Beranda / Romansa / TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU / 2. Tragedi Buku Terbalik

Share

2. Tragedi Buku Terbalik

Aku seperti berada di panggung teater bersamanya. Memainkan sebuah pertunjukan romansa anak muda yang akan membuat penontonnya bersorak, sebab terbawa nuansa gejolak kawula muda. Karena apa? Karena tiba-tiba sekeliling terasa sunyi. Dunia seakan berhenti, dan seolah-olah sebuah moving head beam atau lampu panggung hanya menyorot ke arah kami. Hiyaaa ... lebay!

 

Aku berjalan mendekat. Tersenyum sebisanya untuk menutupi rasa gugup. Sudut bibir mendadak sulit ditarik seperti biasanya. Seketika napasku tak beraturan melihat pelanggan pertama hari ini.  

 

Keringat dingin juga mulai berproduksi di kedua telapak tangan. Salah satu kebiasaanku kalau sedang gugup. Kuambil tisu untuk mengelap telapak tangan sebelum mendekati ‘Mas Pelanggan Pertama’.

 

"Ada yang bisa dibantu, Mas?"

 

Pandangan kami bertemu dan ... nyes! Ya Allah, itu wajah apa AC? Sejuk bener, mana enak dipandang pula.

 

“Mau fotokopi, Mbak,” jawabnya dengan beberapa kertas di tangan. “Masing-masing jadiin tiga lembar, ya, dan untuk KTP jadiin lima sekalian."

 

Aku mengangguk. Segera berbalik badan dan langsung mengerjakan keinginan pelanggan pertama kali ini. Dalam hati aku berdoa semoga Kirana tidak melihat ke sini. Dia agak resek soalnya.

 

Sempat kubaca identitas di kartu kependudukannya. Yes, dapat nama lengkapnya, dong. Aku mengangguk-angguk membaca nama yang tertera seraya tersenyum. Beberapa saat fokusku tertuju pada mesin berukuran kotak dan besar itu.

 

"Ini, Mas." Kuserahkan berkas yang sudah difotokopi dan sudah dimasukkan ke dalam plastik bening.

 

"Oh, oke, Mbak. Jadi total semuanya berapa?"

 

"Totalnya, empat ribu lima ratus, Mas,” jawabku sopan.

 

Ia merogoh kantongnya. Tanpa sengaja mataku melihat Kirana berjalan ke arah toko sembari tersenyum dan menaik-turunkan alisnya. Jantung yang sudah mulai berdetak normal kembali berpacu tak beraturan.

 

‘Ngapain ke sini, sih?’ gerutuku dalam hati.

 

Kirana mendarat dengan selamat setelah menyeberang jalan yang menjadi pembatas antara toko yang kujaga dengan warung Gudeg milik orang tuanya. Gadis itu sedikit mengibaskan rambut hitamnya. Untung bukan rambut gaib kayak istrinya Baharuddin.

 

"Hei, Fik! Isuk-isuk wes ngapeli Mbak fotokopi," candanya.

 

'Walah, Kirana, rek!' Aku hanya menghela napas pelan untuk menguasai keadaan.

 

"Eh, Kiran. Iya. Mau langsung masukin lamaran. Mumpung masih pagi, Ran.”

 

"Rajin bener?"

 

"Harus dong, Ran," jawabnya.

 

Aku masih pura-pura sibuk menata alat-alat tulis di etalase. Mau nimbrung obrolan mereka juga enggak mungkin. Yang aku kenal Kirana, sama Fikri, kan, belum kenalan.

 

"Eh, sampai lupa. Ini uangnya, Mbak." Ia menyerahkan pecahan uang lima ribuan. Aku langsung mengembalikan pecahan uang logam lima ratus perak.

 

"Terima kasih," ucapku pelan dengan senyum ramah seperti biasanya.

 

Namun, rupanya Kirana malah berpikiran lain. Gadis berambut lurus sebab rebonding itu malah melipat bibirnya ke dalam, menahan senyuman. Aku melotot ke arahnya dengan gestur mengancam setengah memohon agar dia tutup mulut. Jangan sampai Kirana mengadu yang enggak-enggak soal SMS semalam.

 

Walau semalam cuma tanya-tanya saja, tetapi Kirana sudah menuduhku naksir pada Fikri. Padahal, kan, enggak sepenuhnya salah. Eh?

 

Lelaki yang terlihat rapi dengan setelan kemeja putih lengan panjang dan celana bahan warna hitam itu masih sibuk dengan berkas-berkasnya. Kirana masih betah menggodaku dengan lirikan mata. Sebentar melihat ke arahku, sebentar lagi melihat ke arah temannya yang belum beranjak ini.

 

"Eh, iya, Fik, aku boleh minta nomer hp-mu, enggak?”

 

Aku memejam sebentar. Itu murni inisiatif Kirana sendiri atau dia sengaja memasang umpan tanpa basa-basi? Aku enggak pernah menyuruhnya buat minta nomor Fikri lho, ya. Catat! Enggak pernah! Tapi, kalau nanti dikasih, ya, alhamdulillah. Rezeki itu namanya.

 

"Boleh, boleh." Pria yang ditanya langsung mendikte angka. "Kosong delapan lima, dua tiga–“

 

"Eh. Sek, sek!” Kirana menyela dan beralih menatapku. “Za, minjem hp-mu, dong!"

 

Aku mengernyit. "Lah? Kok, hp-ku, Ran?"

 

"Halah, bentaran doang. Ntar aku kasih bonus,” ucapnya dengan mengedipkan sebelah mata.

 

Dih, bonus apa pula?

 

Walaupun agak malas campur perasaan aneh, aku mengambil ponsel dari dalam tas dan memberikannya pada Kirana. Aku sedikit mendengkus dengan idenya itu. Gercep banget. Ya, walaupun dalam hati ada senangnya, sih. Sedikit. Lelaki bernama Fikri itu lanjut mendikte nomor ponselnya.

 

"Oke, udah aku simpan. Za, nanti tolong di-SMS ke aku, ya, nomor si Fikri," ujarnya sembari mengembalikan ponselku.

 

Aku hanya mengangguk pasrah.

 

"Oh, iya, Fik. Kemarin ada temenku nanyain kamu, lho."

 

Aku melotot. Tuh, kan, Kirana mulai lagi. Cepu sekali dia. Untuk mengalihkan debaran hati yang mulai cenat-cenut, kuambil novel untuk dibaca.

 

"Ho'o po? Sopo, Ran?" 

 

"Ada lah, seseorang. Tapi, aku mau mastiin dulu ke kamu. Masih sama si Wulan, enggak?"

 

Pria itu hanya menggeleng. Wulan? Wulan siapa yang Kirana maksud?

 

"Serius, Fik?"

 

"Udah lama, Ran. Dia mau fokus UN, katanya."

 

"Ah, masa?"

 

"Dia bilang begitu, Ran."

 

"Berarti doi duluan, dong, yang mutusin?"

 

"Iya."

 

Oh ... si Kirana nanyain mantannya Fikri. Eh, berarti dia lagi jomlo, dong? Asyik ....

 

"Gak malu, Fik, diputusin duluan?"

 

"Isin ki ngopo, to?” jawabnya datar. “Yang penting aku gak nyakitin hati anak orang. Perkara dia udah gak mau jalan lagi sama aku, ya terserah. Minimal, aku gak ngegores luka duluan."

 

"Widiiih, super mario, super banget jawaban lo?" Kirana pelan-pelan menepukkan kedua tangannya.

 

Pria tampan itu tertawa renyah. Tentu saja aku melirik dan menikmati keindahan itu. Sayang kalau dilewatkan, serius!

 

"Temenmu yang nanyain aku, cewek apa cowok, Ran?"

 

"Ya cewek lah, Fik. Ngapain ada cowok nanyain kamu? Kalaupun ada, paling gara-gara kamu lupa iuran buat bayar sewa PS."

 

Lagi- lagi tawanya pecah. “Ngapain buka aib, sih?”

 

Kirana juga tergelak. Tampaknya mereka akrab sekali. Aku kembali memejam sebentar dengan pandangan menunduk. Senyum Fikri sudah seperti dispenser. Bisa bikin panas adem.

 

Setelah mencuri pandang, manik mataku kembali fokus menatap novel di tangan. Telinga tetap kupasang stand by mendengar apa pun percakapan antara Kirana dan juga Fikri.

 

"Emang ada apa temenmu nanyain aku?"

 

"Enggak pa-pa, sih. Cuma mau kenalan aja kayaknya."

 

"Owalah. Siapa, sih, Ran?"

 

"Nanti lah aku SMS, kayaknya kamu udah buru-buru.”

 

"Iya, ini udah janjian sama Davi mau barengan masukin lamaran."

 

"Oke, hati-hati, Fik. Semoga dimudahkan semuanya."

 

"Aamiin. Ya, udah. Aku duluan, ya, Ran," pamitnya dengan kembali menggendong ransel di punggung.

 

'Dih. Kirana doang yang disapa. Aku dianggurin. Nasib!'

 

Saat bergegas mau menghampiri motornya, si Mas good looking berhenti sebentar, lalu ia bilang, “Mbak, bukunya kebalik."

 

Fikri tersenyum ke arahku. Refleks kelopak mata mengerjap. Dengan segera kedua tanganku menutup sampul buku dan melihat kebenaran dari ucapan si Fikri tadi. Seketika mataku membola mendapati kenyataan di depan mata. Oh My God! Mulai kapan buku ini terbalik?

 

Sumpah, isin, rek!

 

(*)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status