Aku tersenyum malu dengan menutup muka menggunakan buku yang masih di tangan. Dengan sopan Fikri pamit. Di situasi saat itu, anggukan kepala adalah cara paling jitu untuk menjawab pamitnya. Kirana tertawa puas saat temannya tersebut hilang dari pandangan. Kupukul lengannya dengan buku yang mendadak tidak punya akhlak dan dengan berani menyempurnakan kegugupanku. Hais! "Biasa aja, kali, Ran, ketawanya." Aku mulai menggerutu. "Kamu juga. Biasa aja kali, Za, nervous-nya. Sampe buku kebalik gitu." Kirana kembali tergelak. Aku mencebik. Kirana duduk di kursi plastik yang biasa dipakai duduk oleh pelanggan sembari menunggu fotokopi-an. "Enggak bantuin ibuk bapakmu ta, Ran?" tanyaku mengalihkan topik. "Tinggal cuci piring aja, kok. Tadi sengaja ke sini pas lihat Fikri berhenti di depan toko Mas Faisal. Untung warung udah agak sepi, langsung ngacir ke sini aku," tuturnya. Aku hanya ber-oh saja. "Bener, kan? Cowok yang kamu maksud si Fikri?" "Iya," jawabku singkat. "Udah lama naksir?" "Dih! Sopo sing naksir?" "Kowe kuwi, to?" "Enggak!" elakku. "Udah ngaku aja! Mumpung jomlo juga itu anaknya." Ada kesempatan, dong? Eh! "Cuma pingin nambah teman aja, Ran. Temenku di sini, kan, enggak banyak." Akhirnya kalimat itu yang kupilih. "Alah, tenane?" Aku mengangguk-angguk cepat. "Jadi, enggak pa-pa, dong, kalo aku kenalin dulu si Fikri sama sepupuku? Soalnya pas banget kemarin dia juga nanyain doi." "Eh, jangan, dong!” "Lha, ngopo?" "Yo rapopo, sih. Yoweslah, sakkarepmu ae, Ran." "Cieee .... " Ah, jadi serba salah begini. Ingin menggali info dari Kirana, tapi entar diledeki terus, walau aku tahu pasti dia mau membantu. Sok jual mahal, nanti doi malah lepas. Bingung aku, tuh! "Tahu enggak, Za?” “Enggak tahu.” “Tapi mau tahu enggak?” Kirana mulai melempar umpan dengan senyum menyebalkan. “Apa emang?” “Fikri itu salah satu cowok yang lumayan kece di sekolah. Kita satu angkatan, tapi beda kelas. Beda jurusan juga. Dia ambil jurusan komputer," tuturnya. "Sejauh aku jadi temennya, belum pernah aku dengar kasus jelek tentang dia. Kalau dikejar-kejar sama banyak cewek di sekolah, mah, enggak perlu ditanya. Dia terbilang cowok yang anteng, enggak banyak gaya, sopan, dan ya ... seperti yang kamu bilang, rada ganteng juga. Enggak bakal malu-maluinlah, kalau misal diajak ke kondangan," sambung Kirana panjang lebar memberikan informasi. Aku hanya manggut-manggut mendengarnya. "Lagi bahas apa, nih, cewek-cewek? Seru banget kayaknya?" Kami menoleh hampir bersamaan. Mas Faisal menghampiri. Kapan dia sampai? Kok, enggak dengar suara motornya? "Mas Isal ke sini jalan kaki?" tanyaku. "Enggak, kok. Tadi dari rumah pakai motor. Tuh, lagi dicuci di sebelah warungnya Kirana.” "Oh ...." Mas Faisal yang punya toko fotokopi ini. Kami saudara sepupu. Umurnya tiga tahun lebih tua dariku. Dia anak dari Pakde, kakak kandung ibuku. "Ran. Tuh, dipanggil bapakmu!" Mas Faisal menunjuk arah warung Kirana di seberang jalan. "Katanya suruh bikin teh," lanjut lelaki berlesung pipi itu memberitahu. "Eh, udah rame lagi tuh, warung!" seru Kirana melihat warung makan orang tuanya yang selalu ramai pembeli. Dia mulai beranjak dengan sedikit membenahi rambut lurusnya. "Za, aku pulang dulu, ya. Kapan-kapan kita lanjut." Aku mengacungkan jempol tanda setuju. Kirana sedikit berlari kecil saat menyeberang jalan. "Bahas opo, sih, Dek?" "Ah, orang tua enggak perlu tahu. Ini urusan anak muda." "Pret! Ngene-ngene Mas-mu iki jeh enom yo." "Mosok?" Mas Faisal menarik ujung jilbab segi empat yang aku pakai. Kembali kutiup ke atas sesaat setelah berdecak akan keisengannya. "Bekal buat nanti makan siang Mas taruh di atas galon, ya," ucapnya dengan menaruh kotak makanku. "Kata Ibuk, isinya wajib dihabisin." Ia melanjutkan. "Siap, Mas!" "Maaf, ya, Dek, tadi kamu harus naik ojek." "Enggak pa-pa, Mas. Santai aja." Biasanya aku berangkat ke toko bareng mas sepupuku ini. Tadi pagi-pagi sekali dia ada urusan. Jadinya, terpaksa aku ke toko menggunakan jasa ojek pangkalan. "Catatan perlengkapan fotokopi yang Mas minta udah disiapin, kan?" "Udah, Mas. Nih!" Aku menyodorkan catatan barang-barang yang harus diorder lagi. Mas Faisal menerima catatanku, kemudian mengecek rak dan etalase belakang. Meneliti tulisan dan melihat stok barang, lalu manggut-manggut sembari memegang dagunya. Dicek lagi, manggut-manggut lagi. Mirip seperti anak akuntansi yang lagi menghitung nominal tanpa ada wujud uangnya. Memang, iya? Kirana bilang sih, begitu. Dia anak akuntan. *** Dua bulan sudah aku menghirup udara segar di tanah Sembada. Sudah dua kali pula aku menerima upah dari hasil membantu Mas Faisal di toko fotokopinya ini. Sekadar untuk uang jajanku, katanya. Lumayanlah, buat beli keripik salak. Sisanya ditabung buat beli pohon salak sekalian kebunnya. Kapan-kapan. Aamiin. Dulu, aku lumayan sering main ke tempat Pakde Abdul di Sleman ini. Setiap libur semesteran pas masih Sekolah Tsanawiyah. Kenal Kirana juga sudah lama sebenarnya. Orang tua Kirana kenal baik dengan orang tua Mas Faisal. Rumah mereka jadi satu sama warung yang dipakai jualan Gudeg di depan toko yang aku jaga saat ini, sementara rumah orang tua Mas Faisal sendiri sedikit berjarak dari toko usaha. Sekitar lima belas menitan dari rumah. Setelah beberapa bulan lulus sekolah, aku yang niat awal berangkat ke Yogyakarta hanya ingin pergi liburan, jadi terpaksa singgah agak lama karena bujukan Bude Endang. Ibu dari laki-laki yang terkadang 'narsis maksimal' itu hanya memiliki anak semata wayang. Ya, cuma Mas Faisal seorang. Dia itu lumayan iseng orangnya. Paling demen menyebut diri sendiri sebagai 'Golden Boys' alias Putera Mahkota. Iyalah, anak tunggal, yekan. "Nduk, lak wes lulus Aliyah, to? Mbok di sini dulu nemenin Bude, sambil belajar bikin wajik salak," ajak beliau kala itu. Ya. Sekitar empat bulan yang lalu aku telah menyelesaikan Wajar Dikdas dua belas tahun. Enam tahun belajar di Sekolah Dasar. Enam tahun setelahnya menempuh sekolah sekaligus nyantri di sebuah Pondok Pesantren di Jawa Timur. Pulang ke rumah hanya dua kali dalam setahun. Itulah sebabnya, setiap libur aku sering minta dijemput pakde untuk me-refresh otak jalan-jalan ke Jogja. Bude Endang memang punya usaha oleh-oleh khas Kota Budaya ini. Dari mulai Bakpia Pathuk, Geplak, Keripik tempe sagu, Yangko, Brownise ubi ungu, Keripik salak dan Wajik salak. Untuk wajik dan keripik salak memang diproduksi sendiri. Kebun salak peninggalan nenek Mas Faisal dari pihak ibunya cukup luas. Itulah sebabnya, salak pondoh yang dihasilkan juga lumayan banyak. Di rumahnya sendiri ada tiga orang karyawan. Satu laki-laki dan dua perempuan. Aku lebih tertarik membantu Mas Faisal, karena lebih dekat dengan Kirana. Namun, di rumah bude aku pun tak jarang juga ikut membantu proses pembuatan keripik dan wajik. Lebih banyak bantuin mencicip sih, sebenarnya. "Enggak terlalu banyak yang perlu diorder," ujar Mas Faisal tiba-tiba. "Iya, Mas. Itu yang paling penting kertas HVS F4 dulu, untuk stok lainnya masih aman, kok." Mas Faisal mengangguk. "Kalau gitu, Mas pesen ke tempat si Eri aja. Nanti biar sekalian dibawaain Fikri pas dia pulang." Detak jantungku mulai ribut saat nama Fikri disebut. Kedua sudut bibir juga tertarik otomatis tanpa diminta. “Dek, kamu kenapa?”(*)
Aku menoleh. “Eh? Kenapa, Mas?”“Kamu itu yang kenapa? Kok, senyum-senyum?“Oh, enggak, kok.” Sebisa mungkin aku menutupi rasa gerogi agar tak tertangkap oleh Mas Faisal. “Tadi Mas Isal bilang mau pesen ke tempat Mas Eri biar sekalian dibawain Fikri?”Mas Faisal mengangguk. Isal adalah nama akrab panggilannya."Fikri siapa, Mas?" tanyaku. Takut salah orang."Itu, lho, yang sering makan di warungnya si Kiran. Dia bantu-bantu di toko temen Mas yang biasa Mas order barang. Yang kapan hari ke sini ngobrol rame-rame itu, lho. Bocahe nganggo pit motor Thunder. Wes rodo suwi, sih."Tidak salah lagi, itu Fikri si pembuat onar hati. Huhu. "Eh, tapi ... bukannya dia lagi cari kerja, ya?"“Siapa?”“Ya si Fikri itu, Mas.”Mas Faisal malah mengerutkan kening. "Kata siapa? Emang kamu tahu orangnya yang mana?” Aku mengerjap. "E-itu, tadi ada yang fotokopi beberapa berkas di sini. Iya, pake motor cowok, namanya Fikri. Dia sempet ngobrol sama Kirana juga, lagi mau cari kerja katanya,” jelasku setena
Fikri melepas sarung tangan plastik yang dipakainya."Fikri, Mbak." Tangannya terulur ke depan."Faza." Kuangkat tangan menyambut uluran tangannya. "Panggil Faza aja, Mas. Enggak usah pake tambahan 'mbak', usiaku di bawah Kirana satu tahun." Fikri mengangguk dan tangan kami langsung saling melepas. "Ok, Faza." Ia berucap kembali dengan tambahan senyum.'Ya ampun, senyum lagi. Diabetes nih, aku lama-lama.'"Aku buatin dua, ya, Fik!" sela Mas Faisal."Siap, Mas! Duduk dulu, ya. Ini masih ada pesanan beberapa lagi.”Suara Fikri mendominasi aktivitas jantungku yang mulai dag dig dug melulu .... “Oke, siap. Ditungguin, kok,” sahut Mas Faisal.Aku dan Mas Faisal duduk lesehan di atas tikar yang disediakan untuk penikmat jagung bakar di lapak teman Mas Fikri ini. Ia hanya membantu, katanya. Tiga gadis remaja kisaran usia anak SMA yang kuduga pemesan jagung bakar terlihat saling berbisik-bisik dan sesekali tersenyum menatap Fikri. Ada yang panas, tapi bukan debat capres dan cawapres.“Ish,
"Dek, berangkatnya langsung sama Mas aja." Suara Mas Faisal memulai obrolan saat kami sedang sarapan."Tumben, Le? Mau ke mana?” Bude menyahut dengan pertanyaan."Ada janji sama Eri, Buk. Sekalian order barang toko yang kebetulan habis.""Oh, yo wes ngati-ati. Adimu dipastikke sik tekan toko. Direwangi toto-toto utowo resik-resik sik, terus kowe gek mangkat. Ra kebiasaan ditinggal neng ngarep lawang."(Oh, ya sudah hati-hati. Adikmu dipastikan dulu sampai toko. Dibantuin menata barang atau bersih-bersih dulu, terus kamu berangkat. Jangan kebiasaan ditinggal di depan pintu.)Aku tersenyum. Mas Faisal memang sering langsung bablas begitu aku sampai di depan tokonya, sedangkan bude selalu mewanti-wanti agar putranya itu membantuku dulu baru lanjut dengan urusannya. Bude salah satu alasanku betah jauh dari orang tua sendiri. Mas Faisal hanya nyengir. "Nggih, Buk. Nanti tak bantuin Faza sebentar terus langsung ke Beringharjo.""Mas Isal mau ke Pasar Beringharjo?” tanyaku setelah menelan
Setelah resmi berkenalan dengan Fikri di stan pasar malam waktu itu, kami jadi lebih akrab. Perlengkapan fotokopi yang mulai menipis lebih sering Mas Faisal order lewat dirinya. Otomatis, dia yang mengantarnya ke toko.Nomor ponsel yang kala itu disimpan oleh Kirana, tiba-tiba saja terpampang di layar membentuk sebuah panggilan masuk lengkap dengan namanya, Danial Fikri, begitu Kirana menamai nomornya di ponselku. Iya, pas insiden buku terbalik waktu itu. Ada debar tak biasa sebelum aku mengangkat panggilannya.'Assalamualaikum,' sapanya dari ujung sana."Wa'alaikumus-salam." Aku menjawab dengan menekan rasa agar tak meledak sebagai bentuk ekspresi bahagia.'Faza, ini Fikri.'Aku memejam dan menggigit bibir bawah. “Iya,” jawabku singkat.'Pesanan Mas Faisal kayaknya agak sorean, ya, aku antar. Sekalian otewe pulang.'
“Eh, maaf, maaf. Aku ngagetin, ya?” tanya Fikri dengan mimik wajah bersalah.Suara itu ...? Aku mengucek mata sebentar. Ya Allah, ini nyata? Kukira aku masih berada di dunia khayalan.“Halo ... Faza ....” Sebelah tangan Fikri melambai-lambai ke udara.Aku mengerjap dan segera berdiri dari kursi. “W-waalaikumsalam,” jawabku. Ingat jika tadi Fikri sempat mengucap kalimat salam, tetapi aku malah membalas dengan kalimat istigfar. Hadeeeh.“Mas Fikri sejak kapan berdiri di situ?” tanyaku.“Sejak kamu senyum-senyum,” jawabnya jujur.Elah ... jujur amat, Bang. Untung enggak ada Kirana atau Mas Faisal. Bisa sempurna sampai ubun-ubun rasa maluku kalau ada mereka.Fikri segera mengeluarkan kantung plastik yang isinya dua bungkus tinta dengan merek ternama yang biasa dipakai toko fotokopi.
Fikri menoleh ke arah tanganku yang dengan gerakan cepat langsung meraih ponsel. Aku pun langsung memunggunginya dan menjawab panggilan Mas Faisal.“Ya, halo?”'Kamu kenapa, Dek? Kok suaramu ngos-ngosan gitu?'Ini orang ngapain nelepon segala, sih? Aku menggerutu saat sadar kalau gara-gara Mas Faisal aku hampir ketahuan. Mau bilang apa kalau Fikri sampai tahu aku mencuri fotonya? Kenal juga baru beberapa hari.“A-anu. Habis–“'Astagfirullah, Dek. Jangan aneh-aneh!' potong Mas Faisal cepat.“Hah?” Aku melongo dengan masih mengatur ritme detak jantung. “Aneh-aneh apa maksudnya?”'Fikri ada di toko, kan? Kamu lagi sama dia, kan?'“Iya, emang kenapa?”'Kalian–'“Aww!” Fikri memekik.
Beberapa hari berlalu dan tibalah awal bulan. Moment yang membuat semringah, sebab dinantikan mayoritas para pemburu rupiah, tak terkecuali aku. Namun, berbeda dengan Mas Faisal yang kali ini harus menambah pengeluaran demi acc permintaan maaf.“Dek, mbok ojo aji mumpung. Opo-opo dilebokke troli njutan,” ucapnya lemah sembari mendorong troli di sebelahku.(Dek, jangan aji mumpung, dong. Apa-apa malah dimasukkan troli.)“Tenang aja, Mas. Kamu enggak akan jatuh miskin hanya karna ngasih bonus sama adikmu ini,” jawabku santai. “Lagian semua ini juga atas kesediaanmu, kan?”Mas Faisal hanya mengembuskan napas lemah dengan bahu merosot. Aku terkekeh dan terus memasukkan beberapa keperluanku.Gaji yang lebih suka Mas Faisal sebut uang saku untukku juga sudah berbaris rapi di dompet. Alhamdulillah. Lumayan buat beli pepes otak-otak favorit, sisa
Berkat nasi kucing dan kawan-kawannya, aku dan Fikri jadi semakin dekat walau hanya sebatas SMS-an. Aku masih merahasiakan keakraban kami ini dari Mas Faisal dan Kirana. Bukan tak mau berbagi cerita, hanya berusaha menyembunyikan gejolak dan bersikap biasa saja. Kalau Fikri sendiri, aku yakin dia tak akan cerita ke siapa pun soal kedekatan kami.Ucapan selamat pagi, sudah makan apa belum, jangan lupa salat, dan semoga mimpi indah seakan menjadi lagu wajib bagi jiwa-jiwa muda yang tengah terserang kasmaran. Entah ini hanya berlaku untukku saja atau sama saja berlaku untuk Fikri juga. Aku tersenyum dan berharap Fikri pun merasakan hal yang serupa denganku."Eh, Lu serius?"Entah dengan siapa Kirana berbincang-bincang di seberang sana. Saat ini dia sedang menemaniku di toko."Terus, terus?"Mesin fotokopi terus beroperasi. Aku masih sibuk dengan beberapa garapan dengan sesekali menc