Share

4. Ketemu Dia Lagi

last update Last Updated: 2024-01-16 15:22:59

Aku menoleh. “Eh? Kenapa, Mas?”

 

“Kamu itu yang kenapa? Kok, senyum-senyum?

 

“Oh, enggak, kok.” Sebisa mungkin aku menutupi rasa gerogi agar tak tertangkap oleh Mas Faisal. “Tadi Mas Isal bilang mau pesen ke tempat Mas Eri biar sekalian dibawain Fikri?”

 

Mas Faisal mengangguk. Isal adalah nama akrab panggilannya.

 

"Fikri siapa, Mas?" tanyaku. Takut salah orang.

 

"Itu, lho, yang sering makan di warungnya si Kiran. Dia bantu-bantu di toko temen Mas yang biasa Mas order barang. Yang kapan hari ke sini ngobrol rame-rame itu, lho. Bocahe nganggo pit motor Thunder. Wes rodo suwi, sih."

 

Tidak salah lagi, itu Fikri si pembuat onar hati. Huhu. "Eh, tapi ... bukannya dia lagi cari kerja, ya?"

 

“Siapa?”

 

“Ya si Fikri itu, Mas.”

 

Mas Faisal malah mengerutkan kening. "Kata siapa? Emang kamu tahu orangnya yang mana?”

 

Aku mengerjap.

 

"E-itu, tadi ada yang fotokopi beberapa berkas di sini. Iya, pake motor cowok, namanya Fikri. Dia sempet ngobrol sama Kirana juga, lagi mau cari kerja katanya,” jelasku setenang mungkin.

 

Namun, si owner toko ini masih menatapku lekat. Seolah-olah tak puas dengan jawabanku barusan.

“Enggak sengaja denger, Mas," tambahku.

 

"Alah, tenane?"

 

"Lah piye, to?"

 

"Enggak sengaja denger, tapi jelas banget infonya."

 

"Lah, mereka berdua ngobrolnya di sini. Yo aku krungu lah, Mas."

 

Mas Faisal malah tersenyum miring dengan mata sedikit memicing.

 

"Ish, malah senyum-senyum enggak jelas!” sungutku sedikit jengkel, takut ketahuan. Eh!

 

"Mukanya biasa aja kali, Dek. Kenapa berubah warna gitu?"

 

Aku memegang kedua pipi. Dengan cepat mencari kaca bedak di dalam tas. Lah? Kenapa kayak dilumuri blush on begini ini pipi? Pandanganku langsung beralih menatap Mas Faisal. Namun, yang ditatap malah menyemburkan tawa.

 

"Owalah, cah ... cah, Mas tahu sekarang. Berarti yang dari tadi dibahas berdua sama Kirana itu si Fikri?" Mas Faisal bertanya dengan menaik-turunkan alis hitamnya.

 

Aku cuma mengedikkan bahu. Pura-pura cuek sambil menatap layar ponsel. Padahal lagi menyembunyikan raut wajah agar tidak  kelihatan gerogi.

 

"Cieee ...."

 

"Mas Isal, ih!"  Aku pura-pura merajuk walau hati terasa bahagia. Padahal cuma dicie-ciein doang. Astaga ....

 

Mas Faisal berdehem dan duduk di kursi. "Si Fikri itu adik kelas Mas waktu SMK, sama kayak si Kiran. Di luar sekolah, dia juga temen Mas sholawatan ke sana-kemari, sesama pecinta Sholawat Habib Syaikh."

 

"Oh, ya?"

 

"Cie, mulai kepo, cieee ...."

 

Aku melempar bolpoin ke arah Mas Faisal. "Niat cerita apa godain, sih?"

 

Mas Faisal lagi-lagi tergelak sembari mendekatkan kursinya. Duduk menghadapku di seberang meja kecil di samping komputer.

 

“Sejak kapan naksir si Fikri? Hm, hm?” Lagi, alis hitamnya naik turun.

 

“Siapa yang naksir?”

 

“Kamulah, masa aku?”

 

“Ish, enggak!”

 

“Enggak salah?”

 

“Mas Isal apaan, sih ...? Aku bilangin Pakde entar!”

 

Dia mengusap-usap pucuk kepalaku yang tertutup kerudung. "Di lapangan Denggung ada pasar malem, lho. Mau ke sana, enggak?"

 

“Enggak!”

 

“Tumben? Biasanya paling semangat kalau ada pasar malam.”

 

“Mas Isal mau nyuap aku, kan? Biar enggak aku bilangin Pakde?”

 

"Idih, ngapain pake nyuap-nyuap segala? Allah Subhanahu wa ta'ala melaknat penyuap dan yang disuap, hadist riwayat Imam Ahmad," terangnya mantap. Lelaki agamis itu memang sering melontarkan hadist.

 

“Iyelah tuuu.”

 

"Mau ikut, enggak? Ibuk sama Bapak ntar malem mau ke sana. Mas juga mau ikutan, kamu di rumah sendirian berani?" lanjutnya.

 

"Tumben Pakde sama Bude mau ke pasar malem?"

 

Yang ditanya cuma mengedikkan bahu. "Mungkin mau mengenang masa pacaran."

 

"Mas belum ada pacar lagi emang?"

 

"Males, ah! Takut ketikung Alphard rentalan."

 

Kini ganti aku yang menyemburkan tawa mendengar curcol-nya.

 

"Tikung baliklah, Mas," ujarku seraya membenahi ujung kerudung yang tertiup kipas angin. "Tapi, bales nikungnya yang keren."

 

"Nikung yang keren itu kayak gimana, Dek?" Alis tebalnya bertaut.

 

"Tikung di sepertiga malam."

 

***

 

Aku yang awalnya malas ikut ke pasar malam, jadi terpaksa mengiakan ajakan Bude. Sampai lokasi, suasana cukup ramai.

 

Pakde dan Bude malah seperti ABG lagi pacaran. Gandengan terus, Gaes. Lengan mereka saling bertaut. Seolah-olah sengaja tidak mau dilepas dan melepaskan. Huh! Hareudang aing, mah!

 

Mas Faisal berjalan di sebelahku. Di belakang kedua orang tuanya. Kami sudah seperti pengawal saja.

 

"Le, Ibuk ro Bapak arep nge-ronde. Kamu sama adikmu muter-muter dulu ndak pa-pa. Awas lho, adik'e ora ditinggal," pesan bude saat berhenti di depan stand penjual wedang ronde.

 

"Sendiko dawuh, Buk'e."

 

Bude tersenyum dan langsung memukul pelan lengan anak semata wayangnya itu tatkala Mas Faisal menjawab sembari sedikit membungkukkan punggung.

 

"Nduk, nek arep njajan jaluk'o Mas-mu, yo?" cetus pakde.

 

(Nduk, kalau mau beli jajan minta sama Mas-mu, ya)

 

"Faza ada uang kok, Pakde, kalo cuma buat jajan bakso tusuk."

 

Pakde malah tertawa mendengar jawabanku.

 

"Yowes, terserah kamu. Le, dijogo adine!" pungkas paman the best-ku itu.

 

"Siap, Pak!"

 

Aku dan Mas Faisal pergi berkeliling meninggalkan lansia yang masih tampak mesra itu. Pandanganku menyapu sekeliling. Suasana tempat hiburan ini semakin ramai. Wahana permainan didominasi ibu-ibu dan batita, bahkan balitanya.

 

Indera penciumanku mencium berbagai macam wangi jajanan khas pasar malam. Sosis bakar, pepes otak-otak, crepes, martabak, terang bulan, arum manis, kerak telur, donat, telur gulung, pukis, jagung bakar,  dan .... eh, sebentar!

 

Pandanganku menangkap sosok yang tidak asing di depan sana. Ia sedang mengipasi deretan jagung di atas bara arang. Dan ... tentu saja mataku membulat saat ia melambaikan tangannya ke arahku seolah-olah mengundang. Saat tangan refleks ingin membalas lambaian itu, Mas Faisal sudah mendahului.

 

'Owalah, nyopo Mas-ku to? Hais!' Aku membatin.

 

"Dek, ayo ke sana!" Mas Faisal menarik tanganku membelah kerumunan manusia.

 

"Wah, wah, wah, rajin bener anak muda satu ini," celetuk Mas Faisal saat sampai di satu lapak.

 

"Bantu temen ini, Mas," sahutnya semringah.

 

'Allohu Akbar, itu senyum apa gulali, sih? Manis bener. Eh!'

 

"Loh? Mbak ini bukannya yang jaga toko fotokopimu, ya, Mas?" Lelaki berkaus hijau lumut itu lanjut bertanya sembari beralih menatapku.

 

"Iya, ini adikku, adik sepupu,” sahut Mas Faisal sembari melingkarkan satu tangannya ke bahuku. “Jauh ... dari Jawa Timur.”

 

"Oh, gitu,” balasnya sembari mengangguk kecil. “Tadinya aku kira temennya si Kirana, Mas. Tapi, kok, belum pernah lihat sebelumnya. Aku sempat mikir gitu, sih."

 

"Gitu aja sampe dipikirin. Langsung diajak kenalan lak beres wingi-wingi, to? Sing sat-set ngunu lho, Fik! Gerak cepat. Jadi belum kenalan, nih?”

 

Aku mencium gelagat resek Mas Faisal lewat pertanyaan terselubung dengan alisnya yang naik-turun saat melirikku.

 

"Dereng je, Mas," sahutnya santun dengan seulas senyum.

 

(Belum, Mas)

 

Mas Faisal menyenggol lenganku pelan.

 

"Apa, sih?" ujarku lirih hampir tak terdengar.

(*)

 

Related chapters

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   5. Mulai Tak Karuan

    Fikri melepas sarung tangan plastik yang dipakainya."Fikri, Mbak." Tangannya terulur ke depan."Faza." Kuangkat tangan menyambut uluran tangannya. "Panggil Faza aja, Mas. Enggak usah pake tambahan 'mbak', usiaku di bawah Kirana satu tahun." Fikri mengangguk dan tangan kami langsung saling melepas. "Ok, Faza." Ia berucap kembali dengan tambahan senyum.'Ya ampun, senyum lagi. Diabetes nih, aku lama-lama.'"Aku buatin dua, ya, Fik!" sela Mas Faisal."Siap, Mas! Duduk dulu, ya. Ini masih ada pesanan beberapa lagi.”Suara Fikri mendominasi aktivitas jantungku yang mulai dag dig dug melulu .... “Oke, siap. Ditungguin, kok,” sahut Mas Faisal.Aku dan Mas Faisal duduk lesehan di atas tikar yang disediakan untuk penikmat jagung bakar di lapak teman Mas Fikri ini. Ia hanya membantu, katanya. Tiga gadis remaja kisaran usia anak SMA yang kuduga pemesan jagung bakar terlihat saling berbisik-bisik dan sesekali tersenyum menatap Fikri. Ada yang panas, tapi bukan debat capres dan cawapres.“Ish,

    Last Updated : 2024-01-16
  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   6. Pasar Beringharjo

    "Dek, berangkatnya langsung sama Mas aja." Suara Mas Faisal memulai obrolan saat kami sedang sarapan."Tumben, Le? Mau ke mana?” Bude menyahut dengan pertanyaan."Ada janji sama Eri, Buk. Sekalian order barang toko yang kebetulan habis.""Oh, yo wes ngati-ati. Adimu dipastikke sik tekan toko. Direwangi toto-toto utowo resik-resik sik, terus kowe gek mangkat. Ra kebiasaan ditinggal neng ngarep lawang."(Oh, ya sudah hati-hati. Adikmu dipastikan dulu sampai toko. Dibantuin menata barang atau bersih-bersih dulu, terus kamu berangkat. Jangan kebiasaan ditinggal di depan pintu.)Aku tersenyum. Mas Faisal memang sering langsung bablas begitu aku sampai di depan tokonya, sedangkan bude selalu mewanti-wanti agar putranya itu membantuku dulu baru lanjut dengan urusannya. Bude salah satu alasanku betah jauh dari orang tua sendiri. Mas Faisal hanya nyengir. "Nggih, Buk. Nanti tak bantuin Faza sebentar terus langsung ke Beringharjo.""Mas Isal mau ke Pasar Beringharjo?” tanyaku setelah menelan

    Last Updated : 2024-02-13
  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   7. Virus Merah Jambu

    Setelah resmi berkenalan dengan Fikri di stan pasar malam waktu itu, kami jadi lebih akrab. Perlengkapan fotokopi yang mulai menipis lebih sering Mas Faisal order lewat dirinya. Otomatis, dia yang mengantarnya ke toko.Nomor ponsel yang kala itu disimpan oleh Kirana, tiba-tiba saja terpampang di layar membentuk sebuah panggilan masuk lengkap dengan namanya, Danial Fikri, begitu Kirana menamai nomornya di ponselku. Iya, pas insiden buku terbalik waktu itu. Ada debar tak biasa sebelum aku mengangkat panggilannya.'Assalamualaikum,' sapanya dari ujung sana."Wa'alaikumus-salam." Aku menjawab dengan menekan rasa agar tak meledak sebagai bentuk ekspresi bahagia.'Faza, ini Fikri.'Aku memejam dan menggigit bibir bawah. “Iya,” jawabku singkat.'Pesanan Mas Faisal kayaknya agak sorean, ya, aku antar. Sekalian otewe pulang.'

    Last Updated : 2024-02-14
  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   8. Penolong Dadakan

    “Eh, maaf, maaf. Aku ngagetin, ya?” tanya Fikri dengan mimik wajah bersalah.Suara itu ...? Aku mengucek mata sebentar. Ya Allah, ini nyata? Kukira aku masih berada di dunia khayalan.“Halo ... Faza ....” Sebelah tangan Fikri melambai-lambai ke udara.Aku mengerjap dan segera berdiri dari kursi. “W-waalaikumsalam,” jawabku. Ingat jika tadi Fikri sempat mengucap kalimat salam, tetapi aku malah membalas dengan kalimat istigfar. Hadeeeh.“Mas Fikri sejak kapan berdiri di situ?” tanyaku.“Sejak kamu senyum-senyum,” jawabnya jujur.Elah ... jujur amat, Bang. Untung enggak ada Kirana atau Mas Faisal. Bisa sempurna sampai ubun-ubun rasa maluku kalau ada mereka.Fikri segera mengeluarkan kantung plastik yang isinya dua bungkus tinta dengan merek ternama yang biasa dipakai toko fotokopi.

    Last Updated : 2024-02-15
  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   9. Selangkah Lebih Dekat

    Fikri menoleh ke arah tanganku yang dengan gerakan cepat langsung meraih ponsel. Aku pun langsung memunggunginya dan menjawab panggilan Mas Faisal.“Ya, halo?”'Kamu kenapa, Dek? Kok suaramu ngos-ngosan gitu?'Ini orang ngapain nelepon segala, sih? Aku menggerutu saat sadar kalau gara-gara Mas Faisal aku hampir ketahuan. Mau bilang apa kalau Fikri sampai tahu aku mencuri fotonya? Kenal juga baru beberapa hari.“A-anu. Habis–“'Astagfirullah, Dek. Jangan aneh-aneh!' potong Mas Faisal cepat.“Hah?” Aku melongo dengan masih mengatur ritme detak jantung. “Aneh-aneh apa maksudnya?”'Fikri ada di toko, kan? Kamu lagi sama dia, kan?'“Iya, emang kenapa?”'Kalian–'“Aww!” Fikri memekik.

    Last Updated : 2024-02-16
  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   10. Jodoh Siapa?

    Beberapa hari berlalu dan tibalah awal bulan. Moment yang membuat semringah, sebab dinantikan mayoritas para pemburu rupiah, tak terkecuali aku. Namun, berbeda dengan Mas Faisal yang kali ini harus menambah pengeluaran demi acc permintaan maaf.“Dek, mbok ojo aji mumpung. Opo-opo dilebokke troli njutan,” ucapnya lemah sembari mendorong troli di sebelahku.(Dek, jangan aji mumpung, dong. Apa-apa malah dimasukkan troli.)“Tenang aja, Mas. Kamu enggak akan jatuh miskin hanya karna ngasih bonus sama adikmu ini,” jawabku santai. “Lagian semua ini juga atas kesediaanmu, kan?”Mas Faisal hanya mengembuskan napas lemah dengan bahu merosot. Aku terkekeh dan terus memasukkan beberapa keperluanku.Gaji yang lebih suka Mas Faisal sebut uang saku untukku juga sudah berbaris rapi di dompet. Alhamdulillah. Lumayan buat beli pepes otak-otak favorit, sisa

    Last Updated : 2024-02-17
  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   11. Hamil?

    Berkat nasi kucing dan kawan-kawannya, aku dan Fikri jadi semakin dekat walau hanya sebatas SMS-an. Aku masih merahasiakan keakraban kami ini dari Mas Faisal dan Kirana. Bukan tak mau berbagi cerita, hanya berusaha menyembunyikan gejolak dan bersikap biasa saja. Kalau Fikri sendiri, aku yakin dia tak akan cerita ke siapa pun soal kedekatan kami.Ucapan selamat pagi, sudah makan apa belum, jangan lupa salat, dan semoga mimpi indah seakan menjadi lagu wajib bagi jiwa-jiwa muda yang tengah terserang kasmaran. Entah ini hanya berlaku untukku saja atau sama saja berlaku untuk Fikri juga. Aku tersenyum dan berharap Fikri pun merasakan hal yang serupa denganku."Eh, Lu serius?"Entah dengan siapa Kirana berbincang-bincang di seberang sana. Saat ini dia sedang menemaniku di toko."Terus, terus?"Mesin fotokopi terus beroperasi. Aku masih sibuk dengan beberapa garapan dengan sesekali menc

    Last Updated : 2024-02-18
  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   12. Tidak Fokus

    Kirana tak langsung menjawab. Gadis hitam manis itu menatapku cukup lama dengan sorot yang sulit diartikan.“Sebenarnya ... Wulan masih sayang banget sama Fikri, Za.”Entah kenapa seperti ada sebuah tangan yang seakan-akan meremas gumpalan daging dalam dada ini. Walaupun aku tak tahu ke mana rasa ini akan berlabuh, tetapi untuk saat ini nama Fikri memang mulai mengacaukan hari-hariku.“Fikri itu salah satu lelaki setia. Tapi, sekali dia dibuat patah, dia akan pamit undur diri dan tak akan mau kembali lagi, kecuali hanya sebagai teman.” Kirana menjeda kalimatnya dengan menghela napas panjang.“Katanya, usia kandungan Wulan sudah ketahuan hampir dua bulan. Sekitar tiga bulan yang lalu Wulan minta izin ke orang tuanya untuk liburan sama beberapa temannya ke Dieng. Terus, pas pulang keadaannya sedikit kacau dan dia pulang diantar sama ... Fikri.”A

    Last Updated : 2024-02-19

Latest chapter

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   31. Dilamar

    Setiap wanita mempunyai keinginan yang sama. Dicintai dan mencintai pria yang diinginkannya. Cintanya direspons baik dan tentu jangan sampai bertepuk sebelah tangan. Begitu pun dengan lelaki, tak ada pengecualian. Saat jatuh cinta, keduanya sama-sama ingin cintanya dibalas dan terbalas.Faza tersenyum memandangi sepasang benda mungil nan cantik yang terkurung dalam kotak cincin boks mika kristal. Fikri memintanya untuk menyimpan cincin mereka. Untuk hari baik, ia masih membicarakan dengan keluarga. Begitu pun dengan Faza. Fikri meminta kekasihnya itu untuk memberitahu niat baiknya pada kedua orang tuanya di Jawa Timur.Lagi-lagi senyumnya melengkung indah. Faza teringat akan keping demi keping potongan memori dari awal melihat senyum Fikri, berkenalan, jalan bersama, saling mengungkapkan rasa hingga kini keduanya akan berkomitmen dalam sebuah hubungan yang lebih serius.Tak berbeda dengan pasangan lain pada umumnya, Fikri dan Faza pun kerap terlibat pertengkaran kecil sampai berbeda p

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   30. PoV Faisal (2)

    Saat ini, aku sedang berada dalam keramaian pasar malam. Tentunya aku sudah tahu kalau Fikri juga ada di sini. Dia sedang join dengan salah satu temannya membuka lapak jagung bakar. Fikri salah satu anak muda pekerja keras. Tidak hanya aku dan Eri, bapak dan ibuku pun menyukai lelaki itu. Sengaja kubujuk Faza agar mau ikut ke pasar malam. Selain agar tidak menjadi nyamuk di antara bapak dan ibuku, ada sedikit rencana yang harus aku pastikan sendiri. Tidak mau hanya mengira-ngira atau menerka-nerka saja.Tak lama setelah menemukan lapak milik Fikri dan temannya itu, aku pun langsung memesan dua jagung bakar, untukku dan Faza. Akhirnya, mereka resmi berkenalan sesaat setelah aku goda. Ngobrol ngalor-ngidul sampai akhirnya muncul sedikit ide pura-pura ada telepon masuk dari Eri. Aku pun sedikit tergesa agar terlihat meyakinkan dalam mendalami peran. Tak jauh dari keduanya, aku mengamati gerak-gerik Fikri dan Faza. Mereka tampak terlibat sebuah obrolan walau masih bisa dibilang wajar.Se

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   29. PoV Faisal

    Namaku Faisal Abdurrahman. Anak pertama sekaligus terpaksa harus jadi yang terakhir. Anak semata wayang ibu dan bapak, Ibu Endang dan Pak Abdul. Kenapa terpaksa menjadi yang terakhir? Karena sebenarnya aku adalah calon seorang kakak dari dua adik kembarku.Dulu, saat usiaku delapan tahun, ibu pernah dinyatakan positif hamil lagi.“Isal mau punya adik?”“Iya, Le. Kamu seneng?”Aku mengangguk antusias. Tentu saja aku bahagia karena rumah kami akan bertambah penghuni. Percayalah, jadi anak tunggal itu enggak enak. Enggak ada ribut-ributnya di rumah.Semua yang terbaik selalu bapak usahakan untuk ibu dan juga calon adikku. Namun, entah di usia kandungan berapa minggu, ibu sering mengalami kram perut. Bapak selalu mengingatkan agar ibu jangan terlalu capek. Sebab, saat itu mereka berdua sedang merintis usaha oleh-oleh khas Kota Budaya ini.Waktu terus merangkak, tetapi kandungan ibuku semakin lemah. Sekali lagi, aku tak paham dengan keadaannya saat itu. Yang aku tahu dari cerita bapak, jan

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   28. Musyawarah Keluarga

    Sore beranjak walau pikiran Fikri masih belum menemukan jawaban. Ia pun berusaha mengenyahkan segala gelisah yang mungkin akan menjadi ujiannya sebelum ia dan Faza akan lanjut ke tahap selanjutnya. Karena, konon, ujian orang mau menikah ada-ada saja.Tak mau terlihat murung karena pikirannya sendiri, usai menunaikan salat Asar, Faza dan Fikri segera menuju pantai ikonik yang selalu lekat dengan nama Yogyakarta itu. Pinggiran pantai terlihat begitu cantik dengan pemandangan payung warna-warni yang berbaris rapi. Dilengkapi hilir mudik kendaraan mobil jeep dan delman yang berlalu lalang.Faza langsung membuka alas kakinya dan berlari menuju bibir pantai. Ombak saling berkejaran, menyapu kastil-kastil pasir buatan ala kontraktor dadakan. Mulai dari anak-anak, remaja, bahkan para orang dewasa pun ikut bermain pasir dan mendirikan bangunan liliput. Setelahnya mereka akan berteriak girang dan juga kesal saat usahanya membangun istana pasir musnah

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   27. Parangtritis Punya Cerita

    Bukan hanya Faza, tapi salah seorang pelayan toko perhiasan yang sedari tadi memandang keduanya juga ikut menahan napas dan tak bisa berkata-kata. Menyaksikan seorang pria yang sepertinya sedang memberi sebuah kejutan untuk wanitanya.“L-lamar aku?”“Hm. Kamu mau, kan?”Wajah Faza sedikit merona. “Kapan Mas mau lamar aku?”Bukan apa-apa. Bahkan Fikri tak pernah membicarakan hal ini sebelumnya. Faza juga belum pernah memberitahu kedua orang tuanya kalau ia terlibat urusan hati dengan salah satu pria di Yogyakarta.“Nanti kita obrolin lagi, ya. Sekarang, pilih cincinnya aja dulu.”Gadis berhijab itu pun mengangguk dan mengikuti arahan Fikri untuk memilih cincin terlebih dahulu. Faza kembali tersipu saat sadar jika sedari tadi seorang pelayan tampak memerhatikan keduanya, bahkan ikut tersenyum lebar lebih dari sekadar menyambut pelanggan.“Silakan, Mbak, Mas. Mau cari cincin yang model seperti apa?”Faza menunduk. Mulai memerhatikan perhiasan berbentuk bulat dengan berbagai model. Mungki

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   26. Kejutan

    “Hai, Mas! Apa kabar?” tanya si gadis dengan nada ceria.Usia Disty memang lebih muda dari Fikri. Dia biasa memanggil sang pria dengan tambahan mas di depan nama. Mungkin tadi refleks hanya ingin memastikan.Fikri tersenyum. “Aku baik, Dis. Kamu apa kabar?”“Aku baik juga, Mas.”Fikri mengangguk.“Mas Fikri dari tokonya Mas Eri, ya? Mau pulang?”“Iya. Kamu lagi apa di sini?”“Aku bantuin ibunya Mbak Sasa jualan, Mas.”Sasa adalah teman sekelas Fikri saat masih berseragam putih abu-abu. Dia dan Disty memang saudara sepupu. Ibunya Sasa memiliki sebuah lapak oleh-oleh khas Jogja di emperan Malioboro.“Oh, Sasa-nya ke mana emang?”“Dia kuliah, Mas. Bentar lagi juga balik. Makanya aku mau pula

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   25. Pamitan

    Fikri tersenyum bahagia dan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah. Akhirnya setelah menunggu lamaran pekerjaan dengan gaji yang lebih lumayan, ia pun resmi di terima di sebuah perusahaan minuman kesehatan.Senyum sang ibu yang pertama kali berkelebat dalam angannya. Ia sudah bukan anak-anak lagi. Tentu ingin ikut membahagiakan wanita nomor satunya itu dengan tidak lagi meminta biaya untuk hidupnya. Bahkan, Fikri ingin membantu keuangan keluarga.Adik perempuannya masih sangat butuh biaya walau mereka berbeda ayah. Namun, air susu yang mengalir dalam tubuh keduanya sama. Fikri pun bersalaman dengan sang atasan dan keluar dari kantor cabang tersebut. Besok adalah hari pertama dalam menjalani pekerjaan barunya. Segera ia mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan.[Sayang, aku diterima di pekerjaan baru.]Semangatnya semakin berlipat dan tentu saja Faza adalah orang pertama yang ia hubung

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   24. Keseriusan Fikri

    "Serius?! Kalian udah jadian?”“Ssttt ... suaramu kecilin dikit, Kirana Cempaka! Enggak perlu di-loudspeaker!” gerutu Faza sambil menarik tangan teman baiknya itu.Tentu saja Kirana terlihat kaget. Hampir satu bulan ia tak pulang ke rumah karena sibuk kuliah. Saling berkabar lewat pesan dengan Faza pun jarang ia lakukan. Dan kini, kabar itu ia dengar langsung dari bibir Faza. Kalau ia dengar langsung dari orang lain, pasti Kirana langsung mengamuk.“Kamu jahat, ih! Baru ngomong sama aku!” Kirana pura-pura merajuk.“Kamu ‘kan baru pulang. Kemarin-kemarin juga katamu sibuk banget di kampus. Yaudah aku pending aja kasih tahu ke kamu, Ran.”“Udah berapa lama?”“Apanya?”“Jadiannya ....”“Baru dua minggu,” jawab Faza dengan tatapan mengarah pada ponsel.Kirana sedikit melirik saat kedua sudut bibir Faza tertarik ke samping. Namun, dengan cepat gadis berkerudung itu menyembunyikan ponselnya.“Iya, deh, iya ... yang sekarang udah punya pacar. Bakal dilupain, deh, aku.”“Ish. Enggaklah, Ran.

  • TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU   23. Official

    “Mm ... Buk. Kalau aku nikah muda boleh enggak?”Bu Narmi yang sedang mengolah wajik salak di atas bara tungku menoleh ke arah sang putra. Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu kembali fokus ke wajan ukuran sedang di hadapannya.“Wis siap po, Le?”Fikri malah cengengesan. “Siap aja kalau ada yang mau diajak serius, Buk.”“Emang kamu ada pacar?”Kali ini Fikri mengusap tengkuknya. Ia pun tak paham kenapa bisa berbicara soal nikah muda dengan wanita yang melahirkannya itu. Padahal ungkapan cintanya pada Faza saja belum ditanggapi oleh gadis itu. Namun, pikiran Fikri sudah lari ke pelaminan. Ia malah geli sendiri dengan pikirannya.“Ditakoni kok malah guya-guyu i, lho ....”(Ditanya kok malah senyum-senyum.)“Dia belum jawab, sih, Buk. Tapi, kalau dia mau diseriusin, Fikri juga enggak akan main-main.”Ucapan anak sulung Bu Narmi membuat hati wanita itu menghangat. Namun, ia juga ragu apa ucapan Fikri benar-benar dari hati atau memang hanya gejolak kawula muda saja.“Anak mana, to, Le?”“

DMCA.com Protection Status