Kakiku melangkah menuju aula pernikahan. Di depan pintu terpampang foto Mas Harun, suamiku dengan seorang wanita yang sangat aku kenali. Dia adalah Raya, adik sepupuku sendiri. Tampak dua perempuan dengan kebaya merah muda menatapku dengan mata melotot kaget. “Aku boleh masukkan? Walaupun nggak punya undangan,” tanyaku dengan senyum mengembang. “Silahkan Mbak Wulan,” jawab salah satu dari dua perempuan itu. Sambil mengangguk ragu. Masuk ke aula pernikahan yang megah dengan hiasan bunga di atasnya membuat hatiku berdenyut nyeri. Aku bisa melihat Mas Harun dan Raya tengah berdiri di pelaminan. Ada Ibu mertuaku dan paman Mas Harum di sisi kanan. Sedangkan orang tua Raya di sisi kiri pelaminan. Semua orang yang ada di aula ini tidak mempedulikan kehadiranku. Karena tamu yang datang memang sebagian besar adalah teman Raya. Tidak ada tetangga kami atau sahabat dekat Mas Harun. Tubuhku berdiri tepat di depan panggung hingga Mas Harun dan Raya bisa melihat keberadaanku. Begitu juga dengan
Baca selengkapnya