Berkat nasi kucing dan kawan-kawannya, aku dan Fikri jadi semakin dekat walau hanya sebatas SMS-an. Aku masih merahasiakan keakraban kami ini dari Mas Faisal dan Kirana. Bukan tak mau berbagi cerita, hanya berusaha menyembunyikan gejolak dan bersikap biasa saja. Kalau Fikri sendiri, aku yakin dia tak akan cerita ke siapa pun soal kedekatan kami.
Ucapan selamat pagi, sudah makan apa belum, jangan lupa salat, dan semoga mimpi indah seakan menjadi lagu wajib bagi jiwa-jiwa muda yang tengah terserang kasmaran. Entah ini hanya berlaku untukku saja atau sama saja berlaku untuk Fikri juga. Aku tersenyum dan berharap Fikri pun merasakan hal yang serupa denganku.
"Eh, Lu serius?"
Entah dengan siapa Kirana berbincang-bincang di seberang sana. Saat ini dia sedang menemaniku di toko.
"Terus, terus?"
Mesin fotokopi terus beroperasi. Aku masih sibuk dengan beberapa garapan dengan sesekali menc
Kirana tak langsung menjawab. Gadis hitam manis itu menatapku cukup lama dengan sorot yang sulit diartikan.“Sebenarnya ... Wulan masih sayang banget sama Fikri, Za.”Entah kenapa seperti ada sebuah tangan yang seakan-akan meremas gumpalan daging dalam dada ini. Walaupun aku tak tahu ke mana rasa ini akan berlabuh, tetapi untuk saat ini nama Fikri memang mulai mengacaukan hari-hariku.“Fikri itu salah satu lelaki setia. Tapi, sekali dia dibuat patah, dia akan pamit undur diri dan tak akan mau kembali lagi, kecuali hanya sebagai teman.” Kirana menjeda kalimatnya dengan menghela napas panjang.“Katanya, usia kandungan Wulan sudah ketahuan hampir dua bulan. Sekitar tiga bulan yang lalu Wulan minta izin ke orang tuanya untuk liburan sama beberapa temannya ke Dieng. Terus, pas pulang keadaannya sedikit kacau dan dia pulang diantar sama ... Fikri.”A
(Pov Faza)"Aww!”“Kenapa, Dek?”Aku meringis saat ujung biji staples menusuk ujung jari telunjuk sebelah kiri.“Ketusuk biji staples, Mas.”“Dalem enggak?”“Enggak, kok. Tadi aku mau buang biar enggak kena kaki. Eh, malah kena ujung jari.”“Makanya pelan-pelan.”“Enggak pa-pa, Mas. Cuma kecil doang.”Aku memencet-mencet jari yang terlihat merah, tetapi tak sampai mengeluarkan darah. Aneh. Padahal tadi terasa seperti tertusuk.“Udah semua, kan?”“Udah, Mas.”“Yok, pulang!”Aku mengangguk dan mengekori Mas Faisal menuju motornya. Di tengah perjalanan, ponselku bergetar. Kirana melakukan panggilan. Tumben
Seminggu berlalu. Namun, aku masih belum bisa melupakan percakapan yang tak sengaja kudengar dari orang tuanya Wulan saat di rumah sakit. “Dari dulu Bapak enggak pernah setuju kalau anak kita dekat sama Fikri.” “Iya, Ibuk tahu. Tapi Bapak enggak pernah kasih tahu apa alasannya. Fikri itu anaknya baik, Pak.” Aku diam dengan sedikit mendongak. Pura-pura sibuk membaca papan yang bertuliskan tata tertib rumah sakit yang sedang kupijak. Sejujurnya aku tak ingin menguping. Namun, antara kepalang tanggung dan juga penasaran. Toh, mereka tak tahu siapa aku. Terlebih ... mereka membicarakan Fikri. Rasa ingin tahu kian tinggi. Bukannya menjawab, pria paruh baya dengan kemeja lengan pendek itu langsung pergi dari hadapan istrinya. Kedua bahu ibunya Wulan sedikit merosot. Seperti lelah dengan apa yang sedang menimpa keluarga mereka. Aku pun menghela napas panjang mengingat perbincangan
Kirana sudah sehat dan kembali beraktivitas seperti biasa. Namun, saat ini ia sedang di indekosnya. Setiap hari kami kontek-kontekan, tapi ... saat toko sepi garapan seperti saat ini, aku jadi merindukannya. Wanita manis berkulit sawo matang itu selalu ada bahan untuk dibahas jika datang ke toko. Kirana seperti tak kehabisan bahan untuk membuatku tergelak atau bahkan penasaran dengan topik-topik aktualnya. Drrt! Drrt! Ada pesan masuk. [Za, di alun-alun kecamatan ada pasar malam, ya?] Kirana mengirimiku pesan. Panjang umur sekali gadis itu. [Iya, baru mau mulai.] Aku membalas. [Asyiiik, pulang, ah! Ntar kita ke sana, ya!] [Oke.] Tak ada balasan lagi. Aku beranjak dari duduk ketika ada pelanggan datang. Lumayan, ada garapan. Warung Gudeg milik orang tua Kirana terlihat ramai. Bahkan tukang parkir di halaman berlantai paving itu juga sibuk. Area parkir tak terlalu besar memang, tapi cukup luas dan pelanggan yang datang tiap hari untuk mencicip menu khas Jogja itu tak pernah sepi.
Fikri turun dari motornya dan kembali ke hadapanku. Dia menyerahkan ponselnya.“Mas Faisal mau ngomong,” ucapnya.Aku pun mengangguk dan menerima benda pipih itu dari tangan Fikri.“Halo?”‘Dek, bapak sama ibuk lagi di luar ternyata. Pulangnya sekitar habis Isya. Urusan Mas di kampus juga lumayan banyak ini. Kamu mau dijemput Lik Yanto apa dianter Fikri aja? Mumpung dia mau aku minta tolong anter kamu pulang.’Kalimat panjang di ujung sana membuatku melirik Fikri sebentar. Aku mundur dan sedikit menjauh.‘Halo, Dek? Kamu denger Mas, kan?’“Iya, halo. Denger, kok.”‘Jadi gimana? Mau dijemput Lik Yanto apa bareng sama Fikri aja?’Lik Yanto adalah pekerja di rumah Pakde Bude yang selalu stand by. Kata Bude, dia belu
(Author POV) Tatapan Fikri membingkai penuh wajah sang ibu. Raut yang semakin hari kian dimakan usia itu terlihat sendu. Antara sedih dan terlihat menahan amarah. Ada apa? Kenapa? Fikri jadi mulai curiga. Apa sosok ayah yang tak pernah ia tahu ada di sana?“Buk?” panggilnya lirih.Baru saja cangkir diletakkan, Bu Narmi—ibunda Fikri—berucap, “Wis Magrib, Le. Cepet mandi dan salat ke masjid. Tak siapke sik banyu angete.”Bu Narmi berdiri dan hendak berlalu ke dapur. Namun, dengan cepat tangan Fikri menarik lembut jemari sang ibu.“Buk ... apa bapak ada di sana?” tanya Fikri dengan hati-hati.Bu Narmi terdiam sebentar. “Iya, bapakmu ada di sana,” jawabnya datar. “Sudah, ya. Jangan tanya yang lain lagi, Le.”Fikri hanya mengangguk patuh. Pantang baginya menentang ucapan sang ibu. Wanita yang amat sangat ia cintai juga ia hormati.Sejujurnya, pria berparas tampan itu tak terlalu haus akan kasih sayang seorang ayah. Ia punya sosok itu walau bukan ayah biologis. Ibunya sudah menikah lagi da
“Monggo tehnya.” Kirana datang menyodorkan teh panas kepada Fikri, salah satu pelanggan di warungnya. Fikri yang sedang mengunyah sarapan sembari menatap toko fotokopi langsung menoleh. Ia memang sedang sarapan di warung orang tua Kirana. Fikri pikir Kirana akan langsung pergi setelah mengantar minumannya, tapi ternyata gadis itu malah duduk di hadapannya. Bola mata pria berkaus putih itu bergerak mengikuti pergerakan Kirana yang duduk anteng di depannya. Namun, seperti ada yang aneh, tatapan Kirana seolah-olah menunggu sebuah penjelasan. “Kenapa, Ran?” “Truth or dare?” “Heuh?” Alis Fikri menyatu. Tak paham maksud Kirana yang dateng-dateng malah memberinya pilihan. “Pilih aja. Enggak usah, hah-heuh-hah-heuh!” jawab Kirana dengan tampang serius. Suasana warung makan memang belum terlalu ramai. Jadi anak si pemilik warung bisa sedikit menemani temannya itu untuk sarapan. Lebih tepatnya, Kirana ingin memastikan sesuatu pada Fikri. Melihat tampang Kirana yang terlihat serius, Fik
‘Apa aku enggak salah dengar?’ Faza membatin.“Faza! Ayok jalan! Kenapa berhenti?” teriak Fikri dari arah depan. Bahkan suara itu terdengar jauh di telinga Faza.Faza mengernyit. Ia bahkan mulai bergidik. Takut jika suara yang tadi berbisik dengan kalimat indah nan merdu itu hanya bisikan gaib yang menyerupai suara Fikri.'Katanya mau di belakangku, lah malah jauh,’ gerutu hati Faza.“Ayok jalan lagi!” seru Fikri dengan kedua tangan melengkung di depan mulut.“Oh, iya, oke!” balas Faza.Gadis dengan celana jeans dan atasan lengan panjang plus hijab itu kembali berjalan dan meraba udara. Sementara Fikri berusaha mengatur napas setelah lari lumayan kencang usai membisikkan kalimat keramat di dekat telinga Faza.“Mau ngomong cinta aja pakai latihan segala. Ah, payah!” um