Share

Utang Ibu 2

Author: Bintang Kejora
last update Huling Na-update: 2024-10-29 19:42:56

Suami melongo, dia masih berdiri di depanku, uang sudah berserakan di lantai. Aku benar-benar lepas kendali. Selama ini aku sudah berusaha jadi istri yang penurut dan sabar. Akan tetapi semenjak ibuku sakit, semuanya rasanya berubah. Dua saudaraku seperti tak mampu. Semua mengharap padaku.

 

Uang itu malah tetap berserakan di lantai sampai pagi hari, aku sudah marah, suami pun marah. 

 

"Dek, masih warasnya kau?" suami malah seperti mengejek, saat itu aku hendak mengantar anakku sekolah. Sementara uang masih tetap berserakan di lantai.

 

"Aku masih waras, Bang, waras kali pun, kalau Abang mau perhitungan, ya itu tadi, hitungan gajiku," kataku kemudian.

 

"Udah, sana antar si Doly," jawab suami. Doly adalah anak sulungku yang masih jelas satu SD.

 

"Oh ya, berapa ongkos ojek ke sekolah tiap hari? bayar juga itu," kataku lagi.

 

"Astaghfirullah, sudah gila kau, Dek?" 

 

"Ayolah, Mak, nanti terlambat," kata Doly, aku akhirnya menghidupkan motor matic tua tersebut, akan tetapi aku teringat sesuatu, tak ada uang lagi di tanganku.

 

Kuambil kembali uang yang sudah berserakan tersebut, kuambil hanya dua lembar uang lima puluh ribu.

 

"Ini hanyalah upah antara jemput anakmu," kataku kemudian seraya mengantongi uang seratus ribu. Suami geleng-geleng kepala seraya memunguti uang tersebut.

 

"Hei, Mak Doly, kok lusuh kali muka kau?" kata Mak Sinta, saat kami bertemu di sekolah. Mak Sinta teman lamaku, kebetulan anak kami satu sekolah.

 

"Iya, Mak Sinta, lagi kusut," jawabku kemudian.

 

"Apa lagi ini, ibumu kan sudah dioperasi matanya," 

 

"Bukan masalah itu lagi, aku lelah, capek, gak pernah merasa dihargai," kataku.

 

"Udah, cerita dulu," kata Mak Sinta.

 

Aku lalu cerita singkat saja, kami memang sering saling curhat, setelah aku selesai bercerita, Mak Sinta justru tertawa ngakak.

 

"Jadi kau minta gaji tidur?" katanya sambil tertawa.

 

"Kau gitu kau ya, aku galau malah tertawa," kataku kemudian.

 

"Kau lucu, Mak Doly, masa minta gaji ke suami, itu artinya kamu membuat dirimu seperti pembantu yang digaji, kamu itu istri lo, masa kamu minta ongkos ojek?"

 

"Kan dia yang mau perhitungan,"

 

"Mak Doly, bukan maksud membela suamimu ya, tapi kamu itu salah, dua juta satu bulan untuk ukuran desa kita sudah banyak lo, dah syukur kau gak dilibatkan urusan kerja, banyak ibu-ibu yang harus ikut banting tulang, terus ibumu sakit itu juga tanggung jawab dua saudaramu, karena kamu selama ini ambil alih tanggung jawab itu, dua saudaramu keenakan, masa ongkos dia ke Medan pun kau yang tanggung?" Temanku ini bicara panjang lebar.

 

"Ah, percuma curhat sama kau, bukannya membela aku," kataku kemudian 

 

"Aku membela yang benar, Mak Doly, kita perempuan harus bisa cari uang sendiri, jangan terus mengandalkan suami, akhirnya gini kan,"

 

"Dari kecil aku sudah kerja lo, dodos sawit aku sudah biasa, tapi suamiku gak kasih aku kerja, katanya urus anak saja," kataku lagi.

 

Kesal juga, curhat sama teman justru aku yang disalahkan. Suamiku memang pekerja keras, dulu dia bekerja di pabrik kelapa sawit, terus buka kebun sawit. Setelah sawit kami panen, kini dia buka lahan baru, aku tak pernah dilibatkan. 

 

Aku tak pulang ke rumah, kutunggu anakku sampai pulang sekolah, setelah mereka pulang aku bawa anakku ke rumah ibu. Kebetulan ada Bang Imron dan adikku Tohar di situ.

 

"Dua Minggu lagi harus kontrol lagi kata dokternya," kata Bang Imron.

 

"Kali ini Abang dulu yang biayai," jawabku.

 

"Kau kan tahu, Aku gak ada uang, ibaratnya kais pagi makan sorenya," kata Bamg Imron.

 

"Aku gak ada uang lagi, Bang,"

 

"Jadi bagaimana?"

 

"Udah, biar sajalah, gak usah mamak kontrol lagi," ibuku yang menjawab.

 

 

 

Sore harinya aku baru pulang ke rumah, tumben suami ada di rumah kali ini, biasanya malam baru dia pulang.

 

"Dari mana saja?" tanya suami.

 

"Pulang sekolah kami singgah di rumah mamak," jawabku.

 

"Selalu begitu, kamu makin durhaka saja, pergi pun tak pamitan lagi," kata suami.

 

Aku tak menjawab lagi, lelah sudah hatiku, lelah pikiranku. Atau memang aku salah sudah berbohong? Aku coba cara baru, yaitu jujur pada suami, siapa tahu dia merasa iba.

 

"Bang, maaf ya, sebenarnya aku bohong, Bang Imron tidak minjam," kataku pelan, Saat itu suami lagi duduk di depan rumah.

 

"Apa, jadi kau berikan cuma-cuma gitu, laki-laki macam apa abangmu itu, gak malu menerima uang dari adiknya," kata suami. 

 

"Maaf, Bang, dia memang lagi susah,'

 

"Gak ada istilah susah, aku sesusah apapun tidak akan pernah minta uang ke adikku, aku juga punya adik," kata suami.

 

"Bang, aku minta tolong, dua Minggu lagi mau ke Medan lagi kontrol,"

 

"Ya, Tuhan, gak jera juga kau, jadi mau minta lagi pura-pura minjam gitu?"

 

"Iya, Bang,"

 

"Tidak bisa, mulai detik ini, jangan lagi urusi mamak, biar saudaramu sadar diri, biar mereka berusaha," 

 

 

"Bang,"

 

"Kau mau hitung-hitungan, kan, ganti semua uang yang kau berikan ke Bang Imron, ke mamak, ke Tohar, kau pikir aku gak tau, kukasih belanja dua juta, kau bagi lagi sama mereka, hitung itu, delapan tahun ini," kata suami.

 

Ah, ternyata dilembutkan pun tidak bisa juga.

 

 

"Mana nasi?" tanya suami saat malam harinya.

 

"Gak ada," jawabku singkat.

 

"Gitu kau ya, suami pulang gak ada nasi mau dimakan," 

 

"Gak ada, aku belum gajian selama delapan tahun," jawabku.

 

"Astaghfirullah,"

 

"Baiklah, kalau kamu mau hitung-hitungan, oke, biar aku yang belanja, kamu urus anak saja," katanya kemudian. 

 

Kukira dengan berbuat begini, suami akan melunak, ternyata tidak, dia justru makin keras. Uang belanja tidak dikasih lagi.

 

 

Saat malam tiba, hujan gerimis turun, anak-anak sudah tidur, aku merasa ada yang meraba pahaku, ternyata suami yang minta jatah.

 

"Dua ratus ribu," kataku kemudian.

 

"Apa dua ratus ribu?"

 

"Bayar dua ratus ribu kalau mau jatah,"

 

"Dek, kamu mau dikutuk malaikat sampai pagi ya?"

 

"Biar saja, Bang, delapan tahun juga sudah tersiksa,"

 

"Hmmm, jangan gitu lah, Dek," kata suami lagi.

 

"Aku serius, Bang, ibuku sakit pun Abang tak peduli, uang dua juta dipermasalahkan, Abang pikir aku gak tau Abang kasih si Lena uang tiap bulan, apa aku protes? ini baru dua juta Abang sudah perhitungan," kataku lagi. Lena adalah adik iparku yang seorang janda.

 

"Sudah gila kamu, Dek, belajar dulu masalah tanggunhg jawab, dia adikku, gak ada suaminya, Akulah yang bertanggungjawab padanya, orang tua kami sudah tidak ada," kata suami.

 

"Ibuku sudah melahirkan dan membesarkanku juga, Bang, terus abangku kuongkosi ke Medan baru kali ini, Abang sudah permasalahkan, Lena tiap bulan Abang kasih uang, apa bedanya? Sama-sama saudara kok?" kataku tak mau kalah.

 

"Aduh, ini akibatnya jika sekolah gak lulus," kata suami.

 

"Apa hubungannya dengan sekolahku, Bang?" Aku makin kesal, aku memang putus sekolah, hanya sampai kelas dua SMA.

 

"Dek, urutan tangung jawab itu begini ya, ibu itu tanggungjawab jawab anak laki-laki, anak perempuan itu tanggung jawab ayahnya sampai nikah, jika tak ada ayahnya, tanggung jawab saudara laki-lakinya, Lena itu tanggung jawabku, Karena suaminya tidak ada, aku tidak seperti Bang Imron yang gak bertanggung jawab, gak malu diongkosi adiknya," kata suami.

 

"Udah, Bang, aku tetap minta dua ratus ribu,"

 

 

 

 

 

 

Kaugnay na kabanata

  • Membalas Suami Perhitungan    Jatah Ipar

    Keesokan harinya kebetulan hari Minggu, anak-anak libur sekolah, suami juga biasanya akan di rumah seharian. Aku masih diam, uang belanja belum juga diberikan suami. Dia tetap bersikukuh aku harus minta utang abangku, padahal sudah kubilang itu bukan utang. Aku akan mogok kerja, sudah jam delapan pagi aku tak beranjak juga dari tempat tidur. Suami malah mengajak dua anakku makan di luar, aku tak diajak. Mak Sinta datang berkunjung, Saat dia sampai sudah langsung mengomel."Istri macam apa kau ini, Mak Doly, sudah jam segini belum apa-apa?" kata Mak Sinta."Aku lagi mogok kerja," kataku kemudian."Ya, ampun, kau makin memposisikan diri sebagai pekerja, pake mogok segala,""Ah, karena bukan kau itu, Mak Sinta, mau nyuci sabung habis, mau masak gak ada beras, aku mau apa?""Ini namanya kamu kehausan di tengah-tengah danau,""Ah, lain pula ceritamu,""Saranku berdamailah dengan suamimu, " kata Mak Sinta lagi."Aku mau berdamai, tapi jika begini bagaimana mau berdamai, mereka bahkan perg

  • Membalas Suami Perhitungan    Gara-gara Mesin Cuci

    Aku ingat syarat yang diberikan suami, salah satunya adalah tidak boleh bertanya apa pun yang diberikan suami pada adiknya. Ini benar-benar menyakitkan bagiku. Suami- akhirnya pulang juga, aku masuk kamar, akan tetapi tetap menguping pembicaraan mereka. "Ini, Lena, uang bulananmu, Semoga kamu cepat dapat jodoh lagi," terdengar suami bicara."Terima kasih, Bang," jawab Lena."Iya, gak usah kasih tahu berapa banyaknya sama kakakmu ya, dia sekarang lagi sensitif," kata suami lagi."Iya, Bang, Bang, lihat tanganku ini, terkelupas," kata Lena."Lo, kenapa?""Gara-gara nyuci pake tangan, Bang, belikan mesin cuci napa?" Tiba-tiba hening, suami tak menjawab. "Lihat ini pakaianku juga gak bersih, bagaimana bisa dapat jodoh lagi," kata Lena lagi."Baiklah, Lena, habis panen Minggu depan kita beli," kata suami."Makasih ya, Bang, eh, kalau bisa kakak gak usah tau," kata Lena lagi."Gak apa-apa, tau pun kakakmu , dia gak akan ribut kok," kata suami.Aku makin panas, setelah Lena pergi aku kel

  • Membalas Suami Perhitungan    Disuap

    Setelah berbicara dengan istri kepala desa ini, pikiranku jadi terbuka, biarpun suami semua yang kerjakan kebun , ternyata ada hakku di situ. "Bu, aku kurang mengerti soal hukum, boleh minta tolong mendamoingiku, Bu," kataku lagi."Maaf, Mak Dolly, aku bukan pengacara, tapi cuma sedikit tahu hukum, biarpun begitu, aku akan dampingi Mak Dolly, Kita wanita ini harus saling mendukung," kata ibu tersebut.Aku merasa sedikit lega, ibu itu juga memberikan uang arisan itu, biarpun masih dua hari lagi baru narik, beliau memberikan duluan pakai uangnya, aku sangat berterimakasih sekali.Dengan modal uang Arisan delapan juta aku membawa dua anakku ke rumah ibu. Ibuku yang sakit sekarang tinggal sendiri. "Taing, ada apa?" ibuku sepertinya langsung curiga apa yang terjadi, karena aku datang bawa tas."Kami mau di sini saja dulu, Mak, jagain mamak," kataku kemudian.Ibu menatapku dengan pandangan penuh selidik. "Bagaimana mata mamak?" tanyaku kemudian."Kambuh lagi, Taing, kata si Imron Karena

  • Membalas Suami Perhitungan    Sekali Tebang Dua Pohon Tumbang

    Tamparan itu terasa keras, aku sampai terhuyung. "Makin lancang saja mulutmu itu, macam gak berTuhan saja kau, bicara sembarangan," kata suami sambil menunjuk mukaku."Iya, macam gak pernah sekolah saja," sambung Lena.Aku hanya diam seraya memegang pipi yang masih terasa sakit. "Kamu itu sudah terlalu lancang, mulutmu itu perlu dikasih pelajaran lagi,""Perlu dicabei, Bang," kata Lena.Lagi-lagi aku diam, kucoba untuk tetap tenang dan duduk di kursi panjang. Orang-orang yang menjemput anaknya mulai menonton kami, ada beberapa yang jadi kameraman dadakan. "Mulutmu itu terlalu kotor, sampah saja yang keluar dari mulutmu, aku memang jahat, tapi aku sayang keluarga, aku sayang adikku, jika kau hina adikku, habis kau!" kata suami lagi.Aku tak menjawab, hanya menunduk dan terus memegangi pipi, Lena sepertinya mulai paham apa yang terjadi."Mana mulutmu yang biasanya selalu galak itu, mana?" katanya."Sekali lagi kau hina adikku, kuceraikan kau!" kata Bang Erianto.Aku mengangkat wajah,

  • Membalas Suami Perhitungan    Mas Erianto

    Aku terkejut dengan perkataan Mak Sinta, Bu Kades benci Bang Erianto? Ah, Sinta pasti mengada-ada, tidak mungkin Bu Kades itu benci Suamiku, andaipun benar dia benci, pasti karena suamiku perhitungan, seperti yang dia bilang saat pertama aku mengadu padanya. "Aku benci laki-laki berpikiran kolot seperti itu ""Mak Doly, kamu masih di situ, kan?"Kata Mak Sinta lagi."Iya, masih,""Bu Kades mana?""Ini, di sampingku,""Hati-hati saja sama ibu itu," Katanya, sambungan telepon pun terputus.Kutatap Bu Kades yang dudukndi sampingku, saat itu kami sudah mau pulang, Karena hujan, kami berteduhnsebentar."Telepon dari siapa?" tanya Bu Kades."Itu, Mak Sinta," jawabku."Oh, apa katanya?""Katanya Bu Kades benci Bang Erianto," kataku jujur saja.Untuk sesaat wanita itu melihatku, biarpun sudah agak tua, akan tetapi masih tersisa gurat kecantikan di wajah ibu tersebut."Kan sudah kubilang, aku benci laki-laki model' begitu, laki-laki seperti itu harus diberi pelajaran, pikirannya bisa menular, b

  • Membalas Suami Perhitungan    Uang Dan Viral

    Bang Erianto menatapku dengan pandangan seperti hendak menelanku saja bulat-bulat. Matanya melotot dan merah, mungkin dia benar-benar sudah marah."Berapa yang kau minta!" dia membentak."Jangan kau pikir kalau abangku dipenjara bisa kau kuasai kebun, oh, tidak," Lena ikut-ikutan."Aku hanya minta hakku," kataku kemudian."Hak apa? Emang ada ada yang kau kerjakan di situ, satu rumput saja tidak pernah kau cabut," kata Bang Erianto."Aku ikut belinya, uangku ikut beli lahan itu dulu," kataku kemudian."Berapa uangmu, oh, yang dua puluh juta itu, baik, kuberikan itu, berhenti ganggu aku," kata Bang Erianto."Tidak, aku mau setengah harta gono-gini, selanjutnya kita bicara di pengadilan," kataku kemudian."Hahaha," Bang Erianto tertawa."Tertawalah, silakan, kita buktikan di pengadilan," kataku lagi."Pasti si nenek peot itu yang racuni otakmu, kan, kau pikir mudah urus harta gono-gini itu? Butuh dana butuh biaya, sebelum kelar kau sudah mati kelaparan," katanya lagi."Kita lihat saja,"

  • Membalas Suami Perhitungan    Berlindung Di Balik Latah

    Aku masih di atas motor saat didorong oleh Mak Sinta, motorku oleng dan terjatuh di aspal. Mobil yang datang tak bisa menghindar lagi, akan tetapi refleks aku berguling ke kiri. Motorku yang ditabrak mobil warna hitam tersebut.Kupandangi motor yang hancur, Mak Sinta mencoba membantuku berdiri, aku menepis tangannya, kemudian gelap, aku sudah tidak ingat apa-apa lagi.Saat aku sadar, aku berasa di ruangan serba putih, lalu seorang wanita berpakaian putih datang mendekat."Ibu sudah siuman, ibu hanya lecet sedikit," katanya."Aku di mana?" tanyaku kemudian."Ini di rumah sakit, Bu,""Aku harus pulang, anakku tinggal," kataku sambil berdiri.Lalu muncul seorang pria tinggi besar, perutnya sedikit buncit.

  • Membalas Suami Perhitungan    Musibah Membawa Keberuntungan

    PoV Mak Sinta"Pemuda memang nyaman, duda lebih menggoda, akan tetapi suami orang lebih menantang"Pernah dengar ungkapan itu? Itulah yang terjadi padaku. Entah ini kelainan atau apa, akan tetapi aku suka suami orang. Aku lebih tertarik dengan orang yang sudah beristri, jika dia duda, entah kenapa rasanya kurang menantang, apalagi kalau cuma anak muda.Itu juga yang terjadi pada Erianto, kami sudah berteman sejak kecil, semenjak SMP sudah tumbuh benih-benih cinta, akan tetapi aku selalu menolaknya. Entah sudah berapa kali dia nyatakan rasa cintanya. Aku selalu menolak dengan halus.Saat dia sudah ingin menikah, aku tetap menolak, sampai akhirnya dia menikah dengan gadis tetangga. Apa yang terjadi denganku? Setelah dia resmi' jadi suami orang, aku justru berusaha mendekati. Entahlah, makin tampan saja dia di pandanganku.&

Pinakabagong kabanata

  • Membalas Suami Perhitungan    Part Terakhir

    "Pokoknya jangan mau yang sama yang belum disunat, Taing, andaipun dia mau disunat, dia disunat karena apa? Karena Tuhan atau karena kamu?," begitu kata ibukuAku jadi ragu untuk menerima investor dari China tersebut. Perkataan ibuku yang sederhana itu seakan membuka pikiranku. Mereka memang sengaja mengutus seorang pemuda tampan dan memanfaatkan kejandaanku untuk bisa memuluskan kerjasama bisnis ini."Kurasa aku tidak bisa menerima kerjasama itu, Bu," kataku pada Bu Kades. Saat itu kami lagi sarapan bersama di kantin sekolah."Kenapa, Mak Doly?""Aku ragu, Bu,""Padahal di desa lain orang berlomba-lomba menawarkan tanahnya untuk investor, kamu malah menolaknya," kata Bu Kades."Aku merasa ada udang di balik batu, Bu," kataku

  • Membalas Suami Perhitungan    Pistol Vs dodos

    Basron berdiri sambil memegang senjata mirip pistol, saat dia jadi security di perusahaan, memang bersenjata dengan senjata airsoft gun. Apakah dia masih menyimpannya.Seorang ART-ku lalu keluar dari kamarnya, aku langsung memerintahkan ART-ku tersebut memeriksa anak-anak."Apa yang kau mau, Basron?" Kataku kemudian."Aku hanya menagih hutang," kata Basron."Begini cara kamu nagih hutang?" aku membentak, berharap suaraku didengar sekuriti yang biasanya selalu berjaga-jaga di gerbang."Aku sudah minta baik-baik," kata Basron lagi."Baiklah berapa yang kau minta?" Kataku kemudian."Aku tidak kemaruk, hanya minta modal rp50 juta, biar aku pergi dari sini," kata Basron."Baiklah,

  • Membalas Suami Perhitungan    Desa Janda

    Sebagai janda kaya raya dengan tiga anak, usia yang masih 30-an tahun, banyak juga yang coba menggoda dan melamarku. Mulai dari yang masih brondong sampai yang sudah tua sudah pernah mencoba untuk mendekatiku. Akan tetapi aku selalu menolak. Padahal jujur dalam hati, aku masih butuh laki-laki.Aku mau menikah jika ada yang lebih baik dari Pak Ardiansyah, atau minimal sebaik Pak Ardiansyah. Sampai hari ini belum ada, 3 tahun lebih sudah aku menjanda.Ternyata sendiri itu lelah juga, biarpun banyak harta biarpun aku bisa menyuruh siapa saja, akan tetapi jika malam tiba aku tetap kesepian. Aku butuh tempat curhat. Suatu hari aku lagi sibuk di depan rumah mengurus taman bunga, depan rumahku memang ku sulap jadi taman bunga. Terdengar suara salam di pintu pagar. Seorang asisten Rumah tanggaku langsung berlari kecil membuka pintu tersebut."Siapa, Bu?" Aku berteriak be

  • Membalas Suami Perhitungan    Yang Pergilah Dan Yang Datang

    Pengacara itu menatapku dengan tetapan tajam, mungkin dia tidak menyangka aku bisa bicara seperti ini. Untuk beberapa saat dia masih terdiam."Bagaimana, katakan saja begitu pada Helen," kataku lagi."Kamu memang pintar-pintar bodoh, jika dia mengaku tentu saja dia di penjara, bisa saja di penjara seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana, Untuk Apa lagi harta yang banyak jika di penjara seumur hidup," kata pengacara tersebut."Kamu tahu juga rupanya," kataku kemudian.Pria itu kembali bicara melalui HP, sepertinya bicara dengan Helen yang entah di mana. Beberapa Saat kemudian."Ini tawaran terakhir dari Helen, seluruh harta yang tersisa dibagi dua, setengah untukmu setengah untuk klien saya, ini orang terakhir, kita tak perlu lagi ke pengadilan cukup seluruh harta di

  • Membalas Suami Perhitungan    Bongkar Makam

    Pengacara itu menatapku dengan tetapan tajam, mungkin dia tidak menyangka aku bisa bicara seperti ini. Untuk beberapa saat dia masih terdiam."Bagaimana, katakan saja begitu pada Helen," kataku lagi."Kamu memang pintar-pintar bodoh, jika dia mengaku tentu saja dia di penjara, bisa saja di penjara seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana, Untuk Apa lagi harta yang banyak jika di penjara seumur hidup," kata pengacara tersebut."Kamu tahu juga rupanya," kataku kemudian.Pria itu kembali bicara melalui HP, sepertinya bicara dengan Helen yang entah di mana. Beberapa Saat kemudian."Ini tawaran terakhir dari Helen, seluruh harta yang tersisa dibagi dua, setengah untukmu setengah untuk klien saya, ini orang terakhir, kita tak perlu lagi ke pengadilan cukup seluruh harta di

  • Membalas Suami Perhitungan    Warisan Yang Jadi Pertengkaran

    Ternyata benar kata pepatah, jika kita kaya saudara kita akan banyak. Semenjak aku jadi janda yang kaya raya, hampir tiap hari selalu saja ada tamu yang datang, bahkan sepupu jauh yang selama ini tidak pernah bertemu tiba-tiba datang mengaku saudara. Tentu saja aku sambut dengan baik.Erianto, mantan suamiku itu jadi dilema tersendiri bagiku. Di satu sisi aku tak ingin dekat-dekat dengannya lagi. Seperti kata pepatah buanglah mantan pada tempatnya. Akan tetapi dia selalu datang. Tak pernah lagi minta duit memang. Tapi dia selalu baik kepada anak-anak. Yang memang anaknya.Seperti hari itu ada jadwal panen di kebun, aku yang sudah tiga minggu setelah melahirkan, coba berjalan keluar rumah, melihat-lihat orang yang panen. Ternyata ada Irianto. Aku melihat dia lagi melangsir sawit yang sudah selesai dipanen. Kasihan juga melihatnya, kebun ini dulu dibukanya semenjak dari lahan gambut, sampai jadi lahan

  • Membalas Suami Perhitungan    Kopi Campur Racun

    PoV HelenNamaku Helena Syah, dari lahir sudah kaya raya, punya orang tua yang kaya, Kakek nenek yang kaya. Papa keturunan Arab, Ibuku orang Batak, akan tetapi wajah dan postur tubuhku lebih condong seperti orang Arab.Dari lahir aku sudah terbiasa hidup mewah. Saat sekolah saja punya pengasuh khusus. Hidupku berjalan seperti di atas kertas, tak ada rintangan berarti. Sekolah, kuliah, kerja, nikah. Semua sepertinya mudah.Setelah punya anak dua dan berumur 29 tahun, entah kenapa aku mulai bosan menjalani kehidupan yang normal-normal. Aku mulai mencari tantangan. Suamiku juga selalu sibuk, anakku juga terlalu baik-baik, bener-bener hidup yang membosankan.Pertama aku coba bergaul dengan orang-orang di luar pertemanan yang biasa selama ini. Ikut mereka mendaki gunung , berkemah, akan tetapi tetap juga aku tidak menemukan tantangan. Ak

  • Membalas Suami Perhitungan    Sumpah Darah

    Ternyata jika tak direkam percakapan di wa itu tidak akan kelihatan. Aku lupa merekamnya, akhirnya hanya aku yang mendengar perkataan almarhum suami. Seandainya dia katakan lewat tulisan, mungkin bisa jadi bukti.Hanya dua jam jenazah suamiku disemayamkan di rumah, selanjutnya dibawa lagi untuk dimakamkan di Medan. Tempat pemakaman keluarga mereka, aku legowo, karena kata Kak Syarifah ini permintaan almarhum suami semasa hidupnya.Tinggal aku bersama empat anak, miris sekali hidupku. Akan tetapi banyak tetangga yang bilang aku justru beruntung. Nikah satu tahun dapat harta berlimpah.Suamiku memang meninggalkan banyak harta di sini. Di depan rumahku saja ada dua mobil. Mobil Pajero dan mobil double cabin. Kebunku yang 4 hektar sebagiannya sekarang sudah jadi perumahan. Perusahaan juga masih laporan padaku. Aku jadi janda kaya raya.

  • Membalas Suami Perhitungan    Rebutan Kuburan

    Ini cobaan apa lagi ya, Allah? Baru saja aku operasi tanpa didampingi suami, ini suamiku terkena serangan jantung. Aku tak bisa melihatnya. Keadaanku yang masih punya bayi berumur 10 hari tidak memungkinkan untuk pergi ke rumah sakit yang jaraknya 3 jam perjalanan naik mobil.Aku memanggil semua saudara, Kakak ipar, juga menghubungi Bu Kades. Meminta mereka untuk pergi ke rumah sakit, menjenguk suamiku yang lagi sakit. Orang-orang di kantor pun aku kabari.Aku hanya bisa berdoa, semoga suamiku sembuh. Sekarang aku merasa cobaan untukku terlalu berat. Kadang juga aku merasa ini adalah karma bagiku karena telah melawan suami pertamaku dulu. Ingat suami pertama, Dia justru nongol di depan pintu."Aku turut berduka cita, Taing," kata Erianto. Dia tidak masuk, hanya berdiri di pintu, saat itu aku lagi duduk di sofa. Sedangkan anak-anak bermain di halaman.

DMCA.com Protection Status