Setelah resmi berkenalan dengan Fikri di stan pasar malam waktu itu, kami jadi lebih akrab. Perlengkapan fotokopi yang mulai menipis lebih sering Mas Faisal order lewat dirinya. Otomatis, dia yang mengantarnya ke toko.
Nomor ponsel yang kala itu disimpan oleh Kirana, tiba-tiba saja terpampang di layar membentuk sebuah panggilan masuk lengkap dengan namanya, Danial Fikri, begitu Kirana menamai nomornya di ponselku. Iya, pas insiden buku terbalik waktu itu. Ada debar tak biasa sebelum aku mengangkat panggilannya.
'Assalamualaikum,' sapanya dari ujung sana.
"Wa'alaikumus-salam." Aku menjawab dengan menekan rasa agar tak meledak sebagai bentuk ekspresi bahagia.
'Faza, ini Fikri.'
Aku memejam dan menggigit bibir bawah.
“Iya,” jawabku singkat.
'Pesanan Mas Faisal kayaknya agak sorean, ya, aku antar. Sekalian otewe pulang.'
"Oh, iya, Mas. Enggak pa-pa."
'Hasil fotokopi masih jelas, enggak? Takutnya aku telat nyampe sana.'
"Masih jelas, kok. Mas Isal order tinta, ya?"
'Iya, dua bungkus.'
Aku menengok etalase bagian bawah. Eh, iya, stok tinta mesin sudah habis.
"Kalau enggak banyak garapan, insyaallah hasil masih baik sampai beberapa minggu ke depan, Mas. Baru diisi beberapa hari yang lalu kayaknya."
Untuk pengisian tinta mesin, biasanya dilakukan sendiri oleh Mas Faisal. Selain ribet karena bentuknya yang serbuk, aku juga belum bisa memasangnya.
'Oh, oke kalau gitu. Berarti masih aman, ya?'
“Insya Allah masih.”
'Ya sudah, gitu dulu, ya, Za. Nanti sore aku antar. Assalamu'alaikum.'
"Iya, wa'alaikumus-salam."
Aku tersenyum sangat lebar kala sambungan terputus. Ribuan kupu-kupu seolah tengah mengelilingiku. Kalau bukan Kirana, pasti Mas Faisal yang memberikan nomor ponselku kepadanya. Ah, terserahlah. Yang terpenting one step closer. Uhuy!
Selain di dunia nyata, kami juga berteman di dunia maya. Beberapa hari setelah insiden aku membaca buku dengan posisi terbalik yang sempat ditegurnya kala itu, ada notifikasi pemberitahuan di laman fac3book-ku.
Terpampang sebuah info yang memberitahukan permintaan pertemanan dari banyak akun. Kucoba mengeklik ikon pertemanan. Barisan nama paling atas sama persis dengan nama di kartu kependudukannya yang waktu itu aku fotokopi.
Muhammad Danial Fikri
Permintaan dikirim tiga hari yang lalu.
Sembilan orang teman yang sama.
Konfirmasi. Hapus.
Ya jelas dikonfirmasilah, masa dihapus? Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kesempatan emas menanti di depan mata. Eh?
“Hayo ngapain ...?”
Aku berjingkat kaget dan segera menoleh ke belakang.
“Ish, koyo demit, reti-reti njedul!” sungutku dengan dada sedikit naik turun. Sumpah kaget.
(Ish, kaya hantu, tahu-tahu muncul!)
Mas Faisal tergelak dan menaruh sesuatu yang dibungkus plastik bening di atas meja.
“Fac3book-an wae,” sindirnya sembari mencomot gorengan dari plastik tersebut.
“Enggak pa-pa, dong. Mumpung lagi sepi.” Aku pun ikut mencomot satu tahu susur beserta cabai lalap.
“Garapan buku anak-anak SMP udah selesai dijilid, Dek?”
“Dikit lagi, Mas. Paling entar sebelum toko tutup udah kelar. Diambilnya juga masih besok, kan?” Aku menoleh pada kertas-kertas note yang ditempel.
Mas Faisal hanya mengangguk dengan wajah yang mulai memerah merasakan pedas. Segera ia menuju tabung galon air mineral. Bude bilang, anaknya itu enggak tahan pedas, tetapi suka makan pedas. Aku hanya terkikik melihatnya.
“Eh, iya. Mas udah order tinta buat stok. Belum datang, ya?”
“Belum, Mas. Kata Mas Fikri entar sore baru diantar.”
“Cie ... udah manggil ‘mas’ aja, nih!” godanya.
“E ... ya kan dia lebih tua sedikit, Mas, ketimbang aku. Enggak salah, kan, aku panggil dia ‘mas’ sama kek kamu?”
Mas Faisal masih betah menggoda. Tentu saja aku pura-pura merajuk, padahal dalam hati bahagia sekali rasanya. Sekitar satu jam Mas Faisal menemaniku di toko sembari menggarap beberapa pesanan.
“Dek, Mas pulang dulu. Ada janji sama teman.”
“Oke.” Kuacungkan jempol dengan satu tangan memegang mouse komputer.
“Sebelum toko tutup, Mas udah balik, kok, buat jemput kamu.”
“Siap!”
“Eh, tapi entar Mas Fikri, kan, ke sini, ya? Apa kamu mau minta antar dia buat pulang?” Mas Faisal masih saja menggodaku sampai menyebut Fikri dengan tambahan ‘mas’ juga.
“Mas Isal apaan, sih!”
Dia mendekat dengan menggendong ranselnya. “Entar kalau dia ke sini jangan lupa diajak ngobrol. Bilang, ditunggu Mas Isal sama Pakde Abdul di rumahnya.”
“Emang iya?” Keningku berkerut. “Beneran Pakde nyuruh dia ke rumah?”
“Iyalah. Biar kalian pedekatenya makin gini.” Ditautkannya telunjuk kanan dan kiri membentuk simpul rantai.
“Ish, siapa yang pedekate?” elakku dengan menahan gejolak aneh.
“Cie ... wajahnya merah, cie ....”
Mas Faisal langsung ngacir menuju motornya yang diparkir, sebelum buku tebal di samping komputer mendarat karena kulempar ke arahnya. Dia terus tergelak hingga hilang dari pandangan dengan si kuda besi berbodi semok itu.
Aku tersenyum sangat lebar usai kepergian Mas Faisal. Tampaknya, sosok abang itu tahu jika hatiku benar-benar tertawan oleh pesona Fikri. Dan sepertinya, ia pun tak keberatan. Itu artinya, Fikri memang pria baik. Semoga saja.
“Oh, iya!” Aku teringat sesuatu.
Segera kuraih ponsel dan meneruskan aktivitas scroll kepo-in sosial media milik Fikri. Aku mulai mengintip profilnya. Foto-foto yang diunggah lebih banyak saat ia menghadiri majelis sholawat dengan beberapa rekannya. Ada foto bareng Mas Faisal dan Mas Eri juga.
Ada pula foto-foto perpisahan sekolah dan saat piknik ke Pulau Dewata bersama teman-teman seragam putih abu-abunya. Ada foto bareng Kirana juga di sana.
Ada sebuah foto saat ia seorang diri menatap laut lepas. Posisinya di atas bebatuan. View yang terlihat tampak seperti di Tanah Lot. Lelaki itu memakai kaus putih dan celana jeans panjang. Gambar itu pula yang ia jadikan foto profil akun fac3book-nya.
Kugeser lagi beberapa foto lainnya. Ada yang seakan menghipnotisku walau hanya lewat tatapan matanya dalam tangkapan kamera. Kedua sudut bibirku tertarik ke samping melihat senyumnya dalam foto itu.
Ia seorang diri dengan tetap mengenakan kaus yang sama. Akan tetapi, kali ini kepalanya dilengkapi dengan kain udeng khas Bali. Perpaduan udeng warna putih dengan kombinasi gold membuat foto yang terpampang nyaris sempurna. Kusimpan foto itu dalam perangkat. Aku pun terkikik geli dengan aksi konyol ini.
“Ganteng banget, ya ampun ...,” ucapku sembari tersenyum menatap seseorang yang berdiri di teras toko.
Aku menopang dagu dengan pandangan lurus ke depan. “Dalam bayangan aja rasanya kayak nyata,” lanjutku tak henti mengulas senyum memandangi objek yang berdiri di depan mata.
“Ehem! Assalamualaikum ....”
“Astagfirullah!” pekikku kaget.
(*)
“Eh, maaf, maaf. Aku ngagetin, ya?” tanya Fikri dengan mimik wajah bersalah.Suara itu ...? Aku mengucek mata sebentar. Ya Allah, ini nyata? Kukira aku masih berada di dunia khayalan.“Halo ... Faza ....” Sebelah tangan Fikri melambai-lambai ke udara.Aku mengerjap dan segera berdiri dari kursi. “W-waalaikumsalam,” jawabku. Ingat jika tadi Fikri sempat mengucap kalimat salam, tetapi aku malah membalas dengan kalimat istigfar. Hadeeeh.“Mas Fikri sejak kapan berdiri di situ?” tanyaku.“Sejak kamu senyum-senyum,” jawabnya jujur.Elah ... jujur amat, Bang. Untung enggak ada Kirana atau Mas Faisal. Bisa sempurna sampai ubun-ubun rasa maluku kalau ada mereka.Fikri segera mengeluarkan kantung plastik yang isinya dua bungkus tinta dengan merek ternama yang biasa dipakai toko fotokopi.
Fikri menoleh ke arah tanganku yang dengan gerakan cepat langsung meraih ponsel. Aku pun langsung memunggunginya dan menjawab panggilan Mas Faisal.“Ya, halo?”'Kamu kenapa, Dek? Kok suaramu ngos-ngosan gitu?'Ini orang ngapain nelepon segala, sih? Aku menggerutu saat sadar kalau gara-gara Mas Faisal aku hampir ketahuan. Mau bilang apa kalau Fikri sampai tahu aku mencuri fotonya? Kenal juga baru beberapa hari.“A-anu. Habis–“'Astagfirullah, Dek. Jangan aneh-aneh!' potong Mas Faisal cepat.“Hah?” Aku melongo dengan masih mengatur ritme detak jantung. “Aneh-aneh apa maksudnya?”'Fikri ada di toko, kan? Kamu lagi sama dia, kan?'“Iya, emang kenapa?”'Kalian–'“Aww!” Fikri memekik.
Beberapa hari berlalu dan tibalah awal bulan. Moment yang membuat semringah, sebab dinantikan mayoritas para pemburu rupiah, tak terkecuali aku. Namun, berbeda dengan Mas Faisal yang kali ini harus menambah pengeluaran demi acc permintaan maaf.“Dek, mbok ojo aji mumpung. Opo-opo dilebokke troli njutan,” ucapnya lemah sembari mendorong troli di sebelahku.(Dek, jangan aji mumpung, dong. Apa-apa malah dimasukkan troli.)“Tenang aja, Mas. Kamu enggak akan jatuh miskin hanya karna ngasih bonus sama adikmu ini,” jawabku santai. “Lagian semua ini juga atas kesediaanmu, kan?”Mas Faisal hanya mengembuskan napas lemah dengan bahu merosot. Aku terkekeh dan terus memasukkan beberapa keperluanku.Gaji yang lebih suka Mas Faisal sebut uang saku untukku juga sudah berbaris rapi di dompet. Alhamdulillah. Lumayan buat beli pepes otak-otak favorit, sisa
Berkat nasi kucing dan kawan-kawannya, aku dan Fikri jadi semakin dekat walau hanya sebatas SMS-an. Aku masih merahasiakan keakraban kami ini dari Mas Faisal dan Kirana. Bukan tak mau berbagi cerita, hanya berusaha menyembunyikan gejolak dan bersikap biasa saja. Kalau Fikri sendiri, aku yakin dia tak akan cerita ke siapa pun soal kedekatan kami.Ucapan selamat pagi, sudah makan apa belum, jangan lupa salat, dan semoga mimpi indah seakan menjadi lagu wajib bagi jiwa-jiwa muda yang tengah terserang kasmaran. Entah ini hanya berlaku untukku saja atau sama saja berlaku untuk Fikri juga. Aku tersenyum dan berharap Fikri pun merasakan hal yang serupa denganku."Eh, Lu serius?"Entah dengan siapa Kirana berbincang-bincang di seberang sana. Saat ini dia sedang menemaniku di toko."Terus, terus?"Mesin fotokopi terus beroperasi. Aku masih sibuk dengan beberapa garapan dengan sesekali menc
Kirana tak langsung menjawab. Gadis hitam manis itu menatapku cukup lama dengan sorot yang sulit diartikan.“Sebenarnya ... Wulan masih sayang banget sama Fikri, Za.”Entah kenapa seperti ada sebuah tangan yang seakan-akan meremas gumpalan daging dalam dada ini. Walaupun aku tak tahu ke mana rasa ini akan berlabuh, tetapi untuk saat ini nama Fikri memang mulai mengacaukan hari-hariku.“Fikri itu salah satu lelaki setia. Tapi, sekali dia dibuat patah, dia akan pamit undur diri dan tak akan mau kembali lagi, kecuali hanya sebagai teman.” Kirana menjeda kalimatnya dengan menghela napas panjang.“Katanya, usia kandungan Wulan sudah ketahuan hampir dua bulan. Sekitar tiga bulan yang lalu Wulan minta izin ke orang tuanya untuk liburan sama beberapa temannya ke Dieng. Terus, pas pulang keadaannya sedikit kacau dan dia pulang diantar sama ... Fikri.”A
(Pov Faza)"Aww!”“Kenapa, Dek?”Aku meringis saat ujung biji staples menusuk ujung jari telunjuk sebelah kiri.“Ketusuk biji staples, Mas.”“Dalem enggak?”“Enggak, kok. Tadi aku mau buang biar enggak kena kaki. Eh, malah kena ujung jari.”“Makanya pelan-pelan.”“Enggak pa-pa, Mas. Cuma kecil doang.”Aku memencet-mencet jari yang terlihat merah, tetapi tak sampai mengeluarkan darah. Aneh. Padahal tadi terasa seperti tertusuk.“Udah semua, kan?”“Udah, Mas.”“Yok, pulang!”Aku mengangguk dan mengekori Mas Faisal menuju motornya. Di tengah perjalanan, ponselku bergetar. Kirana melakukan panggilan. Tumben
Seminggu berlalu. Namun, aku masih belum bisa melupakan percakapan yang tak sengaja kudengar dari orang tuanya Wulan saat di rumah sakit. “Dari dulu Bapak enggak pernah setuju kalau anak kita dekat sama Fikri.” “Iya, Ibuk tahu. Tapi Bapak enggak pernah kasih tahu apa alasannya. Fikri itu anaknya baik, Pak.” Aku diam dengan sedikit mendongak. Pura-pura sibuk membaca papan yang bertuliskan tata tertib rumah sakit yang sedang kupijak. Sejujurnya aku tak ingin menguping. Namun, antara kepalang tanggung dan juga penasaran. Toh, mereka tak tahu siapa aku. Terlebih ... mereka membicarakan Fikri. Rasa ingin tahu kian tinggi. Bukannya menjawab, pria paruh baya dengan kemeja lengan pendek itu langsung pergi dari hadapan istrinya. Kedua bahu ibunya Wulan sedikit merosot. Seperti lelah dengan apa yang sedang menimpa keluarga mereka. Aku pun menghela napas panjang mengingat perbincangan
Kirana sudah sehat dan kembali beraktivitas seperti biasa. Namun, saat ini ia sedang di indekosnya. Setiap hari kami kontek-kontekan, tapi ... saat toko sepi garapan seperti saat ini, aku jadi merindukannya. Wanita manis berkulit sawo matang itu selalu ada bahan untuk dibahas jika datang ke toko. Kirana seperti tak kehabisan bahan untuk membuatku tergelak atau bahkan penasaran dengan topik-topik aktualnya. Drrt! Drrt! Ada pesan masuk. [Za, di alun-alun kecamatan ada pasar malam, ya?] Kirana mengirimiku pesan. Panjang umur sekali gadis itu. [Iya, baru mau mulai.] Aku membalas. [Asyiiik, pulang, ah! Ntar kita ke sana, ya!] [Oke.] Tak ada balasan lagi. Aku beranjak dari duduk ketika ada pelanggan datang. Lumayan, ada garapan. Warung Gudeg milik orang tua Kirana terlihat ramai. Bahkan tukang parkir di halaman berlantai paving itu juga sibuk. Area parkir tak terlalu besar memang, tapi cukup luas dan pelanggan yang datang tiap hari untuk mencicip menu khas Jogja itu tak pernah sepi.