All Chapters of Istri Tebusan Paman Mantanku: Chapter 151 - Chapter 160
260 Chapters
151. Beruntung
Laureta megap-megap seperti yang kehabisan napas. Ia tak menyangka jika Kian akan menciumnya seperti itu. Hasratnya bergejolak, gairahnya mendidih di bawah kulitnya.Lidah Kian menyapu bibirnya, memberikan efek geli hingga Laureta pun bergetar. Lututnya terasa lemas.Kian tidak berhenti sampai di sana. Pria itu dengan gigih mencumbunya, memaksa bibirnya untuk terbuka. Lalu lidah mereka pun saling sapa.Area bawah tubuh Laureta berkedut-kedut hingga mengalirkan sesuatu yang basah dan licin. Laureta pun memeluk leher Kian, memberinya akses untuk menyentuh tubuhnya dengan leluasa.Kian pun menyambut undangan Laureta. Tangannya langsung menggerayangi tubuhnya, tapi sentuhannya tidak begitu terasa karena ada banyak kain yang menghalangi. Ia membuka jaket Laureta dengan terburu-buru. Ciuman mereka pun terhenti, napas keduanya terengah-engah.“Sudah kubilang. Seharusnya jaketnya tidak usah sebanyak ini,” ucap Laureta sambil menautkan alisnya. Ia kesal karena jaketnya agak sulit untuk dibuka.
Read more
152. Hari Yang Sempurna
Ucapan cinta dari mulut Kian sungguh membuat hati bergetar. Laureta merasa hatinya terasa hangat. Hidupnya begitu sempurna karena memiliki seorang suami yang mencintainya.Mungkin ada banyak permasalahan yang terjadi padanya selama ini, tapi semua itu sungguh terbayarkan karena Kian tidak membiarkan Laureta terus terlarut dalam kesedihannya. Sepertinya hal itu akan menjadi hal yang normal dalam kehidupan rumah tangganya.Kunci dalam keharmonisan rumah tangga salah satunya adalah bumbu-bumbu pertengkaran. Sejauh ini, Laureta masih bertahan dan bisa memaafkan Kian dengan setulus hatinya.Malam itu benar-benar menjadi malam yang sempurna. Laureta tidur dalam pelukan Kian. Biasanya jika di rumah, ia hanya akan bertahan selama beberapa menit hingga akhirnya melepaskan diri karena pelukan Kian semakin lama terasa panas dan membuat tangannya jadi pegal.Namun, kali ini Laureta merasa nyaman dalam pelukan Kian karena udaranya amat sangat dingin. Pemanas ruangan berfungsi dengan sangat baik, t
Read more
153. Wisata Kuliner
Laureta melihat-lihat ke sekelilingnya dan merasa takjub. Orang-orang di sana rata-rata bertubuh tinggi dan tentu saja wajah mereka seperti bule. Laureta merasa seperti yang sedang masuk ke dunia film.Berbagai hiasan natal tidak hanya berada di hotel atau restoran saja, tapi hampir di seluruh jalan. Laureta mendongak dan melihat lampu yang dibentuk seperti lonceng, tapi karena ini masih pagi jadi lampunya belum dinyalakan. Seharusnya nanti malam, tempat ini akan terlihat jauh lebih indah lagi.Laureta jadi tidak sabar untuk berjalan-jalan lagi nanti malam. Namun, pemandangan pagi hari pun tidak kalah cantiknya. Udaranya sangat dingin, tapi ada sedikit matahari yang mengintip di atas sana, membuat gedung-gedung terlihat menyala keemasan.Setengah jam berlalu, Laureta dan Kian sama-sama menikmati keindahan kota dengan berjalan kaki. Lalu Kian mengajak Laureta untuk masuk ke salah satu toko. Dari luar saja Laureta sudah bisa mencium aroma coklat yang gurih.
Read more
154. Makan Siang Dengan Para Keponakan
Rasanya, baru saja ia makan ini dan itu, Kian sudah mengajaknya pergi lagi ke restoran untuk makan siang.“Kian, apa tidak salah? Kita makan terus hari ini,” ujar Laureta.“Sejak tadi kan kita jalan kaki jauh ke sana dan ke sini. Sudah seharusnya kita makan terus. Udara dingin membuat tubuh kita membutuhkan pembakaran yang lebih banyak supaya kita tidak kedinginan. Masa hal itu saja kamu tidak tahu?”Laureta terkekeh. Ia pasrah saat Kian menunjuk salah satu meja. Lalu mereka duduk di sana berdua.Kian melepaskan sarung tangannya, lalu meremas tangan Laureta yang kedinginan. Ia menggosok-gosok tangannya dan kemudian menghangatkannya dengan uap dari mulutnya.“Masih dingin?” tanya Kian.Laureta tersenyum. “Kalau kamu yang pegang, aku langsung merasa hangat.”“Kamu ingin aku memegangmu di mana lagi?” tanya Kian.“Kamu mulai menggodaku lagi. Aku ingat sekarang kalau
Read more
155. London Eye
Laureta menatap Kian di balik bola matanya yang sangat besar. Ia mengerjap beberapa kali sambil mempersiapkan untuk menjawab pertanyaannya. Ia menelan ludah sekali.“Apa sesulit itu?” tanya Kian.Laureta mengangguk sambil menurunkan pandangannya. Wajahnya tampak sedih. Kian jadi merasa tidak enak hati bertanya seperti itu padanya, tapi ia sangat penasaran.“Pada malam waktu kamu menabrakku, itu adalah malam di mana aku menemukan Erwin sedang tidur bersama wanita lain,” ungkap Laureta dengan suara yang rendah.Kian terperangah mendengarnya. “Kamu serius, Laura?!”Laureta mengangguk lagi, kali ini dengan wajah yang sangat serius. “Salah satu teman di tempat senam memberitahuku kalau dia melihat Erwin masuk ke Hotel The Prince bersama seorang wanita. Dia bilang kalau dia sudah pernah melihat Erwin sebelumnya bersama wanita yang sama. Mereka tampak mesra sekali.“Jadi, malam itu sehabis senam yang terakhir, aku langsung menyusul ke sana. Aku sampai lupa mengenakan jaket. Aku menemukan mer
Read more
156. Peringatan Adinda
Sudah nyaris seminggu, Laureta dan Kian berada di London. Mereka menghabiskan waktu lebih banyak berdua daripada bersama dengan keluarga mereka.Sebenarnya konsep awalnya, Kian ingin supaya ia bisa bersama seluruh keluarganya. Marisa sampai harus repot-repot memikirkan tentang rencana liburan ini. Nyatanya, Kian lebih senang memisahkan diri. Ia seperti yang memiliki acara sendiri di luar dari keluarganya.Laureta ikut saja ke mana pun Kian membawanya. Hingga satu hari, Marisa mengajak Kian untuk bertemu dengan rekan bisnis yang baru bisa ditemui hari itu. Sebenarnya Kian sudah mengajaknya untuk ikut, tapi ini adalah urusan bisnis. Jadi, Laureta memilih untuk tidak ikut ke sana.“Kamu yakin? Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu tidak ikut denganku?” tanya Kian.“Tidak apa-apa. Aku bisa berjalan-jalan di sekitar sini atau diam saja di hotel,” ujar Laureta santai. Namun, Kian menautkan alisnya, tidak setuju. “Tenang saja, aku akan baik-baik saja, Kian.”“Kamu yakin?”“Iya. Kamu pergilah
Read more
157. Segelas Eggnog
Erwin tertawa ringan. Ia tampak santai dan tidak ada beban sama sekali. Suara tawanya terdengar renyah dan natural. Seketika Laureta teringat akan masa-masa indahnya dulu berdua dengan Erwin.Laureta bersyukur karena semua kenangan itu diputar di kepalanya dan hanya ia sendiri yang bisa melihatnya. Ia tidak tahu, apa yang ada di dalam pikiran Erwin. Ia tidak berharap jika Erwin memikirkan hal yang sama seperti dirinya.“Kamu masih sama seperti Laureta yang aku kenal,” ujar Erwin. “Kamu selalu saja mengancam dengan menggunakan ototmu. Apa kamu juga selalu seperti itu pada Om Kian?”Laureta menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Aku mana berani mengancamnya. Kamu pasti lebih mengenalnya daripada aku.”Erwin meminum eggnog-nya dan kemudian mengernyitkan wajahnya. Sedari tadi, Laureta belum sempat mencoba minumannya. Jadi, ia pun ikut mencoba dan ternyata rasanya enak. Ada rasa alkohol yang cukup kuat menyengat tenggorokannya, tapi masih bisa ia terima.Badannya jadi terasa lebih hangat d
Read more
158. Manja
Tahun baru berlalu. Seharusnya mereka merayakannya di London, tapi sayangnya Marisa ada urusan lain. Jadi, mereka merayakannya di rumah keluarga Aleandro. Laureta bahkan merasa nyaman untuk berada di rumah yang sudah ia anggap seperti rumahnya sendiri itu.Ia mengirim makanan untuk ibunya dan sejumlah uang untuk ibunya berbelanja. Namun, mereka tidak bertemu muka. Laureta memilih untuk menghindari ibunya. Kian tidak boleh sampai tahu jika ibunya tinggal di rumah itu.Laureta sedang berbaring di kamarnya seorang diri karena merasa tidak enak badan. Selain karena perubahan udara yang cukup drastis antara London dan Bandung, ia pun merasakan sakit kepala yang berkepanjangan.Jika ia tidur agak lama, tubuhnya merasa lebih baik. Namun, baru saja ia beraktifitas sebentar, rasanya ia sudah kelelahan.Kian sedang pergi ke kantor dan mereka baru akan bertemu nanti sore. Tak ada yang menemaninya di saat ia sedang tidak enak badan. Ia ingin meminta pertolongan siapa lagi pun ia tak tahu.Tiba-ti
Read more
159. Sembuh Karena Batagor
Laureta kembali muntah, tapi tidak sebanyak sebelumnya. Ia mual sekali dan pusing dengan bau sup krim itu. Ia kembali mencuci mulut dan wajahnya. Ia juga mencuci tangannya dengan sabun sampai benar-benar wangi. Ia menghirup aroma teh hijau di tangannya yang sangat wangi dan membuatnya tenang.“Ta, kamu baik-baik saja?” tanya Reksi dari depan pintu kamar mandi.Laureta membuka pintu dan menatap sahabatnya dengan air mata yang menetes di pipinya. “Aku muntah lagi.”Reksi memegang dahi Laureta sambil menatap langit-langit dengan wajah serius. "Badanmu tidak demam, malah justru dingin. Apa kamu ingin aku antar ke dokter?"Laureta menggelengkan kepalanya. "Tidak, Reks. Aku tidak mau ke dokter. Aku mohon." Ia merengek seperti anak kecil dan tiba-tiba saja air matanya menetes ke pipi."Ya ampun. Kenapa kamu jadi menangis?" Reksi tampak bingung. Ia membawa Laureta menuju ke kasur. "Kamu istirahat saja ya. Jangan turun dari kasur."Ketika Reksi hendak membuka mulut untuk bicara, tiba-tiba pint
Read more
160. Mimpi Buruk
Reksi berhenti berjalan. Ia menoleh sambil menatap Laureta. “Aku juga tidak tahu, Ta. Aku merasa kalau aku bisa berpacaran dengan Erwin sekarang itu tidak diawali dengan cara yang baik. Aku seperti yang sudah merebut pria itu darimu walaupun sebenarnya kalian sudah resmi putus.“Aku terus menerus memikirkan tentang hal itu. Hanya saja, aku sudah lelah untuk terus berpikir berlebihan. Aku jalani saja apa yang ada. Sebenarnya, aku sadar kalau di hatinya tidak ada aku. Dia hanya mencintaimu, Ta. Dia memang tidak bisa berpindah ke lain hati.”Laureta menggelengkan kepalanya. “Reksi, semua ini hanya akan menyakitimu. Aku bukannya menyuruhmu untuk putus, tapi aku akan lebih bahagia jika melihat sahabatku bersama dengan pria yang juga mencintainya. Kamu berhak untuk dicintai, Reks.”“Terima kasih, Ta. Maafkan aku atas segala yang telah aku perbuat padamu.”“Tidak apa-apa, Reks. Aku sudah ikhlas.”&ldqu
Read more
PREV
1
...
1415161718
...
26
DMCA.com Protection Status