"Dek, berangkatnya langsung sama Mas aja." Suara Mas Faisal memulai obrolan saat kami sedang sarapan."Tumben, Le? Mau ke mana?” Bude menyahut dengan pertanyaan."Ada janji sama Eri, Buk. Sekalian order barang toko yang kebetulan habis.""Oh, yo wes ngati-ati. Adimu dipastikke sik tekan toko. Direwangi toto-toto utowo resik-resik sik, terus kowe gek mangkat. Ra kebiasaan ditinggal neng ngarep lawang."(Oh, ya sudah hati-hati. Adikmu dipastikan dulu sampai toko. Dibantuin menata barang atau bersih-bersih dulu, terus kamu berangkat. Jangan kebiasaan ditinggal di depan pintu.)Aku tersenyum. Mas Faisal memang sering langsung bablas begitu aku sampai di depan tokonya, sedangkan bude selalu mewanti-wanti agar putranya itu membantuku dulu baru lanjut dengan urusannya. Bude salah satu alasanku betah jauh dari orang tua sendiri. Mas Faisal hanya nyengir. "Nggih, Buk. Nanti tak bantuin Faza sebentar terus langsung ke Beringharjo.""Mas Isal mau ke Pasar Beringharjo?” tanyaku setelah menelan
Setelah resmi berkenalan dengan Fikri di stan pasar malam waktu itu, kami jadi lebih akrab. Perlengkapan fotokopi yang mulai menipis lebih sering Mas Faisal order lewat dirinya. Otomatis, dia yang mengantarnya ke toko.Nomor ponsel yang kala itu disimpan oleh Kirana, tiba-tiba saja terpampang di layar membentuk sebuah panggilan masuk lengkap dengan namanya, Danial Fikri, begitu Kirana menamai nomornya di ponselku. Iya, pas insiden buku terbalik waktu itu. Ada debar tak biasa sebelum aku mengangkat panggilannya.'Assalamualaikum,' sapanya dari ujung sana."Wa'alaikumus-salam." Aku menjawab dengan menekan rasa agar tak meledak sebagai bentuk ekspresi bahagia.'Faza, ini Fikri.'Aku memejam dan menggigit bibir bawah. “Iya,” jawabku singkat.'Pesanan Mas Faisal kayaknya agak sorean, ya, aku antar. Sekalian otewe pulang.'
“Eh, maaf, maaf. Aku ngagetin, ya?” tanya Fikri dengan mimik wajah bersalah.Suara itu ...? Aku mengucek mata sebentar. Ya Allah, ini nyata? Kukira aku masih berada di dunia khayalan.“Halo ... Faza ....” Sebelah tangan Fikri melambai-lambai ke udara.Aku mengerjap dan segera berdiri dari kursi. “W-waalaikumsalam,” jawabku. Ingat jika tadi Fikri sempat mengucap kalimat salam, tetapi aku malah membalas dengan kalimat istigfar. Hadeeeh.“Mas Fikri sejak kapan berdiri di situ?” tanyaku.“Sejak kamu senyum-senyum,” jawabnya jujur.Elah ... jujur amat, Bang. Untung enggak ada Kirana atau Mas Faisal. Bisa sempurna sampai ubun-ubun rasa maluku kalau ada mereka.Fikri segera mengeluarkan kantung plastik yang isinya dua bungkus tinta dengan merek ternama yang biasa dipakai toko fotokopi.
Fikri menoleh ke arah tanganku yang dengan gerakan cepat langsung meraih ponsel. Aku pun langsung memunggunginya dan menjawab panggilan Mas Faisal.“Ya, halo?”'Kamu kenapa, Dek? Kok suaramu ngos-ngosan gitu?'Ini orang ngapain nelepon segala, sih? Aku menggerutu saat sadar kalau gara-gara Mas Faisal aku hampir ketahuan. Mau bilang apa kalau Fikri sampai tahu aku mencuri fotonya? Kenal juga baru beberapa hari.“A-anu. Habis–“'Astagfirullah, Dek. Jangan aneh-aneh!' potong Mas Faisal cepat.“Hah?” Aku melongo dengan masih mengatur ritme detak jantung. “Aneh-aneh apa maksudnya?”'Fikri ada di toko, kan? Kamu lagi sama dia, kan?'“Iya, emang kenapa?”'Kalian–'“Aww!” Fikri memekik.
Beberapa hari berlalu dan tibalah awal bulan. Moment yang membuat semringah, sebab dinantikan mayoritas para pemburu rupiah, tak terkecuali aku. Namun, berbeda dengan Mas Faisal yang kali ini harus menambah pengeluaran demi acc permintaan maaf.“Dek, mbok ojo aji mumpung. Opo-opo dilebokke troli njutan,” ucapnya lemah sembari mendorong troli di sebelahku.(Dek, jangan aji mumpung, dong. Apa-apa malah dimasukkan troli.)“Tenang aja, Mas. Kamu enggak akan jatuh miskin hanya karna ngasih bonus sama adikmu ini,” jawabku santai. “Lagian semua ini juga atas kesediaanmu, kan?”Mas Faisal hanya mengembuskan napas lemah dengan bahu merosot. Aku terkekeh dan terus memasukkan beberapa keperluanku.Gaji yang lebih suka Mas Faisal sebut uang saku untukku juga sudah berbaris rapi di dompet. Alhamdulillah. Lumayan buat beli pepes otak-otak favorit, sisa
Berkat nasi kucing dan kawan-kawannya, aku dan Fikri jadi semakin dekat walau hanya sebatas SMS-an. Aku masih merahasiakan keakraban kami ini dari Mas Faisal dan Kirana. Bukan tak mau berbagi cerita, hanya berusaha menyembunyikan gejolak dan bersikap biasa saja. Kalau Fikri sendiri, aku yakin dia tak akan cerita ke siapa pun soal kedekatan kami.Ucapan selamat pagi, sudah makan apa belum, jangan lupa salat, dan semoga mimpi indah seakan menjadi lagu wajib bagi jiwa-jiwa muda yang tengah terserang kasmaran. Entah ini hanya berlaku untukku saja atau sama saja berlaku untuk Fikri juga. Aku tersenyum dan berharap Fikri pun merasakan hal yang serupa denganku."Eh, Lu serius?"Entah dengan siapa Kirana berbincang-bincang di seberang sana. Saat ini dia sedang menemaniku di toko."Terus, terus?"Mesin fotokopi terus beroperasi. Aku masih sibuk dengan beberapa garapan dengan sesekali menc
Kirana tak langsung menjawab. Gadis hitam manis itu menatapku cukup lama dengan sorot yang sulit diartikan.“Sebenarnya ... Wulan masih sayang banget sama Fikri, Za.”Entah kenapa seperti ada sebuah tangan yang seakan-akan meremas gumpalan daging dalam dada ini. Walaupun aku tak tahu ke mana rasa ini akan berlabuh, tetapi untuk saat ini nama Fikri memang mulai mengacaukan hari-hariku.“Fikri itu salah satu lelaki setia. Tapi, sekali dia dibuat patah, dia akan pamit undur diri dan tak akan mau kembali lagi, kecuali hanya sebagai teman.” Kirana menjeda kalimatnya dengan menghela napas panjang.“Katanya, usia kandungan Wulan sudah ketahuan hampir dua bulan. Sekitar tiga bulan yang lalu Wulan minta izin ke orang tuanya untuk liburan sama beberapa temannya ke Dieng. Terus, pas pulang keadaannya sedikit kacau dan dia pulang diantar sama ... Fikri.”A
(Pov Faza)"Aww!”“Kenapa, Dek?”Aku meringis saat ujung biji staples menusuk ujung jari telunjuk sebelah kiri.“Ketusuk biji staples, Mas.”“Dalem enggak?”“Enggak, kok. Tadi aku mau buang biar enggak kena kaki. Eh, malah kena ujung jari.”“Makanya pelan-pelan.”“Enggak pa-pa, Mas. Cuma kecil doang.”Aku memencet-mencet jari yang terlihat merah, tetapi tak sampai mengeluarkan darah. Aneh. Padahal tadi terasa seperti tertusuk.“Udah semua, kan?”“Udah, Mas.”“Yok, pulang!”Aku mengangguk dan mengekori Mas Faisal menuju motornya. Di tengah perjalanan, ponselku bergetar. Kirana melakukan panggilan. Tumben