Hallo haiđđđ Jangan lupa berikan GEM dan ulasan kalian di buku terbaruku, ya, Kak. Makasih sekebonđđđ
Fikri turun dari motornya dan kembali ke hadapanku. Dia menyerahkan ponselnya.“Mas Faisal mau ngomong,” ucapnya.Aku pun mengangguk dan menerima benda pipih itu dari tangan Fikri.“Halo?”‘Dek, bapak sama ibuk lagi di luar ternyata. Pulangnya sekitar habis Isya. Urusan Mas di kampus juga lumayan banyak ini. Kamu mau dijemput Lik Yanto apa dianter Fikri aja? Mumpung dia mau aku minta tolong anter kamu pulang.’Kalimat panjang di ujung sana membuatku melirik Fikri sebentar. Aku mundur dan sedikit menjauh.‘Halo, Dek? Kamu denger Mas, kan?’“Iya, halo. Denger, kok.”‘Jadi gimana? Mau dijemput Lik Yanto apa bareng sama Fikri aja?’Lik Yanto adalah pekerja di rumah Pakde Bude yang selalu stand by. Kata Bude, dia belu
(Author POV) Tatapan Fikri membingkai penuh wajah sang ibu. Raut yang semakin hari kian dimakan usia itu terlihat sendu. Antara sedih dan terlihat menahan amarah. Ada apa? Kenapa? Fikri jadi mulai curiga. Apa sosok ayah yang tak pernah ia tahu ada di sana?âBuk?â panggilnya lirih.Baru saja cangkir diletakkan, Bu Narmiâibunda Fikriâberucap, âWis Magrib, Le. Cepet mandi dan salat ke masjid. Tak siapke sik banyu angete.âBu Narmi berdiri dan hendak berlalu ke dapur. Namun, dengan cepat tangan Fikri menarik lembut jemari sang ibu.âBuk ... apa bapak ada di sana?â tanya Fikri dengan hati-hati.Bu Narmi terdiam sebentar. âIya, bapakmu ada di sana,â jawabnya datar. âSudah, ya. Jangan tanya yang lain lagi, Le.âFikri hanya mengangguk patuh. Pantang baginya menentang ucapan sang ibu. Wanita yang amat sangat ia cintai juga ia hormati.Sejujurnya, pria berparas tampan itu tak terlalu haus akan kasih sayang seorang ayah. Ia punya sosok itu walau bukan ayah biologis. Ibunya sudah menikah lagi da
âMonggo tehnya.â Kirana datang menyodorkan teh panas kepada Fikri, salah satu pelanggan di warungnya. Fikri yang sedang mengunyah sarapan sembari menatap toko fotokopi langsung menoleh. Ia memang sedang sarapan di warung orang tua Kirana. Fikri pikir Kirana akan langsung pergi setelah mengantar minumannya, tapi ternyata gadis itu malah duduk di hadapannya. Bola mata pria berkaus putih itu bergerak mengikuti pergerakan Kirana yang duduk anteng di depannya. Namun, seperti ada yang aneh, tatapan Kirana seolah-olah menunggu sebuah penjelasan. âKenapa, Ran?â âTruth or dare?â âHeuh?â Alis Fikri menyatu. Tak paham maksud Kirana yang dateng-dateng malah memberinya pilihan. âPilih aja. Enggak usah, hah-heuh-hah-heuh!â jawab Kirana dengan tampang serius. Suasana warung makan memang belum terlalu ramai. Jadi anak si pemilik warung bisa sedikit menemani temannya itu untuk sarapan. Lebih tepatnya, Kirana ingin memastikan sesuatu pada Fikri. Melihat tampang Kirana yang terlihat serius, Fik
‘Apa aku enggak salah dengar?’ Faza membatin.“Faza! Ayok jalan! Kenapa berhenti?” teriak Fikri dari arah depan. Bahkan suara itu terdengar jauh di telinga Faza.Faza mengernyit. Ia bahkan mulai bergidik. Takut jika suara yang tadi berbisik dengan kalimat indah nan merdu itu hanya bisikan gaib yang menyerupai suara Fikri.'Katanya mau di belakangku, lah malah jauh,’ gerutu hati Faza.“Ayok jalan lagi!” seru Fikri dengan kedua tangan melengkung di depan mulut.“Oh, iya, oke!” balas Faza.Gadis dengan celana jeans dan atasan lengan panjang plus hijab itu kembali berjalan dan meraba udara. Sementara Fikri berusaha mengatur napas setelah lari lumayan kencang usai membisikkan kalimat keramat di dekat telinga Faza.“Mau ngomong cinta aja pakai latihan segala. Ah, payah!” um
âLe, itu si Fikri sama Faza mau main ke mana?â tanya Pak Abdul kepada putra satu-satunya.âIsal enggak tahu pasti, Pak. Tapi, Faza bilang cuma mau main ke altar.âPak Abdul mengangguk-angguk.âAdikmu sudah besar, ya, Le. Sudah ditaksir anak lanang.ââBapak tahu?ââMuk ko ngunu yo gampang ditebak to, Sal. Bapak ini sudah berpengalaman. Cinta dan batuk itu susah disembunyikan.âFaisal hanya mesem dengan pandangan menatap layar laptop.âBapak tahu, Fikri itu anaknya baik, ganteng pula. Adikmu pinter milih.ââMereka belum pacaran lho, Pak.ââPaham, Bapak paham, kok. Tapi, mereka sudah ada rencana ke sana. Bapak bisa baca itu. Kalau memang Fikri serius sama Faza, Bapak akan ajak anak itu buat ngobrol.âFaisal mengangguk-angguk. âHarus itu, Pak. Fikri niku ra tau aneh-aneh.âPandangan Pak Abdul menerawang. Sayup-sayup suara lantunan orang mengaji sebelum azan Magrib berkumandang saling sahut dari speaker masjid. Lirih, tapi cukup menentramkan.âKasihan anak itu. Dari bayi sampai sebesar sek
Seminggu berlalu setelah peristiwa mendebarkan di atas becak lampu malam itu. Faza dan Fikri masih kerap bertukar kabar lewat telepon dan juga pesan singkat walaupun Fikri sendiri tak pernah menyinggung perihal jawaban atas ungkapan hatinya.Malam itu, setelah mengantarkan Faza pulang, Fikri pun ikut masuk seraya meminta diri kepada Bu Endang juga Pak Abdul sebagai orang tua Faza di Jogja. Di teras, sebelum pulang, Fikri pun sempat berbincang sebentar dengan Faisal. Hingga terakhir, pria berkemeja lengan panjang itu mengucapkan sebuah kalimat dengan logat bahasa Jawa yang membuat Faza tergelitik sampai tersipu.âMas, matur sembah nuwun. Kulo paringaken malih tuan putri lebet keadaan wetah lan sae,â ungkapnya dengan penuh sopan santun.(Mas, terima kasih banyak. Saya serahkan kembali tuan putri dalam keadaan utuh dan baik.)Dengan bersandar di tembok teras, Faisal hanya tersenyum dan mengangguk-angguk seraya memegang dagunya. Sudah mirip seorang dosen yang sangat puas dengan hasil kerj
Faisal mengangguk dan mulai mengubah posisi duduk.âFikri minta izin gimana sama kamu, Mas?ââYa minta izin kalau mau deketin kamu. Mas, sih, kayak ngerasa kalian memang udah saling klik satu sama lain. Makanya Mas iya-in aja. Terus, beberapa hari sebelum kalian jalan bareng ke altar, dia izin lagi kalau mau nembak kamu.âFaza bergeming. Penjelasan Faisal membuatnya sedikit bergetar dan jantung berdebar. Antara tak percaya dan juga bahagia tak terkira. âIni beneran, kan? Mas Isal enggak lagi bohongi aku?ââCk! Ngapain bohong, sih, Dek? Gak ada untungnya juga buat Mas.âKedua sudut bibir Faza melengkung.âCie, cie ... hayuklah traktirannya. Apa aja boleh.ââDih, traktiran apaan? Wong aku aja belum kasih jawaban ke Fikri,â ungkap Faza dengan jujur.Kening Faisal mengerut. âLah? Belum dijawab?âFaza mengangguk.âKenapa?ââYa enggak pa-pa, sih, Mas. Emang belum kasih jawaban aja. Kan, tadinya aku mau cerita dulu ke kamu, eh ternyata sampeyan wis ngerti ndisik.ââTerus?ââFikri juga bilan
âMm ... Buk. Kalau aku nikah muda boleh enggak?âBu Narmi yang sedang mengolah wajik salak di atas bara tungku menoleh ke arah sang putra. Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu kembali fokus ke wajan ukuran sedang di hadapannya.âWis siap po, Le?âFikri malah cengengesan. âSiap aja kalau ada yang mau diajak serius, Buk.ââEmang kamu ada pacar?âKali ini Fikri mengusap tengkuknya. Ia pun tak paham kenapa bisa berbicara soal nikah muda dengan wanita yang melahirkannya itu. Padahal ungkapan cintanya pada Faza saja belum ditanggapi oleh gadis itu. Namun, pikiran Fikri sudah lari ke pelaminan. Ia malah geli sendiri dengan pikirannya.âDitakoni kok malah guya-guyu i, lho ....â(Ditanya kok malah senyum-senyum.)âDia belum jawab, sih, Buk. Tapi, kalau dia mau diseriusin, Fikri juga enggak akan main-main.âUcapan anak sulung Bu Narmi membuat hati wanita itu menghangat. Namun, ia juga ragu apa ucapan Fikri benar-benar dari hati atau memang hanya gejolak kawula muda saja.âAnak mana, to, Le?ââ
Setiap wanita mempunyai keinginan yang sama. Dicintai dan mencintai pria yang diinginkannya. Cintanya direspons baik dan tentu jangan sampai bertepuk sebelah tangan. Begitu pun dengan lelaki, tak ada pengecualian. Saat jatuh cinta, keduanya sama-sama ingin cintanya dibalas dan terbalas.Faza tersenyum memandangi sepasang benda mungil nan cantik yang terkurung dalam kotak cincin boks mika kristal. Fikri memintanya untuk menyimpan cincin mereka. Untuk hari baik, ia masih membicarakan dengan keluarga. Begitu pun dengan Faza. Fikri meminta kekasihnya itu untuk memberitahu niat baiknya pada kedua orang tuanya di Jawa Timur.Lagi-lagi senyumnya melengkung indah. Faza teringat akan keping demi keping potongan memori dari awal melihat senyum Fikri, berkenalan, jalan bersama, saling mengungkapkan rasa hingga kini keduanya akan berkomitmen dalam sebuah hubungan yang lebih serius.Tak berbeda dengan pasangan lain pada umumnya, Fikri dan Faza pun kerap terlibat pertengkaran kecil sampai berbeda p
Saat ini, aku sedang berada dalam keramaian pasar malam. Tentunya aku sudah tahu kalau Fikri juga ada di sini. Dia sedang join dengan salah satu temannya membuka lapak jagung bakar. Fikri salah satu anak muda pekerja keras. Tidak hanya aku dan Eri, bapak dan ibuku pun menyukai lelaki itu. Sengaja kubujuk Faza agar mau ikut ke pasar malam. Selain agar tidak menjadi nyamuk di antara bapak dan ibuku, ada sedikit rencana yang harus aku pastikan sendiri. Tidak mau hanya mengira-ngira atau menerka-nerka saja.Tak lama setelah menemukan lapak milik Fikri dan temannya itu, aku pun langsung memesan dua jagung bakar, untukku dan Faza. Akhirnya, mereka resmi berkenalan sesaat setelah aku goda. Ngobrol ngalor-ngidul sampai akhirnya muncul sedikit ide pura-pura ada telepon masuk dari Eri. Aku pun sedikit tergesa agar terlihat meyakinkan dalam mendalami peran. Tak jauh dari keduanya, aku mengamati gerak-gerik Fikri dan Faza. Mereka tampak terlibat sebuah obrolan walau masih bisa dibilang wajar.Se
Namaku Faisal Abdurrahman. Anak pertama sekaligus terpaksa harus jadi yang terakhir. Anak semata wayang ibu dan bapak, Ibu Endang dan Pak Abdul. Kenapa terpaksa menjadi yang terakhir? Karena sebenarnya aku adalah calon seorang kakak dari dua adik kembarku.Dulu, saat usiaku delapan tahun, ibu pernah dinyatakan positif hamil lagi.âIsal mau punya adik?ââIya, Le. Kamu seneng?âAku mengangguk antusias. Tentu saja aku bahagia karena rumah kami akan bertambah penghuni. Percayalah, jadi anak tunggal itu enggak enak. Enggak ada ribut-ributnya di rumah.Semua yang terbaik selalu bapak usahakan untuk ibu dan juga calon adikku. Namun, entah di usia kandungan berapa minggu, ibu sering mengalami kram perut. Bapak selalu mengingatkan agar ibu jangan terlalu capek. Sebab, saat itu mereka berdua sedang merintis usaha oleh-oleh khas Kota Budaya ini.Waktu terus merangkak, tetapi kandungan ibuku semakin lemah. Sekali lagi, aku tak paham dengan keadaannya saat itu. Yang aku tahu dari cerita bapak, jan
Sore beranjak walau pikiran Fikri masih belum menemukan jawaban. Ia pun berusaha mengenyahkan segala gelisah yang mungkin akan menjadi ujiannya sebelum ia dan Faza akan lanjut ke tahap selanjutnya. Karena, konon, ujian orang mau menikah ada-ada saja.Tak mau terlihat murung karena pikirannya sendiri, usai menunaikan salat Asar, Faza dan Fikri segera menuju pantai ikonik yang selalu lekat dengan nama Yogyakarta itu. Pinggiran pantai terlihat begitu cantik dengan pemandangan payung warna-warni yang berbaris rapi. Dilengkapi hilir mudik kendaraan mobil jeep dan delman yang berlalu lalang.Faza langsung membuka alas kakinya dan berlari menuju bibir pantai. Ombak saling berkejaran, menyapu kastil-kastil pasir buatan ala kontraktor dadakan. Mulai dari anak-anak, remaja, bahkan para orang dewasa pun ikut bermain pasir dan mendirikan bangunan liliput. Setelahnya mereka akan berteriak girang dan juga kesal saat usahanya membangun istana pasir musnah
Bukan hanya Faza, tapi salah seorang pelayan toko perhiasan yang sedari tadi memandang keduanya juga ikut menahan napas dan tak bisa berkata-kata. Menyaksikan seorang pria yang sepertinya sedang memberi sebuah kejutan untuk wanitanya.âL-lamar aku?ââHm. Kamu mau, kan?âWajah Faza sedikit merona. âKapan Mas mau lamar aku?âBukan apa-apa. Bahkan Fikri tak pernah membicarakan hal ini sebelumnya. Faza juga belum pernah memberitahu kedua orang tuanya kalau ia terlibat urusan hati dengan salah satu pria di Yogyakarta.âNanti kita obrolin lagi, ya. Sekarang, pilih cincinnya aja dulu.âGadis berhijab itu pun mengangguk dan mengikuti arahan Fikri untuk memilih cincin terlebih dahulu. Faza kembali tersipu saat sadar jika sedari tadi seorang pelayan tampak memerhatikan keduanya, bahkan ikut tersenyum lebar lebih dari sekadar menyambut pelanggan.âSilakan, Mbak, Mas. Mau cari cincin yang model seperti apa?âFaza menunduk. Mulai memerhatikan perhiasan berbentuk bulat dengan berbagai model. Mungki
“Hai, Mas! Apa kabar?” tanya si gadis dengan nada ceria.Usia Disty memang lebih muda dari Fikri. Dia biasa memanggil sang pria dengan tambahan mas di depan nama. Mungkin tadi refleks hanya ingin memastikan.Fikri tersenyum. “Aku baik, Dis. Kamu apa kabar?”“Aku baik juga, Mas.”Fikri mengangguk.“Mas Fikri dari tokonya Mas Eri, ya? Mau pulang?”“Iya. Kamu lagi apa di sini?”“Aku bantuin ibunya Mbak Sasa jualan, Mas.”Sasa adalah teman sekelas Fikri saat masih berseragam putih abu-abu. Dia dan Disty memang saudara sepupu. Ibunya Sasa memiliki sebuah lapak oleh-oleh khas Jogja di emperan Malioboro.“Oh, Sasa-nya ke mana emang?”“Dia kuliah, Mas. Bentar lagi juga balik. Makanya aku mau pula
Fikri tersenyum bahagia dan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah. Akhirnya setelah menunggu lamaran pekerjaan dengan gaji yang lebih lumayan, ia pun resmi di terima di sebuah perusahaan minuman kesehatan.Senyum sang ibu yang pertama kali berkelebat dalam angannya. Ia sudah bukan anak-anak lagi. Tentu ingin ikut membahagiakan wanita nomor satunya itu dengan tidak lagi meminta biaya untuk hidupnya. Bahkan, Fikri ingin membantu keuangan keluarga.Adik perempuannya masih sangat butuh biaya walau mereka berbeda ayah. Namun, air susu yang mengalir dalam tubuh keduanya sama. Fikri pun bersalaman dengan sang atasan dan keluar dari kantor cabang tersebut. Besok adalah hari pertama dalam menjalani pekerjaan barunya. Segera ia mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan.[Sayang, aku diterima di pekerjaan baru.]Semangatnya semakin berlipat dan tentu saja Faza adalah orang pertama yang ia hubung
"Serius?! Kalian udah jadian?ââSsttt ... suaramu kecilin dikit, Kirana Cempaka! Enggak perlu di-loudspeaker!â gerutu Faza sambil menarik tangan teman baiknya itu.Tentu saja Kirana terlihat kaget. Hampir satu bulan ia tak pulang ke rumah karena sibuk kuliah. Saling berkabar lewat pesan dengan Faza pun jarang ia lakukan. Dan kini, kabar itu ia dengar langsung dari bibir Faza. Kalau ia dengar langsung dari orang lain, pasti Kirana langsung mengamuk.âKamu jahat, ih! Baru ngomong sama aku!â Kirana pura-pura merajuk.âKamu âkan baru pulang. Kemarin-kemarin juga katamu sibuk banget di kampus. Yaudah aku pending aja kasih tahu ke kamu, Ran.ââUdah berapa lama?ââApanya?ââJadiannya ....ââBaru dua minggu,â jawab Faza dengan tatapan mengarah pada ponsel.Kirana sedikit melirik saat kedua sudut bibir Faza tertarik ke samping. Namun, dengan cepat gadis berkerudung itu menyembunyikan ponselnya.âIya, deh, iya ... yang sekarang udah punya pacar. Bakal dilupain, deh, aku.ââIsh. Enggaklah, Ran.
âMm ... Buk. Kalau aku nikah muda boleh enggak?âBu Narmi yang sedang mengolah wajik salak di atas bara tungku menoleh ke arah sang putra. Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu kembali fokus ke wajan ukuran sedang di hadapannya.âWis siap po, Le?âFikri malah cengengesan. âSiap aja kalau ada yang mau diajak serius, Buk.ââEmang kamu ada pacar?âKali ini Fikri mengusap tengkuknya. Ia pun tak paham kenapa bisa berbicara soal nikah muda dengan wanita yang melahirkannya itu. Padahal ungkapan cintanya pada Faza saja belum ditanggapi oleh gadis itu. Namun, pikiran Fikri sudah lari ke pelaminan. Ia malah geli sendiri dengan pikirannya.âDitakoni kok malah guya-guyu i, lho ....â(Ditanya kok malah senyum-senyum.)âDia belum jawab, sih, Buk. Tapi, kalau dia mau diseriusin, Fikri juga enggak akan main-main.âUcapan anak sulung Bu Narmi membuat hati wanita itu menghangat. Namun, ia juga ragu apa ucapan Fikri benar-benar dari hati atau memang hanya gejolak kawula muda saja.âAnak mana, to, Le?ââ