Untuk sesaat aku masih tak tahu harus berbuat apa, masih berdiri di depan sekolah. Dua anakku ada di kanan dan kiriku, tak bisa kubayangkan akan ditangkap polisi di depan anak-anakku.
Erianto mendekatiku, dia memasang wajah sedih, aku tahu wajah sedih itu wajah mengejek.
"Maaf, Taing, poin terbalik, tidak usah khawatir dengan anak-anak, aku akan mengurusnya," kata Erianto, rautr wajah itu membuat aku jijik.
Kulihat mobil patroli polisi tersebut, para polisi belum turun dari mobil. Mereka seperti menunggu, entah menunggu apa.
"Udahlah, sini anak-anak, jangan sampai anak-anak melihat mamaknya ditangkap polisi," kata Erianto lagi.
"Tidak," kataku seraya memegang erat ke-dua tangan anakku.
Lena langsung saja pergi, tanpa menunggu jawaban dariku lagi. Tinggal Sinta dan tas ransel yang mungkin berisi pakaian. "Melly mana, Tante?" tanya Sinta dengan polosnya."Itu di dalam," jawabku. Merry anak bungsuku lalu keluar rumah. Dia mengajak Sinta masuk, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi."Eh, anak si Tamina ini?" kata Ibuku begitu melihat anak tersebut dengan dekat."Iya, Mak, dia boru Sinaga," kataku kemudian."Lo, kok bisa, bukannya ayahnya orang Medan, " tanya ibuku lagi.Aku lalu mengajak Ibuku bicara, minta pendapatnya apa yang harus kulakukan. "Wah, rumit sekali ya, Taing, Musuh justru menitipkan anaknya padamu," kata ibu."Itulah, Mak, tapi aku gak tega, lihatlah wajah polosnya, dia gak tau apa-apa," kataku lagi."Kembali berpulang padamu, Taing, mampu gak? jika gak mampu mengurusi anak ini, Jangan paksakan, jangan sampai anak ini ikut merasakan perbuatan orang tuanya," kata ibuku lagi."Jadi kuberikan sama siapa, Mak?""Berikan pada keluarganya, kan masih ada kakak si
Erianto keluar dari rumahnya, dia seperti tak merasa bersalah, wajahnya justru terlihat bingung."Apa-apaan ini?" tanyanya kemudian."Gak usah berlagak gak tau apa-apa, kau bunuh anjingku," kataku kemudian."Aku memang jahat, Taing, tapi bukan pemb-unuh, kau kenal aku," kata Erianto."Jadi siapa lagi?""Aku mana tau, udahlah, gak usahlah cari masalah dulu, kau kenal aku, bunuh ular saja aku gak tega," kata Erianto.Aku terdiam, dia benar, bahkan pernah dapat tikus terperangkap di sumur rumah, dia melepaskannya, gak tega katanya bunuh tikus, lalu siapa yang bunuh anjingku?Aku pulang membawa anjing tersebut, kukubur di belakang rumah. Tak habis pikir siapa yang tega bubuh anjingku, atau kah tukang dodos? 
Aku masih mengintip, kumatikan lampu dari dalam pondok. Dua orang tersebut dengan tenangnya mendodos sawit yang belum seberapa tinggi. Apakah mereka belum menyadari aku ada di sini?Saat aku hendak turun dari rumah kayu dengan parang di tangan, terdengar suara mobil masuk. Ternyata mereka pencuri elit, sampai mobilnya pun ada, dua orang mendodos sawit, dua orang memuat ke truk.Aku jadi ragu untuk turun, tak mungkin bisa kulawan empat orang, apalagi masing-masing mereka memegang alat dodos Sawit yang tajam, seraya alat pengangkat sawit yang runcing. Yang bisa kulakukan hanyalah merekam dari celah dinding. Tentu saja gambar tak terang. Mobil truk itu pun sepertinya sengaja ditutupi nomor polisinya.Aku gemetar, tak tahu harus berbuat apa, ingin melawan rasanya tidak akan berhasil. Ingin berteriak siapa pula yang dengar. Sementara itu anjing kecilku terus men
Erianto geleng-geleng kepala melihatku, dia mungkin tak menyangka mantan istrinya yang dulu lemah lembut ini bisa memutuskan jari orang."Taing, kamu sebaiknya periksakan diri dulu, nanti leher si Doly kau tebas," kata Erianto lagi.Aku jadi emosi, kuambil parang tajam. .."Pergi dari sini!" teriakku sambil memegang parang.Lelaki yang pernah jadi suamiku delapan tahun itu lari terbirit-birit. Entah kenapa jiwa psikopatku tiba-tiba muncul, empat jari yang putus itu kumasukkan ke pelastik, lalu kugantung di pintu masuk kebunku. Aku ingin memberikan peringatan pada pencuri sawit, ini yang terjadi jika coba mencuri sawitku.Aku pulang ke rumah pagi itu, ada tiga anak yang harus aku antar ke sekolah, saat aku tiba di rumah, Mereka ternyata sudah mandi dan sarapan bersama ibuku, ting
"Banyak lo satpam perempuan," kata Pak Ardiansyah lagi.Apa iya aku berbakat di bidang pengamanan? Tak bisa kubayangkan aku berpakaian sekuriti di kantor perkebunan."Kamu galak tapi tetap sesuai koridor, itu yang dibutuhkan pada pengamanan," kata Pak Ardiansyah lagi."Baiklah, Pak, akan kupikirkan dulu," kataku akhirnya.Aku tak mungkin lagi menjaga kebun tanpa ada pondoknya, sampai sore aku masih di kebun. Erianto datang lagi, dan lagi-lagi dia menawarkan bantuan sambil mengejek."Udahlah, biar aku yang jaga kebunmu, atau kita jaga bersama, kamu gak akan mampu," kata Erianto."Aku bisa, akan kutunjukkan kalau aku bisa," kataku dengan tegas."Taing, Taing, malam ini mau kau jaga bagaimana, tidur di tanah kau, d
"Aku telah dihukum untuk kejahatan yang tidak aku lakukan, kamu tuduh aku memitnah, padahal benar," kata Erianto seraya menunjuk wajah Pak Ardiansyah."Kamu salah sangka," kataku kemudian."Salah sangka apanya, ini buktinya," kata Erianto seraya menunjuk batu bata yang sudah tersusun di depan pondokku."Apa pula urusannya dengan batu?" tanyaku lagi."Kau pikir aku bodoh apa, ada gak yang mau bangun rumah untuk orang kalau gak ada apa-apanya? Tidak ada, dia itu pebisnis, tau kau pebisnis, di otaknya hanya ada untung rugi, jika dia mau bangun rumah gedung di kebun, berarti sudah kau kasih itumu," katanya lagi.Pak Ardiansyah seperti tidak berusaha membantah, dia justru cari tempat duduk dan menonton kami bertengkar."Udahlah, kita sudah cerai, gak usah kau usik lagi hidupku," kataku kemudian."Oh, no, aku gak sempat usik hidupmu, aku cuman minta keadilan, aku dipenjara karena dituduh mengatakan sesuatu yang benar," kata Erianto."Udahlah, sana kau," aku mulai kesal."Uangnya sudah mengh
Pak Ardiansyah sudah menyarankan untuk tidak perpanjang masalah, karena menurut bos perusahaan itu pencuri sudah dapat ganjaran setimpal. Empat jari putus sudah sangat setimpal dengan dua ton sawit yang mereka curi. Akan tetapi melihat Lena dan Ijul aku tak bisa menahan diri. Apalagi ternyata berondong yang digosipkan orang itu ternyata Ijul, Ijul sendiri diduga ikut mencuri sawitku.Rumah parmenen di kebun sawit masih sesuatu yang jarang di desa, biasanya rumah orang terbuat dari kayu. Aku jadi semangat untuk tinggal di kebun, jika rumah itu sudah selesai mungkin aku bisa lebih aman di sana.Erianto masih saja nyiyir, mantan yang kini jadi tetangga itu sepertinya selalu berusaha mencari masalah. Seperti hari itu dia datang ke tempatku, saat itu dua tukang lagi kerja memasang atap."Heh, bisa gak itu gak usah keras-keras kali mukulnya, tidur
Erianto makin tak beres saja, kini dia sudah minum minuman keras, apa iya Istri barunya lari? Memang kemarin istrinya bilang sudah tidak tahan, akan tetapi kenapa aku lagi yang disalahkan?"Istriku lari, Taing, dia bawa uangku, hancur semua," kata Erianto lagi.Aku dapat cerita baru, istrinya lari bawa uangnya."Taing, demi langit dan bumi, kembalilah padaku," kata Erianto.Mantan suamiku ini tampaknya sudah mabuk berat, bicaranya sudah tak menentu."Pergi dari sini!" teriakku kemudian.Dia malah menyanyi sambil pegang botol minuman, aku jadi kesal."Pergi dari sini!" teriakku."Taing, sayang, kembalilah padaku," katanya lagi.Aku jadi mak
"Pokoknya jangan mau yang sama yang belum disunat, Taing, andaipun dia mau disunat, dia disunat karena apa? Karena Tuhan atau karena kamu?," begitu kata ibukuAku jadi ragu untuk menerima investor dari China tersebut. Perkataan ibuku yang sederhana itu seakan membuka pikiranku. Mereka memang sengaja mengutus seorang pemuda tampan dan memanfaatkan kejandaanku untuk bisa memuluskan kerjasama bisnis ini."Kurasa aku tidak bisa menerima kerjasama itu, Bu," kataku pada Bu Kades. Saat itu kami lagi sarapan bersama di kantin sekolah."Kenapa, Mak Doly?""Aku ragu, Bu,""Padahal di desa lain orang berlomba-lomba menawarkan tanahnya untuk investor, kamu malah menolaknya," kata Bu Kades."Aku merasa ada udang di balik batu, Bu," kataku
Basron berdiri sambil memegang senjata mirip pistol, saat dia jadi security di perusahaan, memang bersenjata dengan senjata airsoft gun. Apakah dia masih menyimpannya.Seorang ART-ku lalu keluar dari kamarnya, aku langsung memerintahkan ART-ku tersebut memeriksa anak-anak."Apa yang kau mau, Basron?" Kataku kemudian."Aku hanya menagih hutang," kata Basron."Begini cara kamu nagih hutang?" aku membentak, berharap suaraku didengar sekuriti yang biasanya selalu berjaga-jaga di gerbang."Aku sudah minta baik-baik," kata Basron lagi."Baiklah berapa yang kau minta?" Kataku kemudian."Aku tidak kemaruk, hanya minta modal rp50 juta, biar aku pergi dari sini," kata Basron."Baiklah,
Sebagai janda kaya raya dengan tiga anak, usia yang masih 30-an tahun, banyak juga yang coba menggoda dan melamarku. Mulai dari yang masih brondong sampai yang sudah tua sudah pernah mencoba untuk mendekatiku. Akan tetapi aku selalu menolak. Padahal jujur dalam hati, aku masih butuh laki-laki.Aku mau menikah jika ada yang lebih baik dari Pak Ardiansyah, atau minimal sebaik Pak Ardiansyah. Sampai hari ini belum ada, 3 tahun lebih sudah aku menjanda.Ternyata sendiri itu lelah juga, biarpun banyak harta biarpun aku bisa menyuruh siapa saja, akan tetapi jika malam tiba aku tetap kesepian. Aku butuh tempat curhat. Suatu hari aku lagi sibuk di depan rumah mengurus taman bunga, depan rumahku memang ku sulap jadi taman bunga. Terdengar suara salam di pintu pagar. Seorang asisten Rumah tanggaku langsung berlari kecil membuka pintu tersebut."Siapa, Bu?" Aku berteriak be
Pengacara itu menatapku dengan tetapan tajam, mungkin dia tidak menyangka aku bisa bicara seperti ini. Untuk beberapa saat dia masih terdiam."Bagaimana, katakan saja begitu pada Helen," kataku lagi."Kamu memang pintar-pintar bodoh, jika dia mengaku tentu saja dia di penjara, bisa saja di penjara seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana, Untuk Apa lagi harta yang banyak jika di penjara seumur hidup," kata pengacara tersebut."Kamu tahu juga rupanya," kataku kemudian.Pria itu kembali bicara melalui HP, sepertinya bicara dengan Helen yang entah di mana. Beberapa Saat kemudian."Ini tawaran terakhir dari Helen, seluruh harta yang tersisa dibagi dua, setengah untukmu setengah untuk klien saya, ini orang terakhir, kita tak perlu lagi ke pengadilan cukup seluruh harta di
Pengacara itu menatapku dengan tetapan tajam, mungkin dia tidak menyangka aku bisa bicara seperti ini. Untuk beberapa saat dia masih terdiam."Bagaimana, katakan saja begitu pada Helen," kataku lagi."Kamu memang pintar-pintar bodoh, jika dia mengaku tentu saja dia di penjara, bisa saja di penjara seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana, Untuk Apa lagi harta yang banyak jika di penjara seumur hidup," kata pengacara tersebut."Kamu tahu juga rupanya," kataku kemudian.Pria itu kembali bicara melalui HP, sepertinya bicara dengan Helen yang entah di mana. Beberapa Saat kemudian."Ini tawaran terakhir dari Helen, seluruh harta yang tersisa dibagi dua, setengah untukmu setengah untuk klien saya, ini orang terakhir, kita tak perlu lagi ke pengadilan cukup seluruh harta di
Ternyata benar kata pepatah, jika kita kaya saudara kita akan banyak. Semenjak aku jadi janda yang kaya raya, hampir tiap hari selalu saja ada tamu yang datang, bahkan sepupu jauh yang selama ini tidak pernah bertemu tiba-tiba datang mengaku saudara. Tentu saja aku sambut dengan baik.Erianto, mantan suamiku itu jadi dilema tersendiri bagiku. Di satu sisi aku tak ingin dekat-dekat dengannya lagi. Seperti kata pepatah buanglah mantan pada tempatnya. Akan tetapi dia selalu datang. Tak pernah lagi minta duit memang. Tapi dia selalu baik kepada anak-anak. Yang memang anaknya.Seperti hari itu ada jadwal panen di kebun, aku yang sudah tiga minggu setelah melahirkan, coba berjalan keluar rumah, melihat-lihat orang yang panen. Ternyata ada Irianto. Aku melihat dia lagi melangsir sawit yang sudah selesai dipanen. Kasihan juga melihatnya, kebun ini dulu dibukanya semenjak dari lahan gambut, sampai jadi lahan
PoV HelenNamaku Helena Syah, dari lahir sudah kaya raya, punya orang tua yang kaya, Kakek nenek yang kaya. Papa keturunan Arab, Ibuku orang Batak, akan tetapi wajah dan postur tubuhku lebih condong seperti orang Arab.Dari lahir aku sudah terbiasa hidup mewah. Saat sekolah saja punya pengasuh khusus. Hidupku berjalan seperti di atas kertas, tak ada rintangan berarti. Sekolah, kuliah, kerja, nikah. Semua sepertinya mudah.Setelah punya anak dua dan berumur 29 tahun, entah kenapa aku mulai bosan menjalani kehidupan yang normal-normal. Aku mulai mencari tantangan. Suamiku juga selalu sibuk, anakku juga terlalu baik-baik, bener-bener hidup yang membosankan.Pertama aku coba bergaul dengan orang-orang di luar pertemanan yang biasa selama ini. Ikut mereka mendaki gunung , berkemah, akan tetapi tetap juga aku tidak menemukan tantangan. Ak
Ternyata jika tak direkam percakapan di wa itu tidak akan kelihatan. Aku lupa merekamnya, akhirnya hanya aku yang mendengar perkataan almarhum suami. Seandainya dia katakan lewat tulisan, mungkin bisa jadi bukti.Hanya dua jam jenazah suamiku disemayamkan di rumah, selanjutnya dibawa lagi untuk dimakamkan di Medan. Tempat pemakaman keluarga mereka, aku legowo, karena kata Kak Syarifah ini permintaan almarhum suami semasa hidupnya.Tinggal aku bersama empat anak, miris sekali hidupku. Akan tetapi banyak tetangga yang bilang aku justru beruntung. Nikah satu tahun dapat harta berlimpah.Suamiku memang meninggalkan banyak harta di sini. Di depan rumahku saja ada dua mobil. Mobil Pajero dan mobil double cabin. Kebunku yang 4 hektar sebagiannya sekarang sudah jadi perumahan. Perusahaan juga masih laporan padaku. Aku jadi janda kaya raya.
Ini cobaan apa lagi ya, Allah? Baru saja aku operasi tanpa didampingi suami, ini suamiku terkena serangan jantung. Aku tak bisa melihatnya. Keadaanku yang masih punya bayi berumur 10 hari tidak memungkinkan untuk pergi ke rumah sakit yang jaraknya 3 jam perjalanan naik mobil.Aku memanggil semua saudara, Kakak ipar, juga menghubungi Bu Kades. Meminta mereka untuk pergi ke rumah sakit, menjenguk suamiku yang lagi sakit. Orang-orang di kantor pun aku kabari.Aku hanya bisa berdoa, semoga suamiku sembuh. Sekarang aku merasa cobaan untukku terlalu berat. Kadang juga aku merasa ini adalah karma bagiku karena telah melawan suami pertamaku dulu. Ingat suami pertama, Dia justru nongol di depan pintu."Aku turut berduka cita, Taing," kata Erianto. Dia tidak masuk, hanya berdiri di pintu, saat itu aku lagi duduk di sofa. Sedangkan anak-anak bermain di halaman.