Aku menoleh. “Eh? Kenapa, Mas?”
“Kamu itu yang kenapa? Kok, senyum-senyum? “Oh, enggak, kok.” Sebisa mungkin aku menutupi rasa gerogi agar tak tertangkap oleh Mas Faisal. “Tadi Mas Isal bilang mau pesen ke tempat Mas Eri biar sekalian dibawain Fikri?” Mas Faisal mengangguk. Isal adalah nama akrab panggilannya. "Fikri siapa, Mas?" tanyaku. Takut salah orang. "Itu, lho, yang sering makan di warungnya si Kiran. Dia bantu-bantu di toko temen Mas yang biasa Mas order barang. Yang kapan hari ke sini ngobrol rame-rame itu, lho. Bocahe nganggo pit motor Thunder. Wes rodo suwi, sih." Tidak salah lagi, itu Fikri si pembuat onar hati. Huhu. "Eh, tapi ... bukannya dia lagi cari kerja, ya?" “Siapa?” “Ya si Fikri itu, Mas.” Mas Faisal malah mengerutkan kening. "Kata siapa? Emang kamu tahu orangnya yang mana?” Aku mengerjap. "E-itu, tadi ada yang fotokopi beberapa berkas di sini. Iya, pake motor cowok, namanya Fikri. Dia sempet ngobrol sama Kirana juga, lagi mau cari kerja katanya,” jelasku setenang mungkin. Namun, si owner toko ini masih menatapku lekat. Seolah-olah tak puas dengan jawabanku barusan.“Enggak sengaja denger, Mas," tambahku. "Alah, tenane?" "Lah piye, to?" "Enggak sengaja denger, tapi jelas banget infonya." "Lah, mereka berdua ngobrolnya di sini. Yo aku krungu lah, Mas." Mas Faisal malah tersenyum miring dengan mata sedikit memicing. "Ish, malah senyum-senyum enggak jelas!” sungutku sedikit jengkel, takut ketahuan. Eh! "Mukanya biasa aja kali, Dek. Kenapa berubah warna gitu?" Aku memegang kedua pipi. Dengan cepat mencari kaca bedak di dalam tas. Lah? Kenapa kayak dilumuri blush on begini ini pipi? Pandanganku langsung beralih menatap Mas Faisal. Namun, yang ditatap malah menyemburkan tawa. "Owalah, cah ... cah, Mas tahu sekarang. Berarti yang dari tadi dibahas berdua sama Kirana itu si Fikri?" Mas Faisal bertanya dengan menaik-turunkan alis hitamnya. Aku cuma mengedikkan bahu. Pura-pura cuek sambil menatap layar ponsel. Padahal lagi menyembunyikan raut wajah agar tidak kelihatan gerogi. "Cieee ...." "Mas Isal, ih!" Aku pura-pura merajuk walau hati terasa bahagia. Padahal cuma dicie-ciein doang. Astaga .... Mas Faisal berdehem dan duduk di kursi. "Si Fikri itu adik kelas Mas waktu SMK, sama kayak si Kiran. Di luar sekolah, dia juga temen Mas sholawatan ke sana-kemari, sesama pecinta Sholawat Habib Syaikh." "Oh, ya?" "Cie, mulai kepo, cieee ...." Aku melempar bolpoin ke arah Mas Faisal. "Niat cerita apa godain, sih?" Mas Faisal lagi-lagi tergelak sembari mendekatkan kursinya. Duduk menghadapku di seberang meja kecil di samping komputer. “Sejak kapan naksir si Fikri? Hm, hm?” Lagi, alis hitamnya naik turun. “Siapa yang naksir?” “Kamulah, masa aku?” “Ish, enggak!” “Enggak salah?” “Mas Isal apaan, sih ...? Aku bilangin Pakde entar!” Dia mengusap-usap pucuk kepalaku yang tertutup kerudung. "Di lapangan Denggung ada pasar malem, lho. Mau ke sana, enggak?" “Enggak!” “Tumben? Biasanya paling semangat kalau ada pasar malam.” “Mas Isal mau nyuap aku, kan? Biar enggak aku bilangin Pakde?” "Idih, ngapain pake nyuap-nyuap segala? Allah Subhanahu wa ta'ala melaknat penyuap dan yang disuap, hadist riwayat Imam Ahmad," terangnya mantap. Lelaki agamis itu memang sering melontarkan hadist. “Iyelah tuuu.” "Mau ikut, enggak? Ibuk sama Bapak ntar malem mau ke sana. Mas juga mau ikutan, kamu di rumah sendirian berani?" lanjutnya. "Tumben Pakde sama Bude mau ke pasar malem?" Yang ditanya cuma mengedikkan bahu. "Mungkin mau mengenang masa pacaran." "Mas belum ada pacar lagi emang?" "Males, ah! Takut ketikung Alphard rentalan." Kini ganti aku yang menyemburkan tawa mendengar curcol-nya. "Tikung baliklah, Mas," ujarku seraya membenahi ujung kerudung yang tertiup kipas angin. "Tapi, bales nikungnya yang keren." "Nikung yang keren itu kayak gimana, Dek?" Alis tebalnya bertaut. "Tikung di sepertiga malam." *** Aku yang awalnya malas ikut ke pasar malam, jadi terpaksa mengiakan ajakan Bude. Sampai lokasi, suasana cukup ramai. Pakde dan Bude malah seperti ABG lagi pacaran. Gandengan terus, Gaes. Lengan mereka saling bertaut. Seolah-olah sengaja tidak mau dilepas dan melepaskan. Huh! Hareudang aing, mah! Mas Faisal berjalan di sebelahku. Di belakang kedua orang tuanya. Kami sudah seperti pengawal saja. "Le, Ibuk ro Bapak arep nge-ronde. Kamu sama adikmu muter-muter dulu ndak pa-pa. Awas lho, adik'e ora ditinggal," pesan bude saat berhenti di depan stand penjual wedang ronde. "Sendiko dawuh, Buk'e." Bude tersenyum dan langsung memukul pelan lengan anak semata wayangnya itu tatkala Mas Faisal menjawab sembari sedikit membungkukkan punggung. "Nduk, nek arep njajan jaluk'o Mas-mu, yo?" cetus pakde. (Nduk, kalau mau beli jajan minta sama Mas-mu, ya) "Faza ada uang kok, Pakde, kalo cuma buat jajan bakso tusuk." Pakde malah tertawa mendengar jawabanku. "Yowes, terserah kamu. Le, dijogo adine!" pungkas paman the best-ku itu. "Siap, Pak!" Aku dan Mas Faisal pergi berkeliling meninggalkan lansia yang masih tampak mesra itu. Pandanganku menyapu sekeliling. Suasana tempat hiburan ini semakin ramai. Wahana permainan didominasi ibu-ibu dan batita, bahkan balitanya. Indera penciumanku mencium berbagai macam wangi jajanan khas pasar malam. Sosis bakar, pepes otak-otak, crepes, martabak, terang bulan, arum manis, kerak telur, donat, telur gulung, pukis, jagung bakar, dan .... eh, sebentar! Pandanganku menangkap sosok yang tidak asing di depan sana. Ia sedang mengipasi deretan jagung di atas bara arang. Dan ... tentu saja mataku membulat saat ia melambaikan tangannya ke arahku seolah-olah mengundang. Saat tangan refleks ingin membalas lambaian itu, Mas Faisal sudah mendahului. 'Owalah, nyopo Mas-ku to? Hais!' Aku membatin. "Dek, ayo ke sana!" Mas Faisal menarik tanganku membelah kerumunan manusia. "Wah, wah, wah, rajin bener anak muda satu ini," celetuk Mas Faisal saat sampai di satu lapak. "Bantu temen ini, Mas," sahutnya semringah. 'Allohu Akbar, itu senyum apa gulali, sih? Manis bener. Eh!' "Loh? Mbak ini bukannya yang jaga toko fotokopimu, ya, Mas?" Lelaki berkaus hijau lumut itu lanjut bertanya sembari beralih menatapku. "Iya, ini adikku, adik sepupu,” sahut Mas Faisal sembari melingkarkan satu tangannya ke bahuku. “Jauh ... dari Jawa Timur.” "Oh, gitu,” balasnya sembari mengangguk kecil. “Tadinya aku kira temennya si Kirana, Mas. Tapi, kok, belum pernah lihat sebelumnya. Aku sempat mikir gitu, sih." "Gitu aja sampe dipikirin. Langsung diajak kenalan lak beres wingi-wingi, to? Sing sat-set ngunu lho, Fik! Gerak cepat. Jadi belum kenalan, nih?” Aku mencium gelagat resek Mas Faisal lewat pertanyaan terselubung dengan alisnya yang naik-turun saat melirikku. "Dereng je, Mas," sahutnya santun dengan seulas senyum. (Belum, Mas) Mas Faisal menyenggol lenganku pelan. "Apa, sih?" ujarku lirih hampir tak terdengar.(*)Fikri melepas sarung tangan plastik yang dipakainya."Fikri, Mbak." Tangannya terulur ke depan."Faza." Kuangkat tangan menyambut uluran tangannya. "Panggil Faza aja, Mas. Enggak usah pake tambahan 'mbak', usiaku di bawah Kirana satu tahun." Fikri mengangguk dan tangan kami langsung saling melepas. "Ok, Faza." Ia berucap kembali dengan tambahan senyum.'Ya ampun, senyum lagi. Diabetes nih, aku lama-lama.'"Aku buatin dua, ya, Fik!" sela Mas Faisal."Siap, Mas! Duduk dulu, ya. Ini masih ada pesanan beberapa lagi.”Suara Fikri mendominasi aktivitas jantungku yang mulai dag dig dug melulu .... “Oke, siap. Ditungguin, kok,” sahut Mas Faisal.Aku dan Mas Faisal duduk lesehan di atas tikar yang disediakan untuk penikmat jagung bakar di lapak teman Mas Fikri ini. Ia hanya membantu, katanya. Tiga gadis remaja kisaran usia anak SMA yang kuduga pemesan jagung bakar terlihat saling berbisik-bisik dan sesekali tersenyum menatap Fikri. Ada yang panas, tapi bukan debat capres dan cawapres.“Ish,
"Dek, berangkatnya langsung sama Mas aja." Suara Mas Faisal memulai obrolan saat kami sedang sarapan."Tumben, Le? Mau ke mana?” Bude menyahut dengan pertanyaan."Ada janji sama Eri, Buk. Sekalian order barang toko yang kebetulan habis.""Oh, yo wes ngati-ati. Adimu dipastikke sik tekan toko. Direwangi toto-toto utowo resik-resik sik, terus kowe gek mangkat. Ra kebiasaan ditinggal neng ngarep lawang."(Oh, ya sudah hati-hati. Adikmu dipastikan dulu sampai toko. Dibantuin menata barang atau bersih-bersih dulu, terus kamu berangkat. Jangan kebiasaan ditinggal di depan pintu.)Aku tersenyum. Mas Faisal memang sering langsung bablas begitu aku sampai di depan tokonya, sedangkan bude selalu mewanti-wanti agar putranya itu membantuku dulu baru lanjut dengan urusannya. Bude salah satu alasanku betah jauh dari orang tua sendiri. Mas Faisal hanya nyengir. "Nggih, Buk. Nanti tak bantuin Faza sebentar terus langsung ke Beringharjo.""Mas Isal mau ke Pasar Beringharjo?” tanyaku setelah menelan
Setelah resmi berkenalan dengan Fikri di stan pasar malam waktu itu, kami jadi lebih akrab. Perlengkapan fotokopi yang mulai menipis lebih sering Mas Faisal order lewat dirinya. Otomatis, dia yang mengantarnya ke toko.Nomor ponsel yang kala itu disimpan oleh Kirana, tiba-tiba saja terpampang di layar membentuk sebuah panggilan masuk lengkap dengan namanya, Danial Fikri, begitu Kirana menamai nomornya di ponselku. Iya, pas insiden buku terbalik waktu itu. Ada debar tak biasa sebelum aku mengangkat panggilannya.'Assalamualaikum,' sapanya dari ujung sana."Wa'alaikumus-salam." Aku menjawab dengan menekan rasa agar tak meledak sebagai bentuk ekspresi bahagia.'Faza, ini Fikri.'Aku memejam dan menggigit bibir bawah. “Iya,” jawabku singkat.'Pesanan Mas Faisal kayaknya agak sorean, ya, aku antar. Sekalian otewe pulang.'
“Eh, maaf, maaf. Aku ngagetin, ya?” tanya Fikri dengan mimik wajah bersalah.Suara itu ...? Aku mengucek mata sebentar. Ya Allah, ini nyata? Kukira aku masih berada di dunia khayalan.“Halo ... Faza ....” Sebelah tangan Fikri melambai-lambai ke udara.Aku mengerjap dan segera berdiri dari kursi. “W-waalaikumsalam,” jawabku. Ingat jika tadi Fikri sempat mengucap kalimat salam, tetapi aku malah membalas dengan kalimat istigfar. Hadeeeh.“Mas Fikri sejak kapan berdiri di situ?” tanyaku.“Sejak kamu senyum-senyum,” jawabnya jujur.Elah ... jujur amat, Bang. Untung enggak ada Kirana atau Mas Faisal. Bisa sempurna sampai ubun-ubun rasa maluku kalau ada mereka.Fikri segera mengeluarkan kantung plastik yang isinya dua bungkus tinta dengan merek ternama yang biasa dipakai toko fotokopi.
Fikri menoleh ke arah tanganku yang dengan gerakan cepat langsung meraih ponsel. Aku pun langsung memunggunginya dan menjawab panggilan Mas Faisal.“Ya, halo?”'Kamu kenapa, Dek? Kok suaramu ngos-ngosan gitu?'Ini orang ngapain nelepon segala, sih? Aku menggerutu saat sadar kalau gara-gara Mas Faisal aku hampir ketahuan. Mau bilang apa kalau Fikri sampai tahu aku mencuri fotonya? Kenal juga baru beberapa hari.“A-anu. Habis–“'Astagfirullah, Dek. Jangan aneh-aneh!' potong Mas Faisal cepat.“Hah?” Aku melongo dengan masih mengatur ritme detak jantung. “Aneh-aneh apa maksudnya?”'Fikri ada di toko, kan? Kamu lagi sama dia, kan?'“Iya, emang kenapa?”'Kalian–'“Aww!” Fikri memekik.
Beberapa hari berlalu dan tibalah awal bulan. Moment yang membuat semringah, sebab dinantikan mayoritas para pemburu rupiah, tak terkecuali aku. Namun, berbeda dengan Mas Faisal yang kali ini harus menambah pengeluaran demi acc permintaan maaf.“Dek, mbok ojo aji mumpung. Opo-opo dilebokke troli njutan,” ucapnya lemah sembari mendorong troli di sebelahku.(Dek, jangan aji mumpung, dong. Apa-apa malah dimasukkan troli.)“Tenang aja, Mas. Kamu enggak akan jatuh miskin hanya karna ngasih bonus sama adikmu ini,” jawabku santai. “Lagian semua ini juga atas kesediaanmu, kan?”Mas Faisal hanya mengembuskan napas lemah dengan bahu merosot. Aku terkekeh dan terus memasukkan beberapa keperluanku.Gaji yang lebih suka Mas Faisal sebut uang saku untukku juga sudah berbaris rapi di dompet. Alhamdulillah. Lumayan buat beli pepes otak-otak favorit, sisa
Berkat nasi kucing dan kawan-kawannya, aku dan Fikri jadi semakin dekat walau hanya sebatas SMS-an. Aku masih merahasiakan keakraban kami ini dari Mas Faisal dan Kirana. Bukan tak mau berbagi cerita, hanya berusaha menyembunyikan gejolak dan bersikap biasa saja. Kalau Fikri sendiri, aku yakin dia tak akan cerita ke siapa pun soal kedekatan kami.Ucapan selamat pagi, sudah makan apa belum, jangan lupa salat, dan semoga mimpi indah seakan menjadi lagu wajib bagi jiwa-jiwa muda yang tengah terserang kasmaran. Entah ini hanya berlaku untukku saja atau sama saja berlaku untuk Fikri juga. Aku tersenyum dan berharap Fikri pun merasakan hal yang serupa denganku."Eh, Lu serius?"Entah dengan siapa Kirana berbincang-bincang di seberang sana. Saat ini dia sedang menemaniku di toko."Terus, terus?"Mesin fotokopi terus beroperasi. Aku masih sibuk dengan beberapa garapan dengan sesekali menc
Kirana tak langsung menjawab. Gadis hitam manis itu menatapku cukup lama dengan sorot yang sulit diartikan.“Sebenarnya ... Wulan masih sayang banget sama Fikri, Za.”Entah kenapa seperti ada sebuah tangan yang seakan-akan meremas gumpalan daging dalam dada ini. Walaupun aku tak tahu ke mana rasa ini akan berlabuh, tetapi untuk saat ini nama Fikri memang mulai mengacaukan hari-hariku.“Fikri itu salah satu lelaki setia. Tapi, sekali dia dibuat patah, dia akan pamit undur diri dan tak akan mau kembali lagi, kecuali hanya sebagai teman.” Kirana menjeda kalimatnya dengan menghela napas panjang.“Katanya, usia kandungan Wulan sudah ketahuan hampir dua bulan. Sekitar tiga bulan yang lalu Wulan minta izin ke orang tuanya untuk liburan sama beberapa temannya ke Dieng. Terus, pas pulang keadaannya sedikit kacau dan dia pulang diantar sama ... Fikri.”A