"Kamu yakin aku tungguin di sini?”
“Kalau kamu mau keluar, keluar sana.”
Nada galak Padma membuat Badai meringis dan tetap bertahan di tempatnya ketika Padma masih harus menunggu.
Lelaki itu sudah tak menghitung berapa jam lamanya ia mendampingi Padma. Di sampingnya, ada ibu Padma dan Catra yang juga sejak tadi mendampingi Padma.
“Nggak apa-apa, Badai. Kalau Padma maunya didampingin kamu, kamu di sini aja,” ucap ibu Catra dengan keibuan. “Perempuan mau melahirkan itu butuh didampingi sama siapa yang bisa menguatkan dia. Kalau kamu yang bisa menguatkan Padma, ya nggak apa-apa toh?”
Padma menatap ibu mertuanya yang berdiri di sisi kirinya dengan penuh haru seraya mengucapkan terima kasih tanpa suara. Seperti mengerti, pe
“Kamar anakku belum jadi waktu aku tinggal.”“Siapa suruh kamu baru nata ulang kamar itu mepet?” Mili menjitak kepala Padma dan hanya disahuti dengan decakan.Hari ini hari kedua Padma di rumah sakit. Rencananya, besok atau lusa ia sudah diperbolehkan pulang. Jadilah hari ini Mili yang menunggui Padma bersama dengan suaminya, Arsa.Sebenarnya Padma juga sudah bisa pulang hari ini, tapi para orangtua yang protektif dan proses kehamilannya yang sempat berkendala, membuat Padma akhirnya mengiakan saja permintaan mereka semua.Para orangtua sudah diminta oleh Padma beristirahat dulu dan untungnya, mereka menurut. Meskipun kegembiraan atas cucu pertama tentu saja tetap membuat semangat mereka meledak-ledak.“Habisnya aku kelamaan mikirin penataanny
Padma sampai di rumahnya di siang hari dengan orangtua dan mertuanya yang mengantarnya. Tidak cukup dengan itu, ia bahkan disambut dengan heboh oleh adiknya, sahabat-sahabatnya, Badai dan Asa, juga kelima sahabat Badai.“Kalian jadiin kepulanganku sebagai alasan bolos kerja ya?” tanya Padma dengan galak yang disambut tawa mereka semua.Semua orang bergantian melihat dan menyapa Ilana kecil yang kebetulan terbangun saat ia sampai di rumahnya. Asa menjadi orang terakhir yang menyapa Ilana dan jemarinya langsung digenggam oleh Ilana yang tertawa entah karena apa.“Ilana suka sama Asa,” beri tahu Padma pada Asa seraya tersenyum. “Nanti adeknya dijagain ya, Asa.”Asa mengangguk berkali-kali dan hal itu membuat Padma gemas padanya. Tak lama kemudian, Padma meminta izin pada yang
Asa memperhatikan Ilana yang tengah terlelap. Tadi ia sempat mendengar ayahnya berkata sesuatu mengenai kemiripan antara Ilana dan Catra.Dalam hatinya, Asa merasa sesuatu yang mencelos saat kembali mengingat sosok lelaki baik hati yang selalu menyayanginya tersebut. tAPI kesedihan itu dengan cepat memudar ketika ia mengamati wajah Ilana dan melihat bagaimana dengan perlahan kelopak mata mungil Ilana bergerak.Anak lelaki itu mendekatkan wajahnya ke baby crib yang memiliki celah kecil di mana ia bisa mengintip Ilana. Ia bisa melihat bagaimana mata Ilana perlahan mengerjap dan benar-benar terbuka.Ketika ia akan menyapa, ‘Hai, Adek’, bayi itu bergerak gelisah dan akhirnya ia menangis begitu saja.Asa panik. Apakah karena ia sejak tadi memperhatikan Ilana, makanya Ilana terbangun dan menang
Gemerisik daun yang tak sengaja terinjak oleh Badai dan Asa membuat Asa sesekali menunduk. Anak itu menyukai bagaimana gemerisik tersebut terdengar di telinganya.“Hati-hati, Asa,” pesan Badai saat anaknya memperlambat langkahnya untuk menghindari bebatuan yang muncul dari balik tanah.“I-iya, Pa.”Badai tersenyum dan mempererat gandengan tangannya pada Asa. Di tangan kanannya, terdapat buket mawar putih yang biasa ia bawakan untuk Catra.Awalnya Badai tak tahu harus membawa bunga apa ke makam Catra. Tapi kalau datang hanya dengan tangan kosong, rasanya ada yang kurang. Jadilah saat ia melihat apa yang ada di florist, Badai memilih mawar putih sebagai hadiah kunjungan rutinnya.“Sekarang, kalau mau nyapa Papa Catra, carany
“Tante ngapain di sini?”Badai berusaha menahan emosinya agar tidak berteriak untuk mengusir Alia. Ia melirik ke arah Asa yang duduk di samping ibu Padma dan Ilana.“Jenguk keponakan Tante yang baru melahirkan,” jawab Alia dengan tenang. “Nggak nyangka ketemu kalian di sini.”Alia menyapa ibu Padma yang dibalas dengan sama ramahnya. Perempuan itu menanyakan kabar suaminya dan ia menjawab kalau Banyu sudah agak lebih baik kondisinya saat ini.Sebenarnya Alia juga ingin menyapa Asa, tapi ia menahan diri dan membiarkan saja ketika perempuan paruh baya yang tengah menggendong bayi tersebut menggandeng Asa menuju ruangan lain yang agak jauh dari ruang tengah.Alia tidak mencegahnya. Ia ingin menatap Asa lebih lama lagi tapi bahkan tanpa Asa balas menatapnya, Alia tahu kalau kehadirannya tidak diinginkan.“Di mana Padma?” tanya Alia lagi begitu mereka hanya tinggal berdua. “Tante mau ketemu dia.”“Masih di kamar.” Badai menjawab seadanya. “Tante ke sini beneran cuma mau jenguk Padma?”Perta
“Kamu mau apa?”“Cerai.” Shua memutar kedua bola matanya. “Sejak kapan pendengaranmu jadi terganggu begini? Nggak mau ke dokter THT aja sekalian?”Padma berdecak pelan lalu mencubit tangan Shua sampai perempuan itu ingin memukulnya balik, tapi menahan diri karena ada Janar dan Asa di sekitar mereka. Sore ini kebetulan Shua mampir bersama Janar ke rumah Padma.Di rumah Padma sendiri ada Asa yang kembali rutin main ke rumah Padma, diantar oleh Badai sendiri tadi pagi.“Serius nih, Shua.” Padma mengguncang lengan Shua. “Kamu mau cerai? Kenapa?”Shua menatap Padma dan baru kali ini Padma melihat kesedihan di manik mata Shua. Padahal selama ini Shua terlihat baik-baik saja.Ia dan suaminya pun tidak terlihat bermasalah, masih harmonis dan bahkan kalau bukan Shua sendiri yang mengatakan akan bercerai, Padma tak akan langsung percaya.Shua menarik napasnya dengan berat. Hal ini sudah ia simpan sendiri selama berbulan-bulan. Tapi rasanya semua sudah mencapai puncaknya dan Shua ingin berbagi d
“Busui, nih pesenannya.”Padma tersenyum senang melihat kotak dari Luna’s Doughnuts yang dibawakan oleh Badai sore ini. Sejak kemarin ia memang menginginkan donat dari gerai yang baru buka di Kota Kasablanka tersebut.“Thank you.” Sebagai bonus, begitu duduk di sampingnya, Padma langsung mencium pipi Badai.Badai sendiri langsung berdecak pelan. “Begitu ya, giliran dibawain donat langsung dicium.”“Gede ambek,” ledek Padma sambil membuka kotak donatnya.Badai mengamati sekelilingnya dan baru sadar kalau hanya ada mereka berdua di ruang tengah. “Yang lain ke mana?”“Mama, Bunda, Ilana, sama Asa lagi di halaman belakang. Biasa deh, quality time sama oma-oma.”“Oh, pantes berani cium aku.” Badai mengangguk pelan. “Kalau gitu, sekali lagi dong, tapi di bibir. Gimana?”“Kamu pikir kita lagi rapat dan kamu bisa mengajukan tawaran?”“Anggap aja begitu.” Badai tak menyerah. “One more kiss, please.”Padma melirik ke arah Badai dan lelaki itu tengah menatapnya dengan cengiran yang mirip seperti
“Kita turun sekarang?”Rasanya Padma sudah sering ke makam Catra. Ini juga bukan pertama kalinya ia pergi bersama Badai ke makam mendiang suaminya.Tapi tetap saja, ada sesuatu yang berbeda di hari ini.“Iya,” jawab Padma setelah kembali menemukan suaranya. “Yuk.”Keduanya keluar dari mobil Badai dan dengan tangan kanan yang membawakan buket bunga untuk sang suami, Padma berjalan menelusuri pemakaman itu dengan Badai di sampingnya.“Siapa ya yang sering ngasih mawar putih buat Catra?”Badai meringis saat mendengar pertanyaan Padma begitu mereka tiba di makam Catra dan menemukan buket bunga mawar putih yang sudah agak layu.“Kenapa emangnya?” Badai memutuskan untuk bertanya lebih dulu.“Nggak apa-apa, penasaran aja. Berarti kan ada yang rajin ke sini selain aku atau keluarganya,” jawab Padma sambil mengusap nisan Catra. “Itu berarti ada banyak orang yang sayang sama dia bahkan setelah dia nggak ada.”“Iya….” Lelaki yang hari itu mengenakan sweater turtleneck hitam dan celana jeans ters