“Le, itu si Fikri sama Faza mau main ke mana?” tanya Pak Abdul kepada putra satu-satunya.“Isal enggak tahu pasti, Pak. Tapi, Faza bilang cuma mau main ke altar.”Pak Abdul mengangguk-angguk.“Adikmu sudah besar, ya, Le. Sudah ditaksir anak lanang.”“Bapak tahu?”“Muk ko ngunu yo gampang ditebak to, Sal. Bapak ini sudah berpengalaman. Cinta dan batuk itu susah disembunyikan.”Faisal hanya mesem dengan pandangan menatap layar laptop.“Bapak tahu, Fikri itu anaknya baik, ganteng pula. Adikmu pinter milih.”“Mereka belum pacaran lho, Pak.”“Paham, Bapak paham, kok. Tapi, mereka sudah ada rencana ke sana. Bapak bisa baca itu. Kalau memang Fikri serius sama Faza, Bapak akan ajak anak itu buat ngobrol.”Faisal mengangguk-angguk. “Harus itu, Pak. Fikri niku ra tau aneh-aneh.”Pandangan Pak Abdul menerawang. Sayup-sayup suara lantunan orang mengaji sebelum azan Magrib berkumandang saling sahut dari speaker masjid. Lirih, tapi cukup menentramkan.“Kasihan anak itu. Dari bayi sampai sebesar sek
Baca selengkapnya