Home / Pernikahan / Membalas Suami Perhitungan / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Membalas Suami Perhitungan : Chapter 1 - Chapter 10

62 Chapters

Utang Ibu

Membalas Suami Perhitungan"Bang, Bang Imron dan mamak mau pinjam uang," kataku pada suami, saat itu kami lagi santai di depan TV. "Minjam? berapa, buat apa?" jawab suami."Dua juta, Bang, katanya mau berobat ke Medan, dirujuk dari rumah sakit sini," jawabku kemudian. Mamak sakit mata, penglihatannya kabur, beliau hanya bisa melihat tiga meter ke depan. Sudah berobat di Puskesmas sampai rumah sakit kota, tapi dirujuk ke rumah sakit khusus mata' di kota Medan."Tapi kan mamak pake BPJS?" kata suami lagi."Benar, Bang, tapi kan ongkos ke Medan dan biaya di sana," jawabku kemudian."Kok banyak kali sampai dua juta?""Bang Imron ikut, Bang," jawabku kemudian. Bang Imron adalah abangku yang tertua, "Itulah anak gak berbakti itu, masa Ibunya sakit mata dia gak tanggung jawab " jawaban suami mulai menyakitkan."Ngertilah, Bang, kan Bang Imron lagi susah," jawabku kemudian.Aku benar-benar tak punya uang lagi, selama berobat di sini, Akulah yang tangung semua, tanpa sepengetahuan suami
Read more

Utang Ibu 2

Suami melongo, dia masih berdiri di depanku, uang sudah berserakan di lantai. Aku benar-benar lepas kendali. Selama ini aku sudah berusaha jadi istri yang penurut dan sabar. Akan tetapi semenjak ibuku sakit, semuanya rasanya berubah. Dua saudaraku seperti tak mampu. Semua mengharap padaku.Uang itu malah tetap berserakan di lantai sampai pagi hari, aku sudah marah, suami pun marah. "Dek, masih warasnya kau?" suami malah seperti mengejek, saat itu aku hendak mengantar anakku sekolah. Sementara uang masih tetap berserakan di lantai."Aku masih waras, Bang, waras kali pun, kalau Abang mau perhitungan, ya itu tadi, hitungan gajiku," kataku kemudian."Udah, sana antar si Doly," jawab suami. Doly adalah anak sulungku yang masih jelas satu SD."Oh ya, berapa ongkos ojek ke sekolah tiap hari? bayar juga itu," kataku lagi."Astaghfirullah, sudah gila kau, Dek?" "Ayolah, Mak, nanti terlambat," kata Doly, aku akhirnya menghidupkan motor matic tua tersebut, akan tetapi aku teringat sesuatu, tak
Read more

Jatah Ipar

Keesokan harinya kebetulan hari Minggu, anak-anak libur sekolah, suami juga biasanya akan di rumah seharian. Aku masih diam, uang belanja belum juga diberikan suami. Dia tetap bersikukuh aku harus minta utang abangku, padahal sudah kubilang itu bukan utang. Aku akan mogok kerja, sudah jam delapan pagi aku tak beranjak juga dari tempat tidur. Suami malah mengajak dua anakku makan di luar, aku tak diajak. Mak Sinta datang berkunjung, Saat dia sampai sudah langsung mengomel."Istri macam apa kau ini, Mak Doly, sudah jam segini belum apa-apa?" kata Mak Sinta."Aku lagi mogok kerja," kataku kemudian."Ya, ampun, kau makin memposisikan diri sebagai pekerja, pake mogok segala,""Ah, karena bukan kau itu, Mak Sinta, mau nyuci sabung habis, mau masak gak ada beras, aku mau apa?""Ini namanya kamu kehausan di tengah-tengah danau,""Ah, lain pula ceritamu,""Saranku berdamailah dengan suamimu, " kata Mak Sinta lagi."Aku mau berdamai, tapi jika begini bagaimana mau berdamai, mereka bahkan perg
Read more

Gara-gara Mesin Cuci

Aku ingat syarat yang diberikan suami, salah satunya adalah tidak boleh bertanya apa pun yang diberikan suami pada adiknya. Ini benar-benar menyakitkan bagiku. Suami- akhirnya pulang juga, aku masuk kamar, akan tetapi tetap menguping pembicaraan mereka. "Ini, Lena, uang bulananmu, Semoga kamu cepat dapat jodoh lagi," terdengar suami bicara."Terima kasih, Bang," jawab Lena."Iya, gak usah kasih tahu berapa banyaknya sama kakakmu ya, dia sekarang lagi sensitif," kata suami lagi."Iya, Bang, Bang, lihat tanganku ini, terkelupas," kata Lena."Lo, kenapa?""Gara-gara nyuci pake tangan, Bang, belikan mesin cuci napa?" Tiba-tiba hening, suami tak menjawab. "Lihat ini pakaianku juga gak bersih, bagaimana bisa dapat jodoh lagi," kata Lena lagi."Baiklah, Lena, habis panen Minggu depan kita beli," kata suami."Makasih ya, Bang, eh, kalau bisa kakak gak usah tau," kata Lena lagi."Gak apa-apa, tau pun kakakmu , dia gak akan ribut kok," kata suami.Aku makin panas, setelah Lena pergi aku kel
Read more

Disuap

Setelah berbicara dengan istri kepala desa ini, pikiranku jadi terbuka, biarpun suami semua yang kerjakan kebun , ternyata ada hakku di situ. "Bu, aku kurang mengerti soal hukum, boleh minta tolong mendamoingiku, Bu," kataku lagi."Maaf, Mak Dolly, aku bukan pengacara, tapi cuma sedikit tahu hukum, biarpun begitu, aku akan dampingi Mak Dolly, Kita wanita ini harus saling mendukung," kata ibu tersebut.Aku merasa sedikit lega, ibu itu juga memberikan uang arisan itu, biarpun masih dua hari lagi baru narik, beliau memberikan duluan pakai uangnya, aku sangat berterimakasih sekali.Dengan modal uang Arisan delapan juta aku membawa dua anakku ke rumah ibu. Ibuku yang sakit sekarang tinggal sendiri. "Taing, ada apa?" ibuku sepertinya langsung curiga apa yang terjadi, karena aku datang bawa tas."Kami mau di sini saja dulu, Mak, jagain mamak," kataku kemudian.Ibu menatapku dengan pandangan penuh selidik. "Bagaimana mata mamak?" tanyaku kemudian."Kambuh lagi, Taing, kata si Imron Karena
Read more

Sekali Tebang Dua Pohon Tumbang

Tamparan itu terasa keras, aku sampai terhuyung. "Makin lancang saja mulutmu itu, macam gak berTuhan saja kau, bicara sembarangan," kata suami sambil menunjuk mukaku."Iya, macam gak pernah sekolah saja," sambung Lena.Aku hanya diam seraya memegang pipi yang masih terasa sakit. "Kamu itu sudah terlalu lancang, mulutmu itu perlu dikasih pelajaran lagi,""Perlu dicabei, Bang," kata Lena.Lagi-lagi aku diam, kucoba untuk tetap tenang dan duduk di kursi panjang. Orang-orang yang menjemput anaknya mulai menonton kami, ada beberapa yang jadi kameraman dadakan. "Mulutmu itu terlalu kotor, sampah saja yang keluar dari mulutmu, aku memang jahat, tapi aku sayang keluarga, aku sayang adikku, jika kau hina adikku, habis kau!" kata suami lagi.Aku tak menjawab, hanya menunduk dan terus memegangi pipi, Lena sepertinya mulai paham apa yang terjadi."Mana mulutmu yang biasanya selalu galak itu, mana?" katanya."Sekali lagi kau hina adikku, kuceraikan kau!" kata Bang Erianto.Aku mengangkat wajah,
Read more

Mas Erianto

Aku terkejut dengan perkataan Mak Sinta, Bu Kades benci Bang Erianto? Ah, Sinta pasti mengada-ada, tidak mungkin Bu Kades itu benci Suamiku, andaipun benar dia benci, pasti karena suamiku perhitungan, seperti yang dia bilang saat pertama aku mengadu padanya. "Aku benci laki-laki berpikiran kolot seperti itu ""Mak Doly, kamu masih di situ, kan?"Kata Mak Sinta lagi."Iya, masih,""Bu Kades mana?""Ini, di sampingku,""Hati-hati saja sama ibu itu," Katanya, sambungan telepon pun terputus.Kutatap Bu Kades yang dudukndi sampingku, saat itu kami sudah mau pulang, Karena hujan, kami berteduhnsebentar."Telepon dari siapa?" tanya Bu Kades."Itu, Mak Sinta," jawabku."Oh, apa katanya?""Katanya Bu Kades benci Bang Erianto," kataku jujur saja.Untuk sesaat wanita itu melihatku, biarpun sudah agak tua, akan tetapi masih tersisa gurat kecantikan di wajah ibu tersebut."Kan sudah kubilang, aku benci laki-laki model' begitu, laki-laki seperti itu harus diberi pelajaran, pikirannya bisa menular, b
Read more

Uang Dan Viral

Bang Erianto menatapku dengan pandangan seperti hendak menelanku saja bulat-bulat. Matanya melotot dan merah, mungkin dia benar-benar sudah marah."Berapa yang kau minta!" dia membentak."Jangan kau pikir kalau abangku dipenjara bisa kau kuasai kebun, oh, tidak," Lena ikut-ikutan."Aku hanya minta hakku," kataku kemudian."Hak apa? Emang ada ada yang kau kerjakan di situ, satu rumput saja tidak pernah kau cabut," kata Bang Erianto."Aku ikut belinya, uangku ikut beli lahan itu dulu," kataku kemudian."Berapa uangmu, oh, yang dua puluh juta itu, baik, kuberikan itu, berhenti ganggu aku," kata Bang Erianto."Tidak, aku mau setengah harta gono-gini, selanjutnya kita bicara di pengadilan," kataku kemudian."Hahaha," Bang Erianto tertawa."Tertawalah, silakan, kita buktikan di pengadilan," kataku lagi."Pasti si nenek peot itu yang racuni otakmu, kan, kau pikir mudah urus harta gono-gini itu? Butuh dana butuh biaya, sebelum kelar kau sudah mati kelaparan," katanya lagi."Kita lihat saja,"
Read more

Berlindung Di Balik Latah

Aku masih di atas motor saat didorong oleh Mak Sinta,  motorku oleng dan terjatuh di aspal. Mobil yang datang tak bisa menghindar lagi, akan tetapi refleks aku berguling ke kiri. Motorku yang ditabrak mobil warna hitam tersebut.  Kupandangi motor yang hancur, Mak Sinta mencoba membantuku berdiri, aku menepis tangannya, kemudian gelap, aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. Saat aku sadar, aku berasa di ruangan serba putih, lalu seorang wanita berpakaian putih datang mendekat.  "Ibu sudah siuman, ibu hanya lecet sedikit," katanya. "Aku di mana?" tanyaku kemudian. "Ini di rumah sakit, Bu," "Aku harus pulang, anakku tinggal," kataku sambil berdiri. Lalu muncul seorang pria tinggi besar, perutnya sedikit buncit.
Read more

Musibah Membawa Keberuntungan

PoV Mak Sinta "Pemuda memang nyaman, duda lebih menggoda, akan tetapi suami orang lebih menantang" Pernah dengar ungkapan itu? Itulah yang terjadi padaku. Entah ini kelainan atau apa, akan tetapi aku suka suami orang. Aku lebih tertarik dengan orang yang sudah beristri, jika dia duda, entah kenapa rasanya kurang menantang, apalagi kalau cuma anak muda.  Itu juga yang terjadi pada Erianto, kami sudah berteman sejak kecil, semenjak SMP sudah tumbuh benih-benih cinta, akan tetapi aku selalu menolaknya. Entah sudah berapa kali dia nyatakan rasa cintanya. Aku selalu menolak dengan halus.  Saat dia sudah ingin menikah, aku tetap menolak, sampai akhirnya dia menikah dengan gadis tetangga. Apa yang terjadi denganku? Setelah dia resmi' jadi suami orang, aku justru berusaha mendekati. Entahlah, makin tampan saja dia di pandanganku.&
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status