Pagi itu terjadi pertumpahan darah di tengah kebun sawit entah di mana. Aku masih memegang dodos, alat panen sawit berbentuk mirip sekop itu memang sangat tajam di ujungnya. Berguna juga memotong pelepah sawit. Aku sudah terbiasa memegang alat ini.Basron sepertinya tak menemukan senjata, dasar memang penjahat amatiran, dia justru naik ke pohon sawit saat aku hendak menyerangnya. Bukannya lari atau melawan. Dalam beberapa detik, dia sudah berada di atas pohon sawit. Rasa takut memang bisa membuat orang berbuat di luar nalar. Sawit setinggi kira kira delapan meter dia panjat."Turun kau!" teriakku."Udah, aku menyerah," katanya kemudian."Menyerah, puih, mana yang katanya pejuang itu, mana yang cinta desa itu, lawan betina pun menyerah," kataku sambil mengancungkan dodos."Pohan!" Basron berteriak memanggil temannya.Tapi sepertinya Pohan sudah tid
Polisi menggelar olah TKP, setelah selesai baru kami pulang, aku naik mobil Pak Ardiansyah. Sepanjang perjalanan aku terus menangis di perut buncit laki-laki tersebut."Maafkan aku, Baba, aku sudah terlalu emosian, sudah membuat Baba susah," kataku. Aku memang merasa bersalah sekali, emosiku telah membuatku terjebak sendiri. Ijul dan kelompoknya memanfaatkan kelemahanku yang mudah emosi. Sehingga mereka bisa menyekapku. Uang suami tiga milliar akhirnya hilang."Baba, ada satu orang lagi, kata Basron, mereka empat orang," kataku kemudian."Kalau empat orang berarti dua lagi lah," kata suami."Yang satu orang membantuku, Baba, dia yang buka ikatanku," kataku kemudian."Kok kamu gak bilang sama polisi,""Janjiku padanya," "Aduh, harus jujur saja sama polisi, nanti kasus dikembangkan polisi, yang satu itu bisa kena juga," kata suami.Lagi-lagi aku melakukan kesalahan, benar juga, jika Basron mengaku Pohan ikut, tentu saja polisi' akan menangkap Pohan. Akhirnya kami lanjutkan ke kantor
Jalan terasa buntu, Pohan sudah pergi merantau membawa anak istrinya. Bahkan suamiku pun tidak percaya dengan kecurigaanku. Memang kepala desa itu terlihat baik, akan tetapi aku teringat perkataannya, dia tidak suka wewenangnya sebagai kepala desa dilangkahi. Mungkin Pak Ardiansyah melangkahi wewenangnya, atau aku yang melangkahi wewenangnya? tapi kapan? Sementara itu istrinya yang biasa kami panggil Bu Kades itu sangatlah baik dan peduli pada perempuan desa, dia dengan sukarela membantu masyarakat desa terutama perempuan yang punya masalah. Bahkan sampai masalah rumah tangga pun mau dia urusi. Makanya ibu kades ini punya julukan Menteri segala urusan.Aku coba mengingat-ingat adakah aku melangkahi wewenang kepala desa? Saat nikah kami minta surat NA dia yang urus, saat beli tanah mantan suami pun kami minta tanda tangannya. Saat kebunku diubah jadi komplek perumahan karyawan pun, oh, kami memang tak pernah minta izin, bahkan tak memberi tahu, di desa ini memang tidak pernah ada sura
Rasa curiga ini sangat menyiksa, setiap saat terus dibayangi rasa takut. Takut kejadian yang sama terulang kembali. Ditambah lagi tidak ada yang percaya ceritaku, untuk bertanya pada Pohan tidak bisa juga, kata kakak iparnya, dia kehilangan kontak dengan Pohan. Mungkin Pohan memang sengaja menghilangkan diri.Hari itu aku ke rumah Bu Kades lagi, niatnya ingin menyelidiki, kebetulan Pak Kades tidak ada di rumah, kata Bu Kades lagi pergi mengukur lahan yang mau dijual orang."Bosan di rumah terus, Bu, pengen main ke sini," begitu alasanku pada Bu Kades."Oh, gak apa-apa, aku justru senang," kata Bu Kades."Bu, sebenarnya aku mau minta bantuan lagi ini,' kataku kemudian."Bantuan apa lagi, suamimu kan sekarang kaya, bisa sewa pengacara,' katanya."Begini, Bu, yan
Apakah Bu Kades bisa dipercaya? Dia bilang biarpun suami sendiri jika salah tetap salah, rasanya aku kurang percaya jika ada istri yang mau jebloskan suami sendiri.Pasangan Kades dan Bu Kades belum dikaruniai keturunan. Mereka tidak punya anak setelah menikah belasan tahun. Bu Kades bukan asli desa ini dia dari kota. Pak Kades dulu pergi merantau, pulang-pulang sudah bawa istri, kemudian mencalonkan diri jadi kepala desa, dan menang.Yang bisa kulakukan kini hanya menunggu, menunggu Bu Kades yang bongkar, karena dia sudah janji. Aku kini makin waspada, tak keluar rumah kecuali ada hal penting. Ini saran dari Pak Ardiansyah.Pagi itu aku terkejut melihat kedatangan Erianto ke rumah. Dia tampak lesu, aku tak mempersilahkan masuk, kutemui di luar saja."Ada apa lagi?" tanyaku."Aku data
Ada yang bilang tidak ada seorang suami yang bela istri di depan keluarganya. Dulu aku juga berpendapat seperti itu, akan tetapi sekarang aku berubah pikiran. Pak Ardiansyah suamiku inilah bahkan membelaku di depan anaknya sendiri. Aku tersanjung sekaligus terharu.Hari itu aku pergi ke rumah sakit, rasa penasaran telah membuat aku nekat ingin bicara dengan Ijul dan Basron. Konon Basron mengalami patah kaki, sedangkan Ijul pangkal pahanya ada luka besar akibat kuhantam dengan dodos."Pasien ini tidak boleh dijenguk," kata seorang perawat saat aku bertanya."Tolonglah, Bu, ada yang mau kubicarakan," kataku kemudian."Maaf, tidak boleh," katanya.Bagaimana caraku biar bisa menjenguknya, ditambah lagi ada lagi polisi yang menjaga, perawat pula yang tak memperbolehkan. Rumah sakit ini ada
Aku jadi tak berani mendekat ke rumah Bu Kades, bersama warga lainnya hanya menonton dari jauh. beberapa polisi berjaga di luar."Ada apa?" tanyaku pada orang di sebelahku yang ikut menonton."Nggak tahu, aku baru datang," jawabnya.Tak tahan menanggung rasa ingin tahu, aku coba mendekat dan bertanya lagi ke orang lain."Katanya penggrebekan, apa yang digrebek aku gak tahu,' begitu jawaban orang tersebut.Akhirnya ada juga yang mau cerita."Pak Kades yang ada di mobil itu," katanya seraya menunjukkan mobil di depan rumah Bu Kades."Dia kenapa?""Tadi ditangkap polisi,"Oh,"Beberapa saat kemudian
Aku benar-benar tidak tahu di mana Pak Adriansyah menyimpan uang untuk gaji karyawan tersebut. Saat aku bilang tidak tahu perampok itu malah menempelkan pisau ke dadaku. Aku gemetar, tidak tahu harus berbuat apa lagi."Cepat!" teriak perampok itu lagi.Salah satu perampok lalu membuka paksa pintu mobil, aku lalu diseret keluar dari mobil tersebut. Sopir kami juga disuruh turun dengan ancaman pisau. Aku heran kenapa jalan sepi sekali tidak ada lewat satu pun kendaraan. Sudah sekitar lima menit kejadian tidak ada yang lewat sama sekali.Aku dan suami serta sopir itu lalu didudukkan di pinggir jalan di tepi jurang. Satu orang mengawasi kami dengan parang yang panjang, tiga lagi memeriksa mobil kami. Mobil sudah digeledah tapi uang gaji itu tak ditemukan juga. Perampok itu sepertinya marah, pak Ardiansyah di pukul perampok bagian kepalanya, sambil ditanya di mana men
"Pokoknya jangan mau yang sama yang belum disunat, Taing, andaipun dia mau disunat, dia disunat karena apa? Karena Tuhan atau karena kamu?," begitu kata ibukuAku jadi ragu untuk menerima investor dari China tersebut. Perkataan ibuku yang sederhana itu seakan membuka pikiranku. Mereka memang sengaja mengutus seorang pemuda tampan dan memanfaatkan kejandaanku untuk bisa memuluskan kerjasama bisnis ini."Kurasa aku tidak bisa menerima kerjasama itu, Bu," kataku pada Bu Kades. Saat itu kami lagi sarapan bersama di kantin sekolah."Kenapa, Mak Doly?""Aku ragu, Bu,""Padahal di desa lain orang berlomba-lomba menawarkan tanahnya untuk investor, kamu malah menolaknya," kata Bu Kades."Aku merasa ada udang di balik batu, Bu," kataku
Basron berdiri sambil memegang senjata mirip pistol, saat dia jadi security di perusahaan, memang bersenjata dengan senjata airsoft gun. Apakah dia masih menyimpannya.Seorang ART-ku lalu keluar dari kamarnya, aku langsung memerintahkan ART-ku tersebut memeriksa anak-anak."Apa yang kau mau, Basron?" Kataku kemudian."Aku hanya menagih hutang," kata Basron."Begini cara kamu nagih hutang?" aku membentak, berharap suaraku didengar sekuriti yang biasanya selalu berjaga-jaga di gerbang."Aku sudah minta baik-baik," kata Basron lagi."Baiklah berapa yang kau minta?" Kataku kemudian."Aku tidak kemaruk, hanya minta modal rp50 juta, biar aku pergi dari sini," kata Basron."Baiklah,
Sebagai janda kaya raya dengan tiga anak, usia yang masih 30-an tahun, banyak juga yang coba menggoda dan melamarku. Mulai dari yang masih brondong sampai yang sudah tua sudah pernah mencoba untuk mendekatiku. Akan tetapi aku selalu menolak. Padahal jujur dalam hati, aku masih butuh laki-laki.Aku mau menikah jika ada yang lebih baik dari Pak Ardiansyah, atau minimal sebaik Pak Ardiansyah. Sampai hari ini belum ada, 3 tahun lebih sudah aku menjanda.Ternyata sendiri itu lelah juga, biarpun banyak harta biarpun aku bisa menyuruh siapa saja, akan tetapi jika malam tiba aku tetap kesepian. Aku butuh tempat curhat. Suatu hari aku lagi sibuk di depan rumah mengurus taman bunga, depan rumahku memang ku sulap jadi taman bunga. Terdengar suara salam di pintu pagar. Seorang asisten Rumah tanggaku langsung berlari kecil membuka pintu tersebut."Siapa, Bu?" Aku berteriak be
Pengacara itu menatapku dengan tetapan tajam, mungkin dia tidak menyangka aku bisa bicara seperti ini. Untuk beberapa saat dia masih terdiam."Bagaimana, katakan saja begitu pada Helen," kataku lagi."Kamu memang pintar-pintar bodoh, jika dia mengaku tentu saja dia di penjara, bisa saja di penjara seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana, Untuk Apa lagi harta yang banyak jika di penjara seumur hidup," kata pengacara tersebut."Kamu tahu juga rupanya," kataku kemudian.Pria itu kembali bicara melalui HP, sepertinya bicara dengan Helen yang entah di mana. Beberapa Saat kemudian."Ini tawaran terakhir dari Helen, seluruh harta yang tersisa dibagi dua, setengah untukmu setengah untuk klien saya, ini orang terakhir, kita tak perlu lagi ke pengadilan cukup seluruh harta di
Pengacara itu menatapku dengan tetapan tajam, mungkin dia tidak menyangka aku bisa bicara seperti ini. Untuk beberapa saat dia masih terdiam."Bagaimana, katakan saja begitu pada Helen," kataku lagi."Kamu memang pintar-pintar bodoh, jika dia mengaku tentu saja dia di penjara, bisa saja di penjara seumur hidup dengan tuduhan pembunuhan berencana, Untuk Apa lagi harta yang banyak jika di penjara seumur hidup," kata pengacara tersebut."Kamu tahu juga rupanya," kataku kemudian.Pria itu kembali bicara melalui HP, sepertinya bicara dengan Helen yang entah di mana. Beberapa Saat kemudian."Ini tawaran terakhir dari Helen, seluruh harta yang tersisa dibagi dua, setengah untukmu setengah untuk klien saya, ini orang terakhir, kita tak perlu lagi ke pengadilan cukup seluruh harta di
Ternyata benar kata pepatah, jika kita kaya saudara kita akan banyak. Semenjak aku jadi janda yang kaya raya, hampir tiap hari selalu saja ada tamu yang datang, bahkan sepupu jauh yang selama ini tidak pernah bertemu tiba-tiba datang mengaku saudara. Tentu saja aku sambut dengan baik.Erianto, mantan suamiku itu jadi dilema tersendiri bagiku. Di satu sisi aku tak ingin dekat-dekat dengannya lagi. Seperti kata pepatah buanglah mantan pada tempatnya. Akan tetapi dia selalu datang. Tak pernah lagi minta duit memang. Tapi dia selalu baik kepada anak-anak. Yang memang anaknya.Seperti hari itu ada jadwal panen di kebun, aku yang sudah tiga minggu setelah melahirkan, coba berjalan keluar rumah, melihat-lihat orang yang panen. Ternyata ada Irianto. Aku melihat dia lagi melangsir sawit yang sudah selesai dipanen. Kasihan juga melihatnya, kebun ini dulu dibukanya semenjak dari lahan gambut, sampai jadi lahan
PoV HelenNamaku Helena Syah, dari lahir sudah kaya raya, punya orang tua yang kaya, Kakek nenek yang kaya. Papa keturunan Arab, Ibuku orang Batak, akan tetapi wajah dan postur tubuhku lebih condong seperti orang Arab.Dari lahir aku sudah terbiasa hidup mewah. Saat sekolah saja punya pengasuh khusus. Hidupku berjalan seperti di atas kertas, tak ada rintangan berarti. Sekolah, kuliah, kerja, nikah. Semua sepertinya mudah.Setelah punya anak dua dan berumur 29 tahun, entah kenapa aku mulai bosan menjalani kehidupan yang normal-normal. Aku mulai mencari tantangan. Suamiku juga selalu sibuk, anakku juga terlalu baik-baik, bener-bener hidup yang membosankan.Pertama aku coba bergaul dengan orang-orang di luar pertemanan yang biasa selama ini. Ikut mereka mendaki gunung , berkemah, akan tetapi tetap juga aku tidak menemukan tantangan. Ak
Ternyata jika tak direkam percakapan di wa itu tidak akan kelihatan. Aku lupa merekamnya, akhirnya hanya aku yang mendengar perkataan almarhum suami. Seandainya dia katakan lewat tulisan, mungkin bisa jadi bukti.Hanya dua jam jenazah suamiku disemayamkan di rumah, selanjutnya dibawa lagi untuk dimakamkan di Medan. Tempat pemakaman keluarga mereka, aku legowo, karena kata Kak Syarifah ini permintaan almarhum suami semasa hidupnya.Tinggal aku bersama empat anak, miris sekali hidupku. Akan tetapi banyak tetangga yang bilang aku justru beruntung. Nikah satu tahun dapat harta berlimpah.Suamiku memang meninggalkan banyak harta di sini. Di depan rumahku saja ada dua mobil. Mobil Pajero dan mobil double cabin. Kebunku yang 4 hektar sebagiannya sekarang sudah jadi perumahan. Perusahaan juga masih laporan padaku. Aku jadi janda kaya raya.
Ini cobaan apa lagi ya, Allah? Baru saja aku operasi tanpa didampingi suami, ini suamiku terkena serangan jantung. Aku tak bisa melihatnya. Keadaanku yang masih punya bayi berumur 10 hari tidak memungkinkan untuk pergi ke rumah sakit yang jaraknya 3 jam perjalanan naik mobil.Aku memanggil semua saudara, Kakak ipar, juga menghubungi Bu Kades. Meminta mereka untuk pergi ke rumah sakit, menjenguk suamiku yang lagi sakit. Orang-orang di kantor pun aku kabari.Aku hanya bisa berdoa, semoga suamiku sembuh. Sekarang aku merasa cobaan untukku terlalu berat. Kadang juga aku merasa ini adalah karma bagiku karena telah melawan suami pertamaku dulu. Ingat suami pertama, Dia justru nongol di depan pintu."Aku turut berduka cita, Taing," kata Erianto. Dia tidak masuk, hanya berdiri di pintu, saat itu aku lagi duduk di sofa. Sedangkan anak-anak bermain di halaman.