Home / Pernikahan / Membalas Suami Perhitungan / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Membalas Suami Perhitungan : Chapter 31 - Chapter 40

62 Chapters

Nyonya Bos

Pak Ardiansyah yang seorang bos ternyata mau juga tinggal di kebun, pagi-pagi ke kantor, sore dia pulang ke kebun. Padahal rumah kami di kebun sederhana. Penerangan juga dengan menggunakan genset, karena belum ada arus listrik ke kebun."Kita bangun di sini rumah yang lebih layak, serta di sana rumah karyawan, biar tidak sepi," begitu Kata Pak Ardiansyah."Iya, Pak,"Maka mulailah dibangun area kebun, seputar kebun dipagar semua. Rumahku direnovasi dan dibesarkan. Tiang listrik pun mulai ada. Lalu di kiri kanan dan belakang rumah dibangun rumah semi parmenen. Jadilah kebunku seperti desa baru dengan lima rumah.Satu bulan kemudian sudah jadi, karyawan pabrik kelapa sawit pak Ardiansyah ditempatkan di situ. Di rumah bekas Erianto ditempati karyawan kebunku. Ya, aku punya karyawan kini, karena sawit empat hektar tidak bisa kuurus sendiri.Lena datang lagi, tanpa malu dia tetap minta duit, kali ini dia minta langsung ke Pak Ardiansyah. Saat itu Pak Ardiansyah baru pulang dari kantor.
Read more

Rusuh

Warga dari tiga desa di sekitar pabrik kelapa sawit milik Pak Ardiansyah makin lama makin banyak yang protes. Memang karyawan kebun dan karyawan pabrik perusahaan itu hanya sebagian kecil yang warga desa. Bukan karena mereka tidak diterima, menurut Pak Ardiansyah karena memang mereka tidak mau melamar, serta banyak yang tidak sesuai standar perusahaan. Warga desa kami memang jarang ada yang mau kerja pabrik, entah kenapa dari dulu sudah begitu. Mereka lebih suka bertani atau kerja serabutan. Jadilah karyawan pabrik dan kebun hampir semua orang dari luar, bahkan banyak yang dari pulau Jawa. Dan karyawan pabrik inilah yang membuat ada kecemburuan sosial. Karena mungkin ada sebagian yang sombong atau suka pamer. Erianto sepertinya memanfaatkan keadaan ini, dia bersama Lena yang paling getol protes.  "Aku saksi hidup bagaimana liciknya mereka mengambil tanah kita, saw
Read more

Membalas Secara Cerdik

Setelah dua wartawan itu pergi, suami menelepon, dia bertanya tentang dua orang tersebut, apakah sudah kuberikan amplop. "Sudah, Baba, sudah kuberikan, apa mereka itu gak bergaji?" tanyaku kemudian. "Maksudnya?" "Kok dikasih duit?" "Memang begitu?" "Enak aja mereka dapat lima ratus ribu," "Iya, gak apa-apa," "Maaf, Baba, aku ganti uangnya jadi uang lima ribuan, kalau mau sedekah ke orang miskin lah," kataku lagi. "Apaa?" "Isinya kuganti," "Ya, ampun,"  Sambungan telepon terputus, entah apa yang dilakukan suami di sana, makanan yang kuantar belum disentuh sama sekali. Jam ti
Read more

Ratu Disangka Pembantu

Lena akhirnya pergi dibawa Paino, berkurang kini satu musuhku. Atau semoga lena dan Paino cocok. Ada juga rasa bersalah karena menjodohkan mereka, akan tetapi jodoh itu kan rahasia Tuhan. Siapa tahu memang begini jalan jodoh mereka.  Perusahaan juga lebih adem setelah Basron direkrut jadi kepala keamanan. Tinggal Erianto yang kini terus mencoba mempengaruhi warga. Aku dapat bocoran dari Ibu Kades, jika sekiranya mereka bisa mengusir suamiku dan perusahaan, Mereka akan bagi-bagi lahan sawit perusahaan tersebut. Hal seperti ini sudah sering terjadi di beberapa daerah. Perusahaan akhirnya hengkang, masyarakat dapat lahan gratis.  Ada acara di Medan, yaitu acara pernikahan kemenakan suami, anak Kak Sakinah menikah, kami harus ke kota.  "Baba, aku gak usah ikut ya," kataku pada suami, saat itu kami lagi berduaan di kamar, anak-anak tidur bersa
Read more

Anak Tiri Yang Kejam

Aku benar-benar merasa seperti ratu saja, akan tetapi aku kemudian berpikir, mungkinkah suami lagi mengujiku, gak mungkin rasanya beli perhiasan langsung tiga ratus juta, bagaimana aku memakainya.  Akhirnya aku beli yang sewajarnya saja, dua cincin, dua gelang dan satu kalung. Ini rasanya sudah cukup, total semuanya tidak sampai seratus juta. Saat Pak Ardiansyah membayarnya dia melihatku sambil tersenyum. "Terima kasih, Baba," kataku kemudian. Lanjut lagi beli pakaian, pokoknya malam itu aku benar-benar dimanjakan, apa saja kumau dituruti, akan tetapi lagi-lagi aku membeli yang wajar saja. Tidak berlebihan.  Keesokan harinya semua orang sudah berkumpul, dua anak tiriku juga sudah datang bersama pasangannya masing-masing. Helena Syah, nama anak sulung, kami masih seumuran. "Terima kasih
Read more

Gosip Berondong

Perjalanan dari Medan ke tanah Mandailing memakan waktu sekitar dua belas jam. Kami berangkat sehabis Magrib, perjalanan malam dengan dua supir yang bergantian. Sepanjang perjalanan kami banyak mengobrol ke sana ke mari, tentang bisnis, tentang rencana melebarkan usaha. "Aku makin bersemangat lo, Taing," begitu kata Pak Ardiansyah."Semangat bagaimana, Baba?""Semangat hidup, semangat kembali berusaha, seperti dapat suntikan baru," kata Pak Ardiansyah."Hehehehe," "Delapan tahun gak nyuntik," kata Pak Ardiansyah lagi."Hmmm,"Jam tujuh pagi kami tiba di desa, anak-anak langsung menyambutku dengan pelukan. Masing-masing mereka mulai bercerita keseharian mereka."Mak, aku dikasih Om Ijul duit," kata Sinta, anak itu sekarang memang memanggil aku dengan panggilan Mamak."Om Ijul?""Iya, Mak,"Aku langsung curiga, Ijul adalah pemuda pengangguran pacar brondongnya Lena, aku jadi merasa ini seperti ancaman dari Ijul, karena Lena pacarnya sudah kujodohkan dengan Paino. Ijul seakan mau menu
Read more

Korban Penculikan

Ketika aku sadar, tanganku terikat di ke belakang, kakiku juga diikat. Kulihat sekeliling, sepertinya aku berada di pondok di tengah kebun sawit entah di mana.  "Woi! siapa saja!" aku coba berteriak. Akan tetapi suaraku malah kedengaran terpantul. Ya, Allah, di mana aku? Aku coba ingat yang terjadi, aku terakhir berada di Puri Alam, tempat rekreasi yang ramai jika hari libur. Ijul, aku ingat aku datang mau mencari Ijul.  Kucoba buka ikatan tanganku, akan tetapi tidak bisa. Sesaat kemudian terdengar suara orang datang. Kucoba pura-pura tetap pingsan. "Ambil gambarnya," terdengar suara seseorang.  "Sadarkan dulu dia," terdengar suara lagi. Sesaat kemudian aku sudah disiram air. Kubuka mata, aku melihat laki-laki tiga orang, ya, ampun ternyata Basr
Read more

Kawan Jsdi Lawan

Pagi itu terjadi pertumpahan darah di tengah kebun sawit entah di mana. Aku masih memegang dodos, alat panen sawit berbentuk mirip sekop itu memang sangat tajam di ujungnya. Berguna juga memotong pelepah sawit. Aku sudah terbiasa memegang alat ini.  Basron sepertinya tak menemukan senjata, dasar memang penjahat amatiran, dia justru naik ke pohon sawit saat aku hendak menyerangnya. Bukannya lari atau melawan. Dalam beberapa detik, dia sudah berada di atas pohon sawit. Rasa takut memang bisa membuat orang berbuat di luar nalar. Sawit setinggi kira kira delapan meter dia panjat. "Turun kau!" teriakku. "Udah, aku menyerah," katanya kemudian. "Menyerah, puih, mana yang katanya pejuang itu, mana yang cinta desa itu, lawan betina pun menyerah," kataku sambil mengancungkan dodos.  "Pohan!" Basron berteriak memanggil temannya. Tapi sepertinya Pohan sudah tid
Read more

Siapa Dalangnya?

Polisi menggelar olah TKP, setelah selesai baru kami pulang, aku naik mobil Pak Ardiansyah. Sepanjang perjalanan aku terus menangis di perut buncit laki-laki tersebut."Maafkan aku, Baba, aku sudah terlalu emosian, sudah membuat Baba susah," kataku. Aku memang merasa bersalah sekali, emosiku telah membuatku terjebak sendiri. Ijul dan kelompoknya memanfaatkan kelemahanku yang mudah emosi. Sehingga mereka bisa menyekapku. Uang suami tiga milliar akhirnya hilang."Baba, ada satu orang lagi, kata Basron, mereka empat orang," kataku kemudian."Kalau empat orang berarti dua lagi lah," kata suami."Yang satu orang membantuku, Baba, dia yang buka ikatanku," kataku kemudian."Kok kamu gak bilang sama polisi,""Janjiku padanya," "Aduh, harus jujur saja sama polisi, nanti kasus dikembangkan polisi, yang satu itu bisa kena juga," kata suami.Lagi-lagi aku melakukan kesalahan, benar juga, jika Basron mengaku Pohan ikut, tentu saja polisi' akan menangkap Pohan. Akhirnya kami lanjutkan ke kantor
Read more

Hamil

Jalan terasa buntu, Pohan sudah pergi merantau membawa anak istrinya. Bahkan suamiku pun tidak percaya dengan kecurigaanku. Memang kepala desa itu terlihat baik, akan tetapi aku teringat perkataannya, dia tidak suka wewenangnya sebagai kepala desa dilangkahi. Mungkin Pak Ardiansyah melangkahi wewenangnya, atau aku yang melangkahi wewenangnya? tapi kapan? Sementara itu istrinya yang biasa kami panggil Bu Kades itu sangatlah baik dan peduli pada perempuan desa, dia dengan sukarela membantu masyarakat desa terutama perempuan yang punya masalah. Bahkan sampai masalah rumah tangga pun mau dia urusi. Makanya ibu kades ini punya julukan Menteri segala urusan.Aku coba mengingat-ingat adakah aku melangkahi wewenang kepala desa? Saat nikah kami minta surat NA dia yang urus, saat beli tanah mantan suami pun kami minta tanda tangannya. Saat kebunku diubah jadi komplek perumahan karyawan pun, oh, kami memang tak pernah minta izin, bahkan tak memberi tahu, di desa ini memang tidak pernah ada sura
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status