Kirana tak langsung menjawab. Gadis hitam manis itu menatapku cukup lama dengan sorot yang sulit diartikan.
“Sebenarnya ... Wulan masih sayang banget sama Fikri, Za.”
Entah kenapa seperti ada sebuah tangan yang seakan-akan meremas gumpalan daging dalam dada ini. Walaupun aku tak tahu ke mana rasa ini akan berlabuh, tetapi untuk saat ini nama Fikri memang mulai mengacaukan hari-hariku.
“Fikri itu salah satu lelaki setia. Tapi, sekali dia dibuat patah, dia akan pamit undur diri dan tak akan mau kembali lagi, kecuali hanya sebagai teman.” Kirana menjeda kalimatnya dengan menghela napas panjang.
“Katanya, usia kandungan Wulan sudah ketahuan hampir dua bulan. Sekitar tiga bulan yang lalu Wulan minta izin ke orang tuanya untuk liburan sama beberapa temannya ke Dieng. Terus, pas pulang keadaannya sedikit kacau dan dia pulang diantar sama ... Fikri.”
A
(Pov Faza)"Aww!”“Kenapa, Dek?”Aku meringis saat ujung biji staples menusuk ujung jari telunjuk sebelah kiri.“Ketusuk biji staples, Mas.”“Dalem enggak?”“Enggak, kok. Tadi aku mau buang biar enggak kena kaki. Eh, malah kena ujung jari.”“Makanya pelan-pelan.”“Enggak pa-pa, Mas. Cuma kecil doang.”Aku memencet-mencet jari yang terlihat merah, tetapi tak sampai mengeluarkan darah. Aneh. Padahal tadi terasa seperti tertusuk.“Udah semua, kan?”“Udah, Mas.”“Yok, pulang!”Aku mengangguk dan mengekori Mas Faisal menuju motornya. Di tengah perjalanan, ponselku bergetar. Kirana melakukan panggilan. Tumben
Seminggu berlalu. Namun, aku masih belum bisa melupakan percakapan yang tak sengaja kudengar dari orang tuanya Wulan saat di rumah sakit. “Dari dulu Bapak enggak pernah setuju kalau anak kita dekat sama Fikri.” “Iya, Ibuk tahu. Tapi Bapak enggak pernah kasih tahu apa alasannya. Fikri itu anaknya baik, Pak.” Aku diam dengan sedikit mendongak. Pura-pura sibuk membaca papan yang bertuliskan tata tertib rumah sakit yang sedang kupijak. Sejujurnya aku tak ingin menguping. Namun, antara kepalang tanggung dan juga penasaran. Toh, mereka tak tahu siapa aku. Terlebih ... mereka membicarakan Fikri. Rasa ingin tahu kian tinggi. Bukannya menjawab, pria paruh baya dengan kemeja lengan pendek itu langsung pergi dari hadapan istrinya. Kedua bahu ibunya Wulan sedikit merosot. Seperti lelah dengan apa yang sedang menimpa keluarga mereka. Aku pun menghela napas panjang mengingat perbincangan
Kirana sudah sehat dan kembali beraktivitas seperti biasa. Namun, saat ini ia sedang di indekosnya. Setiap hari kami kontek-kontekan, tapi ... saat toko sepi garapan seperti saat ini, aku jadi merindukannya. Wanita manis berkulit sawo matang itu selalu ada bahan untuk dibahas jika datang ke toko. Kirana seperti tak kehabisan bahan untuk membuatku tergelak atau bahkan penasaran dengan topik-topik aktualnya. Drrt! Drrt! Ada pesan masuk. [Za, di alun-alun kecamatan ada pasar malam, ya?] Kirana mengirimiku pesan. Panjang umur sekali gadis itu. [Iya, baru mau mulai.] Aku membalas. [Asyiiik, pulang, ah! Ntar kita ke sana, ya!] [Oke.] Tak ada balasan lagi. Aku beranjak dari duduk ketika ada pelanggan datang. Lumayan, ada garapan. Warung Gudeg milik orang tua Kirana terlihat ramai. Bahkan tukang parkir di halaman berlantai paving itu juga sibuk. Area parkir tak terlalu besar memang, tapi cukup luas dan pelanggan yang datang tiap hari untuk mencicip menu khas Jogja itu tak pernah sepi.
Fikri turun dari motornya dan kembali ke hadapanku. Dia menyerahkan ponselnya.“Mas Faisal mau ngomong,” ucapnya.Aku pun mengangguk dan menerima benda pipih itu dari tangan Fikri.“Halo?”‘Dek, bapak sama ibuk lagi di luar ternyata. Pulangnya sekitar habis Isya. Urusan Mas di kampus juga lumayan banyak ini. Kamu mau dijemput Lik Yanto apa dianter Fikri aja? Mumpung dia mau aku minta tolong anter kamu pulang.’Kalimat panjang di ujung sana membuatku melirik Fikri sebentar. Aku mundur dan sedikit menjauh.‘Halo, Dek? Kamu denger Mas, kan?’“Iya, halo. Denger, kok.”‘Jadi gimana? Mau dijemput Lik Yanto apa bareng sama Fikri aja?’Lik Yanto adalah pekerja di rumah Pakde Bude yang selalu stand by. Kata Bude, dia belu
(Author POV) Tatapan Fikri membingkai penuh wajah sang ibu. Raut yang semakin hari kian dimakan usia itu terlihat sendu. Antara sedih dan terlihat menahan amarah. Ada apa? Kenapa? Fikri jadi mulai curiga. Apa sosok ayah yang tak pernah ia tahu ada di sana?“Buk?” panggilnya lirih.Baru saja cangkir diletakkan, Bu Narmi—ibunda Fikri—berucap, “Wis Magrib, Le. Cepet mandi dan salat ke masjid. Tak siapke sik banyu angete.”Bu Narmi berdiri dan hendak berlalu ke dapur. Namun, dengan cepat tangan Fikri menarik lembut jemari sang ibu.“Buk ... apa bapak ada di sana?” tanya Fikri dengan hati-hati.Bu Narmi terdiam sebentar. “Iya, bapakmu ada di sana,” jawabnya datar. “Sudah, ya. Jangan tanya yang lain lagi, Le.”Fikri hanya mengangguk patuh. Pantang baginya menentang ucapan sang ibu. Wanita yang amat sangat ia cintai juga ia hormati.Sejujurnya, pria berparas tampan itu tak terlalu haus akan kasih sayang seorang ayah. Ia punya sosok itu walau bukan ayah biologis. Ibunya sudah menikah lagi da
“Monggo tehnya.” Kirana datang menyodorkan teh panas kepada Fikri, salah satu pelanggan di warungnya. Fikri yang sedang mengunyah sarapan sembari menatap toko fotokopi langsung menoleh. Ia memang sedang sarapan di warung orang tua Kirana. Fikri pikir Kirana akan langsung pergi setelah mengantar minumannya, tapi ternyata gadis itu malah duduk di hadapannya. Bola mata pria berkaus putih itu bergerak mengikuti pergerakan Kirana yang duduk anteng di depannya. Namun, seperti ada yang aneh, tatapan Kirana seolah-olah menunggu sebuah penjelasan. “Kenapa, Ran?” “Truth or dare?” “Heuh?” Alis Fikri menyatu. Tak paham maksud Kirana yang dateng-dateng malah memberinya pilihan. “Pilih aja. Enggak usah, hah-heuh-hah-heuh!” jawab Kirana dengan tampang serius. Suasana warung makan memang belum terlalu ramai. Jadi anak si pemilik warung bisa sedikit menemani temannya itu untuk sarapan. Lebih tepatnya, Kirana ingin memastikan sesuatu pada Fikri. Melihat tampang Kirana yang terlihat serius, Fik
‘Apa aku enggak salah dengar?’ Faza membatin.“Faza! Ayok jalan! Kenapa berhenti?” teriak Fikri dari arah depan. Bahkan suara itu terdengar jauh di telinga Faza.Faza mengernyit. Ia bahkan mulai bergidik. Takut jika suara yang tadi berbisik dengan kalimat indah nan merdu itu hanya bisikan gaib yang menyerupai suara Fikri.'Katanya mau di belakangku, lah malah jauh,’ gerutu hati Faza.“Ayok jalan lagi!” seru Fikri dengan kedua tangan melengkung di depan mulut.“Oh, iya, oke!” balas Faza.Gadis dengan celana jeans dan atasan lengan panjang plus hijab itu kembali berjalan dan meraba udara. Sementara Fikri berusaha mengatur napas setelah lari lumayan kencang usai membisikkan kalimat keramat di dekat telinga Faza.“Mau ngomong cinta aja pakai latihan segala. Ah, payah!” um
“Le, itu si Fikri sama Faza mau main ke mana?” tanya Pak Abdul kepada putra satu-satunya.“Isal enggak tahu pasti, Pak. Tapi, Faza bilang cuma mau main ke altar.”Pak Abdul mengangguk-angguk.“Adikmu sudah besar, ya, Le. Sudah ditaksir anak lanang.”“Bapak tahu?”“Muk ko ngunu yo gampang ditebak to, Sal. Bapak ini sudah berpengalaman. Cinta dan batuk itu susah disembunyikan.”Faisal hanya mesem dengan pandangan menatap layar laptop.“Bapak tahu, Fikri itu anaknya baik, ganteng pula. Adikmu pinter milih.”“Mereka belum pacaran lho, Pak.”“Paham, Bapak paham, kok. Tapi, mereka sudah ada rencana ke sana. Bapak bisa baca itu. Kalau memang Fikri serius sama Faza, Bapak akan ajak anak itu buat ngobrol.”Faisal mengangguk-angguk. “Harus itu, Pak. Fikri niku ra tau aneh-aneh.”Pandangan Pak Abdul menerawang. Sayup-sayup suara lantunan orang mengaji sebelum azan Magrib berkumandang saling sahut dari speaker masjid. Lirih, tapi cukup menentramkan.“Kasihan anak itu. Dari bayi sampai sebesar sek
Setiap wanita mempunyai keinginan yang sama. Dicintai dan mencintai pria yang diinginkannya. Cintanya direspons baik dan tentu jangan sampai bertepuk sebelah tangan. Begitu pun dengan lelaki, tak ada pengecualian. Saat jatuh cinta, keduanya sama-sama ingin cintanya dibalas dan terbalas.Faza tersenyum memandangi sepasang benda mungil nan cantik yang terkurung dalam kotak cincin boks mika kristal. Fikri memintanya untuk menyimpan cincin mereka. Untuk hari baik, ia masih membicarakan dengan keluarga. Begitu pun dengan Faza. Fikri meminta kekasihnya itu untuk memberitahu niat baiknya pada kedua orang tuanya di Jawa Timur.Lagi-lagi senyumnya melengkung indah. Faza teringat akan keping demi keping potongan memori dari awal melihat senyum Fikri, berkenalan, jalan bersama, saling mengungkapkan rasa hingga kini keduanya akan berkomitmen dalam sebuah hubungan yang lebih serius.Tak berbeda dengan pasangan lain pada umumnya, Fikri dan Faza pun kerap terlibat pertengkaran kecil sampai berbeda p
Saat ini, aku sedang berada dalam keramaian pasar malam. Tentunya aku sudah tahu kalau Fikri juga ada di sini. Dia sedang join dengan salah satu temannya membuka lapak jagung bakar. Fikri salah satu anak muda pekerja keras. Tidak hanya aku dan Eri, bapak dan ibuku pun menyukai lelaki itu. Sengaja kubujuk Faza agar mau ikut ke pasar malam. Selain agar tidak menjadi nyamuk di antara bapak dan ibuku, ada sedikit rencana yang harus aku pastikan sendiri. Tidak mau hanya mengira-ngira atau menerka-nerka saja.Tak lama setelah menemukan lapak milik Fikri dan temannya itu, aku pun langsung memesan dua jagung bakar, untukku dan Faza. Akhirnya, mereka resmi berkenalan sesaat setelah aku goda. Ngobrol ngalor-ngidul sampai akhirnya muncul sedikit ide pura-pura ada telepon masuk dari Eri. Aku pun sedikit tergesa agar terlihat meyakinkan dalam mendalami peran. Tak jauh dari keduanya, aku mengamati gerak-gerik Fikri dan Faza. Mereka tampak terlibat sebuah obrolan walau masih bisa dibilang wajar.Se
Namaku Faisal Abdurrahman. Anak pertama sekaligus terpaksa harus jadi yang terakhir. Anak semata wayang ibu dan bapak, Ibu Endang dan Pak Abdul. Kenapa terpaksa menjadi yang terakhir? Karena sebenarnya aku adalah calon seorang kakak dari dua adik kembarku.Dulu, saat usiaku delapan tahun, ibu pernah dinyatakan positif hamil lagi.“Isal mau punya adik?”“Iya, Le. Kamu seneng?”Aku mengangguk antusias. Tentu saja aku bahagia karena rumah kami akan bertambah penghuni. Percayalah, jadi anak tunggal itu enggak enak. Enggak ada ribut-ributnya di rumah.Semua yang terbaik selalu bapak usahakan untuk ibu dan juga calon adikku. Namun, entah di usia kandungan berapa minggu, ibu sering mengalami kram perut. Bapak selalu mengingatkan agar ibu jangan terlalu capek. Sebab, saat itu mereka berdua sedang merintis usaha oleh-oleh khas Kota Budaya ini.Waktu terus merangkak, tetapi kandungan ibuku semakin lemah. Sekali lagi, aku tak paham dengan keadaannya saat itu. Yang aku tahu dari cerita bapak, jan
Sore beranjak walau pikiran Fikri masih belum menemukan jawaban. Ia pun berusaha mengenyahkan segala gelisah yang mungkin akan menjadi ujiannya sebelum ia dan Faza akan lanjut ke tahap selanjutnya. Karena, konon, ujian orang mau menikah ada-ada saja.Tak mau terlihat murung karena pikirannya sendiri, usai menunaikan salat Asar, Faza dan Fikri segera menuju pantai ikonik yang selalu lekat dengan nama Yogyakarta itu. Pinggiran pantai terlihat begitu cantik dengan pemandangan payung warna-warni yang berbaris rapi. Dilengkapi hilir mudik kendaraan mobil jeep dan delman yang berlalu lalang.Faza langsung membuka alas kakinya dan berlari menuju bibir pantai. Ombak saling berkejaran, menyapu kastil-kastil pasir buatan ala kontraktor dadakan. Mulai dari anak-anak, remaja, bahkan para orang dewasa pun ikut bermain pasir dan mendirikan bangunan liliput. Setelahnya mereka akan berteriak girang dan juga kesal saat usahanya membangun istana pasir musnah
Bukan hanya Faza, tapi salah seorang pelayan toko perhiasan yang sedari tadi memandang keduanya juga ikut menahan napas dan tak bisa berkata-kata. Menyaksikan seorang pria yang sepertinya sedang memberi sebuah kejutan untuk wanitanya.“L-lamar aku?”“Hm. Kamu mau, kan?”Wajah Faza sedikit merona. “Kapan Mas mau lamar aku?”Bukan apa-apa. Bahkan Fikri tak pernah membicarakan hal ini sebelumnya. Faza juga belum pernah memberitahu kedua orang tuanya kalau ia terlibat urusan hati dengan salah satu pria di Yogyakarta.“Nanti kita obrolin lagi, ya. Sekarang, pilih cincinnya aja dulu.”Gadis berhijab itu pun mengangguk dan mengikuti arahan Fikri untuk memilih cincin terlebih dahulu. Faza kembali tersipu saat sadar jika sedari tadi seorang pelayan tampak memerhatikan keduanya, bahkan ikut tersenyum lebar lebih dari sekadar menyambut pelanggan.“Silakan, Mbak, Mas. Mau cari cincin yang model seperti apa?”Faza menunduk. Mulai memerhatikan perhiasan berbentuk bulat dengan berbagai model. Mungki
“Hai, Mas! Apa kabar?” tanya si gadis dengan nada ceria.Usia Disty memang lebih muda dari Fikri. Dia biasa memanggil sang pria dengan tambahan mas di depan nama. Mungkin tadi refleks hanya ingin memastikan.Fikri tersenyum. “Aku baik, Dis. Kamu apa kabar?”“Aku baik juga, Mas.”Fikri mengangguk.“Mas Fikri dari tokonya Mas Eri, ya? Mau pulang?”“Iya. Kamu lagi apa di sini?”“Aku bantuin ibunya Mbak Sasa jualan, Mas.”Sasa adalah teman sekelas Fikri saat masih berseragam putih abu-abu. Dia dan Disty memang saudara sepupu. Ibunya Sasa memiliki sebuah lapak oleh-oleh khas Jogja di emperan Malioboro.“Oh, Sasa-nya ke mana emang?”“Dia kuliah, Mas. Bentar lagi juga balik. Makanya aku mau pula
Fikri tersenyum bahagia dan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah. Akhirnya setelah menunggu lamaran pekerjaan dengan gaji yang lebih lumayan, ia pun resmi di terima di sebuah perusahaan minuman kesehatan.Senyum sang ibu yang pertama kali berkelebat dalam angannya. Ia sudah bukan anak-anak lagi. Tentu ingin ikut membahagiakan wanita nomor satunya itu dengan tidak lagi meminta biaya untuk hidupnya. Bahkan, Fikri ingin membantu keuangan keluarga.Adik perempuannya masih sangat butuh biaya walau mereka berbeda ayah. Namun, air susu yang mengalir dalam tubuh keduanya sama. Fikri pun bersalaman dengan sang atasan dan keluar dari kantor cabang tersebut. Besok adalah hari pertama dalam menjalani pekerjaan barunya. Segera ia mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan.[Sayang, aku diterima di pekerjaan baru.]Semangatnya semakin berlipat dan tentu saja Faza adalah orang pertama yang ia hubung
"Serius?! Kalian udah jadian?”“Ssttt ... suaramu kecilin dikit, Kirana Cempaka! Enggak perlu di-loudspeaker!” gerutu Faza sambil menarik tangan teman baiknya itu.Tentu saja Kirana terlihat kaget. Hampir satu bulan ia tak pulang ke rumah karena sibuk kuliah. Saling berkabar lewat pesan dengan Faza pun jarang ia lakukan. Dan kini, kabar itu ia dengar langsung dari bibir Faza. Kalau ia dengar langsung dari orang lain, pasti Kirana langsung mengamuk.“Kamu jahat, ih! Baru ngomong sama aku!” Kirana pura-pura merajuk.“Kamu ‘kan baru pulang. Kemarin-kemarin juga katamu sibuk banget di kampus. Yaudah aku pending aja kasih tahu ke kamu, Ran.”“Udah berapa lama?”“Apanya?”“Jadiannya ....”“Baru dua minggu,” jawab Faza dengan tatapan mengarah pada ponsel.Kirana sedikit melirik saat kedua sudut bibir Faza tertarik ke samping. Namun, dengan cepat gadis berkerudung itu menyembunyikan ponselnya.“Iya, deh, iya ... yang sekarang udah punya pacar. Bakal dilupain, deh, aku.”“Ish. Enggaklah, Ran.
“Mm ... Buk. Kalau aku nikah muda boleh enggak?”Bu Narmi yang sedang mengolah wajik salak di atas bara tungku menoleh ke arah sang putra. Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu kembali fokus ke wajan ukuran sedang di hadapannya.“Wis siap po, Le?”Fikri malah cengengesan. “Siap aja kalau ada yang mau diajak serius, Buk.”“Emang kamu ada pacar?”Kali ini Fikri mengusap tengkuknya. Ia pun tak paham kenapa bisa berbicara soal nikah muda dengan wanita yang melahirkannya itu. Padahal ungkapan cintanya pada Faza saja belum ditanggapi oleh gadis itu. Namun, pikiran Fikri sudah lari ke pelaminan. Ia malah geli sendiri dengan pikirannya.“Ditakoni kok malah guya-guyu i, lho ....”(Ditanya kok malah senyum-senyum.)“Dia belum jawab, sih, Buk. Tapi, kalau dia mau diseriusin, Fikri juga enggak akan main-main.”Ucapan anak sulung Bu Narmi membuat hati wanita itu menghangat. Namun, ia juga ragu apa ucapan Fikri benar-benar dari hati atau memang hanya gejolak kawula muda saja.“Anak mana, to, Le?”“