Seminggu berlalu setelah peristiwa mendebarkan di atas becak lampu malam itu. Faza dan Fikri masih kerap bertukar kabar lewat telepon dan juga pesan singkat walaupun Fikri sendiri tak pernah menyinggung perihal jawaban atas ungkapan hatinya.Malam itu, setelah mengantarkan Faza pulang, Fikri pun ikut masuk seraya meminta diri kepada Bu Endang juga Pak Abdul sebagai orang tua Faza di Jogja. Di teras, sebelum pulang, Fikri pun sempat berbincang sebentar dengan Faisal. Hingga terakhir, pria berkemeja lengan panjang itu mengucapkan sebuah kalimat dengan logat bahasa Jawa yang membuat Faza tergelitik sampai tersipu.“Mas, matur sembah nuwun. Kulo paringaken malih tuan putri lebet keadaan wetah lan sae,” ungkapnya dengan penuh sopan santun.(Mas, terima kasih banyak. Saya serahkan kembali tuan putri dalam keadaan utuh dan baik.)Dengan bersandar di tembok teras, Faisal hanya tersenyum dan mengangguk-angguk seraya memegang dagunya. Sudah mirip seorang dosen yang sangat puas dengan hasil kerj
Faisal mengangguk dan mulai mengubah posisi duduk.“Fikri minta izin gimana sama kamu, Mas?”“Ya minta izin kalau mau deketin kamu. Mas, sih, kayak ngerasa kalian memang udah saling klik satu sama lain. Makanya Mas iya-in aja. Terus, beberapa hari sebelum kalian jalan bareng ke altar, dia izin lagi kalau mau nembak kamu.”Faza bergeming. Penjelasan Faisal membuatnya sedikit bergetar dan jantung berdebar. Antara tak percaya dan juga bahagia tak terkira. “Ini beneran, kan? Mas Isal enggak lagi bohongi aku?”“Ck! Ngapain bohong, sih, Dek? Gak ada untungnya juga buat Mas.”Kedua sudut bibir Faza melengkung.“Cie, cie ... hayuklah traktirannya. Apa aja boleh.”“Dih, traktiran apaan? Wong aku aja belum kasih jawaban ke Fikri,” ungkap Faza dengan jujur.Kening Faisal mengerut. “Lah? Belum dijawab?”Faza mengangguk.“Kenapa?”“Ya enggak pa-pa, sih, Mas. Emang belum kasih jawaban aja. Kan, tadinya aku mau cerita dulu ke kamu, eh ternyata sampeyan wis ngerti ndisik.”“Terus?”“Fikri juga bilan
“Mm ... Buk. Kalau aku nikah muda boleh enggak?”Bu Narmi yang sedang mengolah wajik salak di atas bara tungku menoleh ke arah sang putra. Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu kembali fokus ke wajan ukuran sedang di hadapannya.“Wis siap po, Le?”Fikri malah cengengesan. “Siap aja kalau ada yang mau diajak serius, Buk.”“Emang kamu ada pacar?”Kali ini Fikri mengusap tengkuknya. Ia pun tak paham kenapa bisa berbicara soal nikah muda dengan wanita yang melahirkannya itu. Padahal ungkapan cintanya pada Faza saja belum ditanggapi oleh gadis itu. Namun, pikiran Fikri sudah lari ke pelaminan. Ia malah geli sendiri dengan pikirannya.“Ditakoni kok malah guya-guyu i, lho ....”(Ditanya kok malah senyum-senyum.)“Dia belum jawab, sih, Buk. Tapi, kalau dia mau diseriusin, Fikri juga enggak akan main-main.”Ucapan anak sulung Bu Narmi membuat hati wanita itu menghangat. Namun, ia juga ragu apa ucapan Fikri benar-benar dari hati atau memang hanya gejolak kawula muda saja.“Anak mana, to, Le?”“
"Serius?! Kalian udah jadian?”“Ssttt ... suaramu kecilin dikit, Kirana Cempaka! Enggak perlu di-loudspeaker!” gerutu Faza sambil menarik tangan teman baiknya itu.Tentu saja Kirana terlihat kaget. Hampir satu bulan ia tak pulang ke rumah karena sibuk kuliah. Saling berkabar lewat pesan dengan Faza pun jarang ia lakukan. Dan kini, kabar itu ia dengar langsung dari bibir Faza. Kalau ia dengar langsung dari orang lain, pasti Kirana langsung mengamuk.“Kamu jahat, ih! Baru ngomong sama aku!” Kirana pura-pura merajuk.“Kamu ‘kan baru pulang. Kemarin-kemarin juga katamu sibuk banget di kampus. Yaudah aku pending aja kasih tahu ke kamu, Ran.”“Udah berapa lama?”“Apanya?”“Jadiannya ....”“Baru dua minggu,” jawab Faza dengan tatapan mengarah pada ponsel.Kirana sedikit melirik saat kedua sudut bibir Faza tertarik ke samping. Namun, dengan cepat gadis berkerudung itu menyembunyikan ponselnya.“Iya, deh, iya ... yang sekarang udah punya pacar. Bakal dilupain, deh, aku.”“Ish. Enggaklah, Ran.
Fikri tersenyum bahagia dan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah. Akhirnya setelah menunggu lamaran pekerjaan dengan gaji yang lebih lumayan, ia pun resmi di terima di sebuah perusahaan minuman kesehatan.Senyum sang ibu yang pertama kali berkelebat dalam angannya. Ia sudah bukan anak-anak lagi. Tentu ingin ikut membahagiakan wanita nomor satunya itu dengan tidak lagi meminta biaya untuk hidupnya. Bahkan, Fikri ingin membantu keuangan keluarga.Adik perempuannya masih sangat butuh biaya walau mereka berbeda ayah. Namun, air susu yang mengalir dalam tubuh keduanya sama. Fikri pun bersalaman dengan sang atasan dan keluar dari kantor cabang tersebut. Besok adalah hari pertama dalam menjalani pekerjaan barunya. Segera ia mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan.[Sayang, aku diterima di pekerjaan baru.]Semangatnya semakin berlipat dan tentu saja Faza adalah orang pertama yang ia hubung
“Hai, Mas! Apa kabar?” tanya si gadis dengan nada ceria.Usia Disty memang lebih muda dari Fikri. Dia biasa memanggil sang pria dengan tambahan mas di depan nama. Mungkin tadi refleks hanya ingin memastikan.Fikri tersenyum. “Aku baik, Dis. Kamu apa kabar?”“Aku baik juga, Mas.”Fikri mengangguk.“Mas Fikri dari tokonya Mas Eri, ya? Mau pulang?”“Iya. Kamu lagi apa di sini?”“Aku bantuin ibunya Mbak Sasa jualan, Mas.”Sasa adalah teman sekelas Fikri saat masih berseragam putih abu-abu. Dia dan Disty memang saudara sepupu. Ibunya Sasa memiliki sebuah lapak oleh-oleh khas Jogja di emperan Malioboro.“Oh, Sasa-nya ke mana emang?”“Dia kuliah, Mas. Bentar lagi juga balik. Makanya aku mau pula
Bukan hanya Faza, tapi salah seorang pelayan toko perhiasan yang sedari tadi memandang keduanya juga ikut menahan napas dan tak bisa berkata-kata. Menyaksikan seorang pria yang sepertinya sedang memberi sebuah kejutan untuk wanitanya.“L-lamar aku?”“Hm. Kamu mau, kan?”Wajah Faza sedikit merona. “Kapan Mas mau lamar aku?”Bukan apa-apa. Bahkan Fikri tak pernah membicarakan hal ini sebelumnya. Faza juga belum pernah memberitahu kedua orang tuanya kalau ia terlibat urusan hati dengan salah satu pria di Yogyakarta.“Nanti kita obrolin lagi, ya. Sekarang, pilih cincinnya aja dulu.”Gadis berhijab itu pun mengangguk dan mengikuti arahan Fikri untuk memilih cincin terlebih dahulu. Faza kembali tersipu saat sadar jika sedari tadi seorang pelayan tampak memerhatikan keduanya, bahkan ikut tersenyum lebar lebih dari sekadar menyambut pelanggan.“Silakan, Mbak, Mas. Mau cari cincin yang model seperti apa?”Faza menunduk. Mulai memerhatikan perhiasan berbentuk bulat dengan berbagai model. Mungki
Sore beranjak walau pikiran Fikri masih belum menemukan jawaban. Ia pun berusaha mengenyahkan segala gelisah yang mungkin akan menjadi ujiannya sebelum ia dan Faza akan lanjut ke tahap selanjutnya. Karena, konon, ujian orang mau menikah ada-ada saja.Tak mau terlihat murung karena pikirannya sendiri, usai menunaikan salat Asar, Faza dan Fikri segera menuju pantai ikonik yang selalu lekat dengan nama Yogyakarta itu. Pinggiran pantai terlihat begitu cantik dengan pemandangan payung warna-warni yang berbaris rapi. Dilengkapi hilir mudik kendaraan mobil jeep dan delman yang berlalu lalang.Faza langsung membuka alas kakinya dan berlari menuju bibir pantai. Ombak saling berkejaran, menyapu kastil-kastil pasir buatan ala kontraktor dadakan. Mulai dari anak-anak, remaja, bahkan para orang dewasa pun ikut bermain pasir dan mendirikan bangunan liliput. Setelahnya mereka akan berteriak girang dan juga kesal saat usahanya membangun istana pasir musnah