Aku seperti berada di panggung teater bersamanya. Memainkan sebuah pertunjukan romansa anak muda yang akan membuat penontonnya bersorak, sebab terbawa nuansa gejolak kawula muda. Karena apa? Karena tiba-tiba sekeliling terasa sunyi. Dunia seakan berhenti, dan seolah-olah sebuah moving head beam atau lampu panggung hanya menyorot ke arah kami. Hiyaaa ... lebay!
Aku berjalan mendekat. Tersenyum sebisanya untuk menutupi rasa gugup. Sudut bibir mendadak sulit ditarik seperti biasanya. Seketika napasku tak beraturan melihat pelanggan pertama hari ini. Keringat dingin juga mulai berproduksi di kedua telapak tangan. Salah satu kebiasaanku kalau sedang gugup. Kuambil tisu untuk mengelap telapak tangan sebelum mendekati ‘Mas Pelanggan Pertama’. "Ada yang bisa dibantu, Mas?" Pandangan kami bertemu dan ... nyes! Ya Allah, itu wajah apa AC? Sejuk bener, mana enak dipandang pula. “Mau fotokopi, Mbak,” jawabnya dengan beberapa kertas di tangan. “Masing-masing jadiin tiga lembar, ya, dan untuk KTP jadiin lima sekalian." Aku mengangguk. Segera berbalik badan dan langsung mengerjakan keinginan pelanggan pertama kali ini. Dalam hati aku berdoa semoga Kirana tidak melihat ke sini. Dia agak resek soalnya. Sempat kubaca identitas di kartu kependudukannya. Yes, dapat nama lengkapnya, dong. Aku mengangguk-angguk membaca nama yang tertera seraya tersenyum. Beberapa saat fokusku tertuju pada mesin berukuran kotak dan besar itu. "Ini, Mas." Kuserahkan berkas yang sudah difotokopi dan sudah dimasukkan ke dalam plastik bening. "Oh, oke, Mbak. Jadi total semuanya berapa?" "Totalnya, empat ribu lima ratus, Mas,” jawabku sopan. Ia merogoh kantongnya. Tanpa sengaja mataku melihat Kirana berjalan ke arah toko sembari tersenyum dan menaik-turunkan alisnya. Jantung yang sudah mulai berdetak normal kembali berpacu tak beraturan. ‘Ngapain ke sini, sih?’ gerutuku dalam hati. Kirana mendarat dengan selamat setelah menyeberang jalan yang menjadi pembatas antara toko yang kujaga dengan warung Gudeg milik orang tuanya. Gadis itu sedikit mengibaskan rambut hitamnya. Untung bukan rambut gaib kayak istrinya Baharuddin. "Hei, Fik! Isuk-isuk wes ngapeli Mbak fotokopi," candanya. 'Walah, Kirana, rek!' Aku hanya menghela napas pelan untuk menguasai keadaan. "Eh, Kiran. Iya. Mau langsung masukin lamaran. Mumpung masih pagi, Ran.” "Rajin bener?" "Harus dong, Ran," jawabnya. Aku masih pura-pura sibuk menata alat-alat tulis di etalase. Mau nimbrung obrolan mereka juga enggak mungkin. Yang aku kenal Kirana, sama Fikri, kan, belum kenalan. "Eh, sampai lupa. Ini uangnya, Mbak." Ia menyerahkan pecahan uang lima ribuan. Aku langsung mengembalikan pecahan uang logam lima ratus perak. "Terima kasih," ucapku pelan dengan senyum ramah seperti biasanya. Namun, rupanya Kirana malah berpikiran lain. Gadis berambut lurus sebab rebonding itu malah melipat bibirnya ke dalam, menahan senyuman. Aku melotot ke arahnya dengan gestur mengancam setengah memohon agar dia tutup mulut. Jangan sampai Kirana mengadu yang enggak-enggak soal SMS semalam. Walau semalam cuma tanya-tanya saja, tetapi Kirana sudah menuduhku naksir pada Fikri. Padahal, kan, enggak sepenuhnya salah. Eh? Lelaki yang terlihat rapi dengan setelan kemeja putih lengan panjang dan celana bahan warna hitam itu masih sibuk dengan berkas-berkasnya. Kirana masih betah menggodaku dengan lirikan mata. Sebentar melihat ke arahku, sebentar lagi melihat ke arah temannya yang belum beranjak ini. "Eh, iya, Fik, aku boleh minta nomer hp-mu, enggak?” Aku memejam sebentar. Itu murni inisiatif Kirana sendiri atau dia sengaja memasang umpan tanpa basa-basi? Aku enggak pernah menyuruhnya buat minta nomor Fikri lho, ya. Catat! Enggak pernah! Tapi, kalau nanti dikasih, ya, alhamdulillah. Rezeki itu namanya. "Boleh, boleh." Pria yang ditanya langsung mendikte angka. "Kosong delapan lima, dua tiga–“ "Eh. Sek, sek!” Kirana menyela dan beralih menatapku. “Za, minjem hp-mu, dong!" Aku mengernyit. "Lah? Kok, hp-ku, Ran?" "Halah, bentaran doang. Ntar aku kasih bonus,” ucapnya dengan mengedipkan sebelah mata. Dih, bonus apa pula? Walaupun agak malas campur perasaan aneh, aku mengambil ponsel dari dalam tas dan memberikannya pada Kirana. Aku sedikit mendengkus dengan idenya itu. Gercep banget. Ya, walaupun dalam hati ada senangnya, sih. Sedikit. Lelaki bernama Fikri itu lanjut mendikte nomor ponselnya. "Oke, udah aku simpan. Za, nanti tolong di-SMS ke aku, ya, nomor si Fikri," ujarnya sembari mengembalikan ponselku. Aku hanya mengangguk pasrah. "Oh, iya, Fik. Kemarin ada temenku nanyain kamu, lho." Aku melotot. Tuh, kan, Kirana mulai lagi. Cepu sekali dia. Untuk mengalihkan debaran hati yang mulai cenat-cenut, kuambil novel untuk dibaca. "Ho'o po? Sopo, Ran?" "Ada lah, seseorang. Tapi, aku mau mastiin dulu ke kamu. Masih sama si Wulan, enggak?" Pria itu hanya menggeleng. Wulan? Wulan siapa yang Kirana maksud? "Serius, Fik?" "Udah lama, Ran. Dia mau fokus UN, katanya." "Ah, masa?" "Dia bilang begitu, Ran." "Berarti doi duluan, dong, yang mutusin?" "Iya." Oh ... si Kirana nanyain mantannya Fikri. Eh, berarti dia lagi jomlo, dong? Asyik .... "Gak malu, Fik, diputusin duluan?" "Isin ki ngopo, to?” jawabnya datar. “Yang penting aku gak nyakitin hati anak orang. Perkara dia udah gak mau jalan lagi sama aku, ya terserah. Minimal, aku gak ngegores luka duluan." "Widiiih, super mario, super banget jawaban lo?" Kirana pelan-pelan menepukkan kedua tangannya. Pria tampan itu tertawa renyah. Tentu saja aku melirik dan menikmati keindahan itu. Sayang kalau dilewatkan, serius! "Temenmu yang nanyain aku, cewek apa cowok, Ran?" "Ya cewek lah, Fik. Ngapain ada cowok nanyain kamu? Kalaupun ada, paling gara-gara kamu lupa iuran buat bayar sewa PS." Lagi- lagi tawanya pecah. “Ngapain buka aib, sih?” Kirana juga tergelak. Tampaknya mereka akrab sekali. Aku kembali memejam sebentar dengan pandangan menunduk. Senyum Fikri sudah seperti dispenser. Bisa bikin panas adem. Setelah mencuri pandang, manik mataku kembali fokus menatap novel di tangan. Telinga tetap kupasang stand by mendengar apa pun percakapan antara Kirana dan juga Fikri. "Emang ada apa temenmu nanyain aku?" "Enggak pa-pa, sih. Cuma mau kenalan aja kayaknya." "Owalah. Siapa, sih, Ran?" "Nanti lah aku SMS, kayaknya kamu udah buru-buru.” "Iya, ini udah janjian sama Davi mau barengan masukin lamaran." "Oke, hati-hati, Fik. Semoga dimudahkan semuanya." "Aamiin. Ya, udah. Aku duluan, ya, Ran," pamitnya dengan kembali menggendong ransel di punggung. 'Dih. Kirana doang yang disapa. Aku dianggurin. Nasib!' Saat bergegas mau menghampiri motornya, si Mas good looking berhenti sebentar, lalu ia bilang, “Mbak, bukunya kebalik." Fikri tersenyum ke arahku. Refleks kelopak mata mengerjap. Dengan segera kedua tanganku menutup sampul buku dan melihat kebenaran dari ucapan si Fikri tadi. Seketika mataku membola mendapati kenyataan di depan mata. Oh My God! Mulai kapan buku ini terbalik? Sumpah, isin, rek! (*)Aku tersenyum malu dengan menutup muka menggunakan buku yang masih di tangan. Dengan sopan Fikri pamit. Di situasi saat itu, anggukan kepala adalah cara paling jitu untuk menjawab pamitnya. Kirana tertawa puas saat temannya tersebut hilang dari pandangan. Kupukul lengannya dengan buku yang mendadak tidak punya akhlak dan dengan berani menyempurnakan kegugupanku. Hais!"Biasa aja, kali, Ran, ketawanya." Aku mulai menggerutu."Kamu juga. Biasa aja kali, Za, nervous-nya. Sampe buku kebalik gitu." Kirana kembali tergelak.Aku mencebik. Kirana duduk di kursi plastik yang biasa dipakai duduk oleh pelanggan sembari menunggu fotokopi-an."Enggak bantuin ibuk bapakmu ta, Ran?" tanyaku mengalihkan topik."Tinggal cuci piring aja, kok. Tadi sengaja ke sini pas lihat Fikri berhenti di depan toko Mas Faisal. Untung warung udah agak sepi, langsung ngacir ke sini aku," tuturnya.Aku hanya ber-oh saja."Bener, kan? Cowok yang kamu maksud si Fikri?""Iya," jawabku singkat."Udah lama naksir?""Dih! So
Aku menoleh. “Eh? Kenapa, Mas?”“Kamu itu yang kenapa? Kok, senyum-senyum?“Oh, enggak, kok.” Sebisa mungkin aku menutupi rasa gerogi agar tak tertangkap oleh Mas Faisal. “Tadi Mas Isal bilang mau pesen ke tempat Mas Eri biar sekalian dibawain Fikri?”Mas Faisal mengangguk. Isal adalah nama akrab panggilannya."Fikri siapa, Mas?" tanyaku. Takut salah orang."Itu, lho, yang sering makan di warungnya si Kiran. Dia bantu-bantu di toko temen Mas yang biasa Mas order barang. Yang kapan hari ke sini ngobrol rame-rame itu, lho. Bocahe nganggo pit motor Thunder. Wes rodo suwi, sih."Tidak salah lagi, itu Fikri si pembuat onar hati. Huhu. "Eh, tapi ... bukannya dia lagi cari kerja, ya?"“Siapa?”“Ya si Fikri itu, Mas.”Mas Faisal malah mengerutkan kening. "Kata siapa? Emang kamu tahu orangnya yang mana?” Aku mengerjap. "E-itu, tadi ada yang fotokopi beberapa berkas di sini. Iya, pake motor cowok, namanya Fikri. Dia sempet ngobrol sama Kirana juga, lagi mau cari kerja katanya,” jelasku setena
Fikri melepas sarung tangan plastik yang dipakainya."Fikri, Mbak." Tangannya terulur ke depan."Faza." Kuangkat tangan menyambut uluran tangannya. "Panggil Faza aja, Mas. Enggak usah pake tambahan 'mbak', usiaku di bawah Kirana satu tahun." Fikri mengangguk dan tangan kami langsung saling melepas. "Ok, Faza." Ia berucap kembali dengan tambahan senyum.'Ya ampun, senyum lagi. Diabetes nih, aku lama-lama.'"Aku buatin dua, ya, Fik!" sela Mas Faisal."Siap, Mas! Duduk dulu, ya. Ini masih ada pesanan beberapa lagi.”Suara Fikri mendominasi aktivitas jantungku yang mulai dag dig dug melulu .... “Oke, siap. Ditungguin, kok,” sahut Mas Faisal.Aku dan Mas Faisal duduk lesehan di atas tikar yang disediakan untuk penikmat jagung bakar di lapak teman Mas Fikri ini. Ia hanya membantu, katanya. Tiga gadis remaja kisaran usia anak SMA yang kuduga pemesan jagung bakar terlihat saling berbisik-bisik dan sesekali tersenyum menatap Fikri. Ada yang panas, tapi bukan debat capres dan cawapres.“Ish,
"Dek, berangkatnya langsung sama Mas aja." Suara Mas Faisal memulai obrolan saat kami sedang sarapan."Tumben, Le? Mau ke mana?” Bude menyahut dengan pertanyaan."Ada janji sama Eri, Buk. Sekalian order barang toko yang kebetulan habis.""Oh, yo wes ngati-ati. Adimu dipastikke sik tekan toko. Direwangi toto-toto utowo resik-resik sik, terus kowe gek mangkat. Ra kebiasaan ditinggal neng ngarep lawang."(Oh, ya sudah hati-hati. Adikmu dipastikan dulu sampai toko. Dibantuin menata barang atau bersih-bersih dulu, terus kamu berangkat. Jangan kebiasaan ditinggal di depan pintu.)Aku tersenyum. Mas Faisal memang sering langsung bablas begitu aku sampai di depan tokonya, sedangkan bude selalu mewanti-wanti agar putranya itu membantuku dulu baru lanjut dengan urusannya. Bude salah satu alasanku betah jauh dari orang tua sendiri. Mas Faisal hanya nyengir. "Nggih, Buk. Nanti tak bantuin Faza sebentar terus langsung ke Beringharjo.""Mas Isal mau ke Pasar Beringharjo?” tanyaku setelah menelan
Setelah resmi berkenalan dengan Fikri di stan pasar malam waktu itu, kami jadi lebih akrab. Perlengkapan fotokopi yang mulai menipis lebih sering Mas Faisal order lewat dirinya. Otomatis, dia yang mengantarnya ke toko.Nomor ponsel yang kala itu disimpan oleh Kirana, tiba-tiba saja terpampang di layar membentuk sebuah panggilan masuk lengkap dengan namanya, Danial Fikri, begitu Kirana menamai nomornya di ponselku. Iya, pas insiden buku terbalik waktu itu. Ada debar tak biasa sebelum aku mengangkat panggilannya.'Assalamualaikum,' sapanya dari ujung sana."Wa'alaikumus-salam." Aku menjawab dengan menekan rasa agar tak meledak sebagai bentuk ekspresi bahagia.'Faza, ini Fikri.'Aku memejam dan menggigit bibir bawah. “Iya,” jawabku singkat.'Pesanan Mas Faisal kayaknya agak sorean, ya, aku antar. Sekalian otewe pulang.'
“Eh, maaf, maaf. Aku ngagetin, ya?” tanya Fikri dengan mimik wajah bersalah.Suara itu ...? Aku mengucek mata sebentar. Ya Allah, ini nyata? Kukira aku masih berada di dunia khayalan.“Halo ... Faza ....” Sebelah tangan Fikri melambai-lambai ke udara.Aku mengerjap dan segera berdiri dari kursi. “W-waalaikumsalam,” jawabku. Ingat jika tadi Fikri sempat mengucap kalimat salam, tetapi aku malah membalas dengan kalimat istigfar. Hadeeeh.“Mas Fikri sejak kapan berdiri di situ?” tanyaku.“Sejak kamu senyum-senyum,” jawabnya jujur.Elah ... jujur amat, Bang. Untung enggak ada Kirana atau Mas Faisal. Bisa sempurna sampai ubun-ubun rasa maluku kalau ada mereka.Fikri segera mengeluarkan kantung plastik yang isinya dua bungkus tinta dengan merek ternama yang biasa dipakai toko fotokopi.
Fikri menoleh ke arah tanganku yang dengan gerakan cepat langsung meraih ponsel. Aku pun langsung memunggunginya dan menjawab panggilan Mas Faisal.“Ya, halo?”'Kamu kenapa, Dek? Kok suaramu ngos-ngosan gitu?'Ini orang ngapain nelepon segala, sih? Aku menggerutu saat sadar kalau gara-gara Mas Faisal aku hampir ketahuan. Mau bilang apa kalau Fikri sampai tahu aku mencuri fotonya? Kenal juga baru beberapa hari.“A-anu. Habis–“'Astagfirullah, Dek. Jangan aneh-aneh!' potong Mas Faisal cepat.“Hah?” Aku melongo dengan masih mengatur ritme detak jantung. “Aneh-aneh apa maksudnya?”'Fikri ada di toko, kan? Kamu lagi sama dia, kan?'“Iya, emang kenapa?”'Kalian–'“Aww!” Fikri memekik.
Beberapa hari berlalu dan tibalah awal bulan. Moment yang membuat semringah, sebab dinantikan mayoritas para pemburu rupiah, tak terkecuali aku. Namun, berbeda dengan Mas Faisal yang kali ini harus menambah pengeluaran demi acc permintaan maaf.“Dek, mbok ojo aji mumpung. Opo-opo dilebokke troli njutan,” ucapnya lemah sembari mendorong troli di sebelahku.(Dek, jangan aji mumpung, dong. Apa-apa malah dimasukkan troli.)“Tenang aja, Mas. Kamu enggak akan jatuh miskin hanya karna ngasih bonus sama adikmu ini,” jawabku santai. “Lagian semua ini juga atas kesediaanmu, kan?”Mas Faisal hanya mengembuskan napas lemah dengan bahu merosot. Aku terkekeh dan terus memasukkan beberapa keperluanku.Gaji yang lebih suka Mas Faisal sebut uang saku untukku juga sudah berbaris rapi di dompet. Alhamdulillah. Lumayan buat beli pepes otak-otak favorit, sisa