Setiap wanita mempunyai keinginan yang sama. Dicintai dan mencintai pria yang diinginkannya. Cintanya direspons baik dan tentu jangan sampai bertepuk sebelah tangan. Begitu pun dengan lelaki, tak ada pengecualian. Saat jatuh cinta, keduanya sama-sama ingin cintanya dibalas dan terbalas.Faza tersenyum memandangi sepasang benda mungil nan cantik yang terkurung dalam kotak cincin boks mika kristal. Fikri memintanya untuk menyimpan cincin mereka. Untuk hari baik, ia masih membicarakan dengan keluarga. Begitu pun dengan Faza. Fikri meminta kekasihnya itu untuk memberitahu niat baiknya pada kedua orang tuanya di Jawa Timur.Lagi-lagi senyumnya melengkung indah. Faza teringat akan keping demi keping potongan memori dari awal melihat senyum Fikri, berkenalan, jalan bersama, saling mengungkapkan rasa hingga kini keduanya akan berkomitmen dalam sebuah hubungan yang lebih serius.Tak berbeda dengan pasangan lain pada umumnya, Fikri dan Faza pun kerap terlibat pertengkaran kecil sampai berbeda p
(September 2011)“Masih aktif jadi remaja masjid?”“Masih.”“Betah banget?” Lelaki itu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan temannya. Dari jarak yang tak terlalu jauh, diam-diam aku menikmati senyum renyah itu.“Ya kalau bukan kita-kita yang masih muda, terus siapa lagi yang mau memakmurkan masjid?”“Iya juga, sih. Eh, bentar, bentar, kamu ketuanya bukan, sih?”“Dulu iya, tapi sekarang udah enggak.”“Hmm ... gitu.” Aku menunduk kala pandangan pria itu bertemu dengan manik mataku dalam beberapa detik. Duh, ketahuan enggak, ya, kalau dari tadi aku curi-curi pandang ke dia?Udara dingin yang berembus pelan seolah-olah mengantarkan rasa hangat. Entah karena matahari hampir memasuki waktu terik atau mungkin sebab senyum indah yang merekah itu mulai menggoyahkan imanku sebagai manusia. Uhuk! Manis banget, sumpah!Hawa khas daerah pegunungan memang selalu menyisakan aroma sejuk, sekalipun pagi telah merangkak menuju siang. Aku masih menunduk dengan pura-pura menulis. Takut ketahuan kalau
Aku seperti berada di panggung teater bersamanya. Memainkan sebuah pertunjukan romansa anak muda yang akan membuat penontonnya bersorak, sebab terbawa nuansa gejolak kawula muda. Karena apa? Karena tiba-tiba sekeliling terasa sunyi. Dunia seakan berhenti, dan seolah-olah sebuah moving head beam atau lampu panggung hanya menyorot ke arah kami. Hiyaaa ... lebay!Aku berjalan mendekat. Tersenyum sebisanya untuk menutupi rasa gugup. Sudut bibir mendadak sulit ditarik seperti biasanya. Seketika napasku tak beraturan melihat pelanggan pertama hari ini. Keringat dingin juga mulai berproduksi di kedua telapak tangan. Salah satu kebiasaanku kalau sedang gugup. Kuambil tisu untuk mengelap telapak tangan sebelum mendekati ‘Mas Pelanggan Pertama’."Ada yang bisa dibantu, Mas?" Pandangan kami bertemu dan ... nyes! Ya Allah, itu wajah apa AC? Sejuk bener, mana enak dipandang pula.“Mau fotokopi, Mbak,” jawabnya dengan beberapa kertas di tangan. “Masing-masing jadiin tiga lembar, ya, dan untuk KT
Aku tersenyum malu dengan menutup muka menggunakan buku yang masih di tangan. Dengan sopan Fikri pamit. Di situasi saat itu, anggukan kepala adalah cara paling jitu untuk menjawab pamitnya. Kirana tertawa puas saat temannya tersebut hilang dari pandangan. Kupukul lengannya dengan buku yang mendadak tidak punya akhlak dan dengan berani menyempurnakan kegugupanku. Hais!"Biasa aja, kali, Ran, ketawanya." Aku mulai menggerutu."Kamu juga. Biasa aja kali, Za, nervous-nya. Sampe buku kebalik gitu." Kirana kembali tergelak.Aku mencebik. Kirana duduk di kursi plastik yang biasa dipakai duduk oleh pelanggan sembari menunggu fotokopi-an."Enggak bantuin ibuk bapakmu ta, Ran?" tanyaku mengalihkan topik."Tinggal cuci piring aja, kok. Tadi sengaja ke sini pas lihat Fikri berhenti di depan toko Mas Faisal. Untung warung udah agak sepi, langsung ngacir ke sini aku," tuturnya.Aku hanya ber-oh saja."Bener, kan? Cowok yang kamu maksud si Fikri?""Iya," jawabku singkat."Udah lama naksir?""Dih! So
Aku menoleh. “Eh? Kenapa, Mas?”“Kamu itu yang kenapa? Kok, senyum-senyum?“Oh, enggak, kok.” Sebisa mungkin aku menutupi rasa gerogi agar tak tertangkap oleh Mas Faisal. “Tadi Mas Isal bilang mau pesen ke tempat Mas Eri biar sekalian dibawain Fikri?”Mas Faisal mengangguk. Isal adalah nama akrab panggilannya."Fikri siapa, Mas?" tanyaku. Takut salah orang."Itu, lho, yang sering makan di warungnya si Kiran. Dia bantu-bantu di toko temen Mas yang biasa Mas order barang. Yang kapan hari ke sini ngobrol rame-rame itu, lho. Bocahe nganggo pit motor Thunder. Wes rodo suwi, sih."Tidak salah lagi, itu Fikri si pembuat onar hati. Huhu. "Eh, tapi ... bukannya dia lagi cari kerja, ya?"“Siapa?”“Ya si Fikri itu, Mas.”Mas Faisal malah mengerutkan kening. "Kata siapa? Emang kamu tahu orangnya yang mana?” Aku mengerjap. "E-itu, tadi ada yang fotokopi beberapa berkas di sini. Iya, pake motor cowok, namanya Fikri. Dia sempet ngobrol sama Kirana juga, lagi mau cari kerja katanya,” jelasku setena
Fikri melepas sarung tangan plastik yang dipakainya."Fikri, Mbak." Tangannya terulur ke depan."Faza." Kuangkat tangan menyambut uluran tangannya. "Panggil Faza aja, Mas. Enggak usah pake tambahan 'mbak', usiaku di bawah Kirana satu tahun." Fikri mengangguk dan tangan kami langsung saling melepas. "Ok, Faza." Ia berucap kembali dengan tambahan senyum.'Ya ampun, senyum lagi. Diabetes nih, aku lama-lama.'"Aku buatin dua, ya, Fik!" sela Mas Faisal."Siap, Mas! Duduk dulu, ya. Ini masih ada pesanan beberapa lagi.”Suara Fikri mendominasi aktivitas jantungku yang mulai dag dig dug melulu .... “Oke, siap. Ditungguin, kok,” sahut Mas Faisal.Aku dan Mas Faisal duduk lesehan di atas tikar yang disediakan untuk penikmat jagung bakar di lapak teman Mas Fikri ini. Ia hanya membantu, katanya. Tiga gadis remaja kisaran usia anak SMA yang kuduga pemesan jagung bakar terlihat saling berbisik-bisik dan sesekali tersenyum menatap Fikri. Ada yang panas, tapi bukan debat capres dan cawapres.“Ish,
"Dek, berangkatnya langsung sama Mas aja." Suara Mas Faisal memulai obrolan saat kami sedang sarapan."Tumben, Le? Mau ke mana?” Bude menyahut dengan pertanyaan."Ada janji sama Eri, Buk. Sekalian order barang toko yang kebetulan habis.""Oh, yo wes ngati-ati. Adimu dipastikke sik tekan toko. Direwangi toto-toto utowo resik-resik sik, terus kowe gek mangkat. Ra kebiasaan ditinggal neng ngarep lawang."(Oh, ya sudah hati-hati. Adikmu dipastikan dulu sampai toko. Dibantuin menata barang atau bersih-bersih dulu, terus kamu berangkat. Jangan kebiasaan ditinggal di depan pintu.)Aku tersenyum. Mas Faisal memang sering langsung bablas begitu aku sampai di depan tokonya, sedangkan bude selalu mewanti-wanti agar putranya itu membantuku dulu baru lanjut dengan urusannya. Bude salah satu alasanku betah jauh dari orang tua sendiri. Mas Faisal hanya nyengir. "Nggih, Buk. Nanti tak bantuin Faza sebentar terus langsung ke Beringharjo.""Mas Isal mau ke Pasar Beringharjo?” tanyaku setelah menelan
Setelah resmi berkenalan dengan Fikri di stan pasar malam waktu itu, kami jadi lebih akrab. Perlengkapan fotokopi yang mulai menipis lebih sering Mas Faisal order lewat dirinya. Otomatis, dia yang mengantarnya ke toko.Nomor ponsel yang kala itu disimpan oleh Kirana, tiba-tiba saja terpampang di layar membentuk sebuah panggilan masuk lengkap dengan namanya, Danial Fikri, begitu Kirana menamai nomornya di ponselku. Iya, pas insiden buku terbalik waktu itu. Ada debar tak biasa sebelum aku mengangkat panggilannya.'Assalamualaikum,' sapanya dari ujung sana."Wa'alaikumus-salam." Aku menjawab dengan menekan rasa agar tak meledak sebagai bentuk ekspresi bahagia.'Faza, ini Fikri.'Aku memejam dan menggigit bibir bawah. “Iya,” jawabku singkat.'Pesanan Mas Faisal kayaknya agak sorean, ya, aku antar. Sekalian otewe pulang.'