Semua Bab Istri Tebusan Paman Mantanku: Bab 171 - Bab 180
260 Bab
171. Keegoisan Sang Ibu
“Mama!” seru Erwin.Elisa hanya menoleh sedikit dan lanjut melangkah menuju ke kamarnya. “Kamu belum pergi? Kenapa kamu kembali lagi?”“Aku kembali untuk mengambil dompetku yang ketinggalan. Lalu aku mendengar suara Mama dari balkon kamar Om Kian,” ucap Erwin.Langkah Elisa pun terhenti. Ia membalikkan badannya dan menatap putranya dengan mata yang menyipit. “Lalu kenapa?”“Apa yang Mama lakukan di kamar Om Kian? Mama menemui Laureta?!” seru Erwin.“Lagi-lagi, kamu menyebut namanya langsung. Apa jangan-jangan kamu sudah mengenalnya lebih dulu?” tuduh Elisa.“Mama! Bisa tidak Mama fokus dengan pertanyaanku dulu? Apa yang Mama lakukan di kamarnya Om Kian?”“Bukan urusanmu,” jawab Elisa singkat.“Apa?” Erwin mengernyitkan wajahnya. “Mama berteriak-teriak di balkon sambil mencekik leher Laureta. Apa Mama mau membunuhnya
Baca selengkapnya
172. Ucapan Maaf
Sudah pukul lima sore. Indah tidak mungkin memaksa Laureta untuk makan lagi. Lagi pula, Laureta belum lapar. Ia mungkin baru akan makan sekitar dua jam lagi. Semoga saja Kian sudah pulang dan mereka bisa makan bersama.Indah pun pamit. Ketika pelayan itu berada di ambang pintu, ternyata ada seseorang di luar sana. Laureta pikir, itu pasti Kian. Suaminya pulang cepat.Sayangnya, ia tidak bisa turun dari kasur. Ia tidak akan banyak bergerak supaya janinnya baik-baik saja. Ia sendiri tidak tahu apakah janin itu masih ada atau tidak. Hanya ini yang bisa ia lakukan. Kalau ia kuat, besok ia akan pergi ke dokter untuk memeriksakan kandungannya.Laureta menata bantalnya supaya posisinya nyaman. Lalu ia menyandarkan kepalanya dan tersenyum menanti kedatangan Kian. Ia nyaris melambaikan tangannya, ternyata yang datang bukan Kian.“Tata! Apa kamu baik-baik saja?”Erwin menyeruak masuk ke dalam kamarnya dan kemudian langsung duduk di sebelahnya, tempat tadi Indah duduk. Laureta merasa waswas meli
Baca selengkapnya
173. Kehilangan
Erwin langsung melepaskan tangannya dan kemudian bangkit berdiri.“Aku permisi dulu,” ucap Erwin dengan nada bicara yang dingin.Erwin berjalan cepat melewati Kian yang tampak kebingungan. Kian sampai membalikkan badan ke arah pintu, tapi kemudian Erwin menutup pintu dengan cepat.Laureta meringis. Ia takut sekali jika Kian tiba-tiba marah padanya karena cemburu. Dan lagi, Kian datang di saat Erwin sedang mengusap kepalanya. Padahal sejak tadi, Erwin tidak pernah menyentuhnya.Kian berjalan ke perlahan dan kemudian berhenti di depan kasur, menatap Laureta sambil membuka dua kancing kemejanya. Tatapannya begitu sengit. Laureta tidak berani membalas tatapan Kian. Jadi, ia hanya terdiam.“Apa yang Erwin lakukan di sini?” tanya Kian. “Menjengukmu? Mencurahkan perhatiannya padamu?”“Itu tidak seperti yang kamu bayangkan,” ujar Laureta yang masih tidak berani menatap Kian.“Lalu apa yang harus aku bayangkan?”“Kian, aku sedang tidak enak badan. Aku tidak ada tenaga untuk bertengkar denganmu
Baca selengkapnya
174. Kalut
Darah menetes dari tangan Kian. Ia menatap kedua tangannya yang gemetaran. Baru saja ia memukul pohon yang ada di belakang rumah sakit. Jantungnya berdetak kencang karena emosi.Hatinya hancur berkeping-keping. Ia tak percaya jika Laureta tidak memberitahunya tentang kehamilannya. Lalu semuanya lenyap berlalu begitu saja.Dokter tidak bisa menyelamatkan anak yang dikandung Laureta. Kian telah kehilangan kesempatannya untuk menjadi seorang ayah. Air mata menetes di pipinya tanpa suara. Segera ia menghapusnya dengan lengan bajunya.Dengan hati yang kacau balau dan pikiran yang serabutan tak menentu, Kian berjalan menuju ke toilet. Ia membasuh bekas luka di tangannya, lalu membelit buku jarinya dengan tisu.Lalu Kian keluar dari toilet dan melihat Clara yang sedang berdiri di depan sana. Wajahnya terkejut bukan main saat melihat bosnya yang terlihat kacau.“Pak Kian, apa yang terjadi? Kenapa tangannya berdarah?” tanya Clara dengan nada bicara yang cemas dan bernada tinggi.Kian menurut s
Baca selengkapnya
175. Cemburu Tingkat Dewa
Kian menggelengkan kepalanya. Kesabarannya entah menguap ke mana, ia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Laureta. Ia menarik napasnya dalam-dalam.“Ya sudah, sudah. Lagi pula sudah terjadi. Lain kali, kalau ada apa-apa, kamu harus …, wajib memberitahuku semuanya! Jangan ada yang kamu sembunyikan dariku, oke?! Aku tidak mau kamu memberiku kejutan atau semacamnya! Aku hanya ingin kamu selamat dan juga bayi kita! Sekarang sudah terlambat.”Laureta tersedu-sedu, masih tidak mau menatap Kian sama sekali. Kian pun tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia mengambil botol mineral dari nakas, lalu memberinya sedotan.“Kamu mau minum?” tanya Kian.“Tidak! Aku tidak mau!” bentak Laureta.“Kamu mau minum dari minuman yang diberikan Erwin! Kenapa kalau aku yang berikan padamu, kamu tidak mau?! Apa kamu masih mencintai Erwin? Dia telah menolongmu tadi malam. Oh, jadi karena itu kamu tidak menginginkan kehadiranku di sini? Kamu tidak mau aku yang mengurusmu, begitu?”“Hentikan, Kian!” seru Laureta
Baca selengkapnya
176. Menghilang
Rahasia yang seharusnya tidak pernah ada di antara Laureta dan Kian, tapi Laureta jadikan hal itu sebagai tempat perlindungan. Ia tahu jika hal itu salah.Laureta tetap bungkam akan kasus Elisa yang pernah menyerangnya waktu itu hingga keguguran. Mungkin memang bukan sepenuhnya salah Elisa. Pagi harinya, ia memang merasa seperti ada flek kecoklatan yang keluar. Namun, karena fleknya hanya sedikit, Laureta pun mengabaikannya.Namun, tekanan yang ia terima di dalam hati dan perasaannya atas perbuatan kasar Elisa membuatnya tak tahan lagi. Akhirnya, janinnya pun harus dikeluarkan dari tubuhnya melalui operasi kuret.Butuh waktu dua minggu hingga tubuhnya kembali pulih ke kondisi semula. Namun, hingga sekarang sudah dua bulan lebih, hati dan perasaan Laureta masih belum juga pulih sama sekali. Rasa perih itu masih tersemat di dadanya seakan ia akan terus berduka seumur hidupnya.Tak ada satu ibu pun di dunia ini yang tidak berduka kehilangan anaknya meski masih dalam bentuk janin yang san
Baca selengkapnya
177. Pengakuan Indah
Lalu Laureta mengecek seluruh kolong ranjang dan akhirnya ia menemukan kotak itu berada di bagian kolong kaki ranjang. Laureta mengambil kotak itu dan berdiri untuk mengeceknya.Sungguh tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kotaknya bergeser sampai sejauh itu? Seingatnya, ia menaruhnya di tengah-tengah. Lalu ia membuka kotaknya dan melihat posisi alat tes kehamilannya pun terbalik.Seseorang pasti ada yang mengambi, lalu membuka isinya, tapi terlalu ceroboh untuk mengembalikannya ke posisi semula. Siapa yang berani melakukan hal ini? Hanya para pelayan yang pernah keluar masuk kamarnya.Orang yang paling sering ke kamarnya adalah si pelayan muda bernama Indah. Laureta geram sekali. Ia harus menanyakan hal ini pada gadis itu sebelum emosinya benar-benar meledak.Jadi, Laureta pun keluar dari kamar dan mencari Indah. Ia berkeliling ke tempat di mana para pelayan biasanya bekerja. Lalu ia melihat Indah sedang mengelap kaca di dekat jendela taman. Tanpa banyak
Baca selengkapnya
178. Gejolak Gairah
Ramainya para pengunjung restoran, membuat Kian enggan untuk duduk berlama-lama di sini. Ia pun memilih untuk memesan tempat privat. Untuk kesekian kalinya, Kian merasa waswas setiap kali berbuat seperti ini.Dosanya semakin lama semakin menumpuk. Berkali-kali ia mencoba untuk bertobat, tapi berkali-kali pula ia jatuh. Begitu ia melakukannya sekali, lantas ia melakukannya untuk kedua kalinya dan seterusnya.Duduk diam di ruangan privat pun tidak membuatnya merasa lebih baik. Seharusnya Kian pergi dari sini, tapi ia sudah terlanjur berjanji untuk menemuinya.Kian bingung harus bagaimana. Ia pun bangkit berdiri dan membuka pintu untuk pergi. Namun, seseorang menghalangi jalannya.Helga tersenyum padanya dan mendorong Kian untuk masuk. “Maaf, aku terlambat. Jalanan agak macet. Apa kamu sudah menungguku lama? Sudah pesan sesuatu?”Kian pun tak sanggup pergi dari sini. Dengan patuh ia duduk kembali ke kursinya.“Aku baru beberapa menit tiba di sini. Hmmm, kamu mau memesan apa?”“Apa saja y
Baca selengkapnya
179. Terciduk
Kian ingin melepaskan lagi celananya dan memasukkan miliknya ke dalam tubuh Helga. Namun, ia harus makan. Ia masih punya waktu beberapa jam hingga pertunjukkan putri duyung nanti sore.Usai makan, Kian buru-buru membawa Helga pergi untuk check in ke sebuah hotel yang cukup bagus, tapi tidak terlalu ramai. Lagi pula ini bukan hari libur nasional, jadi kondisi mereka cukup aman untuk check in.Begitu masuk ke dalam kamar, Kian langsung menggendong Helga dan mendudukkannya di meja. Buru-buru ia melepaskan kancing kemejanya. Lalu ia menarik lepas blouse Helga dan melemparnya ke sofa.Dibukanya kaitan bra Helga hingga wanita itu bertelanjang dada. Helga tertawa-tawa melihat sikap Kian yang tak sabaran. Diciumnya dan dijilatnya payudara Helga hingga wanita itu mendesah bahkan lebih keras saat tadi di restoran.Kian buru-buru mengangkat rok Helga dan menarik lepas celana dalamnya yang lembab. Milik Helga sudah becek dan mungkin lebih becek dari sebelumnya.Ia memasukkan jari tengahnya ke dal
Baca selengkapnya
180. Merasa Bersalah
“Wah, wah, wah!” seru Adinda.“A-ada apa?” tanya Helga bingung.“Dasar wanita jalang!” serbu Adinda yang hendak menyerang Helga.Dengan langkah panjang-panjang, Kian langsung menghadang jalan Adinda. Adiknya itu sampai menabrak dada Kian. Segera saja Kian memeluk adiknya.“Jangan, Dinda! Aku mohon, cukup! Aku tidak ingin sampai terjadi keributan di sini! Kita bisa bicara baik-baik!”“Dasar wanita tidak tahu malu! Murahan!” teriak Adinda. Adiknya itu berusaha melepaskan diri dari kekangan Kian sambil melompat-lompat. “Pergi kamu dari kehidupan kakakku! Jangan lagi ganggu rumah tangga orang!”“Dinda! Cukup!” seru Kian. Lalu ia menoleh pada Helga. “Ayo pergi sekarang! Pergi!”Helga tidak balas berkata apa-apa. Ia hanya melotot, lalu pergi dengan langkah yang cepat.“Kenapa Kakak malah menahanku! Aku akan menghajarnya sampai babak belur!” teriak Adinda.“Cukup, Dinda!” Kian menutup mulut Adinda dengan sebelah tangannya, tapi kemudian Kian langsung melepaskannya karena terkejut. Adinda men
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1617181920
...
26
DMCA.com Protection Status