Share

5. Mulai Tak Karuan

last update Last Updated: 2024-01-16 15:44:08

Fikri melepas sarung tangan plastik yang dipakainya.

"Fikri, Mbak." Tangannya terulur ke depan.

"Faza." Kuangkat tangan menyambut uluran tangannya. "Panggil Faza aja, Mas. Enggak usah pake tambahan 'mbak', usiaku di bawah Kirana satu tahun."

Fikri mengangguk dan tangan kami langsung saling melepas.

"Ok, Faza." Ia berucap kembali dengan tambahan senyum.

'Ya ampun, senyum lagi. Diabetes nih, aku lama-lama.'

"Aku buatin dua, ya, Fik!" sela Mas Faisal.

"Siap, Mas! Duduk dulu, ya. Ini masih ada pesanan beberapa lagi.”

Suara Fikri mendominasi aktivitas jantungku yang mulai dag dig dug melulu ....

“Oke, siap. Ditungguin, kok,” sahut Mas Faisal.

Aku dan Mas Faisal duduk lesehan di atas tikar yang disediakan untuk penikmat jagung bakar di lapak teman Mas Fikri ini. Ia hanya membantu, katanya. Tiga gadis remaja kisaran usia anak SMA yang kuduga pemesan jagung bakar terlihat saling berbisik-bisik dan sesekali tersenyum menatap Fikri. Ada yang panas, tapi bukan debat capres dan cawapres.

“Ish, ganjen!” sungutku dengan suara lirih.

“Kenapa, Dek?” Mas Faisal menoleh.

“Eh? E-enggak pa-pa, kok, Mas.”

“Kamu sakit perut?”

Aku langsung menggeleng.

“Tadi kayaknya bilang ‘ngeden’.”

Aku memukul lengannya agak keras.

“Aow! Apa, sih?”

“Abisnya, omonganmu ngawur, Mas.”

“Lah?”

Fikri sempat menoleh padaku dan Mas Faisal yang terlibat cekcok kecil. Aku bilang ‘ganjen’, eh, Mas Faisal nangkapnya ‘ngeden’. Tapi, ada untungnya juga, sih, pendengarannya agak kongslet. Kalau dia dengar aku bilang ganjen sama gadis-gadis itu bisa berabe. Mas Faisal akan semakin yakin kalau aku naksir si Fikri. Padahal memang iya. Huwaaa ....

Sesekali lelaki bergaya rambut short and spiked itu bercakap-cakap dengan beberapa pembeli yang mampir di lapak jagung bakar ini. Model rambutnya terlihat funky. Namun, tetap terkesan rapi dan elegan.

Satu-dua bulir keringat yang jatuh dari pelipis Fikri menunjukkan betapa ia begitu sibuk bersama satu rekannya. Mungkin lelaki berkaus hitam itu pemilik lapak ini. Namun, terlihat lebih dewasa dari si Fikri.

Aku mengeluarkan ponsel dan menatapnya. Ya, hanya kutatap. Sebab, sesekali mata ini naik-turun memperhatikan kegiatan Fikri mengipasi jagung-jagung yang berderet rapi.

Aku tersenyum.

'Hatiku dong, dikipas juga. Udah mulai gerah, nih!' Ihiiir ....

***

Awalnya ku tak mengerti apa yang sedang aku rasakan~

Segalanya berubah dan rasa rindu itu pun ada~

Sejak kau hadir di setiap malam dalam tidurku~

Aku tahu sesuatu sedang terjadi padaku~

Seakan-akan mewakili hati yang tengah bertaman-taman. Eh, salah! Berbunga-bunga maksudnya. Alunan musik dan nyanyian merdu mengalun sempurna dari dalam kamar Mas Faisal yang pintunya tak tertutup rapat. Penghuninya sedang ke kamar mandi.

Aku menikmati kata demi kata yang terangkai indah dalam syair lagu band Roulatte itu. Sembari menyapu lantai, bibir ini pun ikut bersenandung lirih mengikuti alunan suara sang vokalis.

Sudah sekian lama aku alami pedih putus cinta~

Dan mulai terbiasa hidup sendiri tanpa asmara~

Dan hadirmu membawa cinta sembuhkan lukaku~

Kau berbeda dari yang kukira~

Lagi-lagi bibirku tersenyum memutar memori indah beberapa malam yang lalu. Sebenarnya, tidak ada peristiwa penting yang perlu dimuseumkan dalam hati ini. Hanya pertemuan tak disengaja yang terhias percakapan ringan dan sedikit candaan. Namun, senyumannya seakan menyulap percakapan itu menjadi sesuatu yang ... ah, sulit dijelaskan. Kurasa ... virus merah jambu sedang menyerang hati dan pikiran. Uhuk!

Aku jatuh cinta kepada dirinya~

Sungguh-sungguh cinta oh apa adanya~

Tak pernah kuragu namun tetap selalu menunggu~

Sungguh aku jatuh cinta kepadanya~

"Denger-denger, kamu lagi cari kerja ya, Fik?" tanya Mas Faisal saat kami menikmati jagung bakar, kala itu.

“Tahu dari siapa, Mas?”

“Kemarin ada yang enggak sengaja nguping katanya. Aow!”

Mas Faisal memekik di akhir kalimatnya. Iyalah! Soalnya aku tarik beberapa helai rambut kakinya yang bisa kuraih.

“Kamu kenapa, sih, Dek!” sungut Mas Isal terlihat kesal.

“Enggak pa-pa. Emang aku kenapa?” sahutku santai dan datar.

Aku terkikik dalam hati. Mas Faisal memberengut dengan mengusap salah satu betisnya, sementara Fikri hanya tersenyum melihat kami yang lagi-lagi ribut kecil.

"Iya, Mas. Mas Eriy, kan, udah selesai kuliah. Nah, dia mau jaga sendiri tokonya. Enggak langsung minta aku buat berhenti sih, sebenernya. Cuma ... kalo ada yang lebih baik, gajinya lebih gede, Mas Eriy ngebolehin aku kerja ke yang lain," jelas Fikri lumayan panjang.

"Kamu nyari gaji gede kayak yang udah mikir SPP anak aja, Fik!" timpal Mas Faisal yang ditanggapi tawa renyah oleh lawan bicaranya.

"Tak ada kenyamanan di hari tua untuk orang-orang yang malas di masa muda. Lak ngoten to, Mas?" (Bukan begitu, Mas?)

"Wah, super sekali kalimat Anda wahai Kisanak?"

Mas Fikri tergelak mendengar kalimat kakak kelas SMK-nya itu.

"Sampean salah satu inspirasiku, Mas."

"Weh, aku? Ho'o, po?" (Iya, kah?)

"Leres, Mas." (Benar, Mas.)

Lalu, mereka melakukan tos siku. Aku hanya melirik seraya tersenyum mendengar obrolan keduanya sembari menikmati jagung bakar dengan selai strawberry.

"Eh. Sik, sik!" Tiba-tiba Mas Faisal merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponsel dan dahinya sedikit mengernyit membaca layar.

"Lha, ini bosmu baru diomongin malah nelpon. Tak nyari tempat yang agak sepi bentar, ya. Enggak denger di sini. Rame!" pungkas sepupuku itu sembari berlari kecil untuk menjauh.

"Sik ya, Dek. Tak ngangkat telpon, dilit!" imbuhnya lagi dengan menoel bahuku.

Aku hanya mengangguk dengan mulut yang masih fokus mengunyah.

‘Mas Faisal beneran angkat telepon, apa cuma pura-pura biar aku sama Fikri bisa ngobrol berdua? Ish, pengertian bener punya kakak.’ Aku bergumam dalam hati.

"Udah betah tinggal di Jogja?"

Eh?

Wajah dan pandangan yang memang sedikit kutundukkan segera mendongak. Fikri menatapku dengan wajah tampannya yang hampir membuatku tersihir. Aku mengangkat jari telunjuk tangan kanan dan menunjuk diri sendiri.

"Iya. Kamu, Faza. Betah enggak di Jogja?" ulang pria berkaus hijau itu sekali lagi.

'Aiiih ... doi mulai nanyain aku, Pemirsah.'

"Hm ... alhamdulillah betah, Mas," jawabku sekenanya. Padahal genderang dalam hati sudah bertabuh ribut.

"Syukurlah," ucapnya lagi dengan senyum yang rasanya tak pernah absen menghiasi wajah cute itu.

Aku jadi teringat ucapan Kirana tempo hari. “Fikri itu salah satu cowok yang murah senyum di sekolah, tapi enggak suka tebar pesona sama cewek-cewek. Justru sikapnya itu malah bikin para kaum hawa tertarik.”

Enggak salah, dong, aku naksir dia. Aku terkikik dan kembali mengelus-elus gagang sapu. Menelengkan kepala ke kiri dan ke kanan dengan senyum yang ... mbuhlah.

"Nduk?"

Aku menoleh dengan sedikit terperanjat.

"Eh, nggih, Pakde. Pripun?"

"Kowe ki lagi ngopo?"

"Lagi nyapu, Pakde," jawabku

"Nyapu kok, sing digujengi pel-pelan to, Nduk ... Nduk?"

Kepalaku menunduk. Weladalah! Kayaknya tadi lagi pegang gagang sapu. Kok, berubah? Apa memang dari tadi aku pegang pel-pelan, ya? Astagfirullahal’azim, fix, ini semue Fikri punya pasal!

(*)

Related chapters

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   6. Pasar Beringharjo

    "Dek, berangkatnya langsung sama Mas aja." Suara Mas Faisal memulai obrolan saat kami sedang sarapan."Tumben, Le? Mau ke mana?” Bude menyahut dengan pertanyaan."Ada janji sama Eri, Buk. Sekalian order barang toko yang kebetulan habis.""Oh, yo wes ngati-ati. Adimu dipastikke sik tekan toko. Direwangi toto-toto utowo resik-resik sik, terus kowe gek mangkat. Ra kebiasaan ditinggal neng ngarep lawang."(Oh, ya sudah hati-hati. Adikmu dipastikan dulu sampai toko. Dibantuin menata barang atau bersih-bersih dulu, terus kamu berangkat. Jangan kebiasaan ditinggal di depan pintu.)Aku tersenyum. Mas Faisal memang sering langsung bablas begitu aku sampai di depan tokonya, sedangkan bude selalu mewanti-wanti agar putranya itu membantuku dulu baru lanjut dengan urusannya. Bude salah satu alasanku betah jauh dari orang tua sendiri. Mas Faisal hanya nyengir. "Nggih, Buk. Nanti tak bantuin Faza sebentar terus langsung ke Beringharjo.""Mas Isal mau ke Pasar Beringharjo?” tanyaku setelah menelan

    Last Updated : 2024-02-13
  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   7. Virus Merah Jambu

    Setelah resmi berkenalan dengan Fikri di stan pasar malam waktu itu, kami jadi lebih akrab. Perlengkapan fotokopi yang mulai menipis lebih sering Mas Faisal order lewat dirinya. Otomatis, dia yang mengantarnya ke toko.Nomor ponsel yang kala itu disimpan oleh Kirana, tiba-tiba saja terpampang di layar membentuk sebuah panggilan masuk lengkap dengan namanya, Danial Fikri, begitu Kirana menamai nomornya di ponselku. Iya, pas insiden buku terbalik waktu itu. Ada debar tak biasa sebelum aku mengangkat panggilannya.'Assalamualaikum,' sapanya dari ujung sana."Wa'alaikumus-salam." Aku menjawab dengan menekan rasa agar tak meledak sebagai bentuk ekspresi bahagia.'Faza, ini Fikri.'Aku memejam dan menggigit bibir bawah. “Iya,” jawabku singkat.'Pesanan Mas Faisal kayaknya agak sorean, ya, aku antar. Sekalian otewe pulang.'

    Last Updated : 2024-02-14
  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   8. Penolong Dadakan

    “Eh, maaf, maaf. Aku ngagetin, ya?” tanya Fikri dengan mimik wajah bersalah.Suara itu ...? Aku mengucek mata sebentar. Ya Allah, ini nyata? Kukira aku masih berada di dunia khayalan.“Halo ... Faza ....” Sebelah tangan Fikri melambai-lambai ke udara.Aku mengerjap dan segera berdiri dari kursi. “W-waalaikumsalam,” jawabku. Ingat jika tadi Fikri sempat mengucap kalimat salam, tetapi aku malah membalas dengan kalimat istigfar. Hadeeeh.“Mas Fikri sejak kapan berdiri di situ?” tanyaku.“Sejak kamu senyum-senyum,” jawabnya jujur.Elah ... jujur amat, Bang. Untung enggak ada Kirana atau Mas Faisal. Bisa sempurna sampai ubun-ubun rasa maluku kalau ada mereka.Fikri segera mengeluarkan kantung plastik yang isinya dua bungkus tinta dengan merek ternama yang biasa dipakai toko fotokopi.

    Last Updated : 2024-02-15
  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   9. Selangkah Lebih Dekat

    Fikri menoleh ke arah tanganku yang dengan gerakan cepat langsung meraih ponsel. Aku pun langsung memunggunginya dan menjawab panggilan Mas Faisal.“Ya, halo?”'Kamu kenapa, Dek? Kok suaramu ngos-ngosan gitu?'Ini orang ngapain nelepon segala, sih? Aku menggerutu saat sadar kalau gara-gara Mas Faisal aku hampir ketahuan. Mau bilang apa kalau Fikri sampai tahu aku mencuri fotonya? Kenal juga baru beberapa hari.“A-anu. Habis–“'Astagfirullah, Dek. Jangan aneh-aneh!' potong Mas Faisal cepat.“Hah?” Aku melongo dengan masih mengatur ritme detak jantung. “Aneh-aneh apa maksudnya?”'Fikri ada di toko, kan? Kamu lagi sama dia, kan?'“Iya, emang kenapa?”'Kalian–'“Aww!” Fikri memekik.

    Last Updated : 2024-02-16
  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   10. Jodoh Siapa?

    Beberapa hari berlalu dan tibalah awal bulan. Moment yang membuat semringah, sebab dinantikan mayoritas para pemburu rupiah, tak terkecuali aku. Namun, berbeda dengan Mas Faisal yang kali ini harus menambah pengeluaran demi acc permintaan maaf.“Dek, mbok ojo aji mumpung. Opo-opo dilebokke troli njutan,” ucapnya lemah sembari mendorong troli di sebelahku.(Dek, jangan aji mumpung, dong. Apa-apa malah dimasukkan troli.)“Tenang aja, Mas. Kamu enggak akan jatuh miskin hanya karna ngasih bonus sama adikmu ini,” jawabku santai. “Lagian semua ini juga atas kesediaanmu, kan?”Mas Faisal hanya mengembuskan napas lemah dengan bahu merosot. Aku terkekeh dan terus memasukkan beberapa keperluanku.Gaji yang lebih suka Mas Faisal sebut uang saku untukku juga sudah berbaris rapi di dompet. Alhamdulillah. Lumayan buat beli pepes otak-otak favorit, sisa

    Last Updated : 2024-02-17
  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   11. Hamil?

    Berkat nasi kucing dan kawan-kawannya, aku dan Fikri jadi semakin dekat walau hanya sebatas SMS-an. Aku masih merahasiakan keakraban kami ini dari Mas Faisal dan Kirana. Bukan tak mau berbagi cerita, hanya berusaha menyembunyikan gejolak dan bersikap biasa saja. Kalau Fikri sendiri, aku yakin dia tak akan cerita ke siapa pun soal kedekatan kami.Ucapan selamat pagi, sudah makan apa belum, jangan lupa salat, dan semoga mimpi indah seakan menjadi lagu wajib bagi jiwa-jiwa muda yang tengah terserang kasmaran. Entah ini hanya berlaku untukku saja atau sama saja berlaku untuk Fikri juga. Aku tersenyum dan berharap Fikri pun merasakan hal yang serupa denganku."Eh, Lu serius?"Entah dengan siapa Kirana berbincang-bincang di seberang sana. Saat ini dia sedang menemaniku di toko."Terus, terus?"Mesin fotokopi terus beroperasi. Aku masih sibuk dengan beberapa garapan dengan sesekali menc

    Last Updated : 2024-02-18
  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   12. Tidak Fokus

    Kirana tak langsung menjawab. Gadis hitam manis itu menatapku cukup lama dengan sorot yang sulit diartikan.“Sebenarnya ... Wulan masih sayang banget sama Fikri, Za.”Entah kenapa seperti ada sebuah tangan yang seakan-akan meremas gumpalan daging dalam dada ini. Walaupun aku tak tahu ke mana rasa ini akan berlabuh, tetapi untuk saat ini nama Fikri memang mulai mengacaukan hari-hariku.“Fikri itu salah satu lelaki setia. Tapi, sekali dia dibuat patah, dia akan pamit undur diri dan tak akan mau kembali lagi, kecuali hanya sebagai teman.” Kirana menjeda kalimatnya dengan menghela napas panjang.“Katanya, usia kandungan Wulan sudah ketahuan hampir dua bulan. Sekitar tiga bulan yang lalu Wulan minta izin ke orang tuanya untuk liburan sama beberapa temannya ke Dieng. Terus, pas pulang keadaannya sedikit kacau dan dia pulang diantar sama ... Fikri.”A

    Last Updated : 2024-02-19
  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   13. Bad Mood

    (Pov Faza)"Aww!”“Kenapa, Dek?”Aku meringis saat ujung biji staples menusuk ujung jari telunjuk sebelah kiri.“Ketusuk biji staples, Mas.”“Dalem enggak?”“Enggak, kok. Tadi aku mau buang biar enggak kena kaki. Eh, malah kena ujung jari.”“Makanya pelan-pelan.”“Enggak pa-pa, Mas. Cuma kecil doang.”Aku memencet-mencet jari yang terlihat merah, tetapi tak sampai mengeluarkan darah. Aneh. Padahal tadi terasa seperti tertusuk.“Udah semua, kan?”“Udah, Mas.”“Yok, pulang!”Aku mengangguk dan mengekori Mas Faisal menuju motornya. Di tengah perjalanan, ponselku bergetar. Kirana melakukan panggilan. Tumben

    Last Updated : 2024-02-20

Latest chapter

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   31. Dilamar

    Setiap wanita mempunyai keinginan yang sama. Dicintai dan mencintai pria yang diinginkannya. Cintanya direspons baik dan tentu jangan sampai bertepuk sebelah tangan. Begitu pun dengan lelaki, tak ada pengecualian. Saat jatuh cinta, keduanya sama-sama ingin cintanya dibalas dan terbalas.Faza tersenyum memandangi sepasang benda mungil nan cantik yang terkurung dalam kotak cincin boks mika kristal. Fikri memintanya untuk menyimpan cincin mereka. Untuk hari baik, ia masih membicarakan dengan keluarga. Begitu pun dengan Faza. Fikri meminta kekasihnya itu untuk memberitahu niat baiknya pada kedua orang tuanya di Jawa Timur.Lagi-lagi senyumnya melengkung indah. Faza teringat akan keping demi keping potongan memori dari awal melihat senyum Fikri, berkenalan, jalan bersama, saling mengungkapkan rasa hingga kini keduanya akan berkomitmen dalam sebuah hubungan yang lebih serius.Tak berbeda dengan pasangan lain pada umumnya, Fikri dan Faza pun kerap terlibat pertengkaran kecil sampai berbeda p

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   30. PoV Faisal (2)

    Saat ini, aku sedang berada dalam keramaian pasar malam. Tentunya aku sudah tahu kalau Fikri juga ada di sini. Dia sedang join dengan salah satu temannya membuka lapak jagung bakar. Fikri salah satu anak muda pekerja keras. Tidak hanya aku dan Eri, bapak dan ibuku pun menyukai lelaki itu. Sengaja kubujuk Faza agar mau ikut ke pasar malam. Selain agar tidak menjadi nyamuk di antara bapak dan ibuku, ada sedikit rencana yang harus aku pastikan sendiri. Tidak mau hanya mengira-ngira atau menerka-nerka saja.Tak lama setelah menemukan lapak milik Fikri dan temannya itu, aku pun langsung memesan dua jagung bakar, untukku dan Faza. Akhirnya, mereka resmi berkenalan sesaat setelah aku goda. Ngobrol ngalor-ngidul sampai akhirnya muncul sedikit ide pura-pura ada telepon masuk dari Eri. Aku pun sedikit tergesa agar terlihat meyakinkan dalam mendalami peran. Tak jauh dari keduanya, aku mengamati gerak-gerik Fikri dan Faza. Mereka tampak terlibat sebuah obrolan walau masih bisa dibilang wajar.Se

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   29. PoV Faisal

    Namaku Faisal Abdurrahman. Anak pertama sekaligus terpaksa harus jadi yang terakhir. Anak semata wayang ibu dan bapak, Ibu Endang dan Pak Abdul. Kenapa terpaksa menjadi yang terakhir? Karena sebenarnya aku adalah calon seorang kakak dari dua adik kembarku.Dulu, saat usiaku delapan tahun, ibu pernah dinyatakan positif hamil lagi.“Isal mau punya adik?”“Iya, Le. Kamu seneng?”Aku mengangguk antusias. Tentu saja aku bahagia karena rumah kami akan bertambah penghuni. Percayalah, jadi anak tunggal itu enggak enak. Enggak ada ribut-ributnya di rumah.Semua yang terbaik selalu bapak usahakan untuk ibu dan juga calon adikku. Namun, entah di usia kandungan berapa minggu, ibu sering mengalami kram perut. Bapak selalu mengingatkan agar ibu jangan terlalu capek. Sebab, saat itu mereka berdua sedang merintis usaha oleh-oleh khas Kota Budaya ini.Waktu terus merangkak, tetapi kandungan ibuku semakin lemah. Sekali lagi, aku tak paham dengan keadaannya saat itu. Yang aku tahu dari cerita bapak, jan

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   28. Musyawarah Keluarga

    Sore beranjak walau pikiran Fikri masih belum menemukan jawaban. Ia pun berusaha mengenyahkan segala gelisah yang mungkin akan menjadi ujiannya sebelum ia dan Faza akan lanjut ke tahap selanjutnya. Karena, konon, ujian orang mau menikah ada-ada saja.Tak mau terlihat murung karena pikirannya sendiri, usai menunaikan salat Asar, Faza dan Fikri segera menuju pantai ikonik yang selalu lekat dengan nama Yogyakarta itu. Pinggiran pantai terlihat begitu cantik dengan pemandangan payung warna-warni yang berbaris rapi. Dilengkapi hilir mudik kendaraan mobil jeep dan delman yang berlalu lalang.Faza langsung membuka alas kakinya dan berlari menuju bibir pantai. Ombak saling berkejaran, menyapu kastil-kastil pasir buatan ala kontraktor dadakan. Mulai dari anak-anak, remaja, bahkan para orang dewasa pun ikut bermain pasir dan mendirikan bangunan liliput. Setelahnya mereka akan berteriak girang dan juga kesal saat usahanya membangun istana pasir musnah

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   27. Parangtritis Punya Cerita

    Bukan hanya Faza, tapi salah seorang pelayan toko perhiasan yang sedari tadi memandang keduanya juga ikut menahan napas dan tak bisa berkata-kata. Menyaksikan seorang pria yang sepertinya sedang memberi sebuah kejutan untuk wanitanya.“L-lamar aku?”“Hm. Kamu mau, kan?”Wajah Faza sedikit merona. “Kapan Mas mau lamar aku?”Bukan apa-apa. Bahkan Fikri tak pernah membicarakan hal ini sebelumnya. Faza juga belum pernah memberitahu kedua orang tuanya kalau ia terlibat urusan hati dengan salah satu pria di Yogyakarta.“Nanti kita obrolin lagi, ya. Sekarang, pilih cincinnya aja dulu.”Gadis berhijab itu pun mengangguk dan mengikuti arahan Fikri untuk memilih cincin terlebih dahulu. Faza kembali tersipu saat sadar jika sedari tadi seorang pelayan tampak memerhatikan keduanya, bahkan ikut tersenyum lebar lebih dari sekadar menyambut pelanggan.“Silakan, Mbak, Mas. Mau cari cincin yang model seperti apa?”Faza menunduk. Mulai memerhatikan perhiasan berbentuk bulat dengan berbagai model. Mungki

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   26. Kejutan

    “Hai, Mas! Apa kabar?” tanya si gadis dengan nada ceria.Usia Disty memang lebih muda dari Fikri. Dia biasa memanggil sang pria dengan tambahan mas di depan nama. Mungkin tadi refleks hanya ingin memastikan.Fikri tersenyum. “Aku baik, Dis. Kamu apa kabar?”“Aku baik juga, Mas.”Fikri mengangguk.“Mas Fikri dari tokonya Mas Eri, ya? Mau pulang?”“Iya. Kamu lagi apa di sini?”“Aku bantuin ibunya Mbak Sasa jualan, Mas.”Sasa adalah teman sekelas Fikri saat masih berseragam putih abu-abu. Dia dan Disty memang saudara sepupu. Ibunya Sasa memiliki sebuah lapak oleh-oleh khas Jogja di emperan Malioboro.“Oh, Sasa-nya ke mana emang?”“Dia kuliah, Mas. Bentar lagi juga balik. Makanya aku mau pula

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   25. Pamitan

    Fikri tersenyum bahagia dan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah. Akhirnya setelah menunggu lamaran pekerjaan dengan gaji yang lebih lumayan, ia pun resmi di terima di sebuah perusahaan minuman kesehatan.Senyum sang ibu yang pertama kali berkelebat dalam angannya. Ia sudah bukan anak-anak lagi. Tentu ingin ikut membahagiakan wanita nomor satunya itu dengan tidak lagi meminta biaya untuk hidupnya. Bahkan, Fikri ingin membantu keuangan keluarga.Adik perempuannya masih sangat butuh biaya walau mereka berbeda ayah. Namun, air susu yang mengalir dalam tubuh keduanya sama. Fikri pun bersalaman dengan sang atasan dan keluar dari kantor cabang tersebut. Besok adalah hari pertama dalam menjalani pekerjaan barunya. Segera ia mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan.[Sayang, aku diterima di pekerjaan baru.]Semangatnya semakin berlipat dan tentu saja Faza adalah orang pertama yang ia hubung

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   24. Keseriusan Fikri

    "Serius?! Kalian udah jadian?”“Ssttt ... suaramu kecilin dikit, Kirana Cempaka! Enggak perlu di-loudspeaker!” gerutu Faza sambil menarik tangan teman baiknya itu.Tentu saja Kirana terlihat kaget. Hampir satu bulan ia tak pulang ke rumah karena sibuk kuliah. Saling berkabar lewat pesan dengan Faza pun jarang ia lakukan. Dan kini, kabar itu ia dengar langsung dari bibir Faza. Kalau ia dengar langsung dari orang lain, pasti Kirana langsung mengamuk.“Kamu jahat, ih! Baru ngomong sama aku!” Kirana pura-pura merajuk.“Kamu ‘kan baru pulang. Kemarin-kemarin juga katamu sibuk banget di kampus. Yaudah aku pending aja kasih tahu ke kamu, Ran.”“Udah berapa lama?”“Apanya?”“Jadiannya ....”“Baru dua minggu,” jawab Faza dengan tatapan mengarah pada ponsel.Kirana sedikit melirik saat kedua sudut bibir Faza tertarik ke samping. Namun, dengan cepat gadis berkerudung itu menyembunyikan ponselnya.“Iya, deh, iya ... yang sekarang udah punya pacar. Bakal dilupain, deh, aku.”“Ish. Enggaklah, Ran.

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   23. Official

    “Mm ... Buk. Kalau aku nikah muda boleh enggak?”Bu Narmi yang sedang mengolah wajik salak di atas bara tungku menoleh ke arah sang putra. Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu kembali fokus ke wajan ukuran sedang di hadapannya.“Wis siap po, Le?”Fikri malah cengengesan. “Siap aja kalau ada yang mau diajak serius, Buk.”“Emang kamu ada pacar?”Kali ini Fikri mengusap tengkuknya. Ia pun tak paham kenapa bisa berbicara soal nikah muda dengan wanita yang melahirkannya itu. Padahal ungkapan cintanya pada Faza saja belum ditanggapi oleh gadis itu. Namun, pikiran Fikri sudah lari ke pelaminan. Ia malah geli sendiri dengan pikirannya.“Ditakoni kok malah guya-guyu i, lho ....”(Ditanya kok malah senyum-senyum.)“Dia belum jawab, sih, Buk. Tapi, kalau dia mau diseriusin, Fikri juga enggak akan main-main.”Ucapan anak sulung Bu Narmi membuat hati wanita itu menghangat. Namun, ia juga ragu apa ucapan Fikri benar-benar dari hati atau memang hanya gejolak kawula muda saja.“Anak mana, to, Le?”“

DMCA.com Protection Status