"Dek, berangkatnya langsung sama Mas aja." Suara Mas Faisal memulai obrolan saat kami sedang sarapan.
"Tumben, Le? Mau ke mana?” Bude menyahut dengan pertanyaan. "Ada janji sama Eri, Buk. Sekalian order barang toko yang kebetulan habis." "Oh, yo wes ngati-ati. Adimu dipastikke sik tekan toko. Direwangi toto-toto utowo resik-resik sik, terus kowe gek mangkat. Ra kebiasaan ditinggal neng ngarep lawang." (Oh, ya sudah hati-hati. Adikmu dipastikan dulu sampai toko. Dibantuin menata barang atau bersih-bersih dulu, terus kamu berangkat. Jangan kebiasaan ditinggal di depan pintu.) Aku tersenyum. Mas Faisal memang sering langsung bablas begitu aku sampai di depan tokonya, sedangkan bude selalu mewanti-wanti agar putranya itu membantuku dulu baru lanjut dengan urusannya. Bude salah satu alasanku betah jauh dari orang tua sendiri. Mas Faisal hanya nyengir. "Nggih, Buk. Nanti tak bantuin Faza sebentar terus langsung ke Beringharjo." "Mas Isal mau ke Pasar Beringharjo?” tanyaku setelah menelan beberapa suapan. "Hm!" sahutnya. "Aku melu, yo?" "Melu nendi?" ( Ikut ke mana?) "Ke Beringharjo, lah." Mas Faisal tampak berpikir. "Oke," jawabnya santai, tapi pasti. "Tenan?" "He'em, he'em ...." "Toko tutup, dong?" "Ra po-polah, pisan-pisan. Sisan weekend. Kan, engko Malam Minggu." (Enggak pa-palah, sekali-sekali. Sekalian akhir pekan. Nanti kan, Malam Minggu.) "Asyiiik!" Aku bersorak gembira layaknya balita dapat balon. *** Toko fotokopi mendadak libur, jadi libur dua hari sekalian hari Minggu besok. Alhamdulillah, Pak Bos-nya lagi baik. Karena aku akan ikut serta bersama Mas Faisal ke toko perlengkapan fotokopi milik Mas Eri, akhirnya kami memutuskan untuk berangkat sekitar jam satu siang. Toko Mas Eri biasanya tutup sampai malam. Tergantung mood si pemilik lapak. Itu enaknya punya usaha sendiri, begitu kata Mas Faisal. Bebas buka tutup semau kita, tetapi juga harus disiplin agar pelanggan tidak lari ke tempat lain. Khusus hari Sabtu dan Minggu lapak Mas Eri buka hanya sampai jam tiga sore. Matahari mulai membentangkan teriknya. Jalanan menuju jantung kota Jogja sudah mulai padat oleh kendaraan. Mas Faisal bilang, Malioboro adalah jantung kota Jogja yang selalu bikin nagih. Pendatang yang kebanyakan adalah para penuntut ilmu dari berbagai daerah akan memadati emperan di Titik Nol Kilometer jika menjelang akhir pekan. Aku sudah dua kali ke sana, dan ini akan menjadi kali ke tiga. Aku yang belum begitu mengenal jauh tentang Daerah Istimewa ini sudah merasa begitu nyaman dan damai. Pribumi yang begitu santun dalam logat bahasanya. Adat yang masih dijunjung tinggi. Tempat wisata yang selalu ramai dikunjungi. Kota yang memiliki kebudayaan dan kesenian yang kental, serta hati yang mulai terpesona pada salah satu penduduknya. Uhuy! Kami pergi mengendarai motor Sc0opy kesayangan Mas Faisal. Pakde menyarankan untuk memakai mobil saja agar tidak kepanasan dan tak terlalu menghirup banyak polusi, tetapi Mas Faisal bilang, "Ah, ribet je, Pak. Enak ngagem pit motor. Saget nyalip. Nopo malih weekend ngeten. Bisa-bisa tua di jalan, kelamaan," ungkapnya. (Ah, ribet, Pak. Enak pakai sepeda motor. Bisa menyalip. Apalagi akhir pekan begini. Bisa-bisa tua di jalan, kelamaan.) Masalah polusi, bisa pakai masker lalu lengkapi dengan helm, beres. Aku sih, manut-manut saja. Toh, pakai mobil atau motor, bukan aku driver-nya. Walaupun jalanan sudah mulai padat oleh kendaraan, tetapi arus lalu lintas masih lancar walau memang laju kendaraan terbilang lambat. Masih bisa dibilang wajarlah. Namun, begitu hampir memasuki kawasan Malioboro, mendadak suara klakson mobil dan motor saling bersahutan. Benar kata Mas Faisal, biarpun kepanasan, berakhir pekan di kota-kota besar memang lebih enak pakai motor. Setelah berhasil memarkirkan Scoopy kesayangan, kami langsung menuju lapak Mas Eri. Pengunjung pasar Beringharjo tampak padat. Namun, hilir-mudik sepasang kaki yang keluar masuk pasar masih terbilang lancar. Tidak saling sikut dan berdesak-desakan. Lapak yang akan kami tuju ada di lantai tiga. Sentra penjualan barang antik juga terdapat di lantai ini, tepatnya di pasar bagian timur. Sembari berjalan, Mas Faisal berbicara mengenai apa saja yang aku lihat. Dia bilang, “Berburu barang bekas, tapi masih berkualitas di lantai tiga ini tempatnya, Dek.” “Ada apa aja, Mas?” “Sepatu sama tas ada, bahkan pakaian impor juga dijual di sini. Harga dan kualitas boleh diadu, tapi yang namanya barang bekas harus jeli dan teliti dalam memilih.” Aku hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasannya sembari memindai sekeliling. Mas Faisal melambaikan tangan ke atas. Di ujung sana tampak laki-laki kurus agak tinggi dan berkacamata melakukan hal yang sama. Apa dia yang namanya Mas Eri? "Assalamualaikum, Mamet." "Wa'alaikumus-salam, Cah Bagus," jawab sang pemilik lapak dengan menjabat tangan Mas Faisal ramah. Manusia species non-insecure itu tertawa penuh kemenangan dipanggil 'Cah Bagus' yang artinya anak baik atau bisa juga diartikan anak ganteng. Ish, ish, ish! "Makin kurus aja, Er?" "Ho'o ee, Sal. Mergo skripsi iki, untung lulus." Mereka tertawa bersama. "Eh, karo sopo? Mbok dikenalke!" "Oh iyo, iki adik sepupuku seko Jawa Timur. Dek, iki sing jenenge Eri." Aku tersenyum. "Faza, Mas." "Eriy." Kami berjabat tangan sekilas. "Kok, tumben cuma order kertas tok, Sal?" "Persediaan lainnya masih aman, Er." Mas Faisal menjawab sembari berjalan masuk ke toko temannya itu. Aku duduk di bangku panjang yang disediakan di depan toko dengan masih memandang sekeliling. "Eh, Faza. Sama siapa?" Sebuah pertanyaan membuatku menoleh. Wajah Fikri membuat kedua sudut bibir ini tertarik membentuk sebuah senyuman. "E-ini Mas, diajak Mas Faisal order kertas," jawabku ringan. "Piye-piye? Sopo sing ngajak? Wong mau arep melu dewe, kok." Suara Mas Faisal terdengar dari dalam, lalu orangnya menyusul keluar. Aku hanya nyengir. "Tahu aja Fik, aku pas haus!" Tanpa perintah, Mas Faisal mengambil es jeruk dari nampan yang dibawa oleh Fikri. Ada tiga gelas di atasnya. "Kuwi si Fikri cen tak kon pesen wedang go tamu. Eh, kurang siji, Fik. Pesenno neh, jal! Ra ngerti nek Faisal arep gowo adine." Mas Eri berucap. (Itu si Fikri memang aku suruh pesan minuman buat tamu. Eh, kurang satu, Fik. Coba kamu pesan lagi! Gak tahu kalau Faisal mau bawa adiknya.) "Eh, enggak usah, Mas. Aku bawa air mineral kok, di tas." Ransel ukuran sedang yang selalu kubawa serta saat kerja dan keluar rumah seperti saat ini, tak pernah luput dari sebotol air mineral ukuran kecil. Untuk jaga-jaga saja. Walaupun di toko Mas Faisal sudah disediakan air galon. "Kalau mau yang dingin, punyaku diminum aja dulu. Enggak pa-pa," celetuk si Murah Senyum. Aku hanya mengangguk sembari membalas senyumnya. "Eh, wes kenal, po, Fik?" tanya Mas Eri seraya bergantian memperhatikan aku, kemudian beralih menatap Fikri. "Alhamdulillah udah, Mas. Baru semingguan." Mas Eri mengernyit. "Kenalan, kok, dihitung? Kenalan opo pacaran, wes seminggu ki?" Fikri hanya tersenyum sambil melirikku. Jangan ngelirik, dong, please! Aku, kan, jadi mau. Eh, malu!(*)Setelah resmi berkenalan dengan Fikri di stan pasar malam waktu itu, kami jadi lebih akrab. Perlengkapan fotokopi yang mulai menipis lebih sering Mas Faisal order lewat dirinya. Otomatis, dia yang mengantarnya ke toko.Nomor ponsel yang kala itu disimpan oleh Kirana, tiba-tiba saja terpampang di layar membentuk sebuah panggilan masuk lengkap dengan namanya, Danial Fikri, begitu Kirana menamai nomornya di ponselku. Iya, pas insiden buku terbalik waktu itu. Ada debar tak biasa sebelum aku mengangkat panggilannya.'Assalamualaikum,' sapanya dari ujung sana."Wa'alaikumus-salam." Aku menjawab dengan menekan rasa agar tak meledak sebagai bentuk ekspresi bahagia.'Faza, ini Fikri.'Aku memejam dan menggigit bibir bawah. “Iya,” jawabku singkat.'Pesanan Mas Faisal kayaknya agak sorean, ya, aku antar. Sekalian otewe pulang.'
“Eh, maaf, maaf. Aku ngagetin, ya?” tanya Fikri dengan mimik wajah bersalah.Suara itu ...? Aku mengucek mata sebentar. Ya Allah, ini nyata? Kukira aku masih berada di dunia khayalan.“Halo ... Faza ....” Sebelah tangan Fikri melambai-lambai ke udara.Aku mengerjap dan segera berdiri dari kursi. “W-waalaikumsalam,” jawabku. Ingat jika tadi Fikri sempat mengucap kalimat salam, tetapi aku malah membalas dengan kalimat istigfar. Hadeeeh.“Mas Fikri sejak kapan berdiri di situ?” tanyaku.“Sejak kamu senyum-senyum,” jawabnya jujur.Elah ... jujur amat, Bang. Untung enggak ada Kirana atau Mas Faisal. Bisa sempurna sampai ubun-ubun rasa maluku kalau ada mereka.Fikri segera mengeluarkan kantung plastik yang isinya dua bungkus tinta dengan merek ternama yang biasa dipakai toko fotokopi.
Fikri menoleh ke arah tanganku yang dengan gerakan cepat langsung meraih ponsel. Aku pun langsung memunggunginya dan menjawab panggilan Mas Faisal.“Ya, halo?”'Kamu kenapa, Dek? Kok suaramu ngos-ngosan gitu?'Ini orang ngapain nelepon segala, sih? Aku menggerutu saat sadar kalau gara-gara Mas Faisal aku hampir ketahuan. Mau bilang apa kalau Fikri sampai tahu aku mencuri fotonya? Kenal juga baru beberapa hari.“A-anu. Habis–“'Astagfirullah, Dek. Jangan aneh-aneh!' potong Mas Faisal cepat.“Hah?” Aku melongo dengan masih mengatur ritme detak jantung. “Aneh-aneh apa maksudnya?”'Fikri ada di toko, kan? Kamu lagi sama dia, kan?'“Iya, emang kenapa?”'Kalian–'“Aww!” Fikri memekik.
Beberapa hari berlalu dan tibalah awal bulan. Moment yang membuat semringah, sebab dinantikan mayoritas para pemburu rupiah, tak terkecuali aku. Namun, berbeda dengan Mas Faisal yang kali ini harus menambah pengeluaran demi acc permintaan maaf.“Dek, mbok ojo aji mumpung. Opo-opo dilebokke troli njutan,” ucapnya lemah sembari mendorong troli di sebelahku.(Dek, jangan aji mumpung, dong. Apa-apa malah dimasukkan troli.)“Tenang aja, Mas. Kamu enggak akan jatuh miskin hanya karna ngasih bonus sama adikmu ini,” jawabku santai. “Lagian semua ini juga atas kesediaanmu, kan?”Mas Faisal hanya mengembuskan napas lemah dengan bahu merosot. Aku terkekeh dan terus memasukkan beberapa keperluanku.Gaji yang lebih suka Mas Faisal sebut uang saku untukku juga sudah berbaris rapi di dompet. Alhamdulillah. Lumayan buat beli pepes otak-otak favorit, sisa
Berkat nasi kucing dan kawan-kawannya, aku dan Fikri jadi semakin dekat walau hanya sebatas SMS-an. Aku masih merahasiakan keakraban kami ini dari Mas Faisal dan Kirana. Bukan tak mau berbagi cerita, hanya berusaha menyembunyikan gejolak dan bersikap biasa saja. Kalau Fikri sendiri, aku yakin dia tak akan cerita ke siapa pun soal kedekatan kami.Ucapan selamat pagi, sudah makan apa belum, jangan lupa salat, dan semoga mimpi indah seakan menjadi lagu wajib bagi jiwa-jiwa muda yang tengah terserang kasmaran. Entah ini hanya berlaku untukku saja atau sama saja berlaku untuk Fikri juga. Aku tersenyum dan berharap Fikri pun merasakan hal yang serupa denganku."Eh, Lu serius?"Entah dengan siapa Kirana berbincang-bincang di seberang sana. Saat ini dia sedang menemaniku di toko."Terus, terus?"Mesin fotokopi terus beroperasi. Aku masih sibuk dengan beberapa garapan dengan sesekali menc
Kirana tak langsung menjawab. Gadis hitam manis itu menatapku cukup lama dengan sorot yang sulit diartikan.“Sebenarnya ... Wulan masih sayang banget sama Fikri, Za.”Entah kenapa seperti ada sebuah tangan yang seakan-akan meremas gumpalan daging dalam dada ini. Walaupun aku tak tahu ke mana rasa ini akan berlabuh, tetapi untuk saat ini nama Fikri memang mulai mengacaukan hari-hariku.“Fikri itu salah satu lelaki setia. Tapi, sekali dia dibuat patah, dia akan pamit undur diri dan tak akan mau kembali lagi, kecuali hanya sebagai teman.” Kirana menjeda kalimatnya dengan menghela napas panjang.“Katanya, usia kandungan Wulan sudah ketahuan hampir dua bulan. Sekitar tiga bulan yang lalu Wulan minta izin ke orang tuanya untuk liburan sama beberapa temannya ke Dieng. Terus, pas pulang keadaannya sedikit kacau dan dia pulang diantar sama ... Fikri.”A
(Pov Faza)"Aww!”“Kenapa, Dek?”Aku meringis saat ujung biji staples menusuk ujung jari telunjuk sebelah kiri.“Ketusuk biji staples, Mas.”“Dalem enggak?”“Enggak, kok. Tadi aku mau buang biar enggak kena kaki. Eh, malah kena ujung jari.”“Makanya pelan-pelan.”“Enggak pa-pa, Mas. Cuma kecil doang.”Aku memencet-mencet jari yang terlihat merah, tetapi tak sampai mengeluarkan darah. Aneh. Padahal tadi terasa seperti tertusuk.“Udah semua, kan?”“Udah, Mas.”“Yok, pulang!”Aku mengangguk dan mengekori Mas Faisal menuju motornya. Di tengah perjalanan, ponselku bergetar. Kirana melakukan panggilan. Tumben
Seminggu berlalu. Namun, aku masih belum bisa melupakan percakapan yang tak sengaja kudengar dari orang tuanya Wulan saat di rumah sakit. “Dari dulu Bapak enggak pernah setuju kalau anak kita dekat sama Fikri.” “Iya, Ibuk tahu. Tapi Bapak enggak pernah kasih tahu apa alasannya. Fikri itu anaknya baik, Pak.” Aku diam dengan sedikit mendongak. Pura-pura sibuk membaca papan yang bertuliskan tata tertib rumah sakit yang sedang kupijak. Sejujurnya aku tak ingin menguping. Namun, antara kepalang tanggung dan juga penasaran. Toh, mereka tak tahu siapa aku. Terlebih ... mereka membicarakan Fikri. Rasa ingin tahu kian tinggi. Bukannya menjawab, pria paruh baya dengan kemeja lengan pendek itu langsung pergi dari hadapan istrinya. Kedua bahu ibunya Wulan sedikit merosot. Seperti lelah dengan apa yang sedang menimpa keluarga mereka. Aku pun menghela napas panjang mengingat perbincangan