“Kamu masih sendirian? Kan udah kubilang, cari kebahagiaanmu sendiri, Padma. Menangisiku bukan kebahagiaan kamu.”
Sentuhan ringan di lengan atasnya membuat Padma tersentak kaget, ia bahkan tak sadar berapa menit yang ia habiskan dengan melamun tanpa menjawab pertanyaan Badai sebelumnya.
“Padma?”
“E-eh, ya?” Padma kembali mengerjap beberapa kali. Tadi ia memang memimpikan Catra meskipun cuma sebentar.
Tak banyak yang ia ingat dari mimpinya dari bagaimana Catra menatapnya sambil berdiri di hadapannya dan mengatakan hal tersebut.
Kalau menangisi kepergiannya bukanlah kebahagiaan Padma.
“Nggak usah dijawab kalau gitu pertanyaanku.” Badai menangkap Padma yang melamun usai ia menanyakan
Arsa menatap sang kakak yang terlihat santai di ruangannya saat ini. Perempuan dengan perut yang semakin besar itu tengah bersenandung pelan mengikuti lagu yang diputar Arsa dari laptopnya dan tersambung ke bluetooth speaker.“Kamu nggak mau balik kerja lagi?”Padma balik bertanya dengan santai. “Kamu mau gaji aku berapa?”“Bukan aku HR-nya, jadi aku nggak bisa nentuin gaji kamu.”Padma tertawa mendengar jawaban adiknya tersebut. “Udah sana, kerja lagi. Jangan urusin aku, kalau aku ganggu, bilang aja.”“Nggak ganggulah. Kamu cuma duduk diam di sana kayak patung,” kom
“Harusnya aku ajak Mili supaya aku nggak jadi obat nyamuk.”“Kalau begitu harusnya kamu nggak usah ikut sekalian sejak tadi.” Padma memutar kedua bola matanya. “Kan aku udah ngomong kalau Badai mau ikut.”“Wow.” Arsa berdecak pelan mendengar omelan kakaknya. “Galaknya. Kayak kamu beneran bakal mau makan berdua sama Badai aja.”Badai langsung tersedak mendengar betapa jujurnya Arsa dan Padma bersikap masa bodoh dengan adiknya tersebut. Arsa di satu tempat yang sama dengan Badai memang sudah tak segalak dulu, tapi tetap saja meledek kakaknya juga jadi salah satu job desc Arsa sebagai adik.Ta Wan Pacific Place di jam makan siang cukup ramai saat ketiganya sudah duduk berhadapan di salah satu meja khusus untuk empat orang.
“Badai.”“Ya?”“Lain kali kalau kamu mau ajak aku makan atau apa, katakan aja yang jelas kayak ‘Ayo, makan bareng’. Aku udah belajar banyak hal akhir-akhir ini dan nggak akan adil kalau kita jadi canggung hanya karena aku yang terlalu banyak berpikir.”“Begitu?”“Iya. Kalau boleh jujur, aku kangen kamu yang tengil dan kadang suka sok kepedean—tapi jangan keseringan juga tengilnya! Udah jadi jatahnya Ksatria dan Yogas aja yang tengilnya bikin aku elus dada. Jadilah diri kamu sendiri, Dai. Asa juga pasti ngerasain kok mana papanya yang muram dan mana papanya yang biasanya.”Badai mengulang percakapan itu berkal
“Bener kan ya hari ini dia ke The Clouds?”Padma sudah berulang kali menanyakan hal yang sama kepada dirinya sendiri. Ia mengingat-ingat lagi cerita Badai beberapa waktu yang lalu tentang kunjungan rutinnya ke The Clouds.Seingat Padma, hari Sabtu inilah Badai pergi ke sana. Sejak tadi ia sudah sangat kesal karena pesanannya tidak kunjung diterima oleh satu pun driver. Padahal membayangkan Italian pizza tersebut sudah membuat Padma gelisah sendiri karena menginginkannya.Dering ponsel yang terlampau kencang membuat Padma terlonjak kaget. Terburu-buru ia menggeser ikon hijau untuk menjawab panggilan dari Badai.“Padma, pesenan kamu pizza aja?”“Iya, pizza aja.”&ldqu
“Oh ya?”“Kalau kamu inget, aku nggak pernah flirting atau bahkan tidur sama perempuan lain setelah ketemu sama kamu.”Badai menarik tangannya dan kembali mengambil potongan pizza di kotak yang ada di atas meja. Sedangkan Padma berdeham beberapa kali karena merasa tenggorokannya tiba-tiba terasa kering, sehingga Badai pun berinisiatif menyodorkan gelas pada Padma.“Nih, minum dulu.”Padma menurut dan mengucapkan, “Makasih.”Pembicaraan mengenai bagaimana Badai yang sudah tobat dari titelnya sebagai buaya darat itu berhenti begitu saja.Badai memilih untuk bertanya kenapa Padma menonton film remaja tersebut yang dibalas Padma dengan, “Pengen aja. Jadi inget-inget wak
Kita memang bisa berkhianat dengan ucapan yang keluar dari mulut kita. Namun, reaksi tubuh adalah salah satu yang tak bisa kita ajak berkompromi.Seperti debaran jantung Padma.Sisa akhir pekan itu dihabiskan Padma untuk menyendiri di rumahnya. Pada Badai dan Asa ia beralasan ingin beristirahat dulu sekaligus beres-beres barang yang baru sampai dikirim dengan kargo dari Bali.Hal itu tidak sepenuhnya bohong. Nyatanya barang-barang itu memang baru tiba di Minggu siang tersebut. Tapi Padma tidak membongkarnya dan hanya membiarkannya teronggok di ruang belakang dekat dapurnya.Sampai Senin pagi ini, Padma malah lebih banyak melamunnya dibanding beraktivitas seperti biasa.“Bu, ada Bu Mili baru sampai.”“Mili?” Padma
“Kamu kenapa ngeliatin aku begitu banget?”“Emang aku ngeliatin kamu kayak gimana?”“Kayak penuh pertimbangan, ini kambing enaknya dibikin sate atau kambing guling ya?”Derai tawa Padma masuk ke telinga Badai dan kekhawatiran lelaki itu seketika sirna. Rasanya lega bisa melihat Padma tertawa hanya dengan lelucon recehnya.“Enak dong kalau kamu beneran kambing. Gede, pasti banyak dagingnya.”“Tapi kalau kegedean dagingnya alot nggak sih?”“Nggak tahu, aku kan bukan peternak kambing.”Kali ini Badai-lah yang tertawa. Andai saja Badai bisa membaca pikiran Padma, pastilah saat ini ia takkan tertawa.
“Asa, Mama mau ke toilet dulu ya. Kamu di sini sama Opa dan Oma dulu, nggak apa-apa kan?”Asa tentu saja mengangguk. Ia selalu senang berada di antara kedua orangtua Padma yang mengatakan padanya untuk dipanggil sebagai Opa dan Oma—karena bagi mereka, cucu Alkadri Tanaka juga cucu mereka.“Sebentar ya.” Padma mengusap pipi Asa dan anak itu sangat menyukainya. Ekspresinya yang senang hingga memejamkan mata mengingatkan Padma akan seekor kucing lucu yang pasti juga akan memejamkan matanya jika ada manusia yang mengusap dagunya.Padma pamit pada kedua orangtuanya dan berjalan menuju rumah Arsa dan Mili. Saat ia tak sengaja menoleh ke meja yang ia tinggalkan, seorang pramusaji datang dan menaruh dua gelas minuman di sana.“Ke mana Badai?” gumamnya sambil mencari sosok lel