Suami melongo, dia masih berdiri di depanku, uang sudah berserakan di lantai. Aku benar-benar lepas kendali. Selama ini aku sudah berusaha jadi istri yang penurut dan sabar. Akan tetapi semenjak ibuku sakit, semuanya rasanya berubah. Dua saudaraku seperti tak mampu. Semua mengharap padaku.Uang itu malah tetap berserakan di lantai sampai pagi hari, aku sudah marah, suami pun marah. "Dek, masih warasnya kau?" suami malah seperti mengejek, saat itu aku hendak mengantar anakku sekolah. Sementara uang masih tetap berserakan di lantai."Aku masih waras, Bang, waras kali pun, kalau Abang mau perhitungan, ya itu tadi, hitungan gajiku," kataku kemudian."Udah, sana antar si Doly," jawab suami. Doly adalah anak sulungku yang masih jelas satu SD."Oh ya, berapa ongkos ojek ke sekolah tiap hari? bayar juga itu," kataku lagi."Astaghfirullah, sudah gila kau, Dek?" "Ayolah, Mak, nanti terlambat," kata Doly, aku akhirnya menghidupkan motor matic tua tersebut, akan tetapi aku teringat sesuatu, tak
Keesokan harinya kebetulan hari Minggu, anak-anak libur sekolah, suami juga biasanya akan di rumah seharian. Aku masih diam, uang belanja belum juga diberikan suami. Dia tetap bersikukuh aku harus minta utang abangku, padahal sudah kubilang itu bukan utang. Aku akan mogok kerja, sudah jam delapan pagi aku tak beranjak juga dari tempat tidur. Suami malah mengajak dua anakku makan di luar, aku tak diajak. Mak Sinta datang berkunjung, Saat dia sampai sudah langsung mengomel."Istri macam apa kau ini, Mak Doly, sudah jam segini belum apa-apa?" kata Mak Sinta."Aku lagi mogok kerja," kataku kemudian."Ya, ampun, kau makin memposisikan diri sebagai pekerja, pake mogok segala,""Ah, karena bukan kau itu, Mak Sinta, mau nyuci sabung habis, mau masak gak ada beras, aku mau apa?""Ini namanya kamu kehausan di tengah-tengah danau,""Ah, lain pula ceritamu,""Saranku berdamailah dengan suamimu, " kata Mak Sinta lagi."Aku mau berdamai, tapi jika begini bagaimana mau berdamai, mereka bahkan perg
Aku ingat syarat yang diberikan suami, salah satunya adalah tidak boleh bertanya apa pun yang diberikan suami pada adiknya. Ini benar-benar menyakitkan bagiku. Suami- akhirnya pulang juga, aku masuk kamar, akan tetapi tetap menguping pembicaraan mereka. "Ini, Lena, uang bulananmu, Semoga kamu cepat dapat jodoh lagi," terdengar suami bicara."Terima kasih, Bang," jawab Lena."Iya, gak usah kasih tahu berapa banyaknya sama kakakmu ya, dia sekarang lagi sensitif," kata suami lagi."Iya, Bang, Bang, lihat tanganku ini, terkelupas," kata Lena."Lo, kenapa?""Gara-gara nyuci pake tangan, Bang, belikan mesin cuci napa?" Tiba-tiba hening, suami tak menjawab. "Lihat ini pakaianku juga gak bersih, bagaimana bisa dapat jodoh lagi," kata Lena lagi."Baiklah, Lena, habis panen Minggu depan kita beli," kata suami."Makasih ya, Bang, eh, kalau bisa kakak gak usah tau," kata Lena lagi."Gak apa-apa, tau pun kakakmu , dia gak akan ribut kok," kata suami.Aku makin panas, setelah Lena pergi aku kel
Setelah berbicara dengan istri kepala desa ini, pikiranku jadi terbuka, biarpun suami semua yang kerjakan kebun , ternyata ada hakku di situ. "Bu, aku kurang mengerti soal hukum, boleh minta tolong mendamoingiku, Bu," kataku lagi."Maaf, Mak Dolly, aku bukan pengacara, tapi cuma sedikit tahu hukum, biarpun begitu, aku akan dampingi Mak Dolly, Kita wanita ini harus saling mendukung," kata ibu tersebut.Aku merasa sedikit lega, ibu itu juga memberikan uang arisan itu, biarpun masih dua hari lagi baru narik, beliau memberikan duluan pakai uangnya, aku sangat berterimakasih sekali.Dengan modal uang Arisan delapan juta aku membawa dua anakku ke rumah ibu. Ibuku yang sakit sekarang tinggal sendiri. "Taing, ada apa?" ibuku sepertinya langsung curiga apa yang terjadi, karena aku datang bawa tas."Kami mau di sini saja dulu, Mak, jagain mamak," kataku kemudian.Ibu menatapku dengan pandangan penuh selidik. "Bagaimana mata mamak?" tanyaku kemudian."Kambuh lagi, Taing, kata si Imron Karena
Tamparan itu terasa keras, aku sampai terhuyung. "Makin lancang saja mulutmu itu, macam gak berTuhan saja kau, bicara sembarangan," kata suami sambil menunjuk mukaku."Iya, macam gak pernah sekolah saja," sambung Lena.Aku hanya diam seraya memegang pipi yang masih terasa sakit. "Kamu itu sudah terlalu lancang, mulutmu itu perlu dikasih pelajaran lagi,""Perlu dicabei, Bang," kata Lena.Lagi-lagi aku diam, kucoba untuk tetap tenang dan duduk di kursi panjang. Orang-orang yang menjemput anaknya mulai menonton kami, ada beberapa yang jadi kameraman dadakan. "Mulutmu itu terlalu kotor, sampah saja yang keluar dari mulutmu, aku memang jahat, tapi aku sayang keluarga, aku sayang adikku, jika kau hina adikku, habis kau!" kata suami lagi.Aku tak menjawab, hanya menunduk dan terus memegangi pipi, Lena sepertinya mulai paham apa yang terjadi."Mana mulutmu yang biasanya selalu galak itu, mana?" katanya."Sekali lagi kau hina adikku, kuceraikan kau!" kata Bang Erianto.Aku mengangkat wajah,
Aku terkejut dengan perkataan Mak Sinta, Bu Kades benci Bang Erianto? Ah, Sinta pasti mengada-ada, tidak mungkin Bu Kades itu benci Suamiku, andaipun benar dia benci, pasti karena suamiku perhitungan, seperti yang dia bilang saat pertama aku mengadu padanya. "Aku benci laki-laki berpikiran kolot seperti itu ""Mak Doly, kamu masih di situ, kan?"Kata Mak Sinta lagi."Iya, masih,""Bu Kades mana?""Ini, di sampingku,""Hati-hati saja sama ibu itu," Katanya, sambungan telepon pun terputus.Kutatap Bu Kades yang dudukndi sampingku, saat itu kami sudah mau pulang, Karena hujan, kami berteduhnsebentar."Telepon dari siapa?" tanya Bu Kades."Itu, Mak Sinta," jawabku."Oh, apa katanya?""Katanya Bu Kades benci Bang Erianto," kataku jujur saja.Untuk sesaat wanita itu melihatku, biarpun sudah agak tua, akan tetapi masih tersisa gurat kecantikan di wajah ibu tersebut."Kan sudah kubilang, aku benci laki-laki model' begitu, laki-laki seperti itu harus diberi pelajaran, pikirannya bisa menular, b
Bang Erianto menatapku dengan pandangan seperti hendak menelanku saja bulat-bulat. Matanya melotot dan merah, mungkin dia benar-benar sudah marah."Berapa yang kau minta!" dia membentak."Jangan kau pikir kalau abangku dipenjara bisa kau kuasai kebun, oh, tidak," Lena ikut-ikutan."Aku hanya minta hakku," kataku kemudian."Hak apa? Emang ada ada yang kau kerjakan di situ, satu rumput saja tidak pernah kau cabut," kata Bang Erianto."Aku ikut belinya, uangku ikut beli lahan itu dulu," kataku kemudian."Berapa uangmu, oh, yang dua puluh juta itu, baik, kuberikan itu, berhenti ganggu aku," kata Bang Erianto."Tidak, aku mau setengah harta gono-gini, selanjutnya kita bicara di pengadilan," kataku kemudian."Hahaha," Bang Erianto tertawa."Tertawalah, silakan, kita buktikan di pengadilan," kataku lagi."Pasti si nenek peot itu yang racuni otakmu, kan, kau pikir mudah urus harta gono-gini itu? Butuh dana butuh biaya, sebelum kelar kau sudah mati kelaparan," katanya lagi."Kita lihat saja,"
Aku masih di atas motor saat didorong oleh Mak Sinta, motorku oleng dan terjatuh di aspal. Mobil yang datang tak bisa menghindar lagi, akan tetapi refleks aku berguling ke kiri. Motorku yang ditabrak mobil warna hitam tersebut.Kupandangi motor yang hancur, Mak Sinta mencoba membantuku berdiri, aku menepis tangannya, kemudian gelap, aku sudah tidak ingat apa-apa lagi.Saat aku sadar, aku berasa di ruangan serba putih, lalu seorang wanita berpakaian putih datang mendekat."Ibu sudah siuman, ibu hanya lecet sedikit," katanya."Aku di mana?" tanyaku kemudian."Ini di rumah sakit, Bu,""Aku harus pulang, anakku tinggal," kataku sambil berdiri.Lalu muncul seorang pria tinggi besar, perutnya sedikit buncit.
"Pokoknya jangan mau yang sama yang belum disunat, Taing, andaipun dia mau disunat, dia disunat karena apa? Karena Tuhan atau karena kamu?," begitu kata ibukuAku jadi ragu untuk menerima investor dari China tersebut. Perkataan ibuku yang sederhana itu seakan membuka pikiranku. Mereka memang sengaja mengutus seorang pemuda tampan dan memanfaatkan kejandaanku untuk bisa memuluskan kerjasama bisnis ini."Kurasa aku tidak bisa menerima kerjasama itu, Bu," kataku pada Bu Kades. Saat itu kami lagi sarapan bersama di kantin sekolah."Kenapa, Mak Doly?""Aku ragu, Bu,""Padahal di desa lain orang berlomba-lomba menawarkan tanahnya untuk investor, kamu malah menolaknya," kata Bu Kades."Aku merasa ada udang di balik batu, Bu," kataku
Basron berdiri sambil memegang senjata mirip pistol, saat dia jadi security di perusahaan, memang bersenjata dengan senjata airsoft gun. Apakah dia masih menyimpannya.Seorang ART-ku lalu keluar dari kamarnya, aku langsung memerintahkan ART-ku tersebut memeriksa anak-anak."Apa yang kau mau, Basron?" Kataku kemudian."Aku hanya menagih hutang," kata Basron."Begini cara kamu nagih hutang?" aku membentak, berharap suaraku didengar sekuriti yang biasanya selalu berjaga-jaga di gerbang."Aku sudah minta baik-baik," kata Basron lagi."Baiklah berapa yang kau minta?" Kataku kemudian."Aku tidak kemaruk, hanya minta modal rp50 juta, biar aku pergi dari sini," kata Basron."Baiklah,
Sebagai janda kaya raya dengan tiga anak, usia yang masih 30-an tahun, banyak juga yang coba menggoda dan melamarku. Mulai dari yang masih brondong sampai yang sudah tua sudah pernah mencoba untuk mendekatiku. Akan tetapi aku selalu menolak. Padahal jujur dalam hati, aku masih butuh laki-laki.Aku mau menikah jika ada yang lebih baik dari Pak Ardiansyah, atau minimal sebaik Pak Ardiansyah. Sampai hari ini belum ada, 3 tahun lebih sudah aku menjanda.Ternyata sendiri itu lelah juga, biarpun banyak harta biarpun aku bisa menyuruh siapa saja, akan tetapi jika malam tiba aku tetap kesepian. Aku butuh tempat curhat. Suatu hari aku lagi sibuk di depan rumah mengurus taman bunga, depan rumahku memang ku sulap jadi taman bunga. Terdengar suara salam di pintu pagar. Seorang asisten Rumah tanggaku langsung berlari kecil membuka pintu tersebut."Siapa, Bu?" Aku berteriak be
Pengacara itu menatapku dengan tetapan tajam, mungkin dia tidak menyangka aku bisa bicara seperti ini. Untuk beberapa saat dia masih terdiam."Bagaimana, katakan saja begitu pada Helen," kataku lagi."Kamu memang pintar-pintar bodoh, jika dia mengaku tentu saja dia di penjara, bisa saja di penjara seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana, Untuk Apa lagi harta yang banyak jika di penjara seumur hidup," kata pengacara tersebut."Kamu tahu juga rupanya," kataku kemudian.Pria itu kembali bicara melalui HP, sepertinya bicara dengan Helen yang entah di mana. Beberapa Saat kemudian."Ini tawaran terakhir dari Helen, seluruh harta yang tersisa dibagi dua, setengah untukmu setengah untuk klien saya, ini orang terakhir, kita tak perlu lagi ke pengadilan cukup seluruh harta di
Pengacara itu menatapku dengan tetapan tajam, mungkin dia tidak menyangka aku bisa bicara seperti ini. Untuk beberapa saat dia masih terdiam."Bagaimana, katakan saja begitu pada Helen," kataku lagi."Kamu memang pintar-pintar bodoh, jika dia mengaku tentu saja dia di penjara, bisa saja di penjara seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana, Untuk Apa lagi harta yang banyak jika di penjara seumur hidup," kata pengacara tersebut."Kamu tahu juga rupanya," kataku kemudian.Pria itu kembali bicara melalui HP, sepertinya bicara dengan Helen yang entah di mana. Beberapa Saat kemudian."Ini tawaran terakhir dari Helen, seluruh harta yang tersisa dibagi dua, setengah untukmu setengah untuk klien saya, ini orang terakhir, kita tak perlu lagi ke pengadilan cukup seluruh harta di
Ternyata benar kata pepatah, jika kita kaya saudara kita akan banyak. Semenjak aku jadi janda yang kaya raya, hampir tiap hari selalu saja ada tamu yang datang, bahkan sepupu jauh yang selama ini tidak pernah bertemu tiba-tiba datang mengaku saudara. Tentu saja aku sambut dengan baik.Erianto, mantan suamiku itu jadi dilema tersendiri bagiku. Di satu sisi aku tak ingin dekat-dekat dengannya lagi. Seperti kata pepatah buanglah mantan pada tempatnya. Akan tetapi dia selalu datang. Tak pernah lagi minta duit memang. Tapi dia selalu baik kepada anak-anak. Yang memang anaknya.Seperti hari itu ada jadwal panen di kebun, aku yang sudah tiga minggu setelah melahirkan, coba berjalan keluar rumah, melihat-lihat orang yang panen. Ternyata ada Irianto. Aku melihat dia lagi melangsir sawit yang sudah selesai dipanen. Kasihan juga melihatnya, kebun ini dulu dibukanya semenjak dari lahan gambut, sampai jadi lahan
PoV HelenNamaku Helena Syah, dari lahir sudah kaya raya, punya orang tua yang kaya, Kakek nenek yang kaya. Papa keturunan Arab, Ibuku orang Batak, akan tetapi wajah dan postur tubuhku lebih condong seperti orang Arab.Dari lahir aku sudah terbiasa hidup mewah. Saat sekolah saja punya pengasuh khusus. Hidupku berjalan seperti di atas kertas, tak ada rintangan berarti. Sekolah, kuliah, kerja, nikah. Semua sepertinya mudah.Setelah punya anak dua dan berumur 29 tahun, entah kenapa aku mulai bosan menjalani kehidupan yang normal-normal. Aku mulai mencari tantangan. Suamiku juga selalu sibuk, anakku juga terlalu baik-baik, bener-bener hidup yang membosankan.Pertama aku coba bergaul dengan orang-orang di luar pertemanan yang biasa selama ini. Ikut mereka mendaki gunung , berkemah, akan tetapi tetap juga aku tidak menemukan tantangan. Ak
Ternyata jika tak direkam percakapan di wa itu tidak akan kelihatan. Aku lupa merekamnya, akhirnya hanya aku yang mendengar perkataan almarhum suami. Seandainya dia katakan lewat tulisan, mungkin bisa jadi bukti.Hanya dua jam jenazah suamiku disemayamkan di rumah, selanjutnya dibawa lagi untuk dimakamkan di Medan. Tempat pemakaman keluarga mereka, aku legowo, karena kata Kak Syarifah ini permintaan almarhum suami semasa hidupnya.Tinggal aku bersama empat anak, miris sekali hidupku. Akan tetapi banyak tetangga yang bilang aku justru beruntung. Nikah satu tahun dapat harta berlimpah.Suamiku memang meninggalkan banyak harta di sini. Di depan rumahku saja ada dua mobil. Mobil Pajero dan mobil double cabin. Kebunku yang 4 hektar sebagiannya sekarang sudah jadi perumahan. Perusahaan juga masih laporan padaku. Aku jadi janda kaya raya.
Ini cobaan apa lagi ya, Allah? Baru saja aku operasi tanpa didampingi suami, ini suamiku terkena serangan jantung. Aku tak bisa melihatnya. Keadaanku yang masih punya bayi berumur 10 hari tidak memungkinkan untuk pergi ke rumah sakit yang jaraknya 3 jam perjalanan naik mobil.Aku memanggil semua saudara, Kakak ipar, juga menghubungi Bu Kades. Meminta mereka untuk pergi ke rumah sakit, menjenguk suamiku yang lagi sakit. Orang-orang di kantor pun aku kabari.Aku hanya bisa berdoa, semoga suamiku sembuh. Sekarang aku merasa cobaan untukku terlalu berat. Kadang juga aku merasa ini adalah karma bagiku karena telah melawan suami pertamaku dulu. Ingat suami pertama, Dia justru nongol di depan pintu."Aku turut berduka cita, Taing," kata Erianto. Dia tidak masuk, hanya berdiri di pintu, saat itu aku lagi duduk di sofa. Sedangkan anak-anak bermain di halaman.