa? K
“Mbak nggak apa-apa kan nemenin aku hari ini? Kalau capek bilang ya.”“Astaga, ini perasaanku aja atau semua orang di sekitarku berubah jadi paranoid sejak aku hamil ya?”Daiva Kamandaru, adik ipar Padma, tertawa mendengar gerutuan Padma. Hari Sabtu ini mereka memutuskan hangout bersama mumpung Daiva baru pulang dinas dari Taiwan.Tadinya Daiva hanya ingin bertemu Padma di rumahnya karena takut sang kakak ipar kelelahan. Tapi Padma berkeras mengajak Daiva hangout karena mereka sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama.Dulu sebelum Padma menikah dengan Catra pun, keduanya sudah sering jalan bersama. Daiva yang selalu ingin punya kakak perempuan, akhirnya menemukan sosok itu di dalam diri Padma. Lalu kedekatan mereka tentu saja berlanjut hingga sekarang.
“Aku nggak ke rumah kamu hari ini bukan karena ngehindarin kamu ya, Badai.”“Iya, aku tahu.” Badai sangat suka mendengar tawa Padma. “Ini kali ketiga kamu ngomong gitu.”“Habisnya kadang-kadang kamu bisa overthinking juga ternyata.” Padma terkekeh, tapi setelah itu Badai tak mendengar suara apa pun.Namun samar-samar Badai bisa mendengar suara seseorang yang terbatuk dan bersin. “Halo, Padma?” Tapi tak ada jawaban. “Padma?”“Y-ya?” Suara Padma akhirnya kembali menyapa telinga Badai.“Kamu sakit?”“Nggak kok. Udah ya, Dai. Aku mau sarapan dulu.”Sambungan telepon itu terputus setelah Ba
“Padma tidur?”“Iya.” Badai mengerutkan kening. “Kalian beneran masih mau di sini?”“Kan masih libur sampai Selasa.” Nara mengingatkan Badai akan tanggal merah yang memang terdapat di hari Senin dan Selasa nanti. Makanya tanpa sepengetahuan Badai, mereka semua berencana menginap sampai hari Selasa nanti.Jarang-jarang kan mereka tidak punya teman kencan di waktu yang sama.“Lagian kamu bisa ngerawat Padma dengan maksimal selagi Asa bisa main sama kami,” imbuh Kalu sambil mengangkat Asa tinggi-tinggi hingga anak itu memekik girang. “Dan kalau mau masak bisa dibantuin Ipang.”“Aku mau santai,” tolak Ipang dengan malas. “Suruh si BanKsat atau Yogas aja tuh.”
“Kamu masih sendirian? Kan udah kubilang, cari kebahagiaanmu sendiri, Padma. Menangisiku bukan kebahagiaan kamu.”Sentuhan ringan di lengan atasnya membuat Padma tersentak kaget, ia bahkan tak sadar berapa menit yang ia habiskan dengan melamun tanpa menjawab pertanyaan Badai sebelumnya.“Padma?”“E-eh, ya?” Padma kembali mengerjap beberapa kali. Tadi ia memang memimpikan Catra meskipun cuma sebentar.Tak banyak yang ia ingat dari mimpinya dari bagaimana Catra menatapnya sambil berdiri di hadapannya dan mengatakan hal tersebut.Kalau menangisi kepergiannya bukanlah kebahagiaan Padma.“Nggak usah dijawab kalau gitu pertanyaanku.” Badai menangkap Padma yang melamun usai ia menanyakan
Arsa menatap sang kakak yang terlihat santai di ruangannya saat ini. Perempuan dengan perut yang semakin besar itu tengah bersenandung pelan mengikuti lagu yang diputar Arsa dari laptopnya dan tersambung ke bluetooth speaker.“Kamu nggak mau balik kerja lagi?”Padma balik bertanya dengan santai. “Kamu mau gaji aku berapa?”“Bukan aku HR-nya, jadi aku nggak bisa nentuin gaji kamu.”Padma tertawa mendengar jawaban adiknya tersebut. “Udah sana, kerja lagi. Jangan urusin aku, kalau aku ganggu, bilang aja.”“Nggak ganggulah. Kamu cuma duduk diam di sana kayak patung,” kom
“Harusnya aku ajak Mili supaya aku nggak jadi obat nyamuk.”“Kalau begitu harusnya kamu nggak usah ikut sekalian sejak tadi.” Padma memutar kedua bola matanya. “Kan aku udah ngomong kalau Badai mau ikut.”“Wow.” Arsa berdecak pelan mendengar omelan kakaknya. “Galaknya. Kayak kamu beneran bakal mau makan berdua sama Badai aja.”Badai langsung tersedak mendengar betapa jujurnya Arsa dan Padma bersikap masa bodoh dengan adiknya tersebut. Arsa di satu tempat yang sama dengan Badai memang sudah tak segalak dulu, tapi tetap saja meledek kakaknya juga jadi salah satu job desc Arsa sebagai adik.Ta Wan Pacific Place di jam makan siang cukup ramai saat ketiganya sudah duduk berhadapan di salah satu meja khusus untuk empat orang.
“Badai.”“Ya?”“Lain kali kalau kamu mau ajak aku makan atau apa, katakan aja yang jelas kayak ‘Ayo, makan bareng’. Aku udah belajar banyak hal akhir-akhir ini dan nggak akan adil kalau kita jadi canggung hanya karena aku yang terlalu banyak berpikir.”“Begitu?”“Iya. Kalau boleh jujur, aku kangen kamu yang tengil dan kadang suka sok kepedean—tapi jangan keseringan juga tengilnya! Udah jadi jatahnya Ksatria dan Yogas aja yang tengilnya bikin aku elus dada. Jadilah diri kamu sendiri, Dai. Asa juga pasti ngerasain kok mana papanya yang muram dan mana papanya yang biasanya.”Badai mengulang percakapan itu berkal
“Bener kan ya hari ini dia ke The Clouds?”Padma sudah berulang kali menanyakan hal yang sama kepada dirinya sendiri. Ia mengingat-ingat lagi cerita Badai beberapa waktu yang lalu tentang kunjungan rutinnya ke The Clouds.Seingat Padma, hari Sabtu inilah Badai pergi ke sana. Sejak tadi ia sudah sangat kesal karena pesanannya tidak kunjung diterima oleh satu pun driver. Padahal membayangkan Italian pizza tersebut sudah membuat Padma gelisah sendiri karena menginginkannya.Dering ponsel yang terlampau kencang membuat Padma terlonjak kaget. Terburu-buru ia menggeser ikon hijau untuk menjawab panggilan dari Badai.“Padma, pesenan kamu pizza aja?”“Iya, pizza aja.”&ldqu