Share

Jatah Ipar

Author: Bintang Kejora
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Keesokan harinya kebetulan hari Minggu, anak-anak libur sekolah, suami juga biasanya akan di rumah seharian. Aku masih diam, uang belanja belum juga diberikan suami. Dia tetap bersikukuh aku harus minta utang abangku, padahal sudah kubilang itu bukan utang. 

 

Aku akan mogok kerja, sudah jam delapan pagi aku tak beranjak juga dari tempat tidur. Suami malah mengajak dua anakku makan di luar, aku tak diajak. 

 

Mak Sinta datang berkunjung, Saat dia sampai sudah langsung mengomel.

 

"Istri macam apa kau ini, Mak Doly, sudah jam segini belum apa-apa?" kata Mak Sinta.

 

"Aku lagi mogok kerja," kataku kemudian.

 

"Ya, ampun, kau makin memposisikan diri sebagai pekerja, pake mogok segala,"

 

"Ah, karena bukan kau itu, Mak Sinta, mau nyuci sabung habis, mau masak gak ada beras, aku mau apa?"

 

"Ini namanya kamu kehausan di tengah-tengah danau,"

 

"Ah, lain pula ceritamu,"

 

"Saranku berdamailah dengan suamimu, " kata Mak Sinta lagi.

 

"Aku mau berdamai, tapi jika begini bagaimana mau berdamai, mereka bahkan pergi makan aku gak diajak," kataku lagi.

 

 

"Kamu masih keras hati seperti dulu," 

 

"Aku sudah delapan tahun ini coba lembut, Mak Sinta," kataku kemudian.

 

Namaku  Jamila, di keluarga dan teman-teman biasa dipanggil Taing, Taing adalah panggilan untuk anak perempuan di daerah Mandailing. Setelah resmi punya anak, panggilanku berubah jadi Mak Doly. Aku lahir dan besar di desa. Berasal dari keluarga miskin, ayahku seorang buruh tani, ayah sudah lama meninggal, saat aku masih sekolah, ayah sudah meninggal. 

 

Semenjak ayah meninggal, aku putus sekolah dan mulai kerja apa saja, aku sudah biasa mendodos sawit, yang biasa dikerjakan laki-laki pun aku kerjakan. Melangsir sawit pun sudah terbiasa. Kehidupan kami tak jua berubah, abangku ikut jejak almarhum ayah sebagai buruh tani, adikku lebih beruntung, dia dapat orang tua angkat yang membiayai buka lahan sawit.

 

 

Aku berkenalan dengan Erianto, seorang karyawan  di pabrik kelapa sawit, dia pekerja keras. Kami menikah, satu tahun setelah menikah kami buka lahan baru, tabunganku dan tabungan suami kami belikan lahan kosong yang masih hutan. Di situlah kami buka kebun. Suamiku benar-benar pekerja keras. Dia kerja di pabrik sambil buka lahan. Jika dia sip malam, siangnya bukannya tidur, tapi kerja di kebun.

 

 

"Kamu harus bersyukur, Mak Doly, banyak yang tidak beruntung seperti kamu, kamu sudah senang, gak kerja lagi," kata Mak Sinta.

 

"Aku tak bisa bantu ibuku, ibuku tak bisa jualan lagi," kataku kemudian. Setelah menjanda, ibuku memang kerja berjualan sayur keliling dengan sepeda. Setelah sakit' mata tak bisa kerja lagi.

 

"Itulah masalahmu, Mak Doly, jika kamu mau bantu orang tuamu, kamu harus kerja, bukan malah sembunyi-sembunyi memberikan uang, jika suami tidak ridho jatuhnya dosa,"

 

 

Mungkin temanku ini ada benarnya, aku memang harus berdamai dengan keadaan, berdamai dengan suami. Setelah temanku pulang, aku pun bergerak, bersih-bersih rumah menyambut kedatangan suami dan dua anakku yang pergi sarapan.

 

Saat mereka pulang, kuberikan senyuman semanis mungkin. 

 

"Bang, dua minggu depan jula-julaku narik, kuganti yang dua juta itu, tapi mintalah dulu uang belanja, Bang," aku coba bicara selembut mungkin.

 

"Janji ya, Dek," kata suami.

 

"Iya, Bang, janji,"

 

Suami lalu ke mobilnya, terus kembali lagi dengan uang segepok.

 

"Ini, Dek, kita buat perjanjian ya," kata suami.

 

"Perjanjian apa, Bang?"

 

"Begini, kamu harus janji tidak memberikan uang ke abangmu atau ibumu, jika kamu berikan, kami tanggung sendiri, uang belanja dipotong."

 

"Aku coba, Bang,'

 

"Yang ke-dua, kamu jangan sekali-kali ungkit apa yang kuberikan untuk Lena, itu kewajibanku, juga hasil jerih payahku," kata suami lagi.

 

"Gak adil, Bang,"

 

"Yang ke-tiga, jangan pernah tuntut keadilan, ini rumah tangga, bukan pengadilan,"

 

"Wah,"

 

"Uang belanjamu dua juta, aku tidak mau tahu jika kurang, kamu yang tanggung," sambung suami lagi.

 

"Jangan pernah ganggu kebun itu, itu pekerjaanku," 

 

"Banyak kali, Bang?"

 

"Masih ada lagi, jangan pernah tanya hasil penjualan sawit berapa,"

 

Syarat yang banyak, sebenarnya aku ingin memberikan syarat juga, akan tetapi seperti kata Mak Sinta, aku harus mengalah, berdamai dengan keadaan, berdamai dengan hati.

 

Semenjak itu kami kembali seperti biasa, kegiatanku mengurus dua anak, suami seperti biasa kerja keras mengurus kebun. Ibuku pun batal pergi kontrol ke Medan. Sebenarnya aku merasa sakit' dan kecewa pada dua saudaraku. Akan tetapi mereka sepertinya memang tidak mampu. Aku mulai mencoba membatasi, mungkin ada juga benarnya, mereka keenakan karena selama ini aku selalu berikan uang.

 

Uang jatah yang dua juta itu sebenarnya cukup, lebih dari cukup lagi. Aku masih bisa ikut arisan, karena suami juga jarang makan di rumah, sayur dan cabe tak pernah beli karena banyak di pekarangan rumah. Anakku juga tidak banyak permintaan. Makan pakai sayur pun mereka sudah lahap.

 

Sore itu Lena datang ke rumah, aku tahu maksud kedatangannya mau minta jatah, dia seorang janda dengan dua anak, suaminya pergi meninggalkannya.

 

"Abangmu belum pulang," kataku kemudian.

 

"Ya, Kak, aku tunggu," jawabnya.

 

"Sekarang semua serba mahal ya, Kak, gak cukup lagi tiga juta sebulan," katanya lagi.

 

"Tiga juta?" Aku mengerjitkan kening.

 

"Iya, Kak, gak cukup lagi, minyak motor, uang sekolah anak, kontrakan rumah lagi,"

 

"Kamu dikasih tiga juta sebulan?" aku coba memastikan.

 

"Kira-kira segitulah, kadang aku minta lebih beli skincare, ngertilah janda ini,"

 

"Aku saja yang istrinya hanya dapat dua juta," aku mulai kesal.

 

"Beda, Kak, aku gak seperti kakak,"

 

"Apa bedanya?"

 

"Kakak kan terbiasa hidup susah, aku nggak,"

 

Ya, Allah, aku tahu suami selalu memberikan uang pada Lena, tapi aku tidak sangka sampai tiga juta sebulan.

 

"Kok  gak nikah aja, biar gak menyusahkan orang?" kataku kemudian.

 

"Jika aku dapat suami yang bisa kasih lebih banyak dari abangku, aku baru nikah lagi, tapi belum ada, tiga tahun sudah menjanda." 

 

"Oh, gitu ya,"

 

"Iya, Kak, jangan marah ya, abangku kok, apapun yang terjadi itu tetap abangku," 

 

Hatiku panas, tak bisa lagi kupendam amarah ini. Aku sudah coba bersikap lembut, tapi  jika begini aku tak bisa tahan.

 

"Kak, boleh aku minta pengertiannya, Kak, sebagai sesama wanita yang sama-sama punya dua anak," kata Lena lagi.

 

"Apa itu?"

 

"Aku nanti mau minta mesin cuci sama Abang, aku katakan ini sama kakak Karena menghargai kakak sebagai kakak ipar," katanya lagi.

 

Aku makin panas, mesin cuci adalah idamanku sejak dahulu, aku ikut arisan pun mau beli mesin cuci.

 

"Boleh minta sesuatu?" kataku kemudian.

 

"Boleh, Kak, boleh,"

 

"Sebagai sesama perempuan dengan dua anak, aku minta pengertiannya, berhentilah minta uang pada suamiku, cobalah tarik diri, aku yang istrinya saja cuma dikasih dua juta, kau tiga juta, bagaimana kalau suamimu seperti itu?" kataku.

 

"Jangan cemburu, Kak, seandainya Abang Imron kasih uang banyak ke kakak, ada yang cemburu bagaimana perasaan kakak?" 

 

 

 

"Enak aja kau minta mesin cuci, aku saja belum punya," kataku kemudian.

 

"Makanya punya Abang yang kaya," 

 

 

 

Related chapters

  • Membalas Suami Perhitungan    Gara-gara Mesin Cuci

    Aku ingat syarat yang diberikan suami, salah satunya adalah tidak boleh bertanya apa pun yang diberikan suami pada adiknya. Ini benar-benar menyakitkan bagiku. Suami- akhirnya pulang juga, aku masuk kamar, akan tetapi tetap menguping pembicaraan mereka. "Ini, Lena, uang bulananmu, Semoga kamu cepat dapat jodoh lagi," terdengar suami bicara."Terima kasih, Bang," jawab Lena."Iya, gak usah kasih tahu berapa banyaknya sama kakakmu ya, dia sekarang lagi sensitif," kata suami lagi."Iya, Bang, Bang, lihat tanganku ini, terkelupas," kata Lena."Lo, kenapa?""Gara-gara nyuci pake tangan, Bang, belikan mesin cuci napa?" Tiba-tiba hening, suami tak menjawab. "Lihat ini pakaianku juga gak bersih, bagaimana bisa dapat jodoh lagi," kata Lena lagi."Baiklah, Lena, habis panen Minggu depan kita beli," kata suami."Makasih ya, Bang, eh, kalau bisa kakak gak usah tau," kata Lena lagi."Gak apa-apa, tau pun kakakmu , dia gak akan ribut kok," kata suami.Aku makin panas, setelah Lena pergi aku kel

  • Membalas Suami Perhitungan    Disuap

    Setelah berbicara dengan istri kepala desa ini, pikiranku jadi terbuka, biarpun suami semua yang kerjakan kebun , ternyata ada hakku di situ. "Bu, aku kurang mengerti soal hukum, boleh minta tolong mendamoingiku, Bu," kataku lagi."Maaf, Mak Dolly, aku bukan pengacara, tapi cuma sedikit tahu hukum, biarpun begitu, aku akan dampingi Mak Dolly, Kita wanita ini harus saling mendukung," kata ibu tersebut.Aku merasa sedikit lega, ibu itu juga memberikan uang arisan itu, biarpun masih dua hari lagi baru narik, beliau memberikan duluan pakai uangnya, aku sangat berterimakasih sekali.Dengan modal uang Arisan delapan juta aku membawa dua anakku ke rumah ibu. Ibuku yang sakit sekarang tinggal sendiri. "Taing, ada apa?" ibuku sepertinya langsung curiga apa yang terjadi, karena aku datang bawa tas."Kami mau di sini saja dulu, Mak, jagain mamak," kataku kemudian.Ibu menatapku dengan pandangan penuh selidik. "Bagaimana mata mamak?" tanyaku kemudian."Kambuh lagi, Taing, kata si Imron Karena

  • Membalas Suami Perhitungan    Sekali Tebang Dua Pohon Tumbang

    Tamparan itu terasa keras, aku sampai terhuyung. "Makin lancang saja mulutmu itu, macam gak berTuhan saja kau, bicara sembarangan," kata suami sambil menunjuk mukaku."Iya, macam gak pernah sekolah saja," sambung Lena.Aku hanya diam seraya memegang pipi yang masih terasa sakit. "Kamu itu sudah terlalu lancang, mulutmu itu perlu dikasih pelajaran lagi,""Perlu dicabei, Bang," kata Lena.Lagi-lagi aku diam, kucoba untuk tetap tenang dan duduk di kursi panjang. Orang-orang yang menjemput anaknya mulai menonton kami, ada beberapa yang jadi kameraman dadakan. "Mulutmu itu terlalu kotor, sampah saja yang keluar dari mulutmu, aku memang jahat, tapi aku sayang keluarga, aku sayang adikku, jika kau hina adikku, habis kau!" kata suami lagi.Aku tak menjawab, hanya menunduk dan terus memegangi pipi, Lena sepertinya mulai paham apa yang terjadi."Mana mulutmu yang biasanya selalu galak itu, mana?" katanya."Sekali lagi kau hina adikku, kuceraikan kau!" kata Bang Erianto.Aku mengangkat wajah,

  • Membalas Suami Perhitungan    Mas Erianto

    Aku terkejut dengan perkataan Mak Sinta, Bu Kades benci Bang Erianto? Ah, Sinta pasti mengada-ada, tidak mungkin Bu Kades itu benci Suamiku, andaipun benar dia benci, pasti karena suamiku perhitungan, seperti yang dia bilang saat pertama aku mengadu padanya. "Aku benci laki-laki berpikiran kolot seperti itu ""Mak Doly, kamu masih di situ, kan?"Kata Mak Sinta lagi."Iya, masih,""Bu Kades mana?""Ini, di sampingku,""Hati-hati saja sama ibu itu," Katanya, sambungan telepon pun terputus.Kutatap Bu Kades yang dudukndi sampingku, saat itu kami sudah mau pulang, Karena hujan, kami berteduhnsebentar."Telepon dari siapa?" tanya Bu Kades."Itu, Mak Sinta," jawabku."Oh, apa katanya?""Katanya Bu Kades benci Bang Erianto," kataku jujur saja.Untuk sesaat wanita itu melihatku, biarpun sudah agak tua, akan tetapi masih tersisa gurat kecantikan di wajah ibu tersebut."Kan sudah kubilang, aku benci laki-laki model' begitu, laki-laki seperti itu harus diberi pelajaran, pikirannya bisa menular, b

  • Membalas Suami Perhitungan    Uang Dan Viral

    Bang Erianto menatapku dengan pandangan seperti hendak menelanku saja bulat-bulat. Matanya melotot dan merah, mungkin dia benar-benar sudah marah."Berapa yang kau minta!" dia membentak."Jangan kau pikir kalau abangku dipenjara bisa kau kuasai kebun, oh, tidak," Lena ikut-ikutan."Aku hanya minta hakku," kataku kemudian."Hak apa? Emang ada ada yang kau kerjakan di situ, satu rumput saja tidak pernah kau cabut," kata Bang Erianto."Aku ikut belinya, uangku ikut beli lahan itu dulu," kataku kemudian."Berapa uangmu, oh, yang dua puluh juta itu, baik, kuberikan itu, berhenti ganggu aku," kata Bang Erianto."Tidak, aku mau setengah harta gono-gini, selanjutnya kita bicara di pengadilan," kataku kemudian."Hahaha," Bang Erianto tertawa."Tertawalah, silakan, kita buktikan di pengadilan," kataku lagi."Pasti si nenek peot itu yang racuni otakmu, kan, kau pikir mudah urus harta gono-gini itu? Butuh dana butuh biaya, sebelum kelar kau sudah mati kelaparan," katanya lagi."Kita lihat saja,"

  • Membalas Suami Perhitungan    Berlindung Di Balik Latah

    Aku masih di atas motor saat didorong oleh Mak Sinta, motorku oleng dan terjatuh di aspal. Mobil yang datang tak bisa menghindar lagi, akan tetapi refleks aku berguling ke kiri. Motorku yang ditabrak mobil warna hitam tersebut.Kupandangi motor yang hancur, Mak Sinta mencoba membantuku berdiri, aku menepis tangannya, kemudian gelap, aku sudah tidak ingat apa-apa lagi.Saat aku sadar, aku berasa di ruangan serba putih, lalu seorang wanita berpakaian putih datang mendekat."Ibu sudah siuman, ibu hanya lecet sedikit," katanya."Aku di mana?" tanyaku kemudian."Ini di rumah sakit, Bu,""Aku harus pulang, anakku tinggal," kataku sambil berdiri.Lalu muncul seorang pria tinggi besar, perutnya sedikit buncit.

  • Membalas Suami Perhitungan    Musibah Membawa Keberuntungan

    PoV Mak Sinta"Pemuda memang nyaman, duda lebih menggoda, akan tetapi suami orang lebih menantang"Pernah dengar ungkapan itu? Itulah yang terjadi padaku. Entah ini kelainan atau apa, akan tetapi aku suka suami orang. Aku lebih tertarik dengan orang yang sudah beristri, jika dia duda, entah kenapa rasanya kurang menantang, apalagi kalau cuma anak muda.Itu juga yang terjadi pada Erianto, kami sudah berteman sejak kecil, semenjak SMP sudah tumbuh benih-benih cinta, akan tetapi aku selalu menolaknya. Entah sudah berapa kali dia nyatakan rasa cintanya. Aku selalu menolak dengan halus.Saat dia sudah ingin menikah, aku tetap menolak, sampai akhirnya dia menikah dengan gadis tetangga. Apa yang terjadi denganku? Setelah dia resmi' jadi suami orang, aku justru berusaha mendekati. Entahlah, makin tampan saja dia di pandanganku.&

  • Membalas Suami Perhitungan    Tak Ada Kata Damai

    Betul juga prediksi Bu Kades, polisi akan menyarankan perdamaian, tidak diproses sampai pengadilan. Pagi itu Bu Kades menelepon, katanya aku harus hadir di kantor polisi hari ini. Tentu saja aku minta didampingi Bu Kades.Saat kami tiba di kantor polisi, disambut seorang pria berkameja putih dan berdasi."Saya pengacara saudara Erianto Sinaga," katanya memperkenalkan diri."Ibu ini pengacaranya?" tanyanya lagi seraya menunjuk Bu Kades."Oh, bukan, saya ketua PKK desa, ini mendampingi anggota saya," jawab Bu Kades."Oh, kita langsung bicara saja ya, tidak usah melibatkan pihak kepolisian dulu, saya menawarkan perdamaian dari klien saya, cabut laporan itu, kita buat perjanjian bermeterai, jika klien saya mengulangi perbuatannya akan dihukum sesuai hukum yang berlaku, " katanya kemudian.

Latest chapter

  • Membalas Suami Perhitungan    Part Terakhir

    "Pokoknya jangan mau yang sama yang belum disunat, Taing, andaipun dia mau disunat, dia disunat karena apa? Karena Tuhan atau karena kamu?," begitu kata ibukuAku jadi ragu untuk menerima investor dari China tersebut. Perkataan ibuku yang sederhana itu seakan membuka pikiranku. Mereka memang sengaja mengutus seorang pemuda tampan dan memanfaatkan kejandaanku untuk bisa memuluskan kerjasama bisnis ini."Kurasa aku tidak bisa menerima kerjasama itu, Bu," kataku pada Bu Kades. Saat itu kami lagi sarapan bersama di kantin sekolah."Kenapa, Mak Doly?""Aku ragu, Bu,""Padahal di desa lain orang berlomba-lomba menawarkan tanahnya untuk investor, kamu malah menolaknya," kata Bu Kades."Aku merasa ada udang di balik batu, Bu," kataku

  • Membalas Suami Perhitungan    Pistol Vs dodos

    Basron berdiri sambil memegang senjata mirip pistol, saat dia jadi security di perusahaan, memang bersenjata dengan senjata airsoft gun. Apakah dia masih menyimpannya.Seorang ART-ku lalu keluar dari kamarnya, aku langsung memerintahkan ART-ku tersebut memeriksa anak-anak."Apa yang kau mau, Basron?" Kataku kemudian."Aku hanya menagih hutang," kata Basron."Begini cara kamu nagih hutang?" aku membentak, berharap suaraku didengar sekuriti yang biasanya selalu berjaga-jaga di gerbang."Aku sudah minta baik-baik," kata Basron lagi."Baiklah berapa yang kau minta?" Kataku kemudian."Aku tidak kemaruk, hanya minta modal rp50 juta, biar aku pergi dari sini," kata Basron."Baiklah,

  • Membalas Suami Perhitungan    Desa Janda

    Sebagai janda kaya raya dengan tiga anak, usia yang masih 30-an tahun, banyak juga yang coba menggoda dan melamarku. Mulai dari yang masih brondong sampai yang sudah tua sudah pernah mencoba untuk mendekatiku. Akan tetapi aku selalu menolak. Padahal jujur dalam hati, aku masih butuh laki-laki.Aku mau menikah jika ada yang lebih baik dari Pak Ardiansyah, atau minimal sebaik Pak Ardiansyah. Sampai hari ini belum ada, 3 tahun lebih sudah aku menjanda.Ternyata sendiri itu lelah juga, biarpun banyak harta biarpun aku bisa menyuruh siapa saja, akan tetapi jika malam tiba aku tetap kesepian. Aku butuh tempat curhat. Suatu hari aku lagi sibuk di depan rumah mengurus taman bunga, depan rumahku memang ku sulap jadi taman bunga. Terdengar suara salam di pintu pagar. Seorang asisten Rumah tanggaku langsung berlari kecil membuka pintu tersebut."Siapa, Bu?" Aku berteriak be

  • Membalas Suami Perhitungan    Yang Pergilah Dan Yang Datang

    Pengacara itu menatapku dengan tetapan tajam, mungkin dia tidak menyangka aku bisa bicara seperti ini. Untuk beberapa saat dia masih terdiam."Bagaimana, katakan saja begitu pada Helen," kataku lagi."Kamu memang pintar-pintar bodoh, jika dia mengaku tentu saja dia di penjara, bisa saja di penjara seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana, Untuk Apa lagi harta yang banyak jika di penjara seumur hidup," kata pengacara tersebut."Kamu tahu juga rupanya," kataku kemudian.Pria itu kembali bicara melalui HP, sepertinya bicara dengan Helen yang entah di mana. Beberapa Saat kemudian."Ini tawaran terakhir dari Helen, seluruh harta yang tersisa dibagi dua, setengah untukmu setengah untuk klien saya, ini orang terakhir, kita tak perlu lagi ke pengadilan cukup seluruh harta di

  • Membalas Suami Perhitungan    Bongkar Makam

    Pengacara itu menatapku dengan tetapan tajam, mungkin dia tidak menyangka aku bisa bicara seperti ini. Untuk beberapa saat dia masih terdiam."Bagaimana, katakan saja begitu pada Helen," kataku lagi."Kamu memang pintar-pintar bodoh, jika dia mengaku tentu saja dia di penjara, bisa saja di penjara seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana, Untuk Apa lagi harta yang banyak jika di penjara seumur hidup," kata pengacara tersebut."Kamu tahu juga rupanya," kataku kemudian.Pria itu kembali bicara melalui HP, sepertinya bicara dengan Helen yang entah di mana. Beberapa Saat kemudian."Ini tawaran terakhir dari Helen, seluruh harta yang tersisa dibagi dua, setengah untukmu setengah untuk klien saya, ini orang terakhir, kita tak perlu lagi ke pengadilan cukup seluruh harta di

  • Membalas Suami Perhitungan    Warisan Yang Jadi Pertengkaran

    Ternyata benar kata pepatah, jika kita kaya saudara kita akan banyak. Semenjak aku jadi janda yang kaya raya, hampir tiap hari selalu saja ada tamu yang datang, bahkan sepupu jauh yang selama ini tidak pernah bertemu tiba-tiba datang mengaku saudara. Tentu saja aku sambut dengan baik.Erianto, mantan suamiku itu jadi dilema tersendiri bagiku. Di satu sisi aku tak ingin dekat-dekat dengannya lagi. Seperti kata pepatah buanglah mantan pada tempatnya. Akan tetapi dia selalu datang. Tak pernah lagi minta duit memang. Tapi dia selalu baik kepada anak-anak. Yang memang anaknya.Seperti hari itu ada jadwal panen di kebun, aku yang sudah tiga minggu setelah melahirkan, coba berjalan keluar rumah, melihat-lihat orang yang panen. Ternyata ada Irianto. Aku melihat dia lagi melangsir sawit yang sudah selesai dipanen. Kasihan juga melihatnya, kebun ini dulu dibukanya semenjak dari lahan gambut, sampai jadi lahan

  • Membalas Suami Perhitungan    Kopi Campur Racun

    PoV HelenNamaku Helena Syah, dari lahir sudah kaya raya, punya orang tua yang kaya, Kakek nenek yang kaya. Papa keturunan Arab, Ibuku orang Batak, akan tetapi wajah dan postur tubuhku lebih condong seperti orang Arab.Dari lahir aku sudah terbiasa hidup mewah. Saat sekolah saja punya pengasuh khusus. Hidupku berjalan seperti di atas kertas, tak ada rintangan berarti. Sekolah, kuliah, kerja, nikah. Semua sepertinya mudah.Setelah punya anak dua dan berumur 29 tahun, entah kenapa aku mulai bosan menjalani kehidupan yang normal-normal. Aku mulai mencari tantangan. Suamiku juga selalu sibuk, anakku juga terlalu baik-baik, bener-bener hidup yang membosankan.Pertama aku coba bergaul dengan orang-orang di luar pertemanan yang biasa selama ini. Ikut mereka mendaki gunung , berkemah, akan tetapi tetap juga aku tidak menemukan tantangan. Ak

  • Membalas Suami Perhitungan    Sumpah Darah

    Ternyata jika tak direkam percakapan di wa itu tidak akan kelihatan. Aku lupa merekamnya, akhirnya hanya aku yang mendengar perkataan almarhum suami. Seandainya dia katakan lewat tulisan, mungkin bisa jadi bukti.Hanya dua jam jenazah suamiku disemayamkan di rumah, selanjutnya dibawa lagi untuk dimakamkan di Medan. Tempat pemakaman keluarga mereka, aku legowo, karena kata Kak Syarifah ini permintaan almarhum suami semasa hidupnya.Tinggal aku bersama empat anak, miris sekali hidupku. Akan tetapi banyak tetangga yang bilang aku justru beruntung. Nikah satu tahun dapat harta berlimpah.Suamiku memang meninggalkan banyak harta di sini. Di depan rumahku saja ada dua mobil. Mobil Pajero dan mobil double cabin. Kebunku yang 4 hektar sebagiannya sekarang sudah jadi perumahan. Perusahaan juga masih laporan padaku. Aku jadi janda kaya raya.

  • Membalas Suami Perhitungan    Rebutan Kuburan

    Ini cobaan apa lagi ya, Allah? Baru saja aku operasi tanpa didampingi suami, ini suamiku terkena serangan jantung. Aku tak bisa melihatnya. Keadaanku yang masih punya bayi berumur 10 hari tidak memungkinkan untuk pergi ke rumah sakit yang jaraknya 3 jam perjalanan naik mobil.Aku memanggil semua saudara, Kakak ipar, juga menghubungi Bu Kades. Meminta mereka untuk pergi ke rumah sakit, menjenguk suamiku yang lagi sakit. Orang-orang di kantor pun aku kabari.Aku hanya bisa berdoa, semoga suamiku sembuh. Sekarang aku merasa cobaan untukku terlalu berat. Kadang juga aku merasa ini adalah karma bagiku karena telah melawan suami pertamaku dulu. Ingat suami pertama, Dia justru nongol di depan pintu."Aku turut berduka cita, Taing," kata Erianto. Dia tidak masuk, hanya berdiri di pintu, saat itu aku lagi duduk di sofa. Sedangkan anak-anak bermain di halaman.

DMCA.com Protection Status