Hai, hai. 😍😍 Ada yang pernah ke Jogja dan nyobain Masangin? Komen, yuk! Jangan lupa berikan ulasan kalian di buku ini dan jangan lupa berikan GEM sebanyak²nya ya, maaciww😘😘😘
‘Apa aku enggak salah dengar?’ Faza membatin.“Faza! Ayok jalan! Kenapa berhenti?” teriak Fikri dari arah depan. Bahkan suara itu terdengar jauh di telinga Faza.Faza mengernyit. Ia bahkan mulai bergidik. Takut jika suara yang tadi berbisik dengan kalimat indah nan merdu itu hanya bisikan gaib yang menyerupai suara Fikri.'Katanya mau di belakangku, lah malah jauh,’ gerutu hati Faza.“Ayok jalan lagi!” seru Fikri dengan kedua tangan melengkung di depan mulut.“Oh, iya, oke!” balas Faza.Gadis dengan celana jeans dan atasan lengan panjang plus hijab itu kembali berjalan dan meraba udara. Sementara Fikri berusaha mengatur napas setelah lari lumayan kencang usai membisikkan kalimat keramat di dekat telinga Faza.“Mau ngomong cinta aja pakai latihan segala. Ah, payah!” um
“Le, itu si Fikri sama Faza mau main ke mana?” tanya Pak Abdul kepada putra satu-satunya.“Isal enggak tahu pasti, Pak. Tapi, Faza bilang cuma mau main ke altar.”Pak Abdul mengangguk-angguk.“Adikmu sudah besar, ya, Le. Sudah ditaksir anak lanang.”“Bapak tahu?”“Muk ko ngunu yo gampang ditebak to, Sal. Bapak ini sudah berpengalaman. Cinta dan batuk itu susah disembunyikan.”Faisal hanya mesem dengan pandangan menatap layar laptop.“Bapak tahu, Fikri itu anaknya baik, ganteng pula. Adikmu pinter milih.”“Mereka belum pacaran lho, Pak.”“Paham, Bapak paham, kok. Tapi, mereka sudah ada rencana ke sana. Bapak bisa baca itu. Kalau memang Fikri serius sama Faza, Bapak akan ajak anak itu buat ngobrol.”Faisal mengangguk-angguk. “Harus itu, Pak. Fikri niku ra tau aneh-aneh.”Pandangan Pak Abdul menerawang. Sayup-sayup suara lantunan orang mengaji sebelum azan Magrib berkumandang saling sahut dari speaker masjid. Lirih, tapi cukup menentramkan.“Kasihan anak itu. Dari bayi sampai sebesar sek
Seminggu berlalu setelah peristiwa mendebarkan di atas becak lampu malam itu. Faza dan Fikri masih kerap bertukar kabar lewat telepon dan juga pesan singkat walaupun Fikri sendiri tak pernah menyinggung perihal jawaban atas ungkapan hatinya.Malam itu, setelah mengantarkan Faza pulang, Fikri pun ikut masuk seraya meminta diri kepada Bu Endang juga Pak Abdul sebagai orang tua Faza di Jogja. Di teras, sebelum pulang, Fikri pun sempat berbincang sebentar dengan Faisal. Hingga terakhir, pria berkemeja lengan panjang itu mengucapkan sebuah kalimat dengan logat bahasa Jawa yang membuat Faza tergelitik sampai tersipu.“Mas, matur sembah nuwun. Kulo paringaken malih tuan putri lebet keadaan wetah lan sae,” ungkapnya dengan penuh sopan santun.(Mas, terima kasih banyak. Saya serahkan kembali tuan putri dalam keadaan utuh dan baik.)Dengan bersandar di tembok teras, Faisal hanya tersenyum dan mengangguk-angguk seraya memegang dagunya. Sudah mirip seorang dosen yang sangat puas dengan hasil kerj
Faisal mengangguk dan mulai mengubah posisi duduk.“Fikri minta izin gimana sama kamu, Mas?”“Ya minta izin kalau mau deketin kamu. Mas, sih, kayak ngerasa kalian memang udah saling klik satu sama lain. Makanya Mas iya-in aja. Terus, beberapa hari sebelum kalian jalan bareng ke altar, dia izin lagi kalau mau nembak kamu.”Faza bergeming. Penjelasan Faisal membuatnya sedikit bergetar dan jantung berdebar. Antara tak percaya dan juga bahagia tak terkira. “Ini beneran, kan? Mas Isal enggak lagi bohongi aku?”“Ck! Ngapain bohong, sih, Dek? Gak ada untungnya juga buat Mas.”Kedua sudut bibir Faza melengkung.“Cie, cie ... hayuklah traktirannya. Apa aja boleh.”“Dih, traktiran apaan? Wong aku aja belum kasih jawaban ke Fikri,” ungkap Faza dengan jujur.Kening Faisal mengerut. “Lah? Belum dijawab?”Faza mengangguk.“Kenapa?”“Ya enggak pa-pa, sih, Mas. Emang belum kasih jawaban aja. Kan, tadinya aku mau cerita dulu ke kamu, eh ternyata sampeyan wis ngerti ndisik.”“Terus?”“Fikri juga bilan
“Mm ... Buk. Kalau aku nikah muda boleh enggak?”Bu Narmi yang sedang mengolah wajik salak di atas bara tungku menoleh ke arah sang putra. Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu kembali fokus ke wajan ukuran sedang di hadapannya.“Wis siap po, Le?”Fikri malah cengengesan. “Siap aja kalau ada yang mau diajak serius, Buk.”“Emang kamu ada pacar?”Kali ini Fikri mengusap tengkuknya. Ia pun tak paham kenapa bisa berbicara soal nikah muda dengan wanita yang melahirkannya itu. Padahal ungkapan cintanya pada Faza saja belum ditanggapi oleh gadis itu. Namun, pikiran Fikri sudah lari ke pelaminan. Ia malah geli sendiri dengan pikirannya.“Ditakoni kok malah guya-guyu i, lho ....”(Ditanya kok malah senyum-senyum.)“Dia belum jawab, sih, Buk. Tapi, kalau dia mau diseriusin, Fikri juga enggak akan main-main.”Ucapan anak sulung Bu Narmi membuat hati wanita itu menghangat. Namun, ia juga ragu apa ucapan Fikri benar-benar dari hati atau memang hanya gejolak kawula muda saja.“Anak mana, to, Le?”“
"Serius?! Kalian udah jadian?”“Ssttt ... suaramu kecilin dikit, Kirana Cempaka! Enggak perlu di-loudspeaker!” gerutu Faza sambil menarik tangan teman baiknya itu.Tentu saja Kirana terlihat kaget. Hampir satu bulan ia tak pulang ke rumah karena sibuk kuliah. Saling berkabar lewat pesan dengan Faza pun jarang ia lakukan. Dan kini, kabar itu ia dengar langsung dari bibir Faza. Kalau ia dengar langsung dari orang lain, pasti Kirana langsung mengamuk.“Kamu jahat, ih! Baru ngomong sama aku!” Kirana pura-pura merajuk.“Kamu ‘kan baru pulang. Kemarin-kemarin juga katamu sibuk banget di kampus. Yaudah aku pending aja kasih tahu ke kamu, Ran.”“Udah berapa lama?”“Apanya?”“Jadiannya ....”“Baru dua minggu,” jawab Faza dengan tatapan mengarah pada ponsel.Kirana sedikit melirik saat kedua sudut bibir Faza tertarik ke samping. Namun, dengan cepat gadis berkerudung itu menyembunyikan ponselnya.“Iya, deh, iya ... yang sekarang udah punya pacar. Bakal dilupain, deh, aku.”“Ish. Enggaklah, Ran.
Fikri tersenyum bahagia dan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah. Akhirnya setelah menunggu lamaran pekerjaan dengan gaji yang lebih lumayan, ia pun resmi di terima di sebuah perusahaan minuman kesehatan.Senyum sang ibu yang pertama kali berkelebat dalam angannya. Ia sudah bukan anak-anak lagi. Tentu ingin ikut membahagiakan wanita nomor satunya itu dengan tidak lagi meminta biaya untuk hidupnya. Bahkan, Fikri ingin membantu keuangan keluarga.Adik perempuannya masih sangat butuh biaya walau mereka berbeda ayah. Namun, air susu yang mengalir dalam tubuh keduanya sama. Fikri pun bersalaman dengan sang atasan dan keluar dari kantor cabang tersebut. Besok adalah hari pertama dalam menjalani pekerjaan barunya. Segera ia mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan.[Sayang, aku diterima di pekerjaan baru.]Semangatnya semakin berlipat dan tentu saja Faza adalah orang pertama yang ia hubung
“Hai, Mas! Apa kabar?” tanya si gadis dengan nada ceria.Usia Disty memang lebih muda dari Fikri. Dia biasa memanggil sang pria dengan tambahan mas di depan nama. Mungkin tadi refleks hanya ingin memastikan.Fikri tersenyum. “Aku baik, Dis. Kamu apa kabar?”“Aku baik juga, Mas.”Fikri mengangguk.“Mas Fikri dari tokonya Mas Eri, ya? Mau pulang?”“Iya. Kamu lagi apa di sini?”“Aku bantuin ibunya Mbak Sasa jualan, Mas.”Sasa adalah teman sekelas Fikri saat masih berseragam putih abu-abu. Dia dan Disty memang saudara sepupu. Ibunya Sasa memiliki sebuah lapak oleh-oleh khas Jogja di emperan Malioboro.“Oh, Sasa-nya ke mana emang?”“Dia kuliah, Mas. Bentar lagi juga balik. Makanya aku mau pula