PoV Mak SintaTak tega rasanya melihat Eri di tahanan polisi, bagaimana pun juga dia adalah ayah biologis anakku. Di nama anakku ada namanya, yaitu Sinaga yang kusingkat jadi Sin. Sementara itu suamiku belum pernah datang lagi sudah empat bulan, katanya bus yang dia sopiri berganti jalur, tak lagi melewati daerah kami. Uang kirimannya pun makin lama makin sedikit. Hari itu Lena mengajakku ke kantor polisi menjenguk abangnya. Melihat Eri di tahanan bercampur dengan berbagai penjahat membuat aku terenyuh. Saat kami melihat pelipisnya bengkak. Lena langsung bertanya ke polisi yang jaga."Kenapa abangku bisa bengkak matanya, kalian pukuli ya, awas saja kuadukan, kami punyanpengacara," kata Lena. Gaya bicara wanita ini memang ceplas-ceplos, sebelas dua belas dengan Mak Doly."Bu, jangan langsung menuduh, itu sudah resiko di tahanan polisi, bisa jadi bertengkar dengan sesama tahanan," kata polisi tersebut."Jadi kalian biarkan?" kata Lena lagi."Bukan, tak mungkin dipisah, gini Bu ya, di
"Permainan apa maksudmu, Eri?" tanyaku kemudian."Maksudnya bukan membunuh orang, Tamina, Kamu pikir bisa bebas setelah membunuh orang, maksudku permainan catur, ingat gak saat kita beli lahan baru itu, ingat gak saat kita dapatkan bibit gratis, kita langsung ke rajanya, kita langkahi wewenang kepala desa, bukan berarti membunuh, Tapi negosiasi, ah, kamu memang gila'," kata Eri."Ah, kamu gak jelas ngomong," kataku lagi."Kamu itu bukan menyelesaikan masalah, tapi tambahan masalah,""Tidak akan, panen besok kami bisa sendiri, gak akan berani lagi si Taing itu mengganggu, nyawa taruhannya," kataku lagi.Aku yakin kejadian hilangnya Bu Kades akan jadi semacam peringatan pada Mak Doly, dia pasti tidak akan berani lagi macam-macam. Aku akan panen sawit tersebut bersama Lena lagi, takkan berani
Desa kami geger, ibu Kepala desa hilang, pencarian sudah dilakukan mulai tadi malam. Pagi harinya baru kepala desa datang ke rumah. Entah kenapa aku seperti merasa dicurigai. Karena akulah yang terakhir bertemu dengan ibu tersebut.Aku dibawa ke kantor polisi, kata polisi untuk dimintai keterangan. Saat aku menceritakan apa adanya, aku melihat Mak Sinta datang berkunjung. Dia mengunjungi Eri. Entah kenapa aku jadi curiga pada Mak Sinta."Maaf, Pak, bukan hendak mengajari polisi bekerja, tapi aku curiga dengan perempuan yang itu," kataku seraya menunjuk ke kaca. Kaca itu tembus pandang sebelah, dari dalam bebas melihat, dari luar tidak."Kita pelajari, Bu, tapi kita bekerja berdasarkan alat bukti, bukan perasaan," Kata polisi tersebut."Tugasnkalian yang cari buktinya, pokoknya aku curiga ini pekerjaannya," kataku. Polisi itu lalu be
"Hanya gara-gara dua tamparan, sampai hati kau penjarakan ayah anakmu sendiri," katanya lagi"Bagaimana dengan perselingkuhan?" kataku kemudian.Dia diam, dia selingkuh sejak lama, akan tetapi entah kenapa biarpun aku baru tahu, tak ada lagi rasa cemburuku. Kata orang jika kita tak cemburu lagi , berarti rasa cinta sudah habis."Kamu bertahun-tahun selingkuh?" kataku lagi."Biar kau tahu saja, kami tidak selingkuh,""Hahaha, jadi sampai punya anak ini namanya apa?""Kamu tak akan ngerti, kami sudah berteman sejak kecil, dari SD sudah seringkali main kawin kawinan, hanya nasib yang membuat kami tidak bisa bersama,""Udah, sana susul teman kawin kawinmu ke penjara," kataku kemudian.
Aku merasa sedikit lega, bos perkebunan itu membatalkan membeli kebun tersebut. Dia ternyata sangat baik, bahkan memberikan bantuan hukum untukku, juga memberikan motor. Motorku yang lama memang sudah tidak terpakai lagi. Karena biayai memperbaikinya sudah lebih mahal dari harga motor tersebut.Aku akhirnya dapat pengacara, pengacara perempuan bersuara keras. Dia memperkenalkan diri dengan nama Boru Lubis, aku disuruh memanggil Bu Lubis saja. Wanita empat puluhan tahun yang tampak masih enerjik.Bu Lubis mempelajari kasusku, lalu dia meminta visum dari puskesmas, video rekaman tamparan tersebut, terus bukti laporan ke polisi, terus saksi jika saja kami sudah cerai secara agama. Semua bisa kusanggupi kecuali saksi. Saksinya Bu Sinta, sementara dia sudah di penjara.Sidang kedua berjalan lancar saja, biarpun Erianto tetap tidak mau datang, masih diwakili pengacara, akan tetapi hakim mengetuk
Untuk sesaat aku masih tak tahu harus berbuat apa, masih berdiri di depan sekolah. Dua anakku ada di kanan dan kiriku, tak bisa kubayangkan akan ditangkap polisi di depan anak-anakku.Erianto mendekatiku, dia memasang wajah sedih, aku tahu wajah sedih itu wajah mengejek."Maaf, Taing, poin terbalik, tidak usah khawatir dengan anak-anak, aku akan mengurusnya," kata Erianto, rautr wajah itu membuat aku jijik.Kulihat mobil patroli polisi tersebut, para polisi belum turun dari mobil. Mereka seperti menunggu, entah menunggu apa."Udahlah, sini anak-anak, jangan sampai anak-anak melihat mamaknya ditangkap polisi," kata Erianto lagi."Tidak," kataku seraya memegang erat ke-dua tangan anakku.
Lena langsung saja pergi, tanpa menunggu jawaban dariku lagi. Tinggal Sinta dan tas ransel yang mungkin berisi pakaian. "Melly mana, Tante?" tanya Sinta dengan polosnya."Itu di dalam," jawabku. Merry anak bungsuku lalu keluar rumah. Dia mengajak Sinta masuk, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi."Eh, anak si Tamina ini?" kata Ibuku begitu melihat anak tersebut dengan dekat."Iya, Mak, dia boru Sinaga," kataku kemudian."Lo, kok bisa, bukannya ayahnya orang Medan, " tanya ibuku lagi.Aku lalu mengajak Ibuku bicara, minta pendapatnya apa yang harus kulakukan. "Wah, rumit sekali ya, Taing, Musuh justru menitipkan anaknya padamu," kata ibu."Itulah, Mak, tapi aku gak tega, lihatlah wajah polosnya, dia gak tau apa-apa," kataku lagi."Kembali berpulang padamu, Taing, mampu gak? jika gak mampu mengurusi anak ini, Jangan paksakan, jangan sampai anak ini ikut merasakan perbuatan orang tuanya," kata ibuku lagi."Jadi kuberikan sama siapa, Mak?""Berikan pada keluarganya, kan masih ada kakak si
Erianto keluar dari rumahnya, dia seperti tak merasa bersalah, wajahnya justru terlihat bingung."Apa-apaan ini?" tanyanya kemudian."Gak usah berlagak gak tau apa-apa, kau bunuh anjingku," kataku kemudian."Aku memang jahat, Taing, tapi bukan pemb-unuh, kau kenal aku," kata Erianto."Jadi siapa lagi?""Aku mana tau, udahlah, gak usahlah cari masalah dulu, kau kenal aku, bunuh ular saja aku gak tega," kata Erianto.Aku terdiam, dia benar, bahkan pernah dapat tikus terperangkap di sumur rumah, dia melepaskannya, gak tega katanya bunuh tikus, lalu siapa yang bunuh anjingku?Aku pulang membawa anjing tersebut, kukubur di belakang rumah. Tak habis pikir siapa yang tega bubuh anjingku, atau kah tukang dodos? 
"Pokoknya jangan mau yang sama yang belum disunat, Taing, andaipun dia mau disunat, dia disunat karena apa? Karena Tuhan atau karena kamu?," begitu kata ibukuAku jadi ragu untuk menerima investor dari China tersebut. Perkataan ibuku yang sederhana itu seakan membuka pikiranku. Mereka memang sengaja mengutus seorang pemuda tampan dan memanfaatkan kejandaanku untuk bisa memuluskan kerjasama bisnis ini."Kurasa aku tidak bisa menerima kerjasama itu, Bu," kataku pada Bu Kades. Saat itu kami lagi sarapan bersama di kantin sekolah."Kenapa, Mak Doly?""Aku ragu, Bu,""Padahal di desa lain orang berlomba-lomba menawarkan tanahnya untuk investor, kamu malah menolaknya," kata Bu Kades."Aku merasa ada udang di balik batu, Bu," kataku
Basron berdiri sambil memegang senjata mirip pistol, saat dia jadi security di perusahaan, memang bersenjata dengan senjata airsoft gun. Apakah dia masih menyimpannya.Seorang ART-ku lalu keluar dari kamarnya, aku langsung memerintahkan ART-ku tersebut memeriksa anak-anak."Apa yang kau mau, Basron?" Kataku kemudian."Aku hanya menagih hutang," kata Basron."Begini cara kamu nagih hutang?" aku membentak, berharap suaraku didengar sekuriti yang biasanya selalu berjaga-jaga di gerbang."Aku sudah minta baik-baik," kata Basron lagi."Baiklah berapa yang kau minta?" Kataku kemudian."Aku tidak kemaruk, hanya minta modal rp50 juta, biar aku pergi dari sini," kata Basron."Baiklah,
Sebagai janda kaya raya dengan tiga anak, usia yang masih 30-an tahun, banyak juga yang coba menggoda dan melamarku. Mulai dari yang masih brondong sampai yang sudah tua sudah pernah mencoba untuk mendekatiku. Akan tetapi aku selalu menolak. Padahal jujur dalam hati, aku masih butuh laki-laki.Aku mau menikah jika ada yang lebih baik dari Pak Ardiansyah, atau minimal sebaik Pak Ardiansyah. Sampai hari ini belum ada, 3 tahun lebih sudah aku menjanda.Ternyata sendiri itu lelah juga, biarpun banyak harta biarpun aku bisa menyuruh siapa saja, akan tetapi jika malam tiba aku tetap kesepian. Aku butuh tempat curhat. Suatu hari aku lagi sibuk di depan rumah mengurus taman bunga, depan rumahku memang ku sulap jadi taman bunga. Terdengar suara salam di pintu pagar. Seorang asisten Rumah tanggaku langsung berlari kecil membuka pintu tersebut."Siapa, Bu?" Aku berteriak be
Pengacara itu menatapku dengan tetapan tajam, mungkin dia tidak menyangka aku bisa bicara seperti ini. Untuk beberapa saat dia masih terdiam."Bagaimana, katakan saja begitu pada Helen," kataku lagi."Kamu memang pintar-pintar bodoh, jika dia mengaku tentu saja dia di penjara, bisa saja di penjara seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana, Untuk Apa lagi harta yang banyak jika di penjara seumur hidup," kata pengacara tersebut."Kamu tahu juga rupanya," kataku kemudian.Pria itu kembali bicara melalui HP, sepertinya bicara dengan Helen yang entah di mana. Beberapa Saat kemudian."Ini tawaran terakhir dari Helen, seluruh harta yang tersisa dibagi dua, setengah untukmu setengah untuk klien saya, ini orang terakhir, kita tak perlu lagi ke pengadilan cukup seluruh harta di
Pengacara itu menatapku dengan tetapan tajam, mungkin dia tidak menyangka aku bisa bicara seperti ini. Untuk beberapa saat dia masih terdiam."Bagaimana, katakan saja begitu pada Helen," kataku lagi."Kamu memang pintar-pintar bodoh, jika dia mengaku tentu saja dia di penjara, bisa saja di penjara seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana, Untuk Apa lagi harta yang banyak jika di penjara seumur hidup," kata pengacara tersebut."Kamu tahu juga rupanya," kataku kemudian.Pria itu kembali bicara melalui HP, sepertinya bicara dengan Helen yang entah di mana. Beberapa Saat kemudian."Ini tawaran terakhir dari Helen, seluruh harta yang tersisa dibagi dua, setengah untukmu setengah untuk klien saya, ini orang terakhir, kita tak perlu lagi ke pengadilan cukup seluruh harta di
Ternyata benar kata pepatah, jika kita kaya saudara kita akan banyak. Semenjak aku jadi janda yang kaya raya, hampir tiap hari selalu saja ada tamu yang datang, bahkan sepupu jauh yang selama ini tidak pernah bertemu tiba-tiba datang mengaku saudara. Tentu saja aku sambut dengan baik.Erianto, mantan suamiku itu jadi dilema tersendiri bagiku. Di satu sisi aku tak ingin dekat-dekat dengannya lagi. Seperti kata pepatah buanglah mantan pada tempatnya. Akan tetapi dia selalu datang. Tak pernah lagi minta duit memang. Tapi dia selalu baik kepada anak-anak. Yang memang anaknya.Seperti hari itu ada jadwal panen di kebun, aku yang sudah tiga minggu setelah melahirkan, coba berjalan keluar rumah, melihat-lihat orang yang panen. Ternyata ada Irianto. Aku melihat dia lagi melangsir sawit yang sudah selesai dipanen. Kasihan juga melihatnya, kebun ini dulu dibukanya semenjak dari lahan gambut, sampai jadi lahan
PoV HelenNamaku Helena Syah, dari lahir sudah kaya raya, punya orang tua yang kaya, Kakek nenek yang kaya. Papa keturunan Arab, Ibuku orang Batak, akan tetapi wajah dan postur tubuhku lebih condong seperti orang Arab.Dari lahir aku sudah terbiasa hidup mewah. Saat sekolah saja punya pengasuh khusus. Hidupku berjalan seperti di atas kertas, tak ada rintangan berarti. Sekolah, kuliah, kerja, nikah. Semua sepertinya mudah.Setelah punya anak dua dan berumur 29 tahun, entah kenapa aku mulai bosan menjalani kehidupan yang normal-normal. Aku mulai mencari tantangan. Suamiku juga selalu sibuk, anakku juga terlalu baik-baik, bener-bener hidup yang membosankan.Pertama aku coba bergaul dengan orang-orang di luar pertemanan yang biasa selama ini. Ikut mereka mendaki gunung , berkemah, akan tetapi tetap juga aku tidak menemukan tantangan. Ak
Ternyata jika tak direkam percakapan di wa itu tidak akan kelihatan. Aku lupa merekamnya, akhirnya hanya aku yang mendengar perkataan almarhum suami. Seandainya dia katakan lewat tulisan, mungkin bisa jadi bukti.Hanya dua jam jenazah suamiku disemayamkan di rumah, selanjutnya dibawa lagi untuk dimakamkan di Medan. Tempat pemakaman keluarga mereka, aku legowo, karena kata Kak Syarifah ini permintaan almarhum suami semasa hidupnya.Tinggal aku bersama empat anak, miris sekali hidupku. Akan tetapi banyak tetangga yang bilang aku justru beruntung. Nikah satu tahun dapat harta berlimpah.Suamiku memang meninggalkan banyak harta di sini. Di depan rumahku saja ada dua mobil. Mobil Pajero dan mobil double cabin. Kebunku yang 4 hektar sebagiannya sekarang sudah jadi perumahan. Perusahaan juga masih laporan padaku. Aku jadi janda kaya raya.
Ini cobaan apa lagi ya, Allah? Baru saja aku operasi tanpa didampingi suami, ini suamiku terkena serangan jantung. Aku tak bisa melihatnya. Keadaanku yang masih punya bayi berumur 10 hari tidak memungkinkan untuk pergi ke rumah sakit yang jaraknya 3 jam perjalanan naik mobil.Aku memanggil semua saudara, Kakak ipar, juga menghubungi Bu Kades. Meminta mereka untuk pergi ke rumah sakit, menjenguk suamiku yang lagi sakit. Orang-orang di kantor pun aku kabari.Aku hanya bisa berdoa, semoga suamiku sembuh. Sekarang aku merasa cobaan untukku terlalu berat. Kadang juga aku merasa ini adalah karma bagiku karena telah melawan suami pertamaku dulu. Ingat suami pertama, Dia justru nongol di depan pintu."Aku turut berduka cita, Taing," kata Erianto. Dia tidak masuk, hanya berdiri di pintu, saat itu aku lagi duduk di sofa. Sedangkan anak-anak bermain di halaman.