Share

Disuap

Penulis: Bintang Kejora
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Setelah berbicara dengan istri kepala desa ini, pikiranku jadi terbuka, biarpun suami semua yang kerjakan kebun , ternyata ada hakku di situ. 

 

"Bu, aku kurang mengerti soal hukum, boleh minta tolong mendamoingiku, Bu," kataku lagi.

 

"Maaf, Mak Dolly, aku bukan pengacara, tapi cuma sedikit tahu hukum, biarpun begitu, aku akan dampingi Mak Dolly, Kita wanita ini harus saling mendukung," kata ibu tersebut.

 

Aku merasa sedikit lega, ibu itu juga memberikan uang arisan itu, biarpun masih dua hari lagi baru narik, beliau memberikan duluan pakai uangnya, aku sangat berterimakasih sekali.

 

Dengan modal uang Arisan delapan juta aku membawa dua anakku ke rumah ibu. Ibuku yang sakit sekarang tinggal sendiri. 

 

"Taing, ada apa?" ibuku sepertinya langsung curiga apa yang terjadi, karena aku datang bawa tas.

 

"Kami mau di sini saja dulu, Mak, jagain mamak," kataku kemudian.

 

Ibu menatapku dengan pandangan penuh selidik. 

 

"Bagaimana mata mamak?" tanyaku kemudian.

 

"Kambuh lagi, Taing, kata si Imron Karena gak kontrol itu," jawab mamak. "Kalau malam suka perih, terus jarak pandang kembali kabur, ini pun harus dekat biar nampak mamak," kata mamak.

 

"Jadwal kontrol sudah lewat, Mak?" 

 

"Sudah, Taing, tapi biarlah gini saja sudah tua kok, wajar penglihatan kabur," Kata mamak lagi.

 

Bang Imron datang, begitu datang dia langsung mengeluh. Abangku ini memang dari dulu begitu.

 

"Sudah tiga hari gak ada ngajak kerja," begitu kata Bang Imron.

 

Kerjanya memang buruh tani, kadang mendodos, kadang membersihkan lahan. Kerja dua hari nganggur tiga hari, selalu begitu dari dulu.

 

 

"Kerja yang lainlah, Bang,"

 

"Gak ada kerjaan lain, Taing, mau kerja apa, memang sudah turunan begini," jawab Abangku.

 

"Ini, Bang, mamak kambuh lagi, bawalah berobat ke Medan,"

 

"Gak ada uangku, Taing, ini saja aku mau minta ini, gak ada lagi uang rokok," kata Bang Imron.

 

"Eh, ngapain bawa tas?' tanya Bang Imron lagi ketika melihatnya tasku.

 

Aku memang harus jujur kini, capek sudah selalu menutupi keadaan sebenarnya.

 

"Aku lari dari rumah," kataku akhirnya.

 

"Lo, kenapa?" 

 

"Aku mau tuntut cerai," kataku lagi.

 

"Astaghfirullah, itu baiknya suamimu," kata ibu.

 

"Begitulah, Bu, aku tidak usah bicara kejelekannya lagi, tapi aku mantap mau cerai," kataku kemudian.

 

"Kok gitu kau, Taing, jadi mau tambah beban lagi kau," Bang Imron malah marah.

 

Aku tersinggung dibilang tambah beban.

 

"Bang, apa pernah aku jadi beban kalian, apa pernah aku minta duit sana Abang, semenjak umurku enam belas tahun aku sudah kerja, tak pernah minta uang ke mamak, bahkan aku yang selalu kasih uang, punya harga diri lah sikit, Bang," kataku kesal.

 

"Kamu langsung salah sangka saja, maksudnya jika kamu cerai, siapa yang biayai mamak, Mamak gak bisa kerja lagi, si Tohar gak bisa diharapkan, aku nampak kau nya bagaimana," kata Bang Imron

 

"Mamak akan ikut denganku, aku akan jadi laki-laki, Abang pake rok saja sana,"  aku kesal juga akhirnya. Abangku justru khawatir tentang biaya hidupnya ibu, bukan tentang bagaimana aku adiknya. Dalam hal ini aku cemburu pada Lena yang punya saudara yang bertanggungjawab.

 

Malam harinya, Bang Erianto datang, begitu datang dia langsung salim ke ibu. 

 

"Ayo pulang, makin durhaka saja kamu, pergi pun gak bilang-bilang," Kata suami.

 

"Aku gak mau pulang, Bang," jawabku.

 

"Jadi maumu apa?" suami langsung membentak.

 

"Aku mau cerai,"

 

"Hahaha, mikir dikit, pake otak,"

 

"Sudah kubilang, Bang, kalau Abang beli mesin cuci untuk Lena, aku minta cerai," kataku kemudian.

 

"Masa gara-gara mesin cuci kau minta cerai, seharusnya kau bersyukur kita masih bisa bantu, lihat itu abangmu si Imron itu, pernah gak dia buktikan tangung jawabnya, tanya dulu dia berapa dia kasih ke Istrinya sebulan? Kau memang gak ada syukurnya," kata Bang Erianto.

 

"Aku tetap minta cerai," kataku tegas.

 

"Oh, gitu ya, okeh, biar kau rasakan yang jadi janda itu, biar kita lihat dulu semampu apa saudaramu menanggunjawabi kau," kata suami- lagi.

 

Bang Imron yang terus disindir suamiku seperti tak berkutik, dia diam saja,

 

 

"Aku kasih kesempatan sekali lagi, mumpung aku lagi baik ini, ayo pulang," kata Bang Erianto lagi.

 

"Tidak, Bang,"

 

"Okeh, kalau itu maumu, baik," kata suami. Dia pun pergi dengan mobil pick up-nya.

 

Setelah suami pergi, ibuku justru marah, Abang Imron juga mendukung suami.

 

"Taing, kau pikir enak jadi janda? Mamak sudah merasakannya sepuluh tahun lebih, jangan lagi kau rasakan itu," kata ibuku.

 

"Kau Taing, masa gara-gara Mesin cuci kau minta cerai, masih waras nya kau?" kata Abangku.

 

"Mesin cuci cuma sebagian kecil alasan, Bang, intinya aku tidak tahan lagi, aku yang merasakan, " kataku kemudian.

 

Keesokan harinya suami datang lagi, dia mau ngajak anak-anak, akan tetapi kedua Anakku tidak mau. Yang bungsu bahkan menangis ketika Bang Erianto menggendongnya. 

 

"Kamu bagaimana sih, Dek, kau ajari anak anak ya?" kata suami.

 

"Gak ada kuajari, Bang," jawabku tanpa melihat.

 

"Gitu kamu ya, anak-anak gak mau diajak ayahnya lagi, pasti otaknya sudah kau doktrin," kata Bang Erianto.

 

"Gak ada, Bang, anak-anak juga sudah tahu mana yang baik," jawabku.

 

"Udah, kalau anak-anak tidak mau, ikut kau sekalian," kata suami lagi.

 

"Nggak, Bang,"

 

Akhirnya suami pulang, aku tahu dia hanya mau mengajakku pulang,  tapi dia malu untuk memohon.

 

Aku mulai konsultasi dengan istrinya kepala desa. Wanita yang biasa kami panggil Bu Kades itu mau mengurusnya. Kami pun mempersiapkan berkas tuntunan cerai, jarak ke ibu kota kabupaten yang jauh membuat biaya banyak. Kata Bu Kades, ini akan lama dan butuh kesabaran dan biaya. 

 

Gugatan cerai akhirnya  kami ajukan juga ke pengadilan agama.  Akan tetapi langsung ditolak karena aku tak punya alasan yang tepat untuk menggugat cerai. Suami tak pernah KDRT, tak pernah tidak memberikan nafkah.  Kata Bu kades aku harus cari alasan yang tepat.

 

 Siang itu saat aku menjemput Doly di sekolah. Ada Lena di sekolah, dia bersama Bang Erianto.

 

"Kak, aku mau minta maaf, mesin cucinya kukembalikan saja," kata Lena.

 

"Oh, gak apa-apa,  ambil saja," jawabku.

 

"Dek, kita sudah bisa lalui sudah senang bersama, delapan tahun, ayolah Dek, kita pulang, gak usah turuti Bu Kades itu, aku janji jika kamu pulang, aku akan beli mesin cuci, kulkas dan HP baru," kata suami.

 

Aku terdiam, apakah suami takut dengan tuntunan ceraiku?

 

""Uang bulanan juga akan kunaikkan, sama dengan Lena," kata suami lagi.

 

"Maaf, Bang, tidak bisa, ini bukan masalah itu saja,"

 

"Ayolah,"

 

"Tidak, Bang, sama adikmu saja, nikahi saja adikmu itu," kataku kemudian.

 

Plak,..

 

Suami  menamparku.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

  • Membalas Suami Perhitungan    Sekali Tebang Dua Pohon Tumbang

    Tamparan itu terasa keras, aku sampai terhuyung. "Makin lancang saja mulutmu itu, macam gak berTuhan saja kau, bicara sembarangan," kata suami sambil menunjuk mukaku."Iya, macam gak pernah sekolah saja," sambung Lena.Aku hanya diam seraya memegang pipi yang masih terasa sakit. "Kamu itu sudah terlalu lancang, mulutmu itu perlu dikasih pelajaran lagi,""Perlu dicabei, Bang," kata Lena.Lagi-lagi aku diam, kucoba untuk tetap tenang dan duduk di kursi panjang. Orang-orang yang menjemput anaknya mulai menonton kami, ada beberapa yang jadi kameraman dadakan. "Mulutmu itu terlalu kotor, sampah saja yang keluar dari mulutmu, aku memang jahat, tapi aku sayang keluarga, aku sayang adikku, jika kau hina adikku, habis kau!" kata suami lagi.Aku tak menjawab, hanya menunduk dan terus memegangi pipi, Lena sepertinya mulai paham apa yang terjadi."Mana mulutmu yang biasanya selalu galak itu, mana?" katanya."Sekali lagi kau hina adikku, kuceraikan kau!" kata Bang Erianto.Aku mengangkat wajah,

  • Membalas Suami Perhitungan    Mas Erianto

    Aku terkejut dengan perkataan Mak Sinta, Bu Kades benci Bang Erianto? Ah, Sinta pasti mengada-ada, tidak mungkin Bu Kades itu benci Suamiku, andaipun benar dia benci, pasti karena suamiku perhitungan, seperti yang dia bilang saat pertama aku mengadu padanya. "Aku benci laki-laki berpikiran kolot seperti itu ""Mak Doly, kamu masih di situ, kan?"Kata Mak Sinta lagi."Iya, masih,""Bu Kades mana?""Ini, di sampingku,""Hati-hati saja sama ibu itu," Katanya, sambungan telepon pun terputus.Kutatap Bu Kades yang dudukndi sampingku, saat itu kami sudah mau pulang, Karena hujan, kami berteduhnsebentar."Telepon dari siapa?" tanya Bu Kades."Itu, Mak Sinta," jawabku."Oh, apa katanya?""Katanya Bu Kades benci Bang Erianto," kataku jujur saja.Untuk sesaat wanita itu melihatku, biarpun sudah agak tua, akan tetapi masih tersisa gurat kecantikan di wajah ibu tersebut."Kan sudah kubilang, aku benci laki-laki model' begitu, laki-laki seperti itu harus diberi pelajaran, pikirannya bisa menular, b

  • Membalas Suami Perhitungan    Uang Dan Viral

    Bang Erianto menatapku dengan pandangan seperti hendak menelanku saja bulat-bulat. Matanya melotot dan merah, mungkin dia benar-benar sudah marah."Berapa yang kau minta!" dia membentak."Jangan kau pikir kalau abangku dipenjara bisa kau kuasai kebun, oh, tidak," Lena ikut-ikutan."Aku hanya minta hakku," kataku kemudian."Hak apa? Emang ada ada yang kau kerjakan di situ, satu rumput saja tidak pernah kau cabut," kata Bang Erianto."Aku ikut belinya, uangku ikut beli lahan itu dulu," kataku kemudian."Berapa uangmu, oh, yang dua puluh juta itu, baik, kuberikan itu, berhenti ganggu aku," kata Bang Erianto."Tidak, aku mau setengah harta gono-gini, selanjutnya kita bicara di pengadilan," kataku kemudian."Hahaha," Bang Erianto tertawa."Tertawalah, silakan, kita buktikan di pengadilan," kataku lagi."Pasti si nenek peot itu yang racuni otakmu, kan, kau pikir mudah urus harta gono-gini itu? Butuh dana butuh biaya, sebelum kelar kau sudah mati kelaparan," katanya lagi."Kita lihat saja,"

  • Membalas Suami Perhitungan    Berlindung Di Balik Latah

    Aku masih di atas motor saat didorong oleh Mak Sinta, motorku oleng dan terjatuh di aspal. Mobil yang datang tak bisa menghindar lagi, akan tetapi refleks aku berguling ke kiri. Motorku yang ditabrak mobil warna hitam tersebut.Kupandangi motor yang hancur, Mak Sinta mencoba membantuku berdiri, aku menepis tangannya, kemudian gelap, aku sudah tidak ingat apa-apa lagi.Saat aku sadar, aku berasa di ruangan serba putih, lalu seorang wanita berpakaian putih datang mendekat."Ibu sudah siuman, ibu hanya lecet sedikit," katanya."Aku di mana?" tanyaku kemudian."Ini di rumah sakit, Bu,""Aku harus pulang, anakku tinggal," kataku sambil berdiri.Lalu muncul seorang pria tinggi besar, perutnya sedikit buncit.

  • Membalas Suami Perhitungan    Musibah Membawa Keberuntungan

    PoV Mak Sinta"Pemuda memang nyaman, duda lebih menggoda, akan tetapi suami orang lebih menantang"Pernah dengar ungkapan itu? Itulah yang terjadi padaku. Entah ini kelainan atau apa, akan tetapi aku suka suami orang. Aku lebih tertarik dengan orang yang sudah beristri, jika dia duda, entah kenapa rasanya kurang menantang, apalagi kalau cuma anak muda.Itu juga yang terjadi pada Erianto, kami sudah berteman sejak kecil, semenjak SMP sudah tumbuh benih-benih cinta, akan tetapi aku selalu menolaknya. Entah sudah berapa kali dia nyatakan rasa cintanya. Aku selalu menolak dengan halus.Saat dia sudah ingin menikah, aku tetap menolak, sampai akhirnya dia menikah dengan gadis tetangga. Apa yang terjadi denganku? Setelah dia resmi' jadi suami orang, aku justru berusaha mendekati. Entahlah, makin tampan saja dia di pandanganku.&

  • Membalas Suami Perhitungan    Tak Ada Kata Damai

    Betul juga prediksi Bu Kades, polisi akan menyarankan perdamaian, tidak diproses sampai pengadilan. Pagi itu Bu Kades menelepon, katanya aku harus hadir di kantor polisi hari ini. Tentu saja aku minta didampingi Bu Kades.Saat kami tiba di kantor polisi, disambut seorang pria berkameja putih dan berdasi."Saya pengacara saudara Erianto Sinaga," katanya memperkenalkan diri."Ibu ini pengacaranya?" tanyanya lagi seraya menunjuk Bu Kades."Oh, bukan, saya ketua PKK desa, ini mendampingi anggota saya," jawab Bu Kades."Oh, kita langsung bicara saja ya, tidak usah melibatkan pihak kepolisian dulu, saya menawarkan perdamaian dari klien saya, cabut laporan itu, kita buat perjanjian bermeterai, jika klien saya mengulangi perbuatannya akan dihukum sesuai hukum yang berlaku, " katanya kemudian.

  • Membalas Suami Perhitungan    Ratu Tumbang

    PoV Mak SintaTak tega rasanya melihat Eri di tahanan polisi, bagaimana pun juga dia adalah ayah biologis anakku. Di nama anakku ada namanya, yaitu Sinaga yang kusingkat jadi Sin. Sementara itu suamiku belum pernah datang lagi sudah empat bulan, katanya bus yang dia sopiri berganti jalur, tak lagi melewati daerah kami. Uang kirimannya pun makin lama makin sedikit. Hari itu Lena mengajakku ke kantor polisi menjenguk abangnya. Melihat Eri di tahanan bercampur dengan berbagai penjahat membuat aku terenyuh. Saat kami melihat pelipisnya bengkak. Lena langsung bertanya ke polisi yang jaga."Kenapa abangku bisa bengkak matanya, kalian pukuli ya, awas saja kuadukan, kami punyanpengacara," kata Lena. Gaya bicara wanita ini memang ceplas-ceplos, sebelas dua belas dengan Mak Doly."Bu, jangan langsung menuduh, itu sudah resiko di tahanan polisi, bisa jadi bertengkar dengan sesama tahanan," kata polisi tersebut."Jadi kalian biarkan?" kata Lena lagi."Bukan, tak mungkin dipisah, gini Bu ya, di

  • Membalas Suami Perhitungan    Terjebak Permainan Sendiri

    "Permainan apa maksudmu, Eri?" tanyaku kemudian."Maksudnya bukan membunuh orang, Tamina, Kamu pikir bisa bebas setelah membunuh orang, maksudku permainan catur, ingat gak saat kita beli lahan baru itu, ingat gak saat kita dapatkan bibit gratis, kita langsung ke rajanya, kita langkahi wewenang kepala desa, bukan berarti membunuh, Tapi negosiasi, ah, kamu memang gila'," kata Eri."Ah, kamu gak jelas ngomong," kataku lagi."Kamu itu bukan menyelesaikan masalah, tapi tambahan masalah,""Tidak akan, panen besok kami bisa sendiri, gak akan berani lagi si Taing itu mengganggu, nyawa taruhannya," kataku lagi.Aku yakin kejadian hilangnya Bu Kades akan jadi semacam peringatan pada Mak Doly, dia pasti tidak akan berani lagi macam-macam. Aku akan panen sawit tersebut bersama Lena lagi, takkan berani

Bab terbaru

  • Membalas Suami Perhitungan    Part Terakhir

    "Pokoknya jangan mau yang sama yang belum disunat, Taing, andaipun dia mau disunat, dia disunat karena apa? Karena Tuhan atau karena kamu?," begitu kata ibukuAku jadi ragu untuk menerima investor dari China tersebut. Perkataan ibuku yang sederhana itu seakan membuka pikiranku. Mereka memang sengaja mengutus seorang pemuda tampan dan memanfaatkan kejandaanku untuk bisa memuluskan kerjasama bisnis ini."Kurasa aku tidak bisa menerima kerjasama itu, Bu," kataku pada Bu Kades. Saat itu kami lagi sarapan bersama di kantin sekolah."Kenapa, Mak Doly?""Aku ragu, Bu,""Padahal di desa lain orang berlomba-lomba menawarkan tanahnya untuk investor, kamu malah menolaknya," kata Bu Kades."Aku merasa ada udang di balik batu, Bu," kataku

  • Membalas Suami Perhitungan    Pistol Vs dodos

    Basron berdiri sambil memegang senjata mirip pistol, saat dia jadi security di perusahaan, memang bersenjata dengan senjata airsoft gun. Apakah dia masih menyimpannya.Seorang ART-ku lalu keluar dari kamarnya, aku langsung memerintahkan ART-ku tersebut memeriksa anak-anak."Apa yang kau mau, Basron?" Kataku kemudian."Aku hanya menagih hutang," kata Basron."Begini cara kamu nagih hutang?" aku membentak, berharap suaraku didengar sekuriti yang biasanya selalu berjaga-jaga di gerbang."Aku sudah minta baik-baik," kata Basron lagi."Baiklah berapa yang kau minta?" Kataku kemudian."Aku tidak kemaruk, hanya minta modal rp50 juta, biar aku pergi dari sini," kata Basron."Baiklah,

  • Membalas Suami Perhitungan    Desa Janda

    Sebagai janda kaya raya dengan tiga anak, usia yang masih 30-an tahun, banyak juga yang coba menggoda dan melamarku. Mulai dari yang masih brondong sampai yang sudah tua sudah pernah mencoba untuk mendekatiku. Akan tetapi aku selalu menolak. Padahal jujur dalam hati, aku masih butuh laki-laki.Aku mau menikah jika ada yang lebih baik dari Pak Ardiansyah, atau minimal sebaik Pak Ardiansyah. Sampai hari ini belum ada, 3 tahun lebih sudah aku menjanda.Ternyata sendiri itu lelah juga, biarpun banyak harta biarpun aku bisa menyuruh siapa saja, akan tetapi jika malam tiba aku tetap kesepian. Aku butuh tempat curhat. Suatu hari aku lagi sibuk di depan rumah mengurus taman bunga, depan rumahku memang ku sulap jadi taman bunga. Terdengar suara salam di pintu pagar. Seorang asisten Rumah tanggaku langsung berlari kecil membuka pintu tersebut."Siapa, Bu?" Aku berteriak be

  • Membalas Suami Perhitungan    Yang Pergilah Dan Yang Datang

    Pengacara itu menatapku dengan tetapan tajam, mungkin dia tidak menyangka aku bisa bicara seperti ini. Untuk beberapa saat dia masih terdiam."Bagaimana, katakan saja begitu pada Helen," kataku lagi."Kamu memang pintar-pintar bodoh, jika dia mengaku tentu saja dia di penjara, bisa saja di penjara seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana, Untuk Apa lagi harta yang banyak jika di penjara seumur hidup," kata pengacara tersebut."Kamu tahu juga rupanya," kataku kemudian.Pria itu kembali bicara melalui HP, sepertinya bicara dengan Helen yang entah di mana. Beberapa Saat kemudian."Ini tawaran terakhir dari Helen, seluruh harta yang tersisa dibagi dua, setengah untukmu setengah untuk klien saya, ini orang terakhir, kita tak perlu lagi ke pengadilan cukup seluruh harta di

  • Membalas Suami Perhitungan    Bongkar Makam

    Pengacara itu menatapku dengan tetapan tajam, mungkin dia tidak menyangka aku bisa bicara seperti ini. Untuk beberapa saat dia masih terdiam."Bagaimana, katakan saja begitu pada Helen," kataku lagi."Kamu memang pintar-pintar bodoh, jika dia mengaku tentu saja dia di penjara, bisa saja di penjara seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana, Untuk Apa lagi harta yang banyak jika di penjara seumur hidup," kata pengacara tersebut."Kamu tahu juga rupanya," kataku kemudian.Pria itu kembali bicara melalui HP, sepertinya bicara dengan Helen yang entah di mana. Beberapa Saat kemudian."Ini tawaran terakhir dari Helen, seluruh harta yang tersisa dibagi dua, setengah untukmu setengah untuk klien saya, ini orang terakhir, kita tak perlu lagi ke pengadilan cukup seluruh harta di

  • Membalas Suami Perhitungan    Warisan Yang Jadi Pertengkaran

    Ternyata benar kata pepatah, jika kita kaya saudara kita akan banyak. Semenjak aku jadi janda yang kaya raya, hampir tiap hari selalu saja ada tamu yang datang, bahkan sepupu jauh yang selama ini tidak pernah bertemu tiba-tiba datang mengaku saudara. Tentu saja aku sambut dengan baik.Erianto, mantan suamiku itu jadi dilema tersendiri bagiku. Di satu sisi aku tak ingin dekat-dekat dengannya lagi. Seperti kata pepatah buanglah mantan pada tempatnya. Akan tetapi dia selalu datang. Tak pernah lagi minta duit memang. Tapi dia selalu baik kepada anak-anak. Yang memang anaknya.Seperti hari itu ada jadwal panen di kebun, aku yang sudah tiga minggu setelah melahirkan, coba berjalan keluar rumah, melihat-lihat orang yang panen. Ternyata ada Irianto. Aku melihat dia lagi melangsir sawit yang sudah selesai dipanen. Kasihan juga melihatnya, kebun ini dulu dibukanya semenjak dari lahan gambut, sampai jadi lahan

  • Membalas Suami Perhitungan    Kopi Campur Racun

    PoV HelenNamaku Helena Syah, dari lahir sudah kaya raya, punya orang tua yang kaya, Kakek nenek yang kaya. Papa keturunan Arab, Ibuku orang Batak, akan tetapi wajah dan postur tubuhku lebih condong seperti orang Arab.Dari lahir aku sudah terbiasa hidup mewah. Saat sekolah saja punya pengasuh khusus. Hidupku berjalan seperti di atas kertas, tak ada rintangan berarti. Sekolah, kuliah, kerja, nikah. Semua sepertinya mudah.Setelah punya anak dua dan berumur 29 tahun, entah kenapa aku mulai bosan menjalani kehidupan yang normal-normal. Aku mulai mencari tantangan. Suamiku juga selalu sibuk, anakku juga terlalu baik-baik, bener-bener hidup yang membosankan.Pertama aku coba bergaul dengan orang-orang di luar pertemanan yang biasa selama ini. Ikut mereka mendaki gunung , berkemah, akan tetapi tetap juga aku tidak menemukan tantangan. Ak

  • Membalas Suami Perhitungan    Sumpah Darah

    Ternyata jika tak direkam percakapan di wa itu tidak akan kelihatan. Aku lupa merekamnya, akhirnya hanya aku yang mendengar perkataan almarhum suami. Seandainya dia katakan lewat tulisan, mungkin bisa jadi bukti.Hanya dua jam jenazah suamiku disemayamkan di rumah, selanjutnya dibawa lagi untuk dimakamkan di Medan. Tempat pemakaman keluarga mereka, aku legowo, karena kata Kak Syarifah ini permintaan almarhum suami semasa hidupnya.Tinggal aku bersama empat anak, miris sekali hidupku. Akan tetapi banyak tetangga yang bilang aku justru beruntung. Nikah satu tahun dapat harta berlimpah.Suamiku memang meninggalkan banyak harta di sini. Di depan rumahku saja ada dua mobil. Mobil Pajero dan mobil double cabin. Kebunku yang 4 hektar sebagiannya sekarang sudah jadi perumahan. Perusahaan juga masih laporan padaku. Aku jadi janda kaya raya.

  • Membalas Suami Perhitungan    Rebutan Kuburan

    Ini cobaan apa lagi ya, Allah? Baru saja aku operasi tanpa didampingi suami, ini suamiku terkena serangan jantung. Aku tak bisa melihatnya. Keadaanku yang masih punya bayi berumur 10 hari tidak memungkinkan untuk pergi ke rumah sakit yang jaraknya 3 jam perjalanan naik mobil.Aku memanggil semua saudara, Kakak ipar, juga menghubungi Bu Kades. Meminta mereka untuk pergi ke rumah sakit, menjenguk suamiku yang lagi sakit. Orang-orang di kantor pun aku kabari.Aku hanya bisa berdoa, semoga suamiku sembuh. Sekarang aku merasa cobaan untukku terlalu berat. Kadang juga aku merasa ini adalah karma bagiku karena telah melawan suami pertamaku dulu. Ingat suami pertama, Dia justru nongol di depan pintu."Aku turut berduka cita, Taing," kata Erianto. Dia tidak masuk, hanya berdiri di pintu, saat itu aku lagi duduk di sofa. Sedangkan anak-anak bermain di halaman.

DMCA.com Protection Status