Rasanya, baru saja ia makan ini dan itu, Kian sudah mengajaknya pergi lagi ke restoran untuk makan siang.
“Kian, apa tidak salah? Kita makan terus hari ini,” ujar Laureta.
“Sejak tadi kan kita jalan kaki jauh ke sana dan ke sini. Sudah seharusnya kita makan terus. Udara dingin membuat tubuh kita membutuhkan pembakaran yang lebih banyak supaya kita tidak kedinginan. Masa hal itu saja kamu tidak tahu?”
Laureta terkekeh. Ia pasrah saat Kian menunjuk salah satu meja. Lalu mereka duduk di sana berdua.
Kian melepaskan sarung tangannya, lalu meremas tangan Laureta yang kedinginan. Ia menggosok-gosok tangannya dan kemudian menghangatkannya dengan uap dari mulutnya.
“Masih dingin?” tanya Kian.
Laureta tersenyum. “Kalau kamu yang pegang, aku langsung merasa hangat.”
“Kamu ingin aku memegangmu di mana lagi?” tanya Kian.
“Kamu mulai menggodaku lagi. Aku ingat sekarang kalau
Laureta menatap Kian di balik bola matanya yang sangat besar. Ia mengerjap beberapa kali sambil mempersiapkan untuk menjawab pertanyaannya. Ia menelan ludah sekali.“Apa sesulit itu?” tanya Kian.Laureta mengangguk sambil menurunkan pandangannya. Wajahnya tampak sedih. Kian jadi merasa tidak enak hati bertanya seperti itu padanya, tapi ia sangat penasaran.“Pada malam waktu kamu menabrakku, itu adalah malam di mana aku menemukan Erwin sedang tidur bersama wanita lain,” ungkap Laureta dengan suara yang rendah.Kian terperangah mendengarnya. “Kamu serius, Laura?!”Laureta mengangguk lagi, kali ini dengan wajah yang sangat serius. “Salah satu teman di tempat senam memberitahuku kalau dia melihat Erwin masuk ke Hotel The Prince bersama seorang wanita. Dia bilang kalau dia sudah pernah melihat Erwin sebelumnya bersama wanita yang sama. Mereka tampak mesra sekali.“Jadi, malam itu sehabis senam yang terakhir, aku langsung menyusul ke sana. Aku sampai lupa mengenakan jaket. Aku menemukan mer
Sudah nyaris seminggu, Laureta dan Kian berada di London. Mereka menghabiskan waktu lebih banyak berdua daripada bersama dengan keluarga mereka.Sebenarnya konsep awalnya, Kian ingin supaya ia bisa bersama seluruh keluarganya. Marisa sampai harus repot-repot memikirkan tentang rencana liburan ini. Nyatanya, Kian lebih senang memisahkan diri. Ia seperti yang memiliki acara sendiri di luar dari keluarganya.Laureta ikut saja ke mana pun Kian membawanya. Hingga satu hari, Marisa mengajak Kian untuk bertemu dengan rekan bisnis yang baru bisa ditemui hari itu. Sebenarnya Kian sudah mengajaknya untuk ikut, tapi ini adalah urusan bisnis. Jadi, Laureta memilih untuk tidak ikut ke sana.“Kamu yakin? Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu tidak ikut denganku?” tanya Kian.“Tidak apa-apa. Aku bisa berjalan-jalan di sekitar sini atau diam saja di hotel,” ujar Laureta santai. Namun, Kian menautkan alisnya, tidak setuju. “Tenang saja, aku akan baik-baik saja, Kian.”“Kamu yakin?”“Iya. Kamu pergilah
Erwin tertawa ringan. Ia tampak santai dan tidak ada beban sama sekali. Suara tawanya terdengar renyah dan natural. Seketika Laureta teringat akan masa-masa indahnya dulu berdua dengan Erwin.Laureta bersyukur karena semua kenangan itu diputar di kepalanya dan hanya ia sendiri yang bisa melihatnya. Ia tidak tahu, apa yang ada di dalam pikiran Erwin. Ia tidak berharap jika Erwin memikirkan hal yang sama seperti dirinya.“Kamu masih sama seperti Laureta yang aku kenal,” ujar Erwin. “Kamu selalu saja mengancam dengan menggunakan ototmu. Apa kamu juga selalu seperti itu pada Om Kian?”Laureta menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Aku mana berani mengancamnya. Kamu pasti lebih mengenalnya daripada aku.”Erwin meminum eggnog-nya dan kemudian mengernyitkan wajahnya. Sedari tadi, Laureta belum sempat mencoba minumannya. Jadi, ia pun ikut mencoba dan ternyata rasanya enak. Ada rasa alkohol yang cukup kuat menyengat tenggorokannya, tapi masih bisa ia terima.Badannya jadi terasa lebih hangat d
Tahun baru berlalu. Seharusnya mereka merayakannya di London, tapi sayangnya Marisa ada urusan lain. Jadi, mereka merayakannya di rumah keluarga Aleandro. Laureta bahkan merasa nyaman untuk berada di rumah yang sudah ia anggap seperti rumahnya sendiri itu.Ia mengirim makanan untuk ibunya dan sejumlah uang untuk ibunya berbelanja. Namun, mereka tidak bertemu muka. Laureta memilih untuk menghindari ibunya. Kian tidak boleh sampai tahu jika ibunya tinggal di rumah itu.Laureta sedang berbaring di kamarnya seorang diri karena merasa tidak enak badan. Selain karena perubahan udara yang cukup drastis antara London dan Bandung, ia pun merasakan sakit kepala yang berkepanjangan.Jika ia tidur agak lama, tubuhnya merasa lebih baik. Namun, baru saja ia beraktifitas sebentar, rasanya ia sudah kelelahan.Kian sedang pergi ke kantor dan mereka baru akan bertemu nanti sore. Tak ada yang menemaninya di saat ia sedang tidak enak badan. Ia ingin meminta pertolongan siapa lagi pun ia tak tahu.Tiba-ti
Laureta kembali muntah, tapi tidak sebanyak sebelumnya. Ia mual sekali dan pusing dengan bau sup krim itu. Ia kembali mencuci mulut dan wajahnya. Ia juga mencuci tangannya dengan sabun sampai benar-benar wangi. Ia menghirup aroma teh hijau di tangannya yang sangat wangi dan membuatnya tenang.“Ta, kamu baik-baik saja?” tanya Reksi dari depan pintu kamar mandi.Laureta membuka pintu dan menatap sahabatnya dengan air mata yang menetes di pipinya. “Aku muntah lagi.”Reksi memegang dahi Laureta sambil menatap langit-langit dengan wajah serius. "Badanmu tidak demam, malah justru dingin. Apa kamu ingin aku antar ke dokter?"Laureta menggelengkan kepalanya. "Tidak, Reks. Aku tidak mau ke dokter. Aku mohon." Ia merengek seperti anak kecil dan tiba-tiba saja air matanya menetes ke pipi."Ya ampun. Kenapa kamu jadi menangis?" Reksi tampak bingung. Ia membawa Laureta menuju ke kasur. "Kamu istirahat saja ya. Jangan turun dari kasur."Ketika Reksi hendak membuka mulut untuk bicara, tiba-tiba pint
Reksi berhenti berjalan. Ia menoleh sambil menatap Laureta. “Aku juga tidak tahu, Ta. Aku merasa kalau aku bisa berpacaran dengan Erwin sekarang itu tidak diawali dengan cara yang baik. Aku seperti yang sudah merebut pria itu darimu walaupun sebenarnya kalian sudah resmi putus.“Aku terus menerus memikirkan tentang hal itu. Hanya saja, aku sudah lelah untuk terus berpikir berlebihan. Aku jalani saja apa yang ada. Sebenarnya, aku sadar kalau di hatinya tidak ada aku. Dia hanya mencintaimu, Ta. Dia memang tidak bisa berpindah ke lain hati.”Laureta menggelengkan kepalanya. “Reksi, semua ini hanya akan menyakitimu. Aku bukannya menyuruhmu untuk putus, tapi aku akan lebih bahagia jika melihat sahabatku bersama dengan pria yang juga mencintainya. Kamu berhak untuk dicintai, Reks.”“Terima kasih, Ta. Maafkan aku atas segala yang telah aku perbuat padamu.”“Tidak apa-apa, Reks. Aku sudah ikhlas.”&ldqu
Laureta hanya bisa terbaring lemah di kursi tahap kedua. Ia meringkuk sambil memegang keresek karena khawatir muntah lagi. Hati Kian ketar-ketir sambil membawa mobilnya. Ia jadi teringat pada Adinda saat ia sakit. Semua orang pergi, hanya ada Kian yang mengurusnya. Adinda pun muntah-muntah dan badannya lemas. Tidak ada makanan yang bisa diterima oleh badannya. Kian khawatir jika Laureta mengalami hal yang sama seperti Adinda. Jadi, ia segera membawa istrinya ke rumah sakit. Ia mengebut sepanjang jalan, lalu menepi ke IGD. Ia memarkirkan mobilnya secara miring, tak peduli meski ia menghalangi mobil orang lain. Seorang satpam menghampirinya dan langsung mengambil alih. Kian mendahulukan untuk menggendong Laureta dan membawanya ke dalam IGD. Untuk ke sekian kalinya dalam waktu dekat ini, ia terus menerus ke rumah sakit. Kian sedih sekaligus khawatir. Dengan cepat para perawat mengurus Laureta. Ia mendapatkan ruangan yang lebih luas dan besar dari tempat lainnya. Badan Laureta agak de
Saat itu, udara tidak terlalu dingin seperti sebelumnya. Kian pergi ke Hyde Park dengan menggunakan taksi daring. Langkahnya terasa berat karena ia tahu jika pertemuan ini mungkin tidak akan berakhir dengan baik.Hatinya sungguh tidak tenang. Kian sempat berpikir untuk mengabaikan Helga dan memilih untuk pergi dari sini. Ia bisa berjalan kaki sampai ke hotel, sekalian ia berolahraga.Namun, Kian sudah berkata bahwa ia akan menemui wanita itu. Apa jadinya jika Helga menunggunya di sana sampai membeku? Kemarin ini, wanita itu baru saja bolak-balik rumah sakit karena hal yang sepertinya Kian terlewati. Helga belum menceritakan semuanya.Tidak seharusnya Kian masih mempedulikan wanita itu. Untuk itu, Kian membalikkan badannya dan merasa seperti orang bodoh. Sayangnya, rasa penasarannya terlalu tinggi. Sebelum ia benar-benar pergi dari sana, ia mencoba mengecek keberadaan Helga.Kian berhati-hati dengan menutup kepalanya menggunakan tudung dari jaketnya. Ia menunduk sambil melirik ke sana
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian