Home / Pernikahan / Membalas Suami Perhitungan / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Membalas Suami Perhitungan : Chapter 21 - Chapter 30

62 Chapters

Terbakar Pondok Terbakar Cemburu

Erianto geleng-geleng kepala melihatku, dia mungkin tak menyangka mantan istrinya yang dulu lemah lembut ini bisa memutuskan jari orang.  "Taing, kamu sebaiknya periksakan diri dulu, nanti leher si Doly kau tebas," kata Erianto lagi. Aku jadi emosi, kuambil parang tajam. .. "Pergi dari sini!" teriakku sambil memegang parang. Lelaki yang pernah jadi suamiku  delapan tahun itu lari terbirit-birit. Entah kenapa jiwa psikopatku tiba-tiba muncul, empat jari yang putus itu kumasukkan ke pelastik, lalu kugantung di pintu masuk kebunku. Aku ingin memberikan peringatan pada pencuri sawit, ini yang terjadi jika coba mencuri sawitku. Aku pulang ke rumah pagi itu, ada tiga anak yang harus aku antar ke sekolah, saat aku tiba di rumah, Mereka ternyata sudah mandi dan sarapan bersama  ibuku, ting
Read more

Dikira Peringatan Ternyata Penyelamatan

"Banyak lo satpam perempuan,"  kata Pak Ardiansyah lagi. Apa iya aku berbakat di bidang pengamanan? Tak bisa kubayangkan aku berpakaian sekuriti di kantor perkebunan.  "Kamu galak tapi tetap sesuai koridor, itu yang dibutuhkan pada pengamanan," kata Pak Ardiansyah lagi. "Baiklah, Pak, akan kupikirkan dulu," kataku akhirnya. Aku tak mungkin lagi menjaga kebun tanpa ada pondoknya, sampai sore aku masih di kebun. Erianto datang lagi, dan lagi-lagi dia menawarkan bantuan sambil mengejek. "Udahlah, biar aku yang jaga kebunmu, atau kita jaga bersama, kamu gak akan mampu," kata Erianto. "Aku bisa, akan kutunjukkan kalau aku bisa," kataku dengan tegas. "Taing, Taing, malam ini mau kau jaga bagaimana, tidur di tanah kau, d
Read more

Bedah Rumah Bedah Hati

"Aku telah dihukum untuk kejahatan yang tidak aku lakukan, kamu tuduh aku memitnah, padahal benar," kata Erianto seraya menunjuk wajah Pak Ardiansyah."Kamu salah sangka," kataku kemudian."Salah sangka apanya, ini buktinya," kata Erianto seraya menunjuk batu bata yang sudah tersusun di depan pondokku."Apa pula urusannya dengan batu?" tanyaku lagi."Kau pikir aku bodoh apa, ada gak yang mau bangun rumah untuk orang kalau gak ada apa-apanya? Tidak ada, dia itu pebisnis, tau kau pebisnis, di otaknya hanya ada untung rugi, jika dia mau bangun rumah gedung di kebun, berarti sudah kau kasih itumu," katanya lagi.Pak Ardiansyah seperti tidak berusaha membantah, dia justru cari tempat duduk dan menonton kami bertengkar."Udahlah, kita sudah cerai, gak usah kau usik lagi hidupku," kataku kemudian."Oh, no, aku gak sempat usik hidupmu, aku cuman minta keadilan, aku dipenjara karena dituduh mengatakan sesuatu yang benar," kata Erianto."Udahlah, sana kau," aku mulai kesal."Uangnya sudah mengh
Read more

Istri Baru Mantan Suami

Pak Ardiansyah sudah menyarankan untuk tidak perpanjang masalah, karena menurut bos perusahaan itu pencuri sudah dapat ganjaran setimpal. Empat jari putus sudah sangat setimpal dengan dua ton sawit yang mereka curi. Akan tetapi melihat Lena dan Ijul  aku tak bisa menahan diri. Apalagi ternyata berondong yang digosipkan orang itu ternyata Ijul, Ijul sendiri diduga ikut mencuri sawitku.  Rumah parmenen di kebun sawit masih sesuatu yang jarang di desa, biasanya rumah orang terbuat dari kayu. Aku jadi semangat untuk tinggal di kebun, jika rumah itu sudah selesai mungkin aku bisa lebih aman di sana. Erianto masih saja nyiyir, mantan yang kini jadi tetangga itu sepertinya selalu berusaha mencari masalah. Seperti hari itu dia datang ke tempatku, saat itu dua tukang lagi kerja memasang atap. "Heh, bisa gak itu gak usah keras-keras kali mukulnya, tidur
Read more

Dilamar Bos Besar

Erianto makin tak beres saja, kini dia sudah minum minuman keras, apa iya Istri barunya lari? Memang kemarin istrinya bilang sudah tidak tahan, akan tetapi kenapa aku lagi yang disalahkan? "Istriku  lari, Taing, dia bawa uangku, hancur semua," kata Erianto lagi. Aku dapat cerita baru, istrinya lari bawa uangnya.  "Taing, demi langit dan bumi, kembalilah padaku," kata Erianto. Mantan suamiku ini tampaknya sudah mabuk berat, bicaranya sudah tak menentu. "Pergi dari sini!" teriakku kemudian. Dia malah menyanyi sambil pegang botol minuman, aku jadi kesal. "Pergi dari sini!" teriakku. "Taing, sayang, kembalilah padaku," katanya lagi. Aku jadi mak
Read more

Meminjam uang Mantan

"Maaf, Pak, apakah ini ujian lagi?" tanyaku kemudian. "Ujian maksudnya?" "Tadi bapak ikuti motorku, ternyata mau menguji bagaimana tindakanku jika diikuti orang tak dikenal, mungkin ini ujian lagi, bagaimana tindakanku jika dilamar bos besar," kataku kemudian. "Hahaha," pria itu justru tertawa ngakak, padahal aku tidak lagi melucu, cara tertawanya lucu sekali, meja di depan kami jadi bergetar. Aku ikut tertawa kecil, bukan karena perkataanku yang lucu, bukan karena aku sedang melawak, akan tetapi cara tertawa pria ini sangat lucu, perutnya yang sedikit buncit ikut bergetar. "Maaf ya,, tapi kamu lucu," "Ah, entah di mana bentuk lucunya, yang lucu justru cara tertawanya bapak," kataku. "Hahaha, aduh, sampai sakit peru ini, ud
Read more

Lamaran Dan Tawaran

Pak Ardiansyah memang tuan kebun, jika ada yang mau menjual lahan di daerah kami, dia selalu tampung, karena itulah makanya dia punya banyak lahan. Orang-orang yang iri akan bilang dia mau kuasai daerah ini, padahal yang dia lakukan adalah membeli secara sah. Konon Pak Ardiansyah berasal dari kota, yang keturunan keluarganya sudah kaya raya dari lahir, dia pindah dan jadi pengusaha sawit setelah istrinya meninggal. Pertama yang dia beli adalah pabrik kelapa sawit, saat harga sawit turun drastis, banyak orang yang jual kebunnya, di situlah dia beli lahan yang sudah jadi dan sangat luas. Makin lama lahannya makin luas, hinggi kini sudah berubah jadi perusahaan perkebunan. "Bagaimana, Taing? kok malah bengong?" tanya Pak Ardiansyah. Aku terkejut, bukan karena bengong, tapi dia manggil aku Taing, panggilan yang hanya keluarga saja. Padahal selama ini dia selalu manggil den
Read more

Hilang Satu Tumbuh Sembilan

Apakah aku terlalu baik? Ah, tidak, aku bahkan kadang bar-bar, aku urus anak karena alasan kemanusiaan, tidak ada yang mau urus di desa ini . Aku juga minta mahar kebun bukan karena mau bantu mereka, tapi semata-mata biar kebun itu tidak jatuh ke tangan orang lain. Itu saja. "Aku minta mahar kebun bukan untuk mereka, Pak, tapi untukku, mahar kan hak pribadi, jadi biar bisa kuwariskan untuk anakku kelak," kataku kemudian. "Maksudnya?" tanya Pak Ardiansyah, keningnya berkerut. "Kebun itu dua hektar sudah atas namaku, jadi jika bapak mau memberikan mahar kebun sawit dua hektar itu, kan otomatis jadi punyaku juga, atas namaku suratnya, bukan aku baik sekali bantu mereka, justru mau buat mereka jadi babu di bekas tanah mereka sendiri," kataku. Pria berperut sedikit buncit itu tampak terdiam, dia pandangi aku, lalu geleng-geleng kepala.
Read more

Kain Kafan

Karena menunggu hari H pernikahan, aku tidak ke kebun untuk sementara waktu. Karena ada adat kebiasaan di daerah kami, orang yang mau melangsungkan pernikahan tidak boleh ke mana-mana dulu. Jadilah kebun kuserahkan ke Bang Imron, dia yang urus panen dan sebagainya, aku hanya terima uangnya saja.Kegiatanku hanya antar jemput tiga anak sekolah. Hari itu aku istirahat di kantin sekolah, ibu-ibu sudah banyak kumpul di tempat tersebut."Selamat ya, Mak Doly sebentar lagi sudah jadi nyonya bos," kata seorang Ibu."Terima kasih," jawabku seraya tersenyum."Maaf ya, Mak Doly, apa kamu gak takut?' tanya ibu yang lain."Kok takut pula?""Bos itu istrinya dulu orang kita juga, meninggal karena itunya orang arab terlalu besar," kata ibu tersebut."Itu-itu saja gosip kalian, gak maju-maju," jawabku sewot."Ini bukan gosip, lo, ini fakta, coba tanya kalau gak percaya, kenapa istrinya dulu meninggal, karena sakit ininya," kata ibu itu, dia bicara sambil praktek langsung memegang seleng-ka-ngan. "
Read more

Malam Pertama Dengan Bos Besar

Aku sedikit kesal, sudah cerita dengan mimik sedih, mereka malah tertawa, yang membuat aku malu sampai supir mereka juga ikut tertawa. "Maaf ya, bukan maksud menertawakanmu, tapi emang lucu," kata Kak Sakinah."Di mana letak lucunya, Kak?""Hahaha," mereka kembali tertawa."Istrinya Ardiansyah memang sakit itunya, tapi sakit kangker leher rahim, itu penyakit' mematikan, kangker leher rahim itu karena stress, itu pemicunya, istrinya memang orang Batak juga, sempat punya dua anak, semenjak istrinya meninggal Ardiansyah berubah, dulu dia pengusaha diskotik, tempat hiburan malam, hotel. Kata Ardiansyah usahanya yang haram itu yang membuat istrinya stres, setelah istrinya meninggal dia jual semua usahanya, beli pabrik kelapa sawit di desa, dia menjauhi semua temannya yang dulu, bahkan kami saudaranya pun dia jauhi." Kak Syarifah bicara panjang lebar."Kami sudah berusaha untuk merayunya supaya mau nikah lagi, dia tidak mau, katanya dia merasa gagal urus istri, sampai kemudian dia kabari m
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status