Padma sampai di rumahnya di siang hari dengan orangtua dan mertuanya yang mengantarnya. Tidak cukup dengan itu, ia bahkan disambut dengan heboh oleh adiknya, sahabat-sahabatnya, Badai dan Asa, juga kelima sahabat Badai.
“Kalian jadiin kepulanganku sebagai alasan bolos kerja ya?” tanya Padma dengan galak yang disambut tawa mereka semua.
Semua orang bergantian melihat dan menyapa Ilana kecil yang kebetulan terbangun saat ia sampai di rumahnya. Asa menjadi orang terakhir yang menyapa Ilana dan jemarinya langsung digenggam oleh Ilana yang tertawa entah karena apa.
“Ilana suka sama Asa,” beri tahu Padma pada Asa seraya tersenyum. “Nanti adeknya dijagain ya, Asa.”
Asa mengangguk berkali-kali dan hal itu membuat Padma gemas padanya. Tak lama kemudian, Padma meminta izin pada yang
Asa memperhatikan Ilana yang tengah terlelap. Tadi ia sempat mendengar ayahnya berkata sesuatu mengenai kemiripan antara Ilana dan Catra.Dalam hatinya, Asa merasa sesuatu yang mencelos saat kembali mengingat sosok lelaki baik hati yang selalu menyayanginya tersebut. tAPI kesedihan itu dengan cepat memudar ketika ia mengamati wajah Ilana dan melihat bagaimana dengan perlahan kelopak mata mungil Ilana bergerak.Anak lelaki itu mendekatkan wajahnya ke baby crib yang memiliki celah kecil di mana ia bisa mengintip Ilana. Ia bisa melihat bagaimana mata Ilana perlahan mengerjap dan benar-benar terbuka.Ketika ia akan menyapa, ‘Hai, Adek’, bayi itu bergerak gelisah dan akhirnya ia menangis begitu saja.Asa panik. Apakah karena ia sejak tadi memperhatikan Ilana, makanya Ilana terbangun dan menang
Gemerisik daun yang tak sengaja terinjak oleh Badai dan Asa membuat Asa sesekali menunduk. Anak itu menyukai bagaimana gemerisik tersebut terdengar di telinganya.“Hati-hati, Asa,” pesan Badai saat anaknya memperlambat langkahnya untuk menghindari bebatuan yang muncul dari balik tanah.“I-iya, Pa.”Badai tersenyum dan mempererat gandengan tangannya pada Asa. Di tangan kanannya, terdapat buket mawar putih yang biasa ia bawakan untuk Catra.Awalnya Badai tak tahu harus membawa bunga apa ke makam Catra. Tapi kalau datang hanya dengan tangan kosong, rasanya ada yang kurang. Jadilah saat ia melihat apa yang ada di florist, Badai memilih mawar putih sebagai hadiah kunjungan rutinnya.“Sekarang, kalau mau nyapa Papa Catra, carany
“Tante ngapain di sini?”Badai berusaha menahan emosinya agar tidak berteriak untuk mengusir Alia. Ia melirik ke arah Asa yang duduk di samping ibu Padma dan Ilana.“Jenguk keponakan Tante yang baru melahirkan,” jawab Alia dengan tenang. “Nggak nyangka ketemu kalian di sini.”Alia menyapa ibu Padma yang dibalas dengan sama ramahnya. Perempuan itu menanyakan kabar suaminya dan ia menjawab kalau Banyu sudah agak lebih baik kondisinya saat ini.Sebenarnya Alia juga ingin menyapa Asa, tapi ia menahan diri dan membiarkan saja ketika perempuan paruh baya yang tengah menggendong bayi tersebut menggandeng Asa menuju ruangan lain yang agak jauh dari ruang tengah.Alia tidak mencegahnya. Ia ingin menatap Asa lebih lama lagi tapi bahkan tanpa Asa balas menatapnya, Alia tahu kalau kehadirannya tidak diinginkan.“Di mana Padma?” tanya Alia lagi begitu mereka hanya tinggal berdua. “Tante mau ketemu dia.”“Masih di kamar.” Badai menjawab seadanya. “Tante ke sini beneran cuma mau jenguk Padma?”Perta
“Kamu mau apa?”“Cerai.” Shua memutar kedua bola matanya. “Sejak kapan pendengaranmu jadi terganggu begini? Nggak mau ke dokter THT aja sekalian?”Padma berdecak pelan lalu mencubit tangan Shua sampai perempuan itu ingin memukulnya balik, tapi menahan diri karena ada Janar dan Asa di sekitar mereka. Sore ini kebetulan Shua mampir bersama Janar ke rumah Padma.Di rumah Padma sendiri ada Asa yang kembali rutin main ke rumah Padma, diantar oleh Badai sendiri tadi pagi.“Serius nih, Shua.” Padma mengguncang lengan Shua. “Kamu mau cerai? Kenapa?”Shua menatap Padma dan baru kali ini Padma melihat kesedihan di manik mata Shua. Padahal selama ini Shua terlihat baik-baik saja.Ia dan suaminya pun tidak terlihat bermasalah, masih harmonis dan bahkan kalau bukan Shua sendiri yang mengatakan akan bercerai, Padma tak akan langsung percaya.Shua menarik napasnya dengan berat. Hal ini sudah ia simpan sendiri selama berbulan-bulan. Tapi rasanya semua sudah mencapai puncaknya dan Shua ingin berbagi d
“Busui, nih pesenannya.”Padma tersenyum senang melihat kotak dari Luna’s Doughnuts yang dibawakan oleh Badai sore ini. Sejak kemarin ia memang menginginkan donat dari gerai yang baru buka di Kota Kasablanka tersebut.“Thank you.” Sebagai bonus, begitu duduk di sampingnya, Padma langsung mencium pipi Badai.Badai sendiri langsung berdecak pelan. “Begitu ya, giliran dibawain donat langsung dicium.”“Gede ambek,” ledek Padma sambil membuka kotak donatnya.Badai mengamati sekelilingnya dan baru sadar kalau hanya ada mereka berdua di ruang tengah. “Yang lain ke mana?”“Mama, Bunda, Ilana, sama Asa lagi di halaman belakang. Biasa deh, quality time sama oma-oma.”“Oh, pantes berani cium aku.” Badai mengangguk pelan. “Kalau gitu, sekali lagi dong, tapi di bibir. Gimana?”“Kamu pikir kita lagi rapat dan kamu bisa mengajukan tawaran?”“Anggap aja begitu.” Badai tak menyerah. “One more kiss, please.”Padma melirik ke arah Badai dan lelaki itu tengah menatapnya dengan cengiran yang mirip seperti
“Kita turun sekarang?”Rasanya Padma sudah sering ke makam Catra. Ini juga bukan pertama kalinya ia pergi bersama Badai ke makam mendiang suaminya.Tapi tetap saja, ada sesuatu yang berbeda di hari ini.“Iya,” jawab Padma setelah kembali menemukan suaranya. “Yuk.”Keduanya keluar dari mobil Badai dan dengan tangan kanan yang membawakan buket bunga untuk sang suami, Padma berjalan menelusuri pemakaman itu dengan Badai di sampingnya.“Siapa ya yang sering ngasih mawar putih buat Catra?”Badai meringis saat mendengar pertanyaan Padma begitu mereka tiba di makam Catra dan menemukan buket bunga mawar putih yang sudah agak layu.“Kenapa emangnya?” Badai memutuskan untuk bertanya lebih dulu.“Nggak apa-apa, penasaran aja. Berarti kan ada yang rajin ke sini selain aku atau keluarganya,” jawab Padma sambil mengusap nisan Catra. “Itu berarti ada banyak orang yang sayang sama dia bahkan setelah dia nggak ada.”“Iya….” Lelaki yang hari itu mengenakan sweater turtleneck hitam dan celana jeans ters
Pembicaraan mereka di mobil tadi, membuat Badai berpikir meskipun ia masih menyahuti semua ucapan Padma setelahnya.“Apa kamu ada rencana untuk nemuin Tante Alia dan Om Banyu sama Asa?”Sejujurnya, Badai tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya.Ia sudah pernah dipaksa melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan, jadi Badai paham bagaimana rasanya dipaksa dan ia tidak ingin anaknya merasakan hal yang sama. Jika nanti ia akan mempertemukan Asa dengan opa dan omanya, maka hal itu akan ia lakukan karena Asa yang memintanya.Bukan Badai yang memaksanya.“Papa!”Seruan itu datang dari sisinya. Badai menoleh dan Asa tengah menatap Ilana di gendongannya dengan mata berbinar.“Udah nggak main sama Om Arsa dan Tante Mili?”“Ndak.”“Nggak,” koreksi Badai seraya terkekeh.“Nggak,” ulang Asa setelah beberapa kali mengucapkan kata itu dengan benar. “Om… Tante… ke dapul.”“Dapur.” Badai sudah terbiasa mengoreksi penggunaan kata Asa. Ia menatap ke sekitarnya dan mendapati kalau di ruang tengah itu ha
“Nggak usah nanya yang aneh-aneh deh,” kilah Padma setelah ia dan Badai hanya terdiam selama beberapa saat. “Aku mau ke kamar dulu, nyusuin Ilana.”“Ikut,” seru Mili sambil melambaikan tangan pada Badai yang mereka tinggalkan sendirian.Badai sendiri tidak masalah ditinggal sendiri dan memutuskan untuk menonton televisi di ruang tengah. Sementara itu, Mili benar-benar mengikuti Padma ke kamar Ilana.“Kamu nggak marah kan aku tanya begitu?”“Ada ya orang nanya marah atau nggak setelah udah nanya?”“Ada, aku.” Mili menunjuk dirinya sendiri selagi berjalan masuk ke kamar Ilana.Padma pun duduk di single sofa yang ada di sudut kamar, tempatnya biasa duduk menyusui Ilana atau sekadar berdiam diri sambil mengamati Ilana yang tertidur.“Aku nggak marah,” jawabnya sambil menatap Mili yang duduk di tepi ranjang. “Cuma ya… aku bingung aja. Selain aku yang masih belum terpikir buat ke arah sana, kurasa Badai juga belum siap.”“Badai belum siap?” Jawaban Padma membuat Mili mengerutkan keningnya.
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec