(September 2011)
“Masih aktif jadi remaja masjid?” “Masih.” “Betah banget?” Lelaki itu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan temannya. Dari jarak yang tak terlalu jauh, diam-diam aku menikmati senyum renyah itu. “Ya kalau bukan kita-kita yang masih muda, terus siapa lagi yang mau memakmurkan masjid?” “Iya juga, sih. Eh, bentar, bentar, kamu ketuanya bukan, sih?” “Dulu iya, tapi sekarang udah enggak.” “Hmm ... gitu.” Aku menunduk kala pandangan pria itu bertemu dengan manik mataku dalam beberapa detik. Duh, ketahuan enggak, ya, kalau dari tadi aku curi-curi pandang ke dia? Udara dingin yang berembus pelan seolah-olah mengantarkan rasa hangat. Entah karena matahari hampir memasuki waktu terik atau mungkin sebab senyum indah yang merekah itu mulai menggoyahkan imanku sebagai manusia. Uhuk! Manis banget, sumpah!Hawa khas daerah pegunungan memang selalu menyisakan aroma sejuk, sekalipun pagi telah merangkak menuju siang. Aku masih menunduk dengan pura-pura menulis. Takut ketahuan kalau mata ini sempat curi-curi pandang. “Ya wis, aku tak bali sik, ya.” “Lah, arep nendi?” “Ono urusan, dilit.” Aku mengembuskan napas lemah kala lelaki bermotor Thunder warna hitam itu mulai menyetater kuda besinya. Ada rasa tak rela saat pria berkumis tipis tersebut pergi meninggalkan beberapa kawannya yang masih asyik mengobrol di depan toko. Entah apa yang sedang menyerangku saat itu. Pandangan pertama itu benar-benar membekas walau beberapa minggu telah berlalu. Aku ingat betul bagaimana senyumnya. Ikhlas, tanpa paksaan. Menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi dan bersih. Saat itu, tak sengaja aku melihatnya sekilas, karena gelaknya tercipta, sebab dia berbincang-bincang dengan beberapa temannya. Sorot matanya begitu teduh, hingga mulai menciptakan sebuah candu. Seperti mendapat sebuah sugesti, aku meliriknya kembali. Lagi, lagi, dan lagi. Kurasakan kedua sudut bibir ikut melengkung saat menikmati senyum kharismanya diam-diam. Kupikir, momen itu hanya pandangan pertama tanpa makna seperti yang sudah-sudah. Saat angin datang, semua akan hilang ikut terbawa embusannya. Ternyata tidak. Bayangan tawanya mengikutiku hingga ke alam mimpi. Ah, sial! Aku tersenyum kecut. Siapa dia? Berani sekali hadir dalam bunga tidurku? Terkadang pula, kesibukan memang berhasil mengalihkan beberapa problematik kehidupan. Namun, saat kembali ke peraduan, kala mata tak kunjung mau terpejam, sekelebat bayangan hadir tanpa diminta. Dia datang lagi. Iya, dia. Laki-laki di atas motor Thunder hitamnya kala itu. Dia muncul lagi dan menari-nari indah di pelupuk mata. Jiwa kepo-ku mulai meronta. Menggerakkan tangan untuk membuka kunci layar ponsel. Menekan aplikasi pesan dan menulis SMS kepada temanku. [Inget, enggak? Kapan hari ada mas-mas pake kaus putih, celana jeans selutut, naik motor cowok, habis makan di warungmu.] 'Send' Kutunggu beberapa saat. Tak kunjung dibalas. Kala itu, saling berbalas pesan sedang nge-trend lewat SMS. Ada, sih, Blackberry Messenger. Namun, HP mahal itu cuma beberapa kalangan yang punya, dan aku bukan salah satunya. Aku masih setia dengan layanan SMS yang kirim satu pesan gratis seratus, bahkan seribu pesan ke semua operator. Tak ada tanda jika pesan sudah dibaca atau belum. Hanya akan ada pemberitahuan terkirim. Tinggal menunggu balasan sang penerima pesan. [Kiranaaa ... wes turu ta, Ran?] Kulirik jam weker di samping meja rias, walau melihat jam di ponsel sebenarnya juga bisa. Ternyata penunjuk waktu sudah menunjuk ukul 22.25 WIB. 'Pasti udah mimpi, tuh, si Kiran.' ‘Ya, udah, sih. Biarin aja. Besok pagi juga pasti dibalas. Kalau enggak, pasti dibicarakan langsung di toko.’ Aku beranjak dari ranjang untuk men-charge No*kia Asha 210-ku. Namun, aku jadi sedikit berjingkat saat HP di tangan yang belum sempat dicas malah mengeluarkan tawa centil, tanda ada pesan masuk. [Yang mana, to?] Kiran membalas. ‘Lah? Nanya balik dia.’ [Mas-mas yang sempat tegur sapa sama kamu itu, lho, sekitar seminggu yang lalu.] Aku ingat sekali, sebelum mengobrol dengan anak-anak muda di depan toko, lelaki itu baru keluar dari warung makan orang tuanya Kirana. [Eh, Za, tiap hari juga aku tegur sapa sama pembeli.] Iya juga, sih. Kirana, kan, anak pemilik warung Gudeg depan toko fotokopi yang aku jaga. Tiap hari warung bapaknya selalu ramai pembeli. Tegur sapa, ya, hampir tiap menit. Saking ramenya. [Iya, sih, tapi aku beneran enggak tahu siapa laki-laki itu. Makanya aku nanya ke kamu soalnya dia sempat ngobrol sama kamu, Ran.] [Siapa, to? Penasaran aku. Ciri-cirine piye, Za?] [Lumayan ganteng, Ran.] Aku terkekeh setelah mengirim pesan itu. [Ealah, cakepnya doang yang diinget.] [Dia pakai motor cowok, Ran, kamu sempet nanya ke dia : 'kerja di mana sekarang?'. Mosok lali?] Saat itu aku tak sengaja mencuri dengar percakapan singkat antara Kirana dan pria tersebut. Posisiku pas buang sampah di dekat warung Gudeg. [Hmmm ... Fikri udu, yo?] Fikri? Gumamku dengan seulas senyum. [Iya, mungkin.] [Pakai motor Thunder, kan?] [Tul.] [Kenapa? Naksir?] [Halah, mek takon ae, kok!] [Cie ciee ... aku siap membantumu.] Aku tersenyum dengan membenamkan wajah ke bantal. Merasa malu menanyakan lelaki terlebih dahulu, tapi ... enggak apa-apa, ding. Kan, dia enggak tahu, dan jangan sampai tahu. Oh iya, kenalin, namaku Faza. Aku berasal dari kota Suwar-Suwir. Kalau Kirana asli sini, pribumi Ngayogjokarto Hadiningrat. [Tumben masih melek, Ran?] [Udah mau tidur tadi, tapi denger HP bunyi. Tahu kamu yang SMS enggak bakalan aku bales tadi.] [Jahate, Rek!] [Lanjut besok wes, Za. Ngantuk aku. Nais drim.] Kirana mengakhiri pesan singkatnya. Aku masih penasaran. Berbekal nama Fikri, kubuka aplikasi face*book. Menelusuri beberapa teman Kirana di dunia maya dan mengetik nama yang dimaksud. 'Fikri.' Muncul beberapa nama. Fikriy Ahmad Fikri Selaloe Untukmoe Fikryy SongolasPituEnem M. Fikriy Zulkarnaen Fikry Clluchintadia Fiqriy Anak Rantau Abdul Fikri Fiqri Wes Insaf Fiqryy Caem “Yang mana, nih?” ucapku sembari menggaruk kepala yang tidak gatal. Bingung. Ku-klik satu per satu foto profil dari masing-masing nama. Lalu, kucermati. Mengingat-ingat wajah yang mengacaukan malam-malamku beberapa hari ini. Namun, tak ada satu pun foto yang kukenal. Sebenarnya masih ada beberapa nama lagi yang belum ku-klik. Tapi, mulut sudah menguap. Lekas kumatikan ponsel dan meletakkannya dalam keadaan dicas. Aku kembali berjalan ke ranjang dan akhirnya hilang dalam lelap. *** Keesokan pagi harinya. Warung depan toko fotokopi sudah ramai pembeli. Kirana pasti sibuk membantu ibu dan bapaknya. Setelah turun dari sepeda motor tukang ojek, aku langsung membuka rolling door toko. Bersih-bersih sebelum ada pelanggan datang. Menyalakan mesin fotokopi. Membuka satu kotak kertas HVS dan menjemurnya agar tidak terlalu lembap saat digunakan. Lalu, mulai mengecek catatan di buku. Khawatir ada janji pengambilan pesanan jilid buku atau yang lainnya. Oke. Selesai. Kulirik jam tangan. Jarum pendek sudah menunjuk ke angka sembilan dan jarum panjang di angka tiga. Warung Gudeg Kirana semakin terlihat ramai. Aku menuju kamar mandi yang terletak di pojok kiri ruangan berukuran 4 x 6 meter ini. "Hei, Bro! Udah kerja?" "Urong ee, iki gek arep fotokopi berkas, terus ngajukke lamaran." Walau samar, dari dalam bilik toilet aku mendengar percakapan di depan toko. Sepertinya ada pelanggan. Segera kutuntaskan aktivitas buang air kecil. "Permisi ...." "Iya, sebentar!" jawabku dari dalam kamar mandi. Aku menarik handle pintu. Menginjak-injak pengesat kaki di depan pintu yang bertuliskan 'Welcome' alias keset. "Mbak, mau fotokopi." "Iya," jawabku singkat sembari menoleh ke sumber suara di depan toko. Alamak! Pucuk dicinta ulam pun tiba.(*)Aku seperti berada di panggung teater bersamanya. Memainkan sebuah pertunjukan romansa anak muda yang akan membuat penontonnya bersorak, sebab terbawa nuansa gejolak kawula muda. Karena apa? Karena tiba-tiba sekeliling terasa sunyi. Dunia seakan berhenti, dan seolah-olah sebuah moving head beam atau lampu panggung hanya menyorot ke arah kami. Hiyaaa ... lebay!Aku berjalan mendekat. Tersenyum sebisanya untuk menutupi rasa gugup. Sudut bibir mendadak sulit ditarik seperti biasanya. Seketika napasku tak beraturan melihat pelanggan pertama hari ini. Keringat dingin juga mulai berproduksi di kedua telapak tangan. Salah satu kebiasaanku kalau sedang gugup. Kuambil tisu untuk mengelap telapak tangan sebelum mendekati ‘Mas Pelanggan Pertama’."Ada yang bisa dibantu, Mas?" Pandangan kami bertemu dan ... nyes! Ya Allah, itu wajah apa AC? Sejuk bener, mana enak dipandang pula.“Mau fotokopi, Mbak,” jawabnya dengan beberapa kertas di tangan. “Masing-masing jadiin tiga lembar, ya, dan untuk KT
Aku tersenyum malu dengan menutup muka menggunakan buku yang masih di tangan. Dengan sopan Fikri pamit. Di situasi saat itu, anggukan kepala adalah cara paling jitu untuk menjawab pamitnya. Kirana tertawa puas saat temannya tersebut hilang dari pandangan. Kupukul lengannya dengan buku yang mendadak tidak punya akhlak dan dengan berani menyempurnakan kegugupanku. Hais!"Biasa aja, kali, Ran, ketawanya." Aku mulai menggerutu."Kamu juga. Biasa aja kali, Za, nervous-nya. Sampe buku kebalik gitu." Kirana kembali tergelak.Aku mencebik. Kirana duduk di kursi plastik yang biasa dipakai duduk oleh pelanggan sembari menunggu fotokopi-an."Enggak bantuin ibuk bapakmu ta, Ran?" tanyaku mengalihkan topik."Tinggal cuci piring aja, kok. Tadi sengaja ke sini pas lihat Fikri berhenti di depan toko Mas Faisal. Untung warung udah agak sepi, langsung ngacir ke sini aku," tuturnya.Aku hanya ber-oh saja."Bener, kan? Cowok yang kamu maksud si Fikri?""Iya," jawabku singkat."Udah lama naksir?""Dih! So
Aku menoleh. “Eh? Kenapa, Mas?”“Kamu itu yang kenapa? Kok, senyum-senyum?“Oh, enggak, kok.” Sebisa mungkin aku menutupi rasa gerogi agar tak tertangkap oleh Mas Faisal. “Tadi Mas Isal bilang mau pesen ke tempat Mas Eri biar sekalian dibawain Fikri?”Mas Faisal mengangguk. Isal adalah nama akrab panggilannya."Fikri siapa, Mas?" tanyaku. Takut salah orang."Itu, lho, yang sering makan di warungnya si Kiran. Dia bantu-bantu di toko temen Mas yang biasa Mas order barang. Yang kapan hari ke sini ngobrol rame-rame itu, lho. Bocahe nganggo pit motor Thunder. Wes rodo suwi, sih."Tidak salah lagi, itu Fikri si pembuat onar hati. Huhu. "Eh, tapi ... bukannya dia lagi cari kerja, ya?"“Siapa?”“Ya si Fikri itu, Mas.”Mas Faisal malah mengerutkan kening. "Kata siapa? Emang kamu tahu orangnya yang mana?” Aku mengerjap. "E-itu, tadi ada yang fotokopi beberapa berkas di sini. Iya, pake motor cowok, namanya Fikri. Dia sempet ngobrol sama Kirana juga, lagi mau cari kerja katanya,” jelasku setena
Fikri melepas sarung tangan plastik yang dipakainya."Fikri, Mbak." Tangannya terulur ke depan."Faza." Kuangkat tangan menyambut uluran tangannya. "Panggil Faza aja, Mas. Enggak usah pake tambahan 'mbak', usiaku di bawah Kirana satu tahun." Fikri mengangguk dan tangan kami langsung saling melepas. "Ok, Faza." Ia berucap kembali dengan tambahan senyum.'Ya ampun, senyum lagi. Diabetes nih, aku lama-lama.'"Aku buatin dua, ya, Fik!" sela Mas Faisal."Siap, Mas! Duduk dulu, ya. Ini masih ada pesanan beberapa lagi.”Suara Fikri mendominasi aktivitas jantungku yang mulai dag dig dug melulu .... “Oke, siap. Ditungguin, kok,” sahut Mas Faisal.Aku dan Mas Faisal duduk lesehan di atas tikar yang disediakan untuk penikmat jagung bakar di lapak teman Mas Fikri ini. Ia hanya membantu, katanya. Tiga gadis remaja kisaran usia anak SMA yang kuduga pemesan jagung bakar terlihat saling berbisik-bisik dan sesekali tersenyum menatap Fikri. Ada yang panas, tapi bukan debat capres dan cawapres.“Ish,
"Dek, berangkatnya langsung sama Mas aja." Suara Mas Faisal memulai obrolan saat kami sedang sarapan."Tumben, Le? Mau ke mana?” Bude menyahut dengan pertanyaan."Ada janji sama Eri, Buk. Sekalian order barang toko yang kebetulan habis.""Oh, yo wes ngati-ati. Adimu dipastikke sik tekan toko. Direwangi toto-toto utowo resik-resik sik, terus kowe gek mangkat. Ra kebiasaan ditinggal neng ngarep lawang."(Oh, ya sudah hati-hati. Adikmu dipastikan dulu sampai toko. Dibantuin menata barang atau bersih-bersih dulu, terus kamu berangkat. Jangan kebiasaan ditinggal di depan pintu.)Aku tersenyum. Mas Faisal memang sering langsung bablas begitu aku sampai di depan tokonya, sedangkan bude selalu mewanti-wanti agar putranya itu membantuku dulu baru lanjut dengan urusannya. Bude salah satu alasanku betah jauh dari orang tua sendiri. Mas Faisal hanya nyengir. "Nggih, Buk. Nanti tak bantuin Faza sebentar terus langsung ke Beringharjo.""Mas Isal mau ke Pasar Beringharjo?” tanyaku setelah menelan
Setelah resmi berkenalan dengan Fikri di stan pasar malam waktu itu, kami jadi lebih akrab. Perlengkapan fotokopi yang mulai menipis lebih sering Mas Faisal order lewat dirinya. Otomatis, dia yang mengantarnya ke toko.Nomor ponsel yang kala itu disimpan oleh Kirana, tiba-tiba saja terpampang di layar membentuk sebuah panggilan masuk lengkap dengan namanya, Danial Fikri, begitu Kirana menamai nomornya di ponselku. Iya, pas insiden buku terbalik waktu itu. Ada debar tak biasa sebelum aku mengangkat panggilannya.'Assalamualaikum,' sapanya dari ujung sana."Wa'alaikumus-salam." Aku menjawab dengan menekan rasa agar tak meledak sebagai bentuk ekspresi bahagia.'Faza, ini Fikri.'Aku memejam dan menggigit bibir bawah. “Iya,” jawabku singkat.'Pesanan Mas Faisal kayaknya agak sorean, ya, aku antar. Sekalian otewe pulang.'
“Eh, maaf, maaf. Aku ngagetin, ya?” tanya Fikri dengan mimik wajah bersalah.Suara itu ...? Aku mengucek mata sebentar. Ya Allah, ini nyata? Kukira aku masih berada di dunia khayalan.“Halo ... Faza ....” Sebelah tangan Fikri melambai-lambai ke udara.Aku mengerjap dan segera berdiri dari kursi. “W-waalaikumsalam,” jawabku. Ingat jika tadi Fikri sempat mengucap kalimat salam, tetapi aku malah membalas dengan kalimat istigfar. Hadeeeh.“Mas Fikri sejak kapan berdiri di situ?” tanyaku.“Sejak kamu senyum-senyum,” jawabnya jujur.Elah ... jujur amat, Bang. Untung enggak ada Kirana atau Mas Faisal. Bisa sempurna sampai ubun-ubun rasa maluku kalau ada mereka.Fikri segera mengeluarkan kantung plastik yang isinya dua bungkus tinta dengan merek ternama yang biasa dipakai toko fotokopi.
Fikri menoleh ke arah tanganku yang dengan gerakan cepat langsung meraih ponsel. Aku pun langsung memunggunginya dan menjawab panggilan Mas Faisal.“Ya, halo?”'Kamu kenapa, Dek? Kok suaramu ngos-ngosan gitu?'Ini orang ngapain nelepon segala, sih? Aku menggerutu saat sadar kalau gara-gara Mas Faisal aku hampir ketahuan. Mau bilang apa kalau Fikri sampai tahu aku mencuri fotonya? Kenal juga baru beberapa hari.“A-anu. Habis–“'Astagfirullah, Dek. Jangan aneh-aneh!' potong Mas Faisal cepat.“Hah?” Aku melongo dengan masih mengatur ritme detak jantung. “Aneh-aneh apa maksudnya?”'Fikri ada di toko, kan? Kamu lagi sama dia, kan?'“Iya, emang kenapa?”'Kalian–'“Aww!” Fikri memekik.