Pak Ardiansyah yang seorang bos ternyata mau juga tinggal di kebun, pagi-pagi ke kantor, sore dia pulang ke kebun. Padahal rumah kami di kebun sederhana. Penerangan juga dengan menggunakan genset, karena belum ada arus listrik ke kebun."Kita bangun di sini rumah yang lebih layak, serta di sana rumah karyawan, biar tidak sepi," begitu Kata Pak Ardiansyah."Iya, Pak,"Maka mulailah dibangun area kebun, seputar kebun dipagar semua. Rumahku direnovasi dan dibesarkan. Tiang listrik pun mulai ada. Lalu di kiri kanan dan belakang rumah dibangun rumah semi parmenen. Jadilah kebunku seperti desa baru dengan lima rumah.Satu bulan kemudian sudah jadi, karyawan pabrik kelapa sawit pak Ardiansyah ditempatkan di situ. Di rumah bekas Erianto ditempati karyawan kebunku. Ya, aku punya karyawan kini, karena sawit empat hektar tidak bisa kuurus sendiri.Lena datang lagi, tanpa malu dia tetap minta duit, kali ini dia minta langsung ke Pak Ardiansyah. Saat itu Pak Ardiansyah baru pulang dari kantor.
Warga dari tiga desa di sekitar pabrik kelapa sawit milik Pak Ardiansyah makin lama makin banyak yang protes. Memang karyawan kebun dan karyawan pabrik perusahaan itu hanya sebagian kecil yang warga desa. Bukan karena mereka tidak diterima, menurut Pak Ardiansyah karena memang mereka tidak mau melamar, serta banyak yang tidak sesuai standar perusahaan.Warga desa kami memang jarang ada yang mau kerja pabrik, entah kenapa dari dulu sudah begitu. Mereka lebih suka bertani atau kerja serabutan. Jadilah karyawan pabrik dan kebun hampir semua orang dari luar, bahkan banyak yang dari pulau Jawa. Dan karyawan pabrik inilah yang membuat ada kecemburuan sosial. Karena mungkin ada sebagian yang sombong atau suka pamer.Erianto sepertinya memanfaatkan keadaan ini, dia bersama Lena yang paling getol protes."Aku saksi hidup bagaimana liciknya mereka mengambil tanah kita, saw
Setelah dua wartawan itu pergi, suami menelepon, dia bertanya tentang dua orang tersebut, apakah sudah kuberikan amplop."Sudah, Baba, sudah kuberikan, apa mereka itu gak bergaji?" tanyaku kemudian."Maksudnya?""Kok dikasih duit?""Memang begitu?""Enak aja mereka dapat lima ratus ribu,""Iya, gak apa-apa,""Maaf, Baba, aku ganti uangnya jadi uang lima ribuan, kalau mau sedekah ke orang miskin lah," kataku lagi."Apaa?""Isinya kuganti,""Ya, ampun,"Sambungan telepon terputus, entah apa yang dilakukan suami di sana, makanan yang kuantar belum disentuh sama sekali. Jam ti
Lena akhirnya pergi dibawa Paino, berkurang kini satu musuhku. Atau semoga lena dan Paino cocok. Ada juga rasa bersalah karena menjodohkan mereka, akan tetapi jodoh itu kan rahasia Tuhan. Siapa tahu memang begini jalan jodoh mereka.Perusahaan juga lebih adem setelah Basron direkrut jadi kepala keamanan. Tinggal Erianto yang kini terus mencoba mempengaruhi warga. Aku dapat bocoran dari Ibu Kades, jika sekiranya mereka bisa mengusir suamiku dan perusahaan, Mereka akan bagi-bagi lahan sawit perusahaan tersebut. Hal seperti ini sudah sering terjadi di beberapa daerah. Perusahaan akhirnya hengkang, masyarakat dapat lahan gratis.Ada acara di Medan, yaitu acara pernikahan kemenakan suami, anak Kak Sakinah menikah, kami harus ke kota."Baba, aku gak usah ikut ya," kataku pada suami, saat itu kami lagi berduaan di kamar, anak-anak tidur bersa
Aku benar-benar merasa seperti ratu saja, akan tetapi aku kemudian berpikir, mungkinkah suami lagi mengujiku, gak mungkin rasanya beli perhiasan langsung tiga ratus juta, bagaimana aku memakainya.Akhirnya aku beli yang sewajarnya saja, dua cincin, dua gelang dan satu kalung. Ini rasanya sudah cukup, total semuanya tidak sampai seratus juta. Saat Pak Ardiansyah membayarnya dia melihatku sambil tersenyum."Terima kasih, Baba," kataku kemudian.Lanjut lagi beli pakaian, pokoknya malam itu aku benar-benar dimanjakan, apa saja kumau dituruti, akan tetapi lagi-lagi aku membeli yang wajar saja. Tidak berlebihan.Keesokan harinya semua orang sudah berkumpul, dua anak tiriku juga sudah datang bersama pasangannya masing-masing. Helena Syah, nama anak sulung, kami masih seumuran."Terima kasih
Perjalanan dari Medan ke tanah Mandailing memakan waktu sekitar dua belas jam. Kami berangkat sehabis Magrib, perjalanan malam dengan dua supir yang bergantian. Sepanjang perjalanan kami banyak mengobrol ke sana ke mari, tentang bisnis, tentang rencana melebarkan usaha. "Aku makin bersemangat lo, Taing," begitu kata Pak Ardiansyah."Semangat bagaimana, Baba?""Semangat hidup, semangat kembali berusaha, seperti dapat suntikan baru," kata Pak Ardiansyah."Hehehehe," "Delapan tahun gak nyuntik," kata Pak Ardiansyah lagi."Hmmm,"Jam tujuh pagi kami tiba di desa, anak-anak langsung menyambutku dengan pelukan. Masing-masing mereka mulai bercerita keseharian mereka."Mak, aku dikasih Om Ijul duit," kata Sinta, anak itu sekarang memang memanggil aku dengan panggilan Mamak."Om Ijul?""Iya, Mak,"Aku langsung curiga, Ijul adalah pemuda pengangguran pacar brondongnya Lena, aku jadi merasa ini seperti ancaman dari Ijul, karena Lena pacarnya sudah kujodohkan dengan Paino. Ijul seakan mau menu
Ketika aku sadar, tanganku terikat di ke belakang, kakiku juga diikat. Kulihat sekeliling, sepertinya aku berada di pondok di tengah kebun sawit entah di mana."Woi! siapa saja!" aku coba berteriak. Akan tetapi suaraku malah kedengaran terpantul.Ya, Allah, di mana aku? Aku coba ingat yang terjadi, aku terakhir berada di Puri Alam, tempat rekreasi yang ramai jika hari libur. Ijul, aku ingat aku datang mau mencari Ijul.Kucoba buka ikatan tanganku, akan tetapi tidak bisa. Sesaat kemudian terdengar suara orang datang. Kucoba pura-pura tetap pingsan."Ambil gambarnya," terdengar suara seseorang."Sadarkan dulu dia," terdengar suara lagi.Sesaat kemudian aku sudah disiram air. Kubuka mata, aku melihat laki-laki tiga orang, ya, ampun ternyata Basr
Pagi itu terjadi pertumpahan darah di tengah kebun sawit entah di mana. Aku masih memegang dodos, alat panen sawit berbentuk mirip sekop itu memang sangat tajam di ujungnya. Berguna juga memotong pelepah sawit. Aku sudah terbiasa memegang alat ini.Basron sepertinya tak menemukan senjata, dasar memang penjahat amatiran, dia justru naik ke pohon sawit saat aku hendak menyerangnya. Bukannya lari atau melawan. Dalam beberapa detik, dia sudah berada di atas pohon sawit. Rasa takut memang bisa membuat orang berbuat di luar nalar. Sawit setinggi kira kira delapan meter dia panjat."Turun kau!" teriakku."Udah, aku menyerah," katanya kemudian."Menyerah, puih, mana yang katanya pejuang itu, mana yang cinta desa itu, lawan betina pun menyerah," kataku sambil mengancungkan dodos."Pohan!" Basron berteriak memanggil temannya.Tapi sepertinya Pohan sudah tid
"Pokoknya jangan mau yang sama yang belum disunat, Taing, andaipun dia mau disunat, dia disunat karena apa? Karena Tuhan atau karena kamu?," begitu kata ibukuAku jadi ragu untuk menerima investor dari China tersebut. Perkataan ibuku yang sederhana itu seakan membuka pikiranku. Mereka memang sengaja mengutus seorang pemuda tampan dan memanfaatkan kejandaanku untuk bisa memuluskan kerjasama bisnis ini."Kurasa aku tidak bisa menerima kerjasama itu, Bu," kataku pada Bu Kades. Saat itu kami lagi sarapan bersama di kantin sekolah."Kenapa, Mak Doly?""Aku ragu, Bu,""Padahal di desa lain orang berlomba-lomba menawarkan tanahnya untuk investor, kamu malah menolaknya," kata Bu Kades."Aku merasa ada udang di balik batu, Bu," kataku
Basron berdiri sambil memegang senjata mirip pistol, saat dia jadi security di perusahaan, memang bersenjata dengan senjata airsoft gun. Apakah dia masih menyimpannya.Seorang ART-ku lalu keluar dari kamarnya, aku langsung memerintahkan ART-ku tersebut memeriksa anak-anak."Apa yang kau mau, Basron?" Kataku kemudian."Aku hanya menagih hutang," kata Basron."Begini cara kamu nagih hutang?" aku membentak, berharap suaraku didengar sekuriti yang biasanya selalu berjaga-jaga di gerbang."Aku sudah minta baik-baik," kata Basron lagi."Baiklah berapa yang kau minta?" Kataku kemudian."Aku tidak kemaruk, hanya minta modal rp50 juta, biar aku pergi dari sini," kata Basron."Baiklah,
Sebagai janda kaya raya dengan tiga anak, usia yang masih 30-an tahun, banyak juga yang coba menggoda dan melamarku. Mulai dari yang masih brondong sampai yang sudah tua sudah pernah mencoba untuk mendekatiku. Akan tetapi aku selalu menolak. Padahal jujur dalam hati, aku masih butuh laki-laki.Aku mau menikah jika ada yang lebih baik dari Pak Ardiansyah, atau minimal sebaik Pak Ardiansyah. Sampai hari ini belum ada, 3 tahun lebih sudah aku menjanda.Ternyata sendiri itu lelah juga, biarpun banyak harta biarpun aku bisa menyuruh siapa saja, akan tetapi jika malam tiba aku tetap kesepian. Aku butuh tempat curhat. Suatu hari aku lagi sibuk di depan rumah mengurus taman bunga, depan rumahku memang ku sulap jadi taman bunga. Terdengar suara salam di pintu pagar. Seorang asisten Rumah tanggaku langsung berlari kecil membuka pintu tersebut."Siapa, Bu?" Aku berteriak be
Pengacara itu menatapku dengan tetapan tajam, mungkin dia tidak menyangka aku bisa bicara seperti ini. Untuk beberapa saat dia masih terdiam."Bagaimana, katakan saja begitu pada Helen," kataku lagi."Kamu memang pintar-pintar bodoh, jika dia mengaku tentu saja dia di penjara, bisa saja di penjara seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana, Untuk Apa lagi harta yang banyak jika di penjara seumur hidup," kata pengacara tersebut."Kamu tahu juga rupanya," kataku kemudian.Pria itu kembali bicara melalui HP, sepertinya bicara dengan Helen yang entah di mana. Beberapa Saat kemudian."Ini tawaran terakhir dari Helen, seluruh harta yang tersisa dibagi dua, setengah untukmu setengah untuk klien saya, ini orang terakhir, kita tak perlu lagi ke pengadilan cukup seluruh harta di
Pengacara itu menatapku dengan tetapan tajam, mungkin dia tidak menyangka aku bisa bicara seperti ini. Untuk beberapa saat dia masih terdiam."Bagaimana, katakan saja begitu pada Helen," kataku lagi."Kamu memang pintar-pintar bodoh, jika dia mengaku tentu saja dia di penjara, bisa saja di penjara seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana, Untuk Apa lagi harta yang banyak jika di penjara seumur hidup," kata pengacara tersebut."Kamu tahu juga rupanya," kataku kemudian.Pria itu kembali bicara melalui HP, sepertinya bicara dengan Helen yang entah di mana. Beberapa Saat kemudian."Ini tawaran terakhir dari Helen, seluruh harta yang tersisa dibagi dua, setengah untukmu setengah untuk klien saya, ini orang terakhir, kita tak perlu lagi ke pengadilan cukup seluruh harta di
Ternyata benar kata pepatah, jika kita kaya saudara kita akan banyak. Semenjak aku jadi janda yang kaya raya, hampir tiap hari selalu saja ada tamu yang datang, bahkan sepupu jauh yang selama ini tidak pernah bertemu tiba-tiba datang mengaku saudara. Tentu saja aku sambut dengan baik.Erianto, mantan suamiku itu jadi dilema tersendiri bagiku. Di satu sisi aku tak ingin dekat-dekat dengannya lagi. Seperti kata pepatah buanglah mantan pada tempatnya. Akan tetapi dia selalu datang. Tak pernah lagi minta duit memang. Tapi dia selalu baik kepada anak-anak. Yang memang anaknya.Seperti hari itu ada jadwal panen di kebun, aku yang sudah tiga minggu setelah melahirkan, coba berjalan keluar rumah, melihat-lihat orang yang panen. Ternyata ada Irianto. Aku melihat dia lagi melangsir sawit yang sudah selesai dipanen. Kasihan juga melihatnya, kebun ini dulu dibukanya semenjak dari lahan gambut, sampai jadi lahan
PoV HelenNamaku Helena Syah, dari lahir sudah kaya raya, punya orang tua yang kaya, Kakek nenek yang kaya. Papa keturunan Arab, Ibuku orang Batak, akan tetapi wajah dan postur tubuhku lebih condong seperti orang Arab.Dari lahir aku sudah terbiasa hidup mewah. Saat sekolah saja punya pengasuh khusus. Hidupku berjalan seperti di atas kertas, tak ada rintangan berarti. Sekolah, kuliah, kerja, nikah. Semua sepertinya mudah.Setelah punya anak dua dan berumur 29 tahun, entah kenapa aku mulai bosan menjalani kehidupan yang normal-normal. Aku mulai mencari tantangan. Suamiku juga selalu sibuk, anakku juga terlalu baik-baik, bener-bener hidup yang membosankan.Pertama aku coba bergaul dengan orang-orang di luar pertemanan yang biasa selama ini. Ikut mereka mendaki gunung , berkemah, akan tetapi tetap juga aku tidak menemukan tantangan. Ak
Ternyata jika tak direkam percakapan di wa itu tidak akan kelihatan. Aku lupa merekamnya, akhirnya hanya aku yang mendengar perkataan almarhum suami. Seandainya dia katakan lewat tulisan, mungkin bisa jadi bukti.Hanya dua jam jenazah suamiku disemayamkan di rumah, selanjutnya dibawa lagi untuk dimakamkan di Medan. Tempat pemakaman keluarga mereka, aku legowo, karena kata Kak Syarifah ini permintaan almarhum suami semasa hidupnya.Tinggal aku bersama empat anak, miris sekali hidupku. Akan tetapi banyak tetangga yang bilang aku justru beruntung. Nikah satu tahun dapat harta berlimpah.Suamiku memang meninggalkan banyak harta di sini. Di depan rumahku saja ada dua mobil. Mobil Pajero dan mobil double cabin. Kebunku yang 4 hektar sebagiannya sekarang sudah jadi perumahan. Perusahaan juga masih laporan padaku. Aku jadi janda kaya raya.
Ini cobaan apa lagi ya, Allah? Baru saja aku operasi tanpa didampingi suami, ini suamiku terkena serangan jantung. Aku tak bisa melihatnya. Keadaanku yang masih punya bayi berumur 10 hari tidak memungkinkan untuk pergi ke rumah sakit yang jaraknya 3 jam perjalanan naik mobil.Aku memanggil semua saudara, Kakak ipar, juga menghubungi Bu Kades. Meminta mereka untuk pergi ke rumah sakit, menjenguk suamiku yang lagi sakit. Orang-orang di kantor pun aku kabari.Aku hanya bisa berdoa, semoga suamiku sembuh. Sekarang aku merasa cobaan untukku terlalu berat. Kadang juga aku merasa ini adalah karma bagiku karena telah melawan suami pertamaku dulu. Ingat suami pertama, Dia justru nongol di depan pintu."Aku turut berduka cita, Taing," kata Erianto. Dia tidak masuk, hanya berdiri di pintu, saat itu aku lagi duduk di sofa. Sedangkan anak-anak bermain di halaman.