Kita memang bisa berkhianat dengan ucapan yang keluar dari mulut kita. Namun, reaksi tubuh adalah salah satu yang tak bisa kita ajak berkompromi.
Seperti debaran jantung Padma.
Sisa akhir pekan itu dihabiskan Padma untuk menyendiri di rumahnya. Pada Badai dan Asa ia beralasan ingin beristirahat dulu sekaligus beres-beres barang yang baru sampai dikirim dengan kargo dari Bali.
Hal itu tidak sepenuhnya bohong. Nyatanya barang-barang itu memang baru tiba di Minggu siang tersebut. Tapi Padma tidak membongkarnya dan hanya membiarkannya teronggok di ruang belakang dekat dapurnya.
Sampai Senin pagi ini, Padma malah lebih banyak melamunnya dibanding beraktivitas seperti biasa.
“Bu, ada Bu Mili baru sampai.”
“Mili?” Padma
“Kamu kenapa ngeliatin aku begitu banget?”“Emang aku ngeliatin kamu kayak gimana?”“Kayak penuh pertimbangan, ini kambing enaknya dibikin sate atau kambing guling ya?”Derai tawa Padma masuk ke telinga Badai dan kekhawatiran lelaki itu seketika sirna. Rasanya lega bisa melihat Padma tertawa hanya dengan lelucon recehnya.“Enak dong kalau kamu beneran kambing. Gede, pasti banyak dagingnya.”“Tapi kalau kegedean dagingnya alot nggak sih?”“Nggak tahu, aku kan bukan peternak kambing.”Kali ini Badai-lah yang tertawa. Andai saja Badai bisa membaca pikiran Padma, pastilah saat ini ia takkan tertawa.
“Asa, Mama mau ke toilet dulu ya. Kamu di sini sama Opa dan Oma dulu, nggak apa-apa kan?”Asa tentu saja mengangguk. Ia selalu senang berada di antara kedua orangtua Padma yang mengatakan padanya untuk dipanggil sebagai Opa dan Oma—karena bagi mereka, cucu Alkadri Tanaka juga cucu mereka.“Sebentar ya.” Padma mengusap pipi Asa dan anak itu sangat menyukainya. Ekspresinya yang senang hingga memejamkan mata mengingatkan Padma akan seekor kucing lucu yang pasti juga akan memejamkan matanya jika ada manusia yang mengusap dagunya.Padma pamit pada kedua orangtuanya dan berjalan menuju rumah Arsa dan Mili. Saat ia tak sengaja menoleh ke meja yang ia tinggalkan, seorang pramusaji datang dan menaruh dua gelas minuman di sana.“Ke mana Badai?” gumamnya sambil mencari sosok lel
“Ayo, dadah dulu ke Papa sama Mama Padma.”Asa menuruti permintaan Shua dan melambaikan tangannya dari mobil sang tante ke arah ayah dan tantenya tersebut.Pesta ulang tahun Mili sudah selesai sejak dua jam yang lalu. Tapi keluarga inti ditambah Badai dan keluarga Shua, bertahan di sana karena obrolan yang tak kenal ujung.Hingga akhirnya Shua tak sengaja mendengar Badai bicara pada Padma, untuk mengatakan pada Asa kalau mereka akan jalan-jalan dulu sebelum pulang. Shua berinisiatif untuk menolong sang sahabat dan sepupu.“Asa nginep di rumahku aja,” kata Shua tadi dengan yakinnya.Si tamu yang terlambat karena harus menangani kliennya yang rewel tersebut langsung tersenyum tanpa malu untuk membantu memuluskan apa pun rencana kedua janda da
Deru napas yang tersengal karena lupa bernapas, membuat Padma yang semula terpejam, kini membuka matanya.Badai masih selembut yang Padma ingat. Rasanya seperti ditarik ke masa lalu, ketika mereka masih berhubungan dan mereka masih bebas mencium satu sama lain.Meskipun seringnya adalah Badai yang menciumnya duluan dan Padma kadang-kadang memperingatinya soal perjanjian hubungan mereka.Seperti saat ini.Dengan tangan kanannya, Padma mendorong dada Badai. “Sebentar lagi lampu merahnya habis, Dai.”“Oh, ya.”Badai berdeham dan kembali duduk dengan benar di kursinya. Lima detik kemudian lampu lalu lintas berubah jadi hijau dan Badai segera kembali melajukan mobilnya.“Kamu mau makan s
“Emangnya bumil yang usia kandungannya kayak kamu ini… bener-bener selincah kamu ya?”Padma menggeleng pelan mendengar pertanyaan konyol dari Yogas. “Emangnya aku harus duduk selama 24 jam?”“Aku ngeri anakmu kecapekan.” Yogas menatap perut Padma yang memang sudah cukup besar. Wajar saja, HPL-nya tinggal menghitung hari lagi.Tiga hari lagi ibu Padma akan menemaninya di sini, berjaga-jaga kalau Padma membutuhkan bantuannya kapan saja ketika anaknya merasa siap untuk dilahirkan dan melihat dunia.“Nggaklah. Anakku kan kuat,” puji Padma sambil mengusap perutnya. “Santai sih, Yogas. Aku kan cuma menata buku di rak doang, itu pun maksimal buku yang kubawa cuma tiga dengan jarak dari kontainer ke rak hanya satu setengah meter.”
"Kamu yakin aku tungguin di sini?”“Kalau kamu mau keluar, keluar sana.”Nada galak Padma membuat Badai meringis dan tetap bertahan di tempatnya ketika Padma masih harus menunggu.Lelaki itu sudah tak menghitung berapa jam lamanya ia mendampingi Padma. Di sampingnya, ada ibu Padma dan Catra yang juga sejak tadi mendampingi Padma.“Nggak apa-apa, Badai. Kalau Padma maunya didampingin kamu, kamu di sini aja,” ucap ibu Catra dengan keibuan. “Perempuan mau melahirkan itu butuh didampingi sama siapa yang bisa menguatkan dia. Kalau kamu yang bisa menguatkan Padma, ya nggak apa-apa toh?”Padma menatap ibu mertuanya yang berdiri di sisi kirinya dengan penuh haru seraya mengucapkan terima kasih tanpa suara. Seperti mengerti, pe
“Kamar anakku belum jadi waktu aku tinggal.”“Siapa suruh kamu baru nata ulang kamar itu mepet?” Mili menjitak kepala Padma dan hanya disahuti dengan decakan.Hari ini hari kedua Padma di rumah sakit. Rencananya, besok atau lusa ia sudah diperbolehkan pulang. Jadilah hari ini Mili yang menunggui Padma bersama dengan suaminya, Arsa.Sebenarnya Padma juga sudah bisa pulang hari ini, tapi para orangtua yang protektif dan proses kehamilannya yang sempat berkendala, membuat Padma akhirnya mengiakan saja permintaan mereka semua.Para orangtua sudah diminta oleh Padma beristirahat dulu dan untungnya, mereka menurut. Meskipun kegembiraan atas cucu pertama tentu saja tetap membuat semangat mereka meledak-ledak.“Habisnya aku kelamaan mikirin penataanny
Padma sampai di rumahnya di siang hari dengan orangtua dan mertuanya yang mengantarnya. Tidak cukup dengan itu, ia bahkan disambut dengan heboh oleh adiknya, sahabat-sahabatnya, Badai dan Asa, juga kelima sahabat Badai.“Kalian jadiin kepulanganku sebagai alasan bolos kerja ya?” tanya Padma dengan galak yang disambut tawa mereka semua.Semua orang bergantian melihat dan menyapa Ilana kecil yang kebetulan terbangun saat ia sampai di rumahnya. Asa menjadi orang terakhir yang menyapa Ilana dan jemarinya langsung digenggam oleh Ilana yang tertawa entah karena apa.“Ilana suka sama Asa,” beri tahu Padma pada Asa seraya tersenyum. “Nanti adeknya dijagain ya, Asa.”Asa mengangguk berkali-kali dan hal itu membuat Padma gemas padanya. Tak lama kemudian, Padma meminta izin pada yang
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec